Vous êtes sur la page 1sur 8

A A G GI IF FT T F FR RO OM M H HE EA AV VE EN N

Aku menengadahkan kepala dan memperhatikan awan yang gelap. Nathan menepuk pelan
puncak kepalaku. Aku antar pulang, ya? Mendung nih, kau bisa kehujanan kalau jalan kaki.
Aku menggeleng kecil. Nanti Reena marah, lagi
Mengapa dia harus marah? Bagaimana pun kau kan sahabatku, apa salahnya aku
mengantarmu pulang?
Aku tidak menggubris Nathan dan melangkah menuju trotoar. Pria itu sempat menahan
tanganku, tetapi aku menepiskannya. Akhirnya, Nathan hanya berjalan diam di belakangku,
mengikutiku.
Jangan mengekoriku, bentakku seraya berbalik untuk menghadapnya. Nathan
mengangkat bahunya dengan tak acuh dan pura-pura bodoh, Siapa yang mengekorimu? Aku
hanya sedang jalan-jalan.
Jalan-jalan? Kau lebih mirip membuntutiku daripada jalan-jalan. Sudahlah, Nathan,
pulanglah. Jangan menggangguku lagi, kataku lalu membalikkan tubuh.
Nathan menahan bahuku dan memutar tubuhku supaya kembali menghadapnya. Ia
menatapku serius. Sebenarnya kau kenapa sih, Lyn? Sejak tadi pagi kau bertingkah aneh terus.
Ayo lah, cerita padaku.
Aku tidak apa-apa, gumamku pelan, dan tampak jelas Nathan tidak memercayainya.
Apa ada hubungannya dengan Reena? tebak Nathan tepat sasaran. Aku menggeleng
kuat dan menepis tangan Nathan lagi. Tetapi kali ini cengkeraman Nathan tidak lepas.
Ada hubungannya dengan Reena, kan? Aku tahu, Lyn, kau tidak perlu menutup-nutupinya
lagi. Kau pembohong yang payah, asal kau tahu saja.
Aku anggap itu sebagai pujian, jadi sekarang lepaskan tanganmu dan biarkan aku pergi.
Aku ingin pulang, alihku seraya kembali mencoba melepas cekalan tangan Nathan pada bahuku.
Nathan tetap tidak melepaskan tangannya, malahan ia menangkap pergelangan tanganku dan
mulai menarikku berbalik kembali ke sekolah. Aku tersauk-sauk mengikuti langkahnya yang
panjang-panjang sambil menggerutu, tetapi Nathan tidak menggubrisku. Akhirnya, aku pasrah saja
ia tarik hingga ke parkiran sekolah dan menerima operan helmnya dengan wajah tertekuk.
Hei, cerialah sedikit, Lyn, bujuk Nathan seraya menepuk-nepuk pelan kedua pipiku. Aku
masih menggerutu, memilih tidak membalas kata-katanya, dan memakai helm berwarna biru langit
yang sudah serasa milikku saking seringnya kugunakan.
Nathan dengan cekatan membantuku membetulkan kaitan helm dan merapikan rambut
panjangku gerakan yang selalu ia lakukan. Tetapi kali ini aku menjadi risih ketika jari-jari Nathan
menyapu tengkukku dan menyisir lembut rambutku. Bayangan Reena melintas tanpa kuharapkan
dalam benakku, dan aku mundur menjauh dari tangan Nathan. Lelaki tampan yang sudah dari kecil
menjadi sahabatku itu kini menatapku dengan tatapan tanya dan bibir berkedut.
Kau sungguh aneh seminggu terakhir ini, Lyn. Kau berangkat sekolah duluan, pindah
tempat duduk dengan Reena, menghindariku ketika jam istirahat, selalu menolak satu kelompok
tugas denganku. Kau tadi juga berencana pulang sendiri tanpa menungguku, kan? Sekarang juga,
kau menjauhiku. Aku benar-benar tidak tahu mengapa kau menjaga jarak dariku, Lyn, Nathan
tampak hendak berteriak, suaranya bergetar. Ia menghunjamkan tatapan tajam ke arahku, dan aku
hanya bisa merunduk dan mengigit bibir.
Seperti biasa, melihatku yang hampir menangis Nathan menjadi gelagapan. Ia
mendekapku dan mengusap-usap punggungku sambil membisikkan kata maaf berkali-kali.
