Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB 4 KEPENDUDUKAN DAN KETENAGA KERJAAN

4.0

Tujuan Bab

Setelah membaca bab ini Anda akan memahami: Bahwa masalah penduduk bukan hanya pertumbuhannya melainkan juga menyangkut masalah pembangunan ekonomi dan kesejahteraannya. Bahwa distribusi penduduk Indonesia sangat tidak merata, baik menurut wilayah geografis, tingkat Kelahiran dan Kematian, maupun menurut struktur usia. Bahwa distribusi penduduk secara geografis sejak dahulu hingga sekarang adalah tidak merata antara Jawa dan luar Jawa. Bahwa pertambahan alami adalah selisih antara tingkat fertilitas dan tingkat mortalitas, di mana tingkat fertilitas selalu lebih tinggi daripada tingkat mortalitas dan di Indonesia dewasa ini, baik tingkat fertilitas maupun tingkat mortalitas telah sama-sama mengalami penurunan. Rasio ketergantungan pemuda di Indonesia dibandingkan dengan di negara berkembang dan di negara maju. Bahwa di Indonesia penduduk usia kerja adalah mereka yang berumur 15 tahun sampai 64 tahun, meskipun kenyataannya banyak penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun telah bekerja. Bahwa ada tiga aspek yang perlu diperhatikan sebelum kita dapat mengatakan seseorang di negara sedang berkembang itu sebagai bekerja (aspek penghasilan, aspek produksi, dan aspek pengakuan). Bahwa cara yang dipakai di Indonesia untuk menghitung jumlah penganggur terbuka adalah melalui survei dengan menanyakan apakah seseorang selama seminggu sebelum Minggu survei bekerja setidak-tidaknya satu jam sehari untuk memperoleh penghasilan keluarga? Bahwa bagi masyarakat banyak menganggur (terbuka) itu adalah barang mewah dan tidak banyak yang mampu untuk menganggur secara terbuka. