Vous êtes sur la page 1sur 15

1

BERBAGAI PENDAPAT DALAM MENENTUKAN


AWAL DAN AKHIR BULAN ROMADHAN

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dalam Mata Kuliah Fiqh

Oleh
Faruuq Tri Fauzi
NIM: FO. 6408006
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA
PROGRAM PASCASARJANA PGMI
IAIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2008
BAB I
PENDAHULUAN
Bulan Romadhon adalah bulan yang sangat penting bagi umat Islam. Di
dalam bulan itu, Allah swt. menurunkan al-Qur’an, tepatnya pada malam lailat al-
qodr1, dan mewajibkan Umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa, mulai
tanggal satu sampai pada akhir Bulan2.
Dikarenakan adanya kewajiban berpuasa pada Bulan Romadhon ini, Umat
Islam, khususnya para ‘Ulama` Islam, sangat serius dalam memperhatikan kapan
masuknya awal dan akhir Bulan Romadhon. Harapannya adalah agar mereka tidak
melanggar perintah Allah swt untuk berpuasa di bulan Romadhon itu.
Dalam arti lain, jangan sampai terjadi kesalahan dalam mengetahui awal
dan akhir bulan Romadhon, sehingga menyebabkan kesalahan pula dalam
menjalankan kewajiban puasa itu. Jangan sampai Umat Islam, yang seharusnya
sudah mulai berpuasa karena sudah masuk tanggal 1 Romadhon, tidak
menjalankan puasa karena tidak tahu bahwa hari itu adalah tanggal 1 romadhon.
Sebaliknya, jangan sampai pula Umat Islam tetap berpuasa padahal saat itu
Romadhon sudah berakhir dan masuk tanggal satu syawal, karena ketidaktahuan
mereka.
Perhatian tentang awal dan akhir Bulan Romadhon ini, semakin bertambah
besar dengan adanya dalil yang melarang kita mendahului Puasa Romadhon
dengan berpuasa satu atau dua hari sebelum Bulan Romadhon3 serta dalil yang
melarang kita berpuasa pada tanggal satu Syawal4.
Dari keterangan di atas, dapat diambil stressing point, bahwa untuk dapat
menjalankan kewajiban Puasa Romadhon dengan sempurna, tidak melanggar
larangan mendahului Puasa Romadhon dan larangan berpuasa pada tanggal satu

1 Al-Qur`an, 97 (al-Qodr): 1.
2 Al-Qur`an., 2 (al-Baqoroh): 183.
3 Rosulullah saw. bersabda, yang artinya: “Janganlah kalian mendahului Romadhon dengan
berpuasa satu atau dua hari (sebelum masuk Romadhon), kecuali orang yang memang memiliki
jadual puasa, maka boleh dia berpuasa”. (Muslim Bin al-Hajjaj, Shohih Muslim (Bairut: Dar ihya`
al-Turots al-‘Aroby), 2: 762.
4 Diriwayatkan dari Sa’id al-Khudry bahwasanya Rosulullah saw . melarang berpuasa pada dua
hari, yaitu hari Ied al-Fithri dan Ied al-Adha (Ibid, 2: 799)
3

Syawal, maka Umat Islam harus benar-benar serius dalam mencari kebenaran
tentang awal dan akhir Bulan Romadhon.
Khusus di Indonesia, penentuan awal dan akhir Bulan Romadhon ini
menjadi lebih menarik untuk di kaji, karena adanya fenomena unik yang terjadi
hampir setiap tahunnya. Sampai saat ini, Umat Islam di Indonesia hampir tidak
pernah menemukan kata sepakat untuk penentuan awal Ramadhan dan Idul Fithri.
Masing-masing organisasi massa islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, HT
dan DDI kerap mengeluarkan hasil "ijtihadnya" dalam penentuan awal dan akhir
Bulan Ramadhan lalu memfatwakan kepada massanya untuk mengikutinya.
Berangkat dari hal-hal di atas, penulis bermaksud untuk mengkaji secara
mendalam tentang berbagai pendapat para ‘Ulama` berkenaan dengan metode
yang paling tepat dan valid untuk mengetahui awal dan akhir Bulan Romadhon.
Setelah itu, penulis berusaha untuk menganalisa dengan seksama dan menentukan
pendapat siapa yang paling benar.
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang, terdapat beberapa sabda
Rosululloh saw. yang berkenaan dengan permasalahan bagaimana menentukan
awal dan akhir bulan Romadhon. Hadits-hadits inilah yang nantinya dijadikan
dalil oleh para ‘Ulama` dalam mengemukakan pendapat-pendapat mereka tentang
metode yang paling benar dan akurat (menurut mereka) dalam menentukan awal
dan akhir bulan Romadhon.
Diantara dalil-dalil tersebut adalah:

َ‫ضيَ ال ّلهُ عَ ْنهُمَا َع ْن النّبِيّ صَلّى ال ّلهُ َعلَ ْيهِ َوسَ ّلمَ َأّنهُ ذَ َكر‬
ِ َ‫َع ْن ابْنِ ُع َمرَ ر‬

ْ‫َرمَضَا َن َفقَا َل لَا تَصُومُوا حَتّى َترَوْا اْلهِلَا َل َولَا ُتفْ ِطرُوا حَتّى تَ َر ْوهُ فَِإنْ غُمّ َع َليْكُم‬
5
ُ‫فَاقْ ُدرُوا َله‬
Dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi saw. bahwasanya Beliau menyebut tentang
Romadhon maka Beliau bersabda: “Janganlah Kalian Puasa sampai Kalian
melihat bulan sabit (tanggal 1 Romadhon) dan jangan (pula) kalian berbuka
(merayakan Idul Fithri) sampai melihatnya (tanggal 1 Syawal). Jika terhalang
bulan sabit itu (karena Mendung) bagi kalian maka tentukanlah (perkiraan)
baginya!”

َ‫شرُون‬
ْ ‫ضيَ ال ّلهُ عَ ْنهُمَا قَا َل قَالَ َرسُو ُل اللّ ِه الشّ ْه ُر ِتسْ ٌع وَ ِع‬
ِ َ‫َع ْن ابْنِ ُع َمرَ ر‬

ْ‫لَيْ َل ًة لَا تَصُومُوا حَتّى َترَ ْو ُه وَلَا ُتفْطِرُوا حَتّى َت َر ْوهُ ِإلّا أَنْ ُي َغمّ عَلَ ْي ُكمْ َفإِنْ ُغمّ عَ َل ْيكُم‬
6
ُ‫فَا ْقدِرُوا لَه‬
5 Muhammad Bin Isma’il al-Bukhory, ál-Jami’ al-Shohih al-Mukhtashor (Bairut: Dar Ibn Katsir),
2: 672
6Muslim, Shohih Muslim, 2: 759
5

Dari Ibn ‘Umar ra. berkata: “Rosulullah saw. bersabda: ‘Satu bulan itu 29
malam, Janganlah Kalian Puasa sampai Kalian melihat bulan sabit (tanggal 1
Romadhon) dan jangan (pula) kalian berbuka (merayakan Idul Fithri) sampai
melihatnya (tanggal 1 Syawal), kecuali jikalau terhalang bulan sabit itu (karena
Mendung) bagi kalian. Jika terhalang (bulan sabit itu) dari kalian, maka
tentukanlah (perkiraan) bagi bulan sabit itu!’”