Mungkin kalau hubungan kami masih seperti dulu aku akan senang didekap di bahu bidang Nathan.
Tetapi sekarang, setelah kemunculan Reena dalam kehidupan aku dan Nathan, segalanya berubah.
I_c ovo Mot
Dekapan ini tidak lagi memberiku perasaan nyaman dan akrab yang sama seperti dulu, sama
seperti Nathan yang bukan lagi milikku seperti dulu.
Kau memelukku seperti ini tidakkah kau memikirkan apa yang akan dipikirkan oleh
Reena jika dia melihatnya? aku mendengar suaraku berubah parau dan nyaris berbisik, dan
bahuku merosot kecewa ketika Nathan melepas dekapannya.
Reena? Mengapa lagi-lagi nama Reena? nada suara Nathan terdengar marah, dan aku
mengangkat kepala untuk menatap ekspresi Nathan dengan penuh harap. Nathan memang marah,
tetapi entah mengapa aku merasa senang. Aku benar-benar berharap ini dapat diartikan sebagai
Nathan tidak suka hubungan persahabatan kami muncul sosok Reena, yang juga dapat diartikan
kalau dunia kami tetap hanya ada Lyn dan Nathan, tanpa Reena. Tetapi ingatan akan fakta kalau
Reena adalah pacar Nathan membuatku lagi-lagi terjatuh ke spektrum berlawanan.
Yaa Bukankah seharusnya kau juga memikirkan perasaan dia? Bagaimanapun juga dia
kan pacarmu, ingatku.
Nathan tampak bingung dan memandangku dengan tatapan tanya. Memangnya
mengapa kalau dia pacarku? Hei, maksudmu kau takut dia bakal cemburu melihat aku akrab
denganmu? Tuhan Cemburu padamu? Jangan bercanda, Lyn! Nathan tampak lucu sendiri akan
hipotesis itu dan tertawa keras.
Kurasakan gelegar rasa kesal memuncak sampai ubun-ubunku dan dengan kasarku lepas
helm biru itu dari kepalaku. Aku melemparnya ke Nathan, yang buru-buru menangkap, lalu berbalik
dan hendak melangkah pergi. Tetapi tangan Nathan menahan pergelangan tanganku dan
memutar tubuhku kembali menghadapnya.
Hei, Lyn! Kau kenapa? Mengapa tiba-tiba meledak marah? Nathan tampak sangat
terkejut. Aku tidak menggubris pertanyaannya dan mencoba melepas cekalan tangannya, tetapi
tangan Nathan menggenggam semakin kuat bahkan sampai terasa menyakitkan. Aku berhenti dari
usaha sia-siaku dan memelototinya marah. Lepaskan tanganmu!
Nathan balas memelototiku, Tidak, sebelum kau jelaskan mengapa kau tiba-tiba marah.
Kau seperti bom, tetapi bedanya kau tetap meledak meskipun tidak dinyalakan sekalipun. Kenapa
sih kau tiba-tiba marah begitu, Lyn?
Tiba-tiba?! Kau yang menyalakan bom itu, Nathan! Makanya, pikir dulu kalau mau bicara!
bentakku kasar dan menghentak kuat tanganku hingga cengkeraman Nathan terlepas. Aku
mendongakkan kepala dan menatap Nathan yang kebingungan dengan marah.
Aku tidak mengerti. Apa aku ada salah bicara? tanya Nathan bingung.
Aku tertawa hampa, bodoh rasanya menanggapi Nathan yang begitu tidak peka. Seakan
tengah menjelaskan satu tambah satu adalah dua pada bayi, aku mati-matian menahan kesal dan
menjelaskan hal terpenting yang sepertinya sudah dilupakan oleh sahabatku itu, Nathan, aku juga
seorang perempuan.
Aku tahu itu. Tidak ada yang meragukannya lagi, kan?
Nah. Kalau begitu tidakkah kau berpikir pacarmu akan cemburu melihatmu bersama
dengan perempuan lain, bersama denganku?
Tapi- mengapa dia harus cemburu? Maksudku, kau kan sahabatku!
Tuhanku aku benar-benar tidak tahu ini salahmu atau salahku, tapi satu hal yang sudah
jelas: kau harus lebih peka lagi terhadap perasaan perempuan, Dude. Ku rasa Reena tidak akan
senang kalau aku berada terlalu dekat denganmu, meski kau menjelaskan sampai mulutmu
berbusa sekalipun kalau aku hanya sekadar sahabat bagimu. Siapa yang dapat menjamin kau tidak
akan jatuh cinta padaku suatu hari nanti, kan?
Nathan melongo mendengarku dan aku menggunakan kesempatan ini untuk melambaikan
selamat tinggal, menyengirkan senyum santai yang entah kenapa bahkan menurutku sendiri
I_c ovo Mot
terasa seperti ringisan tidak tulus-, lalu buru-buru melangkah pergi sebelum ada tangan yang
menahanku lagi.
Aku tidak rela, sejujurnya. Tapi Nathan telah menentukan pilihannya ketika dia menerima
pernyataan cinta Reena. Jadi dengan langkah diseret dan tubuh basah kuyup aku tidak tahu
Tuhan bermaksud untuk mengerjaiku atau apa, yang jelas hujan deras langsung turun begitu
kakiku menginjak keluar dari halaman sekolah ke trotoar- aku melangkah pulang ke kos-ku yang
hanya berjarak sekitar lima belas menit dari sekolah.
Aku tahu seharusnya aku mengganti dahulu seragamku yang basah kuyup, atau
minimalnya melepas sepatuku yang menjejakkan noda lumpur menjijikan di lantai kamar. Tetapi
sekarang yang aku inginkan, atau mungkin yang aku butuhkan, hanyalah menelungkupkan wajah
ke bantal cherry kesukaanku lalu menangis sesunggukan. Setengah menit kemudian aku baru
menyadari bahkan bantal cherry itupun dari Nathan, dan tangis sesunggukanku berubah menjadi
tangis tersedu-sedu.
Aku tidak menyadari berapa lama aku menangis, atau kapan aku jatuh terlelap. Yang aku
tahu hanyalah ketika aku sadar kembali hari sudah tengah malam,dan seragam yang masih ku
kenakan sudah kering. Itulah hal terbodoh yang aku lakukan karena keesokan harinya aku
terserang demam dan flu berat. Aku meringkuk seharian di kasur empukku dan dua kali
memaksakan diri berdiri untuk membukakan pintu bagi pemilik kos yang dengan baik hati
membelikan obat dan bubur hangat bagiku.
Aku kembali tidur setelah menghabiskan bubur dan menegak dua butir obat. Tubuhku
masih lemah dan aku hampir-hampir tidak bisa tidur dengan tenang berkat kepalaku yang
berdenyut-denyut keras. Aku mimpi buruk, dan bahkan di mimpiku Nathan tetap tidak pernah
absen.
Hei, Lyn, aku suka kamu sudah sejak SD. Masa kamu tidak sadar sih? tanya Nathan
dengan wajah sedih. Aku berusaha berbicara, tetapi sesuatu mencekat tenggorokanku hingga aku
hanya bisa megap-megap tanpa suara.
Sudahlah, Nathan, tinggalkan saja Lyn dan jadilah pacarku. Apa kurangku dari gadis
kampungan yang bahkan dandan modis saja tidak mengerti?
Hei, Reena, jangan berkata seperti itu. Mungkin dia bukan model cantik dan modis
sepertimu, tetapi dia ada talentanya sendiri, kan? Begitu-begitu Lyn seorang seniman, ujar suatu
suara yang oleh alam bawah sadarku kukenali sebagai suara salah seorang kroni Reena.
Apa gunanya pintar lukis? Lelaki mana coba yang suka dengan gadis berlumuran cat
minyak? Bikin ilfeel saja... Gadis seperti dia, sih, cocoknya kencan dengan kanvas dan kuas cat saja
tiap hari. Sama sekali tidak cocok dengan Nathan yang begitu perfect, ujar Reena lagi tanpa belas
kasihan dan tertawa mencemooh.
Nathan dalam mimpiku mengerutkan dahi dan mundur dua langkah, Kau benar, Reena.
Lelaki sepertiku lebih cocok dengan gadis cantik sepertimu. Lyn, maaf. Kau tahu sendiri aku suka
wanita yang cantik dan modis, dan jelas wanita itu bukan ember cat berjalan sepertimu. Selamat
tinggal, Lyn. Doakan aku dengan Reena ya, dan
Cepat sembuh ya, Lyn, bisik Nathan dan samar-samar otakku menangkap desahan pelan
nafas Nathan di sisi telingaku. Desahan nafas Nathan... dan... satu kecupan hangat di kening.
