Vous êtes sur la page 1sur 7

JAYA, ANAK KAUM MARJINAL DENGAN SEJUTA ASA Surya Wijaya Namaku Jaya, nama yang singkat, namun

menyimpan sejuta makna, begitulah kata ibuku. Aku putra daerah asli Entikong, sebuah kota kecamatan di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Negeri Jiran, Malaysia. Lahir dan besar di daerah perbatasan menimbulkan kesan yang mendalam dalam diriku. Kesan yang tak kan ku lupakan seumur hidupku. Kisahku akan ku ulas dalam cerita singkat ini. Sebagai anak dari orang tua yang hanya bekerja sebagai buruh di perusahaan kelapa sawit, aku memiliki tanggung jawab yang cukup besar, apalagi aku merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Terlebih lagi, lepas kematian ayahku akibat kecelakaan kerja beberapa tahun yang lalu, tanggung jawab membantu ibu bekerja menafkahi kebutuhan kami dan keenam adikku yang lain. Dalam usia 7 tahun, aku harus membantu ibu memetik biji kepala sawit yang nantinya akan diolah menjadi minyak kepala sawit saat pagi hari, lepas itu akan membantu ibu mengasuh keenam adikku yang masih bekerja hingga hari menjelang petang. Saat ini aku berumur 10 tahun, sekali pun aku belum pernah mengecap manisnya duduk di bangku sekolah. Memang pernah terpikir untuk bersekolah, namun aku tak sanggup melakukannya apalagi melihat peluh ibu yang bercucuran sehabis pulang kerja. Tak sanggup rasanya untuk meninggalkan tugastugasku untuk membantu ibu saat ini. Sebenarnya tak hanya aku yang bernasib demikian, hampir sebagian besar anak sebayaku mengalami nasib serupa. Kami, anak marginal yang tinggal di pelosok ladang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Kondisi ekonomi orang kami telah memaksa kami bekerja membantu mereka sejak usia muda. Ada yang menjadi buruh perkebunan kelapa sawit, buruh ladang, pekerja pabrik, bahkan kuli panggul. Walaupun kami tahu mengenyam pendidikan merupakan modal kami membangun masa depan, apa dayanya kami harus mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup hari ini. Apa mau dikata, begitulah nasib kami, anak-anak marjinal di daerah perbatasan. ____________________________________________________________ Suatu hari, kabar adanya bantuan pendidikan dari pemerintah Indonesia seakan membawa air segar untuk membasuh rasa haus kami akan pendidikan. Di kota kecamatan, akan dibukanya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan sekolah dasar yang memuaskan rasa ingin tahu kami selama ini. Apalagi tersiar kabar, tidak ada pungutan sama sekali untuk menempuh pendidikan tersebut, semuanya gratis, disubsidi pemerintah katanya. Mendengar kabar tersebut, niat belajar muncul seketika. Iya, hanya seketika. Kenangan jerih paya ibu menghidupi aku dan keenam adikku kembali meredupkan keinginan belajarku. Dalam hati, aku berujar, Jaya, hilangkan pikiranmu itu. Kamu harus membantu ibu. Lihatlah buliran peluh di tubuhnya, urat keriput di wajahnya. Ya itu benar, aku harus membantu ibu.

Esok pagi, aku duduk termenung di balai depan rumahku. Tiba-tiba terdengar, sayupsayup suara memanggil namaku. Ternyata, aku disapa oleh Samsul, teman sepekerjaanku yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Pagi, Jaya, ujar Samsul. Pagi, Samsul. Oh, ternyata kamu. Aku kira tadi siapa, balasku. Kok, kamu tidak siap-siap? Lihatlah diriku sudah rapi!, katanya lagi. Aku menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Memang benar yang iya katakana, Samsul sudah berpakaian rapi. Ia mengenakan seragam putih merah, dibalut dasi merah dan topi di atas kepalanya. Kakinya pun dibalut oleh kaus kaki putih dan sepatu hitam yang tampak mengilap. Tak henti-hentinya aku memandanginya. Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras yang membuyarkan konsentrasiku. Jaya, ngucap-ngucap. Ada apa?, serunya cemas sambil melambaikan kedua telapak tangannya. Ah, gak apa-apa kok, jawabku. Keren sekali, kamu hari ini. Mau sekolah ya?, sambungku. Iya. Memangnya kamu tidak pergi ke sekolah? Kan hari ini hari pertama masuk sekolah, tanyanya balik. Aku termenung sejenak, selanjutnya diam seribu bahasa. Ya, sudah. Aku pergi duluan, ya. Aku takut terlambat, nanti kamu nyusul saja, katanya sambil berlari kecil dan melambaikan tangan. Aku tetap terdiam. Aku tidak tahu kalau Ibu mengamati gerak-gerik kami sejak dari tadi dari balik celah yang muncul setelah ia menyibak sedikit penutup jendela (walaupun sebenarnya rumah kami tidak memiliki jendela, hanya sekumpulan celah yang dibentuk dari sekumpulan kayu yang disusun renggang hingga memiliki celah). Ia berjalan mendekati dan menghampiriku. Aku terkejut. Ia meraih kedua tanganku, lalu meletakkan satu setel seragam sekolah di kedua telapak tanganku. Ibu mau kamu sekolah anakku. Segera bersiap-siaplah, anakku, kata Ibu. Aku tidak mau sekolah, Bu. Aku ingin membantu Ibu saja. Aku mau bekerja, balasku. Ibu bisa bekerja sendiri. Ibu ingin kamu bisa lebih baik dari Ibu, jawab Ibu. Tapi, Bu. Aku kasihan sama Ibu, melihat Ibu susah payah bekerja untuk kami. Aku tetap ingin bantu Ibu, ujarku.

Ibu tidak perlu kasihan darimu, Nak. Ibu hanya ingin kamu sekolah untuk masa depanmu kelak. Ibu ingin kamu dan adik-adikmu punya nasib yang lebih baik dari Ibu, ujarnya lembut dengan mata berkaca-kaca. Pertama kali dalam hidupku, aku melihat ibu yang tegar menghadapi cobaan hidup menitikkan air mata. Aku segera mengusap air mata di kedua pelupuk matanya. Iya, Bu. Aku mau sekolah. Ibu tidak usah bersedih lagi, jawabku sambil terisak. Aku segera berganti seragam sekolah, mengenakan kaus kaki dan sepatu serta memasangkan dasi dan topi di tubuhku. Aku memandangi keseluruhan tubuhku di cermin. Ternyata, aku tampan juga. Lamunanku kembali buyar. Jaya, ayo lekas pergi ke sekolah. Nanti kamu terlambat, seru Ibu. Iya, Bu, jawabku. Aku menghampiri Ibuku, lalu menggapai tangan tangannya. Aku menyalaminya dan berpamitan kepadanya. Dalam hati, aku kembali berpikir. Ini hari pertamaku sekolah, hari pertamaku mengapai asaku, hari pertamaku memulai perjuanganku membahagiakan ibu dan adik-adikku. ____________________________________________________________ Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah. Aku melihat sosok teman-teman sebayaku ramai berkumpul di depan halaman sekolah. Aku terus mengamati sosok tersebut satu per satu. Beberapa di antaranya, ternyata sudah ku kenal, mereka teman sepermainan dan sepekerjaanku, sebut saja Tari, Pipit, Acong, Beni, dan tentu saja Samsul. Aku menghampiri mereka, mereka lalu mengajakku bermain. Saat asyik bermain, terdengar suara bel memanggil kami berbaris rapi di depan halaman sekolah. Walaupun kami belum pernah ke sekolah, kami telah bermain barisberbaris. Alhasil, kami dan anak-anak yang lain dapat berbaris dengan rapi tanpa ada perintah dari guru. Saat itu Pak Guru memanggil nama kami satu per satu. Terdengar nama yang dipanggil telah mencapai lima puluhan, banyak juga teman-teman yang sebaya, yang lebih muda, bahkan tak banyak pula yang berumur lebih tua hariku datang, ingin mencicipi indahnya bangku sekolah Acong 1.A, kata Pak Guru Beni 1.B, ucapnya. Samsul 1.C, sebutnya. Tari 1.A, sambungnya. Pipit 1.B, katanya lagi.

