Vous êtes sur la page 1sur 9

ANALISIS BAB IV UU NOMOR 20 TAHUN 2003

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd

Oleh : Arif Ramadhan Puput Wulandari Winda Budhiastuti Yustina Dian Parmadi Zurni Masrurotin K1209009 K1209055 K1209072 K1209076 K1209078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 5 ayat 1-5 merupakan hak warga negara Indonesia, namun dalam pelaksanaannya belum menyeluruh atau sesuai target. Misalnya saja pada ayat ketiga, yang menyebutkan bahwa Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Namun, fakta di lapangan misalnya di Wamena, Papua sarana dan prasarana pendidikan sangat kurang dan memprihatinkan. Hal itu juga membuat kesadaran terhadap pendidikan di sana juga kurang. Pemuda cenderung sudah bekerja sejak kecil dan menikah di usia dini. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Wajib belajar dalam Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dibatasi hanya usia tujuh hingga lima belas tahun jelas suatu pembatasan yang dimaksudkan untuk melepas beban negara dari pembiayaan pendidikan. Secara tegas dalam pasal ini mengharuskan warga negara bertanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan. Pasal 6 ayat 1 dan 2 merupakan dasar wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Pada kenyataannya, masih banyak orang yang beranggapan bahwa hal tersebut menjadi ukuran yang sudah cukup untuk bersaing di dunia kerja. Akan tetapi, dunia kerja yang

semakin maju dan juga dampak globalisasi menuntut generasi-generasi yang mampu berkreasi dan mengembangkan profesi yang digeluti. Padahal, pendidikan dasar atau wajib belajar 9 tahun belum memberikan bekal yang cukup untuk mengembangkan diri ataupun berpikir kreatif dan dinamis. Pasal 7 (1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Pada pasal 7 ini permasalahan yang dapat diambil adalah: a. Orang tua belum cukup paham tentang satuan pendidikan di Indonesia sehingga mereka cenderung bingung dan tidak tahu perkembangan pendidikan anaknya. b. Orang tua cenderung memasrahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah, sehingga mengabaikan pendidikan dasar (yang seharusnya dilakukan di lingkungan keluarga) Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam evaluasi program pendidikan. Resbin L. Sihite (2007:15) mengemukakan tujuh peran serta masyarakat dalam pendidikan yaitu: 1. Sebagai sumber pendidikan 2. Sebagai pelaku pendidikan 3. Pelaksana pendidikan 4. Pengguna hasil pendidikan 5. Perencanaan pendidikan 6. Pengawasan pendidikan 7. Evaluasi program pendidikan. Sedangkan Umar Tirtarahardja dan La Sulo (2005:179) mengemukakan kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, mempunyai peran dan fungsi edukatif, dan masyarakat sebagai sumber belajar. Dua pendapat tadi menggambarkan lingkup peran serta masyarakat secara menyeluruh mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Nampak bahwa masyarakat dan pendidikan saling perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan

berkaitan dan saling topang. Sehingga keberehasilan pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah terjun langsung ke tengah-tengah dunia pendidikan atau dsapat dikatakan masyarakat turut berpartisipasi dalam pendidikan dan pemerintah memberikan dorongan berupa peraturan atau perundang-undangan. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan dikemukakan oleh Yusufhadi Miarso (2004:709) bertujuan untuk: 1. Terbentuknya kesadaran masyarakat tentang adanya tanggung jawab bersama dalam pendidikan. 2. Terselenggaranya kerja sama yang saling menguntungkan (memberi dan menerima) antara semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. 3. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam penmanfaatan sumber daya, meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan seperti dana, fasilitas, dan peraturanperaturan termasuk perundang-undangan. 4. Meningkatkan kinerja sekolah yang berarti pula meningkatnya produktivitas, kesempatan memperoleh pendidikan, keserasian proses dan hasil pendidikan sesuai dengan kondisi anak didik dan lingkungan, serta komitmen dari para pelaksana pendidikan. Begitu pentingnya peran serta msyarakat atau partisipasi masyarakat ini, maka UU No. 20 Tahun 2003 begitu banyak mengemukakan hal tersebut, yaitu sebagai berikut. 1. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan, logika,seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Bab III, pasal 4 ayat 6) 2. Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 2) 3. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (Bab IV, pasal 6 ayat 7) 4. Masyarakat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 8) 5. Masyaraakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 9)

6. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam

penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (Bab XV pasal 54 ayat 1) 7. Masyarakat dapat beerperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.(Bab XV pasal 54 ayat 2) 8. Ketentuan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud poin 6 dan 7 diataur dengan peraturan pemerintah. (Bab XV pasal 54 ayat 3) 9. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonoformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Bab XV Bagian II pasal 55 ayat 1-5). Masyarakat sebagai Pengguna, Perencana dan Pengawas, serta Pengevaluasi Pendidikan Lulusan pendidikan tentu akhirnya akan terjun ke masyarakat, dan masyarakat pun sebagai pengguna hasil pendidikan. Mereka akan menerapkan ilmu yang telah mereka peroleh di lembaga pendidikan itu di masyarakat. Mereka akan memasuki dunia kerja, dan sebagai pengguna tenaga kerja atau lulusan itu adalah masyarakat, baik pemerintah, pasar (industri) ataupun masyarakat. Di pemerintahan, mereka akan memasuki bidang pekerjaan eksekutif (menjalankan roda pemerintahan) atau legislatif (yang mengawasi pemerintah). Di dalam perusahaan, mereka secara garis besar akan memasuki bidang pekerjaan formal dan informal. Sedangkan di dalam dunia industri, mereka akan terjun baik industri barang ataupun jasa Dari uraian di atas nampak bahwa masyarakat baik pemerintah, industri, perusahaan dan sebagainya merupakan pengguna hasil pendidikan. Apabila hasil pendidikan tidak bermutu, maka yang akan menerima akibatnya itu adalah masyarakat itu juga. Untuk itu perlu kirannya adanya kesesuaian antara program layanan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mendapatkan kesesuaian itu maka perlu pula kerja sama antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Yang dapat dilakukan masyarakat sebagai perencana pendidikan adalah dalam bentuk pemberian ide atau masukan pemikiran yang bermakna untuk mendukung bagi tersusunnya perencanaan yang baik. Keberadaan masyarakat agar berperan aktif sangat diharapkan baik dalam penyampaianj informasi atau terlibat langsung dalam diskusi-diskusi penyusunan perencanaan yang sangat penting, sehingga tuntutan akan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja bersesuaian (link and match).

Untuk melaksanakan ini, nampaknya keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sangat diperlukan. Dewan Pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi atau nasional diharapkan dapat mennjadi wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat yang menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan strategis dan operasional. Begitu pula kehadiran komite sekolah diharapkan akan memberikan masukan dalam penyususnan program-program teknis di tingkat sekolah. Pengawasan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk pengendalian agar pelaksanaan program dapat terjamin sesuai dengan perencanaan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komute Sekolag. Permasalahannya adalah sejauh mana Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah berkeja sebaik-baiknya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat tersebut. Evaluasi program pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana ketercapaian program dan manfaat program bagi pencapaian tujuan pendidikan Sehubungan dengan itu masyarakat baik orang tua atau pengguna lulusan tersebut hendaknya memberikan masukan dalam evaluasi tersebut. Salah satu conto pengukuran itu adalah berapa banyak lulusan suatu sekolah diterima di perguruan tinggi atau berapa banyak yang diterima di dunia kerja. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Pasal 9 tersebut mengharapkan masyarakat agar ikut serta berpartisipasi dalam pendidikan baik membantu dalam bentuk fisik maupun biaya. Selain itu, juga mengenai aspek mutu layanan belajar seperti mengoreksi dan memberikan masukan ide untuk upaya peningkatan pendidikan lewat dibentuknya komite sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang sering kita jumpai di masyarakat misalnya masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung jawab guru/sekolah. Padahal, di dunia pendidikan kita juga mengenal yang disebut dengan pendidikan berbasis masyarakat yakni usaha untuk menumbuhkan pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar di masyarakat, dengan inisiatif dari masyarakat di kelola masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat ini dilatarbelakangi dengan bervariasinya wilayah dan lingkungan peserta didik sehingga tidak

memungkinkan adanya pendekatan pendidikan yang seragam, baik dalam tujuan khususnya maupun di dalam implementasinya. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hal tersebut menyebabkan pendidikan berbasisis masyarakat ini berlangsung kurang optimal. Permasalahan yang lainnya yaitu mengenai pemahaman masyarakat/orang tua bahwa peran serta hanya berupa dana. Dari permasalahan di atas dapat ditawarkan solusi misalnya, dengan meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolahsekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut. Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite

sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah. Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.

Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pasal 10 Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 10 tersebut mengharapkan pemerintah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan peranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah. Pasal 11 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Pada kenyataannya, pemerintah dan pemerintah daerah belum berhasil dalam pemerataan pelayanan dan kemudahan pendidikan bermutu bagi warganya. Diskriminasi tersebut tampak jelas di daerah-daerah terpelosok yang sulit dijangkau. Jika dibandingkan dengan pendidikan di kota, maka akan sangat tampak kesenjangan di sana. Permasalahan mutu pendidikan tersebut tentunya tak lepas dari dana yang disediakan oleh pemerintah. Mutu pendidikan akan tercipta dengan adanya fasilitas dan tenaga pendidik yang memadai. Oleh karena itu, dana merupakan hal krusial yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah terpelosok. Seperti yang kita ketahui bersama, program Wajib Belajar 9 tahun merupakan implementasi dari UU sisdiknas ini. Pada ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya menyediakan dana untuk program wajib belajar 9 tahun. Namun, dana tersebut pun tidak merata ke seluruh daerah, termasuk yang di pelosok. Agar pelaksanaan pasal 11 di atas berhasil dan sesuai tujuan, maka pemerintah dan pemerintah daerah sebaiknya tidak mengesampingkan pendidikan di daerah-daerah terpelosok. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi diskriminasi pendidikan, dan yang lebih penting adalah agar anak-anak di daerah terpelosok bisa menikmati pendidikan bermutu, karena mereka masih memiliki semangat belajar yang tinggi. Semangat belajar yang tinggi tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mencetak siswa-siswi unggulan.

Vous aimerez peut-être aussi