... Kapan ya kali terakhir aku mengecupmu seperti ini? Um... seminggu lalu? Dan seminggu
ini aku tidak melihat tampangmu ketika tidur.
Lho, lho? Telapak hangat Nathan terasa begitu nyata di pipiku...
Haih, aku benar-benar kangen dengan wajah tidurmu ini, begitu polos... Kalau saja Reena
tidak membuatku berjanji...untunglah, tinggal satu hari lagi...
Nama Reena berhasil membuat semua orientasiku kembali.
I_c ovo Mot
Urggh...
Kau sudah bangun, Lyn? suara Nathan terdengar parau dan sarat khawatir. Rasa hangat
yang tadi menempel di pipiku berpindah ke kening. Demammu sudah turun. Bagaimana
perasaanmu sekarang? Sudah baikan?
Apa maksud ucapanmu? itu hal pertama yang terpikir olehku dan kuperhatikan ekspresi
wajah Nathan yang langsung berubah. Aku menyingkirkan tangan Nathan dari keningku dan
berusaha untuk duduk. Nathan, apa maksudmu dengan tinggal satu hari lagi?
Nathan tampak mengalami perang batin. Alisnya melengkung dalam dan aku harus
menahan godaan untuk menggosokkan jariku ke dahi berkerutnya. Setelah beberapa detik tanpa
seorang pun bersuara, Nathan mendesah pelan dan menggeleng kecil. Ia menekan bahuku supaya
aku kembali berbaring. Aku mengikutinya dengan patuh.
Aku berjanji aku akan menjelaskannya, tetapi tidak sekarang. Sekarang kau harus makan
obat, kata Nathan dan ketika aku tampak akan protes ia menekankan jari telunjuknya ke bibirku,
Makan obat dan tidurlah lagi. Aku akan menjengukmu lagi besok.
Setelah memastikan aku memakan obatku, Nathan meraih ranselnya dari meja dan tanpa
sepatah katapun keluar dari kamar. Aku memperhatikan suara langkah kaki Nathan sampai tidak
terdengar lagi dan duduk kembali. Kata-kata Nathan begitu membingungkan dan aku benar-benar
berharap ada penjelasan sejelas-jelasnya mengenai ini. Apa maksud sehari lagi? Apa maksud Reena
memaksanya berjanji? Apa maksud kecupannya tadi?
Tapi jawaban atas semua pertanyaan itu tetap tidak kudapatkan keesok harinya. Nathan
memang datang menjengukku, tetapi hanya dua menit yang singkat karena ia menerima sebuah
telepon aku punya firasat itu telepon dari Reena- dan Nathan buru-buru melesat keluar lagi
setelah mengingatkanku untuk memakan obat.
Besoknya lagi aku kembali bersekolah. Tetapi, yang mengejutkannya ketika aku sampai di
sekolah, bangku Nathan masih kosong. Begitu pula bangku di sebelahnya, yang sudah menjadi
milik Reena. Pikiran pertama yang tebersit di benakku adalah Nathan dan Reena bolos berdua.
Tetapi pikiran itu cepat-cepat kutepis. Bisa saja mereka hanya terlambat, terjebak macet
Tetapi sampai bel masuk berbunyi pun sosok mantan sahabatku itu tetap tidak muncul.
Dengan gelisah kuikuti pelajaran pertama tanpa ada sepatah perkataan pun dari sang guru yang
tersangkut di otak kalutku. Mataku hampir seperti di pasang magnet, secara konstan melirik ke
pintu semenit sekali. Namun, sampai pelajaran pertama selesai pun Nathan dan Reena masih
belum nongol juga.
Kau sudah dengar, Lyn? Kabar tentang perkelahian yang terjadi kemarin di gang belakang
sekolah, kata Jane, teman sebangkuku sekarang begitu bel pertanda pergantian jam pelajaran
berbunyi. Aku menggelengkan malas, sama sekali tidak berminat akan berita itu. Pikiranku
sekarang hanya Nathan, Nathan, dan Nathan.
Bagaimana kau bisa tidak tahu? Anak kelas kita, lho, yang digebukin. Kabarnya dia sampai
masuk rumah sakit. Reena sampai bolos untuk menjaganya.
Kilat serasa menyambarku begitu satu pemikiran menyusup ke benakku, hanya membawa
satu nama: Nathan-ku. Tidak. Jangan sampai yang dimaksud Jane itu
Rumah sakit mana?! aku mencekal lengan Jane kuat-kuat dan mengguncangnya dengan
kekuatan yang sebenarnya tidak perlu. Tapi aku tidak peduli, sekarang yang aku peduli hanya
mengetahui di mana Nathan dirawat Bagaimana keadaannya sekarang? Kenapa Nathan sampai
berkelahi?!
D-di Rumah Sakit ImmanuelLyn?! Lyn, kau mau ke mana?! seru Jane melihatku
melesat ke pintu kelas seperti zombi. Aku sepertinya melihat beberapa orang teman sekelasku
melirikku penasaran, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya sekarang.
I_c ovo Mot
Kakiku membawaku ke arah yang sudah kuhafal di luar kepala, melewati meja piket yang
kosong tak berpenjaga, keluar lewat gerbang sekolah, dan mencegat taksi pertama yang lewat di
depanku. Hal selanjutnya yang kusadari adalah aku sudah berada di rumah sakit, terjebak di antara
kerumunan orang berbau seperti obat-obatan dan menoleh ke sekeliling dengan bingung. Aku
tidak pernah ke rumah sakit sebelumnya. Harus ke mana aku sekarang? Di mana Nathan? Di mana
bagian informasinya?!
Lyn? suara yang sangat familier, bahkan sampai terbawa di mimpiku, memanggil. Bukan,
bukan Nathan. Ini suara yang tidak ingin kudengar kalau saja aku diberi pilihan
Aku menoleh untuk menemukan pemilik suara itu, dan kecewa ketika tebakanku sama
sekali tidak meleset. Di sana, tepat di tengah kerumunan orang, berdiri gadis cantik bak bidadari
yang menjadi inti semua masalah dalam dua minggu terakhirku ini.
Reena.
Kenapa kau bisa di sini? Seragammu kau bolos sekolah? Reena mendekatiku dan
menuntunku ke kursi terdekat. Meskipun tidak suka, aku tetap mengikuti langkahnya dan duduk di
kursi kosong di sebelahnya.
Di mana Nathan? tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya maupun berbasa-basi dulu.
Reena mengerutkan kening mulusnya dengan bingung. Aku tidak ingin tahu mengapa dia
bingung, tetapi tidak tahan juga untuk tidak bertanya, Mengapa? Ada apa?
Nathan bukannya di sekolah? Untuk apa dia ada di rumah sakit? Kau tidak lagi mengigau,
kan, Lyn? balas Reena dengan alis bertaut. Aku ikut menautkan alis, bingung luar biasa.
Ah, omong-omong Lyn Selamat ulang tahun, ya. Aku sudah membelikanmu kado,
tetapi aku tidak membawanya karena tidak kusangka akan bertemu kau di sini.
Alisku bertaut semakin dalam. Memangnya hari ini tanggal berapa?
Kukeluarkan ponselku untuk mengecek tanggal ketika kusadari di layar ponselku ada tanda
dua belas panggilan tak terjawab. Satu dari Jane, dan sisanya dari
Ponselku berdering tepat di saat itu juga. ID pemanggilnya sama dengan sebelas ID
panggilan tak terjawab lainnya.
Nathan.
Aku mengangkat panggilan itu dengan ragu-ragu. Hal
Lyn! Kau sekarang di mana?! Mengapa tasmu ada, tetapi orangmu malah menghilang?!
semprot Nathan memotong kata-kataku.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan malu sendiri. Well, sebenarnya aku di
rumah sakit sekarang.
Apa yang terjadi?! Mengapa kau di rumah sakit, Lyn?! Demammu tambah parah, ya? Di
rumah
Semuanya baik-baik saja. Aku balik ke sekolah sekarang. Nanti kita bicarakan lagi,
potong aku segera dan memutuskan panggilan bahkan sebelum Nathan sempat merespon
ucapanku. Aku malu luar biasa, dan tak diragukan lagi wajahku pasti semerah tomat segar
sekarang. Mengapa aku tolol sekali, langsung berpersepsi sendiri?
Er a-aku aku balik ke sekolah dulu, ya. Bye, Reena, pamitku tanpa sekalipun berani
menatap langsung ke Reena. Aku berjalan cepat ke arahku masuk tadi dan kembali mencegat taksi
pertama yang kutemui.
Waktu berikutnya aku sampai lagi ke sekolah, jam pelajaran kedua sudah selesai dan
teman-teman sekelasku sudah berpindah ke kelas berikutnya. Tetapi Nathan ada di sana, di bangku
yang kutempati tadi pagi, mendekap tas selempangku dengan mata terpejam mengantuk. Aku
tidak tahu proporsi rasa bingung atau terharu yang lebih besar dalam diriku sekarang, karena dua-
I_c ovo Mot
duanya dominan. Bingung karena Nathan menungguku, dan terharu juga karena Nathan
menungguku.
Lyn? gumam Nathan begitu membuka mata dan mendapatiku berdiri di depan pintu
kelas. Aku menyengir kaku dan berjalan masuk. Nathan menghampiriku dengan cepat dan tanpa
diduga-duga mendekapku erat, membuatku kaget luar biasa.
Apa yang kau lakukan dengan bolos pelajaran dan pergi ke rumah sakit? Apa ada yang
sakit? Atau demammu? tanya Nathan sarat khawatir. Ia meraba keningku, lalu pipi dan leher
untuk memastikan kalau aku tidak sedang demam. Mengapa kau selalu membuatku khawatir?
Aku cemas setengah mati, tahu. Tolong jangan diulangi lagi, bodoh, Nathan mendesah lemah dan
kembali memelukku.
Aku membenamkan wajahku ke dada bidang Nathan. Detik berikutnya tangisku pecah dan
aku menangis sesunggukan membasahi seragam Nathan. Nathan dengan gelagapan mengusap
punggungku dan berkali-kali menghapus air mata yang jatuh ke pipiku.
Stt Kenapa malah nangis? Sudah, sudah, jangan nangis lagi. Stt, gumam Nathan
berulang-ulang.
Aku memeluk Nathan dan kurasakan tangan kekar Nathan mendekap tubuhku semakin
erat. Ada apa, Lyn? Bisakah kau ceritakan padaku kenapa kau bolos tadi? Mengapa kau menangis?
Apa ada yang sakit?
Aku menggeleng ke dada Nathan, T-tidak apa-apa aku hanya kukira kukira kau
masuk rumah sakit D-dan mengapa kau masih begitu baik padaku padahal kau sudah punya
pacar? Mengapa kau selalu, selalu memberiku harapan kosong? suaraku menghilang di akhir
kalimat dan dengan cepat digantikan isak tangis yang semakin menjadi-jadi.
Tangan kekar Nathan perlahan melepas pelukannya dan menarik tubuhku sedikit menjauh.
Aku melepas cengkeramanku pada bajunya dengan enggan, lalu merunduk supaya Nathan tidak
dapat melihat wajah tangisku yang jelek. Tetapi Nathan malah menangkap daguku dan
mendongakkan kepalaku hingga pandangan kami bertemu.
Aku akan menjelaskannya, desah Nathan dengan wajah sarat emosi yang tidak bisa
kubaca. Aku masih bengong tidak mengerti ketika Nathan menggandeng tanganku dan
membawaku keluar kelas, kembali ke gerbang sekolah. Untung saja meja piket masih kosong,
kalau tidak kami pasti dicekal sebelum Nathan sempat memakaikanku helm biru kepemilikanku
dan menghidupkan mesin motornya. Kami melaju cepat di jalan raya yang cukup lengang dan
mengarah ke
Kos-ku?
Nathan tidak menggubris pertanyaanku dan kembali menggandeng tanganku masuk ke
bangunan yang sudah menjadi rumah sementaraku itu. Ia menuntunku ke kamarku sendiri,
mengeluarkan kunci kamar duplikat yang dimiliknya dan membuka kuncinya. Tetapi sebelum ia
mendorong pintu hingga terbuka, ia berbalik kembali menghadapku dan tersenyum nakal.
Pejamkan matamu, perintahnya. Ketika melihatku masih tidak menurut juga, ia
mendesah panjang lalu menutup kedua mataku dengan sebelah tangan. Aku memprotesnya,
tetapi Nathan tidak menggubrisku. Ia menuntun langkahku untuk berjalan perlahan melewati
ambang pintu. Aku mendengar suara pintu ditutup di belakangku lalu Nathan melepaskan
tangannya dari mataku.