َ‫س قَالَ قَالَ َرسُو ُل ال ّلهِ صَلّى ال ّلهُ عَلَ ْي ِه وَسَ ّلمَ لَا تَصُومُوا قَ ْبل‬
ٍ ‫َع ْن ابْنِ عَبّا‬

‫ي َي ْومًا‬
َ ِ‫ت دُونَهُ غَيَاَيةٌ َفأَكْمِلُوا ثَلَاث‬
ْ َ‫َرمَضَانَ صُومُوا ِلرُ ْؤيَِتهِ َوَأفْ ِطرُوا ِلرُ ْؤيَِتهِ َفإِ ْن حَال‬

ٍ‫ث اْبنِ عَبّاس‬


ُ ‫َوفِي الْبَاب َع ْن َأبِي ُهرَْي َر َة وََأبِي َب ْكرَ َة وَاْبنِ عُ َم َر قَالَ َأبُو عِيسَى َحدِي‬
7
ٌ‫سنٌ صَحِيح‬
َ ‫َحدِيثٌ َح‬
Dari Ibn ‘Abbas ra. berkata: “Rosulullah saw. bersabda: ‘Janganlah Kalian
Puasa sebelum Romadhon! Berpuasalah karena melihat bulan sabit (tanggal 1
Romadhon) dan berbukalah (rayakan Idul Fithri) karena melihatnya pula. Jika ada
mendung yang menghalanginya maka sempurnakanlah (menjadi) 30 hari!’. Dan
tentang bab ini (juga diriwayatkan) dari Abu Huroiroh ra., Abu Bakar ra. Dan Ibnu
‘Umar ra. Abu ‘Isa berkata : “Hadits Ibnu ‘Abbas ini adalah hadits Hasan
Shohih.’”

َ‫ضيَ ال ّلهُ عَ ْن ُه َيقُولُ قَالَ النِّبيّ صَلّى ال ّلهُ عَلَ ْي ِه َوسَلّ َم َأوْ قَال‬
ِ َ‫عن َأبِي ُهرَْي َرةَ ر‬

َ‫صلّى ال ّلهُ عَلَ ْيهِ وَسَ ّلمَ صُومُوا ِل ُر ْؤيَتِ ِه َوأَفْ ِطرُوا ِل ُرؤْيَِت ِه َفإِنْ غُّبي‬
َ ِ‫قَالَ َأبُو اْلقَا ِسم‬
8
َ‫عَلَ ْيكُ ْم َفأَكْمِلُوا ِع ّدةَ َشعْبَانَ ثَلَاثِي‬
Dari Abu Huroiroh ra. berkata: “Rosulullah saw. bersabda, atau Abu al-
Qosim saw. bersabda: ‘Berpuasalah karena melihat bulan sabit (tanggal 1

7 Muhammad Bin ‘Isa Abu Isa al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Shohih Sunan al-Tirmidzi (Bairut: Dar
ihya` al-Turots al-‘Aroby), 3: 72
8 Al-Bukhory, al-Jami’ al-Shohih, 2: 674
Romadhon) dan berbukalah (rayakan Idul Fithri) karena melihatnya pula. Dan jika
tersembunyi bulan sabit itu (karena Mendung) bagi kalian, maka genapkanlah
jumlah Bulan Sya’ban menjadi 30 hari!’”

‫ضيَ ال ّلهُ عَ ْنهُ أَنّ النِّبيّ صَلّى اللّهُ عَلَ ْي ِه َوسَلّ َم قَالَ صُومُوا‬
ِ َ‫َع ْن َأبِي ُهرَْي َرةَ ر‬
9
َ‫ِل ُرؤْيَِت ِه وََأفْ ِطرُوا ِلرُ ْؤيَِتهِ َفإِنْ ُغ ّميَ عَلَ ْي ُكمْ َفأَكْمِلُوا اْل َعدَد‬
Dari Abu Huroiroh ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: ‘Berpuasalah
karena melihat bulan sabit (tanggal 1 Romadhon) dan berbukalah (rayakan Idul
Fithri) karena melihatnya pula. Dan jika terhalang bulan sabit itu (karena
Mendung) bagi kalian, maka genapkanlah jumlah Bulannya!”