Jaya 1.C, lanjut Pak Guru. Aku sekelas dengan temanku, Samsul. Aku senang sekali. Aku cukup sedih, tak sekelas dengan teman-temanku yang lain. Setelah selesai memanggil nama berikut kelas kami satu per satu, Pak Guru memberikan pengarahan dan mempersilahkan kami masuk ke kelas masingmasing. Kelas yang paling ujung itu kelas 1.A, kelas berikutnya masing-masing kelas 1.B dan 1.C, jelas Pak Guru. Kalian mengerti? tanyanya. Mengerti, Pak, sahut kami serempak. Kalau mengerti, silahkan kalian masuk kelas, ujarnya kembali. Serentak kami berlari-lari menuju kelas kami masing-masing. Aku mengajak Samsul duduk di bangku depan sudut di depan meja guru. Ia setuju dengan ideku. Kami berdua segera menempati bangku itu. Berkelang beberapa menit. Sosok tinggi besar berkulit hitam legam memasuki kelas kami, namun berbeda dengan Pak Guru yang membagi kelas kami tadi. Selamat pagi, anak-anak, ujar Pak Guru. Selamat pagi, Pak, jawab kami, namun kali ini tidak serentak. Perkenalkan, nama Bapak, Pak Yanto Hermawan. Kalian bisa memanggil Bapak dengan sebutan Pak Yanto. Bapak akan mengabsen nama kalian, ya katanya. Iya, Pak sahut kami berbarengan. Ia mulai menyebutkan nama kami satu per satu. Usai menyebutkan nama Samsul, ia memulai pelajaran pagi hari ini. Anak-anak, hari ini kita akan memulai pelajaran IPS. Kita akan mulai dengan Indonesia. Ada yang tahu Indonesia terdiri atas berapa pulau? Setahu bukannya Indonesia itu pulau Kalimantan. Benarkan Pak Guru, kata Samsul. Pak Guru menggelengkan kepala sejenak. Ia lalu berkata, Itu benar. Kalimantan itu bagian dari Indonesia. Tapi, Indonesia terdiri atas beberapa pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Malauku, serta Papua dan ribuan pulau kecil lainnya. Ia berjalan mendekati mejanya, mengambil peta, membentangkan peta tersebut, lalu menggantungkannya di papan tulis. Ia berujar sambil melingkarkan tangannya ke gambar di peta itu, Inilah Indonesia.

Dan inilah tempat kalian berada, katanya sembali menunjuk satu titik di peta Pulau Kalimantan. Apakah kalian mengerti? tanyanya. Mengerti, Pak jawab kami. Kita lanjutkan pelajaran, ya Aku masih berdecak terkagum-kagum melihat luasnya wilayah Indonesia dan mendengarkan penjelasan Pak Guru. Pak Guru memunculkan foto seorang perempuan, lalu bertanya kepada kami, Apakah kalian tahu siapakah sosok yang ada di foto ini? Ibu Kartini, Pak, sahut salah seorang dari kami. Ku amati sahutan suara tersebut, ia ternyata gadis mungil yang duduk di bangku paling belakang pojok di belakangku. Pak Yanto berkata, Benar sekali. Ini adalah foto R.A. Kartini. Beliau merupakan pahlawan yang telah membawa perubahan nasib bagi kaum wanita di Indonesia. Beliau memperjuangkan emansipasi wanita. Kali ini aku tidak terlalu menyimak penjelasan dari Pak Yanto, aku terus termenung. Aku berpikir dalam benakku. Aku ingin menjadi seperti Ibu Kartini. Aku ingin memperjuangkan perubahan nasib anak-anak dan penduduk marjinal di daerah perbatasan. Aku ingin nasib kami lebih baik dari sekarang. Apalagi kata Pak Guru, kamilah garda terdepan bangsa, pembela tanah air yang sama-sama kita cintai ini. Aku yakin, aku bisa, ku kan terus berusaha. ____________________________________________________________ Siang hari ini, kami melanjutkan pelajaran. Kami memulai pelajaran kesenian. Kali ini Ibu Ayu yang mengajar kami. Anak-anak yang luar biasa, ada yang sudah hafal lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya? tanya Ibu yang berparas cantik ini. Tak satu pun dari kami menjawab. Boro-boro mengganggukkan kepala, kami hanya terdiam sambil menundukkan kepala. Melihat hal tersebut, Ibu Ayu mengambil kapur tulis, lalu menuliskan lirik lagu Indonesia Raya. Ia memimpin kami bernyanyi. Indonesia Tanah airku, tanah tumpah darahku Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu Ibuku Indonesia Kebangsaanku, bangsa dan tanah airku Marilah kita berseru, Indonesia bersatu Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya Merdeka, merdeka Tanahku, negriku yang kucinta Indonesia Raya Merdeka, merdeka Hiduplah Indonesia Raya Kami mengikutinya dengan susah payah karena kebanyakan dari kami belum bisa membaca. Meskipun hanya mengikuti gerakan bibir Ibu Ayu, aku bisa menyanyi lagu kebangsaanku dengan cukup lancar. Terdengar syahdu sekali dendangan lagu Indonesia Raya di telingaku, walaupun sebenarnya kebanyakan teman-temanku hanya diam dan bernyanyi asalasalan. Aku diselimuti oleh rasa haru dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia, bangsa yang memberikan kejutan-kejutan bagiku. Bangsa ini kelak akan tumbuh besar di tangan kami semua, itulah janjiku pada Indonesia. Aku akan tetap belajar dan berusaha mewujudkan asaku itu. ____________________________________________________________ Sudah seminggu aku menempuh pendidikan di sekolah pinggiran ini. Tak satu pun rasa penat menghampiriku. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan harapanku. Aku makin bersemangat untuk menimba ilmu di sekolah ini. Guru-guru yang baik, teman-teman yang telah akrab denganku, dan ilmu-ilmu yang bermanfaat telah ku dapatkan selama bersekolah. Aku sungguh bersyukur dengan apa yang telah ku dapatkan selama ini. Saat asyik belajar, tiba-tiba Samsul mencolek pinggulku dan berbisik kepadaku. Jay, katanya Pak Menteri nanti akan datang. Dia nanti kasih pesan-pesan ke kita, bisiknya. Ah, masa. Kamu tahu dari mana, Sul? Jangan sembarang mengarang cerita. Mana mau Pak Menteri datang berkunjung ke sekolah kita ini, ujarku sambil bertanya kepadanya. Tadi Pak Guru memberitahuku, ujarnya. Tak lama kemudian, terlihat sosok yang sangat berwibawa dan terdengar suara yang cukup keras membahana. Ternyata, itulah Pak Menteri yang tadi dikatakan oleh Samsul, temanku. Dia memasuki kelas kami, kelas terakhir yang dikunjungi di sekolah ini. Ia telah mengunjungi kelas-kelas yang lain. Selamat pagi, generasi muda penerus bangsa, sapanya Selamat pagi, Pak Menteri, seru kami kompak menjawab sapaannya. Bapak ucapkan selamat kepada kalian. Bapak bangga terhadap kalian. Kalian mau sekolah, berjuang meraih cita-cita dan asa, berjuang menuju ke arah yang lebih baik. Bapak percaya puluhan tahun mendatang, mungkin salah satuoh tidak beberapa dari kalian dapat menjadi menteri seperti Bapak. Bapak juga percaya kalianlah penerus bangsa berkualitas.

Semangatlah terus belajar. Belajarlah lebih tinggi tidak hanya di sini, kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina, ujarnya dengan penuh semangat menggebu-gebu. Iya, Pak. Doakan kami ya, Pak. Semoga kami bisa jadi orang hebat kayak Pak Menteri, celetuh salah seorang dari kami. Iya, doa Bapak selalu menyertai kalian. Bapak yakin kalian bisa jadi orang yang lebih hebat dari Bapak. Semangat terus putra-putra bangsa, inilah baru awal langkah kalian, ujarnya kembali. Iya, Pak, jawab kami serempak diiringi dengan suara tepuk tangan membahana. Mendengar itu semua, aku melihat seluruh teman-temanku terkesima. Begitu pula pun aku. Aku dan teman-temanku akan berjuang mewujudkan harapan kami dan harapanmu, Pak Menteri. __________________________________________________________ Sudah setahun, aku mengenyam pendidikan di sekolah ini. Hari ini pembagian rapor kenaikan kelas. Nilai-nilai di rapor bertabur angka delapan. Bahkan, Ibu mengatakan bahwa aku meraih nilai tertinggi di seluruh sekolah. Aku sungguh bangga, demikian pula rasa itu terpancar muncul dari wajah ibuku. Aku sungguh ingin membalas jasa dan pengorbanan perempuan satu ini. Apalagi, belakangan ini, aku mengetahui bahwa Ibu bolos dari tempat kerjanya, hanya menerima pembagian seragam sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya dari kepala desa dua hari sebelum hari pertamaku masuk ke sekolah di balai desa. Sungguh betapa beruntungnya aku, anak yang lahir dari rahim perempuan yang tulus ini. Aku akan belajar lebih tinggi lagi, berjuang untuk menggapai cita-citaku, cita-citaku yang aku harap dapat membahagiakan ibu dan adikadikku juga ayahku yang saat ini berada di surga. Apalagi teringat pesan Pak Yanto, guruku, aku bercita-cita menjadi seorang guru seperti dirinya. Aku ingin berbagai ilmu dan mengubah kaumku, anak-anak marjinal di daerah perbatasan ke masa depan yang lebih baik sekaligus memberikan kontribusi kecil bagi bangsa yang ku cintai ini, selayaknya yang nikmat pendidikan yang diberikannya saat ini. Terlebih lagi, mengingat pesan Pak Menteri yang tempo hari datang mengunjungi sekolah kami, semangatku makin membara. Aku harus mulai dari sekolah biasa dari Entikong, tapi sangatlah mungkin aku dapat menjelalah untuk belajar ke negeri Cina. Inilah kisahku Jaya, anak kaum marginal yang memiliki sejuta asa untuk belajar lebih tinggi.

Entikong, 28 Februari 2012 Menyambut pagi esok hari Jaya Anak Kaum Marginal dengan Sejuta Asa

Vous aimerez peut-être aussi