Sengatan warna-warni cerah membuatku menganga lebar tidak percaya. Kamarku tidak
lagi seperti ketika terakhir kali kutinggalkan untuk berangkat sekolah tadi pagi. Berpuluh-puluh
balon memenuhi langit-langit kamar yang rendah. Pita-pita indah membelit boneka-boneka
pajanganku. Manik-manik bening menjuntai cantik di jendela terbuka, memecah cahaya matahari
menjadi sejuta prisma warna pelangi. Di dekat kasurku, yang sudah dijajah oleh buket bunga yang
I_c ovo Mot
luar biasa besar, bersandar sebuah kanvas setinggi satu meter yang diselubungi kain putih. Di
sebelahnya sebuah bungkusan kado besar dan boneka beruang yang lebih besar lagi
menghabiskan sisa ruang di tempat tidurku.
Aku berbalik untuk menatap Nathan. Kata-kataku sudah di ujung bibir ketika kekagetanku
membuat kata-kata itu tertelan kembali tak sempat terucapkan. Di sana, di depan mataku, Nathan
berdiri dengan sebuah kue ulang tahun besar lengkap dengan selusin lilin menyala di atasnya.
Happy birthday, Lyn, bisik Nathan sambil tersenyum manis. Matanya berbinar
memantulkan cahaya lilin dan gurat tipis garis tawa membuat matanya semakin menawanku. Dan
kurasakan pipiku memanas, senang dan gembira dan bahagia dan euforia kalau saja ada kata
yang sanggup mendeskripsikan perasaanku saat ini.
Nathan menyanyikan lagu Happy Birthday untukku sementara aku berdoa dan meniup lilin.
Sebelum aku sempat menghujaninya dengan sejuta pertanyaan, Nathan telah beralih ke ajang
foto-foto, lalu memotong kue, acara suap-menyuap yang berujung menjadi colek-colekan krim
yang begitu kekanak-kanakan, dan ia bahkan sudah akan beralih ke acara membuka kado kalau
saja aku tidak menyelanya cepat-cepat.
Jelaskan dulu, Nate, pintaku, menggencet kepala boneka beruang yang diberikan
Nathan supaya aku dapat melihat wajah pria itu dengan lebih jelas. Nathan menggumam tidak jelas
dan beralih ke bungkusan kado besar, tetapi aku menahan kedua tangannya dan memaksa Nathan
untuk menatapku, menjawab pertanyaanku.
Kau sudah berjanji, aku mengingatkan dengan nada kesal. Nathan tampak ragu sesaat
sebelum mengangguk enggan.
Oke, aku jelaskan, kata Nathan, Aku tidak pacaran dengan Reena. Atau setidaknya,
tidak benar-benar pacaran dengan dia.
Jelaskan, perintahku melihat gejala-gejala Nathan akan bungkam lagi. Nathan
menatapku dengan alis terangkat, lalu mengangkat bahu pasrah. Kata-katanya yang berikutnya
keluar lebih lancar.
Aku sudah lama merencanakan ini, Nathan mengibaskan tangannya ke sekeliling
ruangan, dan terakhir menunjuk ke kanvas misterius di dekat kasurku. Tetapi untuk dapatkan
lukisan itu, aku perlu koneksi khusus ke kolektornya. Dan koneksi itu Reena. Dia kenal pada
kolektor lukisan itu, dan aku meminta tolong supaya ia mengenalkan aku pada kolektor itu.
Awalnya Reena setuju, mengenalkanku dan selanjutnya adalah masalahku sendiri dengan kolektor
itu. Kau tahu, serangkaian negosiasi, kerja part-time di toko barang antiknya, hal-hal seperti itu-lah.
Tetapi seminggu lalu Reena meminta balasan dariku. Ia memintaku berpura-pura menjadi pacarnya
karena ingin memanas-manasi mantan pacarnya. Kau tahu, Reena pernah pacaran dengan Jordy.
Dialah yang masuk rumah sakit karena digebuki preman yang mencoba menggoda Reena, Lyn,
bukan aku.
Aku terkesiap dan membekap mulutku dengan kedua tangan. Pandanganku beralih dari
Nathan lalu lukisan tertutup kain putih, dan kembali ke Nathan lagi.
