Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ketegangan dan konflik, baik di antara sesama penganut (internal) agama itu maupun
dengan penganut (eksternal) agama lain. Dalam hal ini, agama malah menjadi sumber
permasalahan (problem maker). Ketika dipahami dan dihadapkan pada realitas sosial,
agama sebagai kumpulan wahyu Tuhan ternyata bisa melahirkan berbagai konflik di
antara manusia.
Jika demikian, benar ungkapan R. Scopt Appleby dalam The Ambivalence of the
Sacred, Religion, Violence, and Reconciliation (2000) yang menyatakan adanya
ambiguitas fungsi agama. Pada satu sisi, agama bisa menghasilkan nilai-nilai
humanistis, toleran, inklusif, cinta kasih, dan perdamaian. Namun, di sisi lain, agama
membuahkan otoritarianisme, kekerasan, konflik, serta peperangan.
Akibatnya, hubungan antarumat beragama pun diwarnai sikap saling curiga, apriori,
dan tidak toleran terhadap penganut agama yang berbeda. Salah satu penyebab
berbagai peristiwa kekerasan yang berdimensi agama di tanah air adalah faktor
keberagamaan yang eksklusif itu. Meski, tidak menutup kemungkinan faktor-faktor
lain seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya turut memberi warna dan sentimen
dalam konflik tersebut.
Untuk menghambat laju konflik yang berdimensi agama itu, tampaknya, kita memang
harus merumuskan kembali cara pandang dan pemahaman terhadap agama kita
sendiri dan agama orang lain, termasuk merumuskan cara kita mesti hidup dengan
kelompok-kelompok lain (others).
Dalam konteks ini, ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, perubahan
paradigma teologis dari yang eksklusif kepada yang inklusif-transformatif. Teologi
yang dikonstruksi ulama klasik dalam hubungan antaragama yang sangat tidak
harmonis menjadikan teologi tampak eksklusif, double standard, dan curiga terhadap
orang lain. Teologi semacam itu -barangkali- kontekstual dengan zamannya. Namun,
ketika zaman yang menandakan pluralitas agama tidak bisa ditolak sebagai kenyataan
dan hukum alam, perubahan terhadap teologi juga menjadi suatu kebutuhan yang
sangat mendasar sebagai landasan dalam kehidupan beragama dalam aras praksis.
Kedua, perlunya merombak nalar fikih (Islam), hukum kanonis (Kristen), serta ajaran-
ajaran formalistis lainnya. Hal itu penting dilakukan. Sebab, baik fikih (Islam)
maupun kanonis (Kristen) merupakan seperangkat aturan agama yang sangat
menyentuh realitas sosial yang sering menolak kelompok lain. Sejumlah kitab klasik
seperti Fath al-Qorib atau Fath al-Mu’in masih memosisikan nonmuslim sebagai kafir
-baik dzimmy maupun harby- yang harus "takluk" terhadap Islam. Di situlah
pentingnya adanya gagasan Fiqih Lintas Agama (Paramadina, 2003) sebagai langkah
awal untuk merumuskan sebuah fikih yang dialogis dan kompromistis terhadap agama
lain. Di situlah pentingnya dekonstruksi (al-qathi’ah al-ma’rafiyah) dan rekonstruksi
(al-tawashul al-ma’rafy) terhadap fikih klasik.
Ketiga, agama dan politik (negara). Dalam catatan sejarah, hubungan agama dan
negara sering menimbulkan banyak problem. Politisasi agama dilakukan para birokrat
negara demi kepentingan dan target tertentu. Konflik agama dan negara merupakan
contoh yang sangat gamblang. Di tangan para elite negara, agama sering digunakan
sebagai legitimasi kepentingannya. Begitu pula sebaliknya, negara dalam pandangan
para agamawan sering dipahami sebagai media misionaris, menyebarkan ajaran-
ajaran agamanya melalui kebijakan negara.
Hubungan tumpang-tindih antara agama dan negara sering meminta korban yang
tidak sedikit, baik korban secara psikologis, fisikal, maupun material. Pada kondisi
tersebut, seharusnya agama dan negara bisa bekerja sama bukan untuk membius (to
opiate) masyarakat, tetapi sebagai media untuk menyejahterakan masyarakat secara
umum.
Akhirnya, agama dalam cetakan baru bukan merupakan sebuah agama baru, tetapi
sebuah rumusan agama yang menyuguhkan nilai-nilai inklusivisme, humanisme, serta
bersifat transformatif kepada segenap ruang-ruang kehidupan.