Dari hadits-hadits yang ada ini, para ‘Ulama` berijtihad dengan sungguh-sungguh
(sesuai dengan kadar keilmuannya masing-masing) agar dapat menentukan
metode yang paling tepat untuk mengetahui awal dan akhir Bulan Romadhon.
Maka, muncullah beberapa pendapat berkenaan dengan hal tersebut. Secara garis
besar, pendapat-pendapat itu mengarah kepada dua Metode, yaitu Metode Ru`yah
al-Hilal dan Metode Hisab. Adapun kalau ada tambahan pendapat lain, maka itu
adalah derivasi dari kedua Metode itu, seperti Metode Perpaduan antara Metode
Ru`yah al-Hilal dan Metode Hisab.

1.METODE RU`YAH AL-HILAL


A.DEFINISI
Ru`yah al-Hilal adalah melihat bulan sabit setelah ijtima’ dan setelah
wujud di atas ufuk. Ijtima’ atau konjungsi adalah saat bulan dan matahari
memiliki bujur ekliptika yang sama. Ekliptika adalah sistem koordinat
langit untuk menggambarkan posisi matahari, bulan, dan planet-planet
dekat. Peristiwa ijtima’ terjadi serentak sekali setiap satu periode bulan
mengelilingi bumi (sinodis). Dengan demikian pada saat ijtima’, ada
wilayah di muka bumi yang sedang pagi, siang, sore atau malam hari.

9 Muslim, Shohih Muslim, 2: 762


7

Sedangkan hilal hanya bisa dilihat di sore hari, bila tingginya sudah cukup,
sehingga pada saat matahari terbenam, bulan masih di atas ufuk (Barat),
sehingga ada bagiannya yang memantulkan cahaya matahari ke bumi,
sebelum akhirnya bulan terbenam menyusul matahari. Inilah bulan sabit
yang ditunggu-tunggu. 10
Metode ini menekankan pada penglihatan langsung (baik dengan mata
telanjang ataupun dengan bantuan suatu alat) untuk menentukan awal
Bulan Romadhon (dan awal bulan-bulan qomariyah lainnya). Teknisnya,
pada tanggal 29 akhir (menjelang masuk malam 30) dilakukan ru`yah al-
Hilal. Jika hilal terlihat maka malam itu sudah masuk tanggal 1 bulan
berikutnya. Jika tidak terlihat, baik karena tertutup sesuatu ataupun tidak,
maka jumlah hari dalam bulan itu digenapkan menjadi 30 hari.
B.LANDASAN
Metode ini dilandaskan pada hadits Nabi saw: “Satu bulan itu 29 malam,
Janganlah Kalian Puasa sampai Kalian melihat bulan sabit (tanggal 1
Romadhon) dan jangan (pula) kalian berbuka (merayakan Idul Fithri)
sampai melihatnya (tanggal 1 Syawal), kecuali jikalau terhalang bulan
sabit itu (karena Mendung) bagi kalian. Jika terhalang (bulan sabit itu) dari
kalian, maka tentukanlah (perkiraan) bagi bulan sabit itu!”. Dan tambahan
hadits yang lain, “maka genapkanlah Sya’ban itu menjadi 30 hari”.
C.‘ULAMA` PENDUKUNG
Metode ini adalah metode yang dipegang oleh jumhur ‘Ulama` kecuali
‘Ulama` Madzhab Syafi’i. Khusus Ulama’ pengikut Madzhab Hanbali,
mereka sepakat menggunakan Metode ini dengan syarat cuaca tidak
mendung dan tidak ada awan. Jika mendung maka mereka lebih
mengutamakan metode memperkirakan (Hisab),11.

10 Fahmi Amhar, “Aspek Syar’i dan Iptek Dalam Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan”, dalam
http://muslimabipraya.wordpress.com/2008/08/19/aspek-syari-dan-iptek-dalam-penentuan-awal-
dan-akhir-ramadhan/ (21 September 2008)
11 Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqolany al-Syafi’i, Fath al-Bari Syarh Shohih al-
Bukhory (Bairut: Dar al-Ma’rifah), 4: 121
D.PERMASALAHAN SEPUTAR RU`YAH AL-HILAL
Dalam Ru`yah al-Hilal, tidak perlu setiap orang Islam harus melihat
sendiri hilalnya, melainkan cukup perwakilan dari sebagian orang Islam
adil yang dikuatkan dengan sumpah bahwa dia benar dan tidak bedusta.
Dalam hal ini, Ulama berbeda pendapat, berapa minimal yang melihat
hilal itu. Jumhur ‘Ulama` berpendapat cukup 1 orang Islam yang adil dan
yang lain berpendapat minimal 2 orang Islam yang adil12. Pendapat yang
kuat adalah cukup 1 orang Islam yang adil untuk mengetahui awal
Romadhon dan minimal 2 Orang Islam yang adil untuk mengetahui awal
Syawal13.
Permasalahan lain yang berkenaan dengan Metode Ru`yah al-Hilal ini
adalah apakah ru`yah al-Hilal itu berlaku untuk seluruh Umat Islam di
seluruh Negara (ru`yah global) ataukah masing-masing Negara (bahkan
masing-masing daerah) harus memiliki ru`yah al-Hilalnya sendiri (ru`yah
lokal). Jika pendapat pertama yang digunakan, maka setiap ada suatu
negara yang mengumumkan sudah terlihat hilal di salah satu daerahnya,
maka wajib bagi seluruh Umat Islam dimanapun berada untuk berpuasa
atas dasar berita tersebut. Adapun jika pendapat kedua yang digunakan,
maka Ru`yah al-Hilal yang terjadi di suatu Negara atau daerah, tidak
berlaku bagi Negara atau daerah lain.
Sebagai contoh di Malaysia sudah terlihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban
akhir sedangkan di Indonesia tidak terlihat. Jika menggunakan pendapat
pertama, besok adalah tanggal 1 Romadhan bagi Malaysia dan bagi
Indonesia. Akan tetapi jika menggunakan pendapat kedua, besok adalah
tanggal 1 Romadhon bagi Malaysia dan tanggal 30 Sya’ban bagi
Indonesia.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad14 dan Sebagian besar ‘Ulama dari
madzhab Maliki dan Qurthuby cenderung menyetujui pendapat pertama.

12 Ibid., 4: 123
13 Abu Zakariya yahya Bin Syarif Bin Muri al-Nawawy, al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Bin al-
Hajaj (Bairut: Dar Ihya` Turots al-‘Aroby), : 7: 190
14 Fahmi Amhar, “Aspek Syar’i dan Iptek”, (21 September 2008)
9

Sedangkan sebagian kecil ‘ulama` Maliki yang lain sepakat dengan


pendapat yang kedua, kecuali jika Kholifah (pemimpin tertinggi Umat
Islam) pada saat itu mengumumkan sudah masuknya tangal 1, maka semua
orang Islam wajib mengikutinya15.
‘Ulama` dari madzhab Syafi’i dan Ibnu al-Majisyun16 sepakat dengan
pendapat yang kedua. Akan tetapi, berapa jarak yang sesungguhnya bagi
luas suatu daerah itu terdapat perbedaan. ‘Ulama` Iraq, al-Shoidalani dan
al-Nawawi berpendapat bahwa selama suatu daerah itu masih berada
dalam satu mathla’ maka masih terhitung satu daerah. Sedangkan Imam
Syafi’i, al-Baghowi dan al-Rofi’i17 berpendapat sejauh batasan qoshor
sholat. Pendapat yang lain adalah sejauh satu iqlim dan sebagainya.18