Nate bisikku parau. Mataku memanas dan kurasakan dadaku sesak karena haru dan
bahagia. Aku menubruknya dan memeluknya erat-erat, luar biasa bersyukur karena Nathanlah
yang kusukai, karena Nathan-kulah yang begitu sempurna dan manis, penuh dengan kejutan dan
selalu patut kupercayai dengan segenap jiwa-ragaku
Jangan menangis sebelum kau buka semua kado-kadomu, Lyn, canda Nathan dan
melepas pelukanku, menuntunku kembali ke bungkusan besar kadoku darinya. Aku menghapus
setitik air mata yang menganak-sungai di pipiku dan tersenyum.
Kadonya ringan, bahkan sedikit terlalu ringan kalau ditilik dari bungkusannya yang besar.
Dengan penasaran kurobek kertas kadonya dan menemukan sejuta butir bintang warna-warni
I_c ovo Mot
jatuh keluar dengan suara desir pelan. Bintang-bintang kertas, yang sangat kuragukan dilipat
sendiri oleh Nathan, berhamburan ke sekujur rokku dan menghampar di lantai kamarku. Di tengah-
tengah semua kekacauan bintang jatuh terindah yang pernah kulihat, dua lembar kertas tergeletak
di tengah robekan kertas kado di pangkuanku.
Hanya kalau kau ingin mengajakku, bisik Nathan di telingaku sambil menunjuk kedua
kertas itu, yang dengan segera kusadari bukan sekadar kertas biasa. Pameran Lukisan replika
sempurna dari Louvre Paris. Tiket masuknya.
Kau bercanda. Tiket ini luar biasa sulit didapat. Dan luar biasa mahal juga. Darimana kamu
dapat uang untuk membelinya?
Nathan tersenyum lebar. Ia mencoba mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh, tetapi
tidak terlalu berhasil. Ia malah menyengir semakin lebar. Kolektor itu menjualnya kepadaku
karena ia dan istrinya akan melihat pameran yang asli akhir tahun nanti. Aku beruntung bisa dapat
dengan harga cukup murah, bahkan tidak sampai setengah dari harga aslinya.
Aku membelalakan mata dengan kaget. Menonton pameran lukisan di Louvre adalah
impianku semenjak aku pertama kali bisa memegang kuas cat, dan Nathan memenuhi sebagian
impianku itu sekarang. Replika pameran Louvre.
Dan apa lagi yang ada di balik kain putihmu itu, Tuan Nathan? Replika sempurna The Last
Supper? Atau mungkin Mona Lisa? tanyaku sambil mengerling perubahan ekspresi di wajah
Nathan. Tetapi Nathan hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
Sebelum kau buka, Lyn, kata Nathan menghentikan gerakanku menyibakkan kain
penutup kanvas itu. Aku ingin kau tahu kalau itulah gambaranmu di mataku.
Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Gambaranku di mata Nathan? Bayangan
Monalisa yang tersenyum misterius tanpa bisa dimengerti oleh simbolog mana pun membuatku
bergidik. Nathan tidak menganggapku seperti Monalisa, kan? Dia memahamiku jauh lebih baik
daripada aku sendiri memahami diriku sendiri. Tetapi itu hanya pemikiranku. Bagaimana pemikiran
Nathan? Nathan tidak akan tahu kalau ia sempurna di mataku, dan aku juga berharap ia melihatku
begitu di matanya
Kain disibakkan dengan sekali hentakan. Dan aku segera tahu jawabannya di detik pertama.
Dia melihatku dengan caranya sendiri. Caranya yang sangat kusukai. Amat sangat kusukai.
Langit kelabu dipenuhi salju indah. Hutan yang begitu tenang dan damai sesosok
malaikat cantik bersayap seputih salju berjalan ringan di atas lapisan es tipis air danau dan
memainkan nada surgawi dari harpa kristalnya yang bersenar perak. Lukisan yang begitu indah dan
menenangkan
Aku tersenyum bahagia dan memandang lekat-lekat wajah Nathan. Inilah sauh cintaku,
kebahagiaanku, hadiah terindahku yang bagai titisan salju dari surga
A Gift from Heaven


A Ii|t uo Hco=cv

Vous aimerez peut-être aussi