2.METODE HISAB
A.DEFINISI
Secara bahasa, istilah Hisab berasal dari bahasa Arab “hasaba” yang
memiliki arti menghitung, memperkirakan atau juga membilang19. Istilah
hisab tersebut erat kaitannya dengan teknis kerja secara teoritis dan praktis
yang ditunjang oleh adanya pembuktian tertentu sehingga mendapatkan
hasil akhir yang tepat.20
Dimasa lalu, hisab boleh jadi hanya berkisar hitung-hitungan diatas kertas
semata sebab memang sarana untuk menjangkau penentuan posisi bulan,
matahari dan benda langit lainnya dengan tingkat ketelitian atau akurasi
hasil perhitungan yang dihasilkan belum memadai. Kemajuan peradaban
dimasa hidup kita sekarang seyogyanya sudah mengantarkan pada satu
kaidah mutlak, dimana apa-apa yang bisa dimanfaatkan guna mencapai
tujuan pewahyuan al-Qur’an ditengah masyarakat menyangkut
15 Ibnu Hajar, Fath al-Bary, 4: 123
16 Ibid, 4: 123
17 Ibnu Hajar, Fath al-Bary, 4: 123
18 Ibid, 4: 123
19 Muhammad Bin Mukarrom Bin Madzur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-‘Arob (Bairut: Dar
Shodir), 1: 310
20 Armansyah, “Kontroversi Hisab dan Rukyat”, dalam
http://arsiparmansyah.wordpress.com/2008/07/28/kontroversi-hisab-dan-rukyat-kapan-ramadhan-
dan-lebaran-2008/ (21 September 2008)
kemaslahatan tidak dapat lagi ditolak dengan dasar argumentasi klasik bila
perbuatan itu belum pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Proses hisab
cenderung tidak akan terhalang oleh adanya perubahan cuaca yang
fluktuatif yang dapat membatasi pandangan mata saat pengamatan. Fakta
dilapangan menunjukkan bila metode hisab ini digunakan banyak orang
dalam kegiatan sehari-harinya sehubungan penentuan waktu shalat
maupun waktu sahur dan berbuka puasa.
Dalam konteks perbincangan hisab kedalam ilmu Astronomi atau
perbintangan modern maka proses kerja hisab dimasa kita sekarang ini
sering dan tidak dapat dihindarkan untuk berkorelasi dengan teknologi
canggih, seperti keterlibatan satelit ruang angkasa dengan berbagai
pencitraannya maupun visualisasi dalam bentuk aplikasi komputer yang
sudah diprogram sedemikian rupa berdasar kondisi dan pengamatan
langsung oleh satelit tadi.
B.LANDASAN

Metode Hisab didasarkan pada Hadits Nabi (ُ‫لَه‬ ‫ )فَا ْقدُرُوا‬yang artinya maka
buatlah perkiraan (perhitungan) untuk hilal itu21.
C.‘ULAMA PENDUKUNG
Metode ini didukung oleh abu al-‘Abbas Bin Syuraij, Muthorrif Bin
Abdillah dan Ulama dari Madzhab Syafi’i22.
D.PERMASALAHAN SEPUTAR METODE HISAB
Sebagai konskuensi dari penggunaan rumus-rumus yang terdapat dalam
Ilmu Astronomi, secara otomatis metode ini tidak mengenal adanya waktu
global (seperti Ru’yah Global). Akan tetapi setiap daerah harus
menghitung (menghisab) sendiri berdasarkan mathla’ dan letak
geografisnya masing-masing.
Disamping itu, berbeda denga ru`yah al-Hilal yang dapat dilakukan oleh
siapapun, Metode Hisab hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-
benar menguasai ilmu astronomi. Setidak-tidaknya oleh orang yang

21 Ibnu Hajar, Fath al-Bary, 4: 122


22 Ibid, 4: 122
11

menguasai rumus-rumus yang berkenaan dengan penentuan awal bulan


dan ditunjang oleh alat-alat teknologi yang memadai. Oleh karena itu Ibnu
Hajar menukil pernyataan Ibnu Suraij23 bahwa Metode Hisab adalah untuk
orang-orang yang dikaruniai oleh Allah swt. Dengan ilmu tersebut.
Sedangkan menggenapkan jumlah bulan menjadi 30 hari adalah bagi
orang-orang awam24.

3.METODE PERPADUAN
A.DEFINISI
Metode perpaduan maksudnya adalah metode yang memadukan antara
Metode Ru`yah al-Hilal dengan Hisab. Cara kerja metode ini
dikelompokkan menjadi 2.
a.Ru`yah-Hisab
Pertama-tama dilakukan hisab untuk menemukan perkiraan awal bulan
baru. Setelah selasai, maka pada tanggal 29 akhir (menjelang Maghrib)
dilakukan ru`yah. Jika hilal terlihat, maka yang digunakan adalah hasil
ru`yah tersebut. Jika hilal tidak terlihat, baik langit dalam keadaan
cerah maupun dalam keadaan berawan, hujan ataupun tertutup, maka
hasil hisab yang digunakan
b.Ru`yah-Pembulatan 30 Hari-Hisab
Pertama-tama dilakukan hisab untuk menemukan perkiraan awal bulan
baru. Setelah selasai, maka pada tanggal 29 akhir (menjelang Maghrib)
dilakukan ru`yah. Jika hilal terlihat, maka yang digunakan adalah hasil
ru`yah tersebut. Jika hilal tidak terlihat padahal langit dalam keadaan
cerah dan tidak ada awan, maka jumlah bulan digenapkan menjadi 30
hari. Jika hilal tidak terlihat, sedangkan langit dalam keadaan berawan
atau hujan, maka hasil hisab yang digunakan.
B.LANDASAN
Metode perpaduan ini juga dilandaskan kepada hadits yang sama akan
tetapi dengan pemahaman yang sedikit berbeda, yaitu.
23 Ibnu Hajar, Fath al-Bary, 4: 122
24 Ibid, 4: 122
‫ْهه َفإِن ْه غُمّ عَ َليْكُم ْه‬
ُ ‫لَا تَصهُومُوا حَتّىه َت َروْا الْهِلَالَ َولَا ُتفْ ِطرُوا حَتّىه َت َرو‬

25
ُ‫فَاقْ ُدرُوا َله‬
“Janganlah Kalian Puasa sampai Kalian melihat bulan sabit (tanggal 1
Romadhon) dan jangan (pula) kalian berbuka (merayakan Idul Fithri)
sampai melihatnya (tanggal 1 Syawal). Jika terhalang bulan sabit itu
(karena Mendung) bagi kalian maka tentukanlah (perkiraan) baginya!”

4.PENDAPAT PENULIS
Setelah mengkaji secara seksama semua keterangan-keterangan tersebut,
penulis berkeyakinan bahwa hal-hal berikut ini adalah yang lebih benar, yaitu.
1.Hasil ru`yah al-hilal (bukan pembulatan 30 hari) lebih kuat untuk
dijadikan pegangan dibandingkan dengan hasil hisab. Sebagai contoh, jika
pada tanggal 29 akhir sya’ban sudah ada yang menyaksikan hilal yang
berarti sudah masuk tanggal 1, sedangkan hisab pada waktu itu
menyimpulkan besok belum tanggal 1, maka yang lebih kuat adalah hasil
ru`yah. Alasannya, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa pada
asalnya yang dijadikan patokan untuk memulai dan mengkahiri puasa itu
adalah disaksikannya hilal.
2.Untuk menghindari kecerobohan, maka Ru`yah al-Hilal -baik untuk
menentukan awal Romadhon ataupun awal Syawal- harus dilakukan
minimal oleh dua orang. Alasanya, perkara menentukan awal dan akhir
Romadhon adalah perkara yang sangat urgen, karena menyangkut
peribadatan Umat Islam. Urgensinya sama atau bahkan lebih dibandingkan
dengan persaksian muamalah. Sedangkan persaksian muamalah sendiri
membutuhkan minimal 2 orang saksi26, maka ru`yah al-Hilal jauh lebih
berhak mendapatkan syarat minimal 2 orang yang melihat.
25 Bukhory, ál-Jami’ al-Shohih, 2: 672
26 Al-Qur`an., 2 (al-Baqoroh): 282.
13

3.Metode yang paling kuat dan mendekati kebenaran adalah Metode


Perpaduan Ru`yah al-Hilal-pembulatan 30 hari-Hisab. Alasannya, cara
berfikir ini lebih mendekati tatacara yang diajarkan Rosululloh saw. dalam
hadit-hadits yang tersebut di atas. Apalagi alat dan teknologi untuk ru`yah
al-Hilal pun sekarang sudah semakin canggih. Penulis yakin, jika Hisab
yang dilakukan benar dan ru`yah pun demikian, pasti ada titik temu,
karena objeknya adalah sama.
4.Hasil akhir dari penentuan awal bulan, tidak berlaku secara global,
melainkan berlaku secara lokal. Sedangkan batasan local itu adalah sejauh
masih satu mathla`. Alasannya, Puasa Romadhon adalah ibadah yang
sangat terkait dengan gejala alam (peradaran bulan sebagai patokan jumlah
Romadhon dan peredaran matahari sebagai patokan waktu berpuasa
disiang hari), oleh karena itu harus dikembalikan dan disandarkan pula
kepada realitas alam yang ditempati umat Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Syari’at Puasa Romadhon dan Id al-Fithri telah menjadikan Umat Islam,
khususnya ‘Ulama` Islam serius dalam mengkaji metode-metode penentuan awal
bulan qomariyah. Sebgaimana halnya syari’at sholat lima waktu juga telah
memotivasi mereka untuk mempelajari rumus-rumus yang berkenaan dengan
jadual sholat yang tepat.

Metode-metode yang ada untuk menentukan awal bulan, secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, Metode Ru`yah al-Hilal. Kedua, Metode
Hisab. Ketiga, Metode Perpaduan Ru`yah al-Hilal dan Hisab. Metode yang
disebutkan terakhir itu masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu: Metode Ru`yah-
Hisab dan Metode Ru`yah-Pembulatan 30 Hari-Hisab.

Dari sekian metode yang ada, yang paling mendekati kebenaran menurut analisa
penulis adalah metode perpaduan, khususnya Metode Ru`yah-Pembulatan 30
Hari-Hisab.
15

REFERENSI
Al-Qur`an dan Terjemahnya.

Al-Bukhory, Muhammad Bin Isma’il. al-Jami’ al-Shohih al-Mukhtashor. Bairut:


Dar Ibn Katsir. Cetakan ketiga. 1987

Al-Naisaburi, Muslim Bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi. Shohih Muslim.


Bairut: Dar ihya` al-Turots al-‘Aroby. ___

al-Tirmidzi, Muhammad Bin ‘Isa Abu ‘Isa. al-Jami’ al-Shohih Sunan al-Tirmidzi.
Bairut: Dar ihya` al-Turots al-‘Aroby. ___

Amhar, Fahmi, Dr.Ing. Aspek Syar’i dan Iptek Dalam Penentuan Awal Dan Akhir
Ramadhan, dalam
http://muslimabipraya.wordpress.com/2008/08/19/aspek-syari-dan-iptek-
dalam-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan/ (21 September 2008)

al-Syafi’i, Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqolany. Fath al-Bari
Syarh Shohih al-Bukhory. Bairut: Dar al-Ma’rifah. 1379 (h).

al-Nawawi, Abu Zakariya yahya Bin Syarif Bin Muri. al-Minhaj Syarh Shohih
Muslim Bin al-Hajaj. Bairut: Dar Ihya` Turots al-‘Aroby. Cetakan kedua.
1392 (h).

al-Mishry, Muhammad Bin Mukarrom Bin Madzur al-Afriqy. Lisan al-‘Arob.


Bairut: Dar Shodir.Cetakan pertama. ___

Armansyah. Kontroversi Hisab dan Rukyat. dalam


http://arsiparmansyah.wordpress.com/2008/07/28/kontroversi-hisab-dan-
rukyat-kapan-ramadhan-dan-lebaran-2008/ (21 September 2008)

Vous aimerez peut-être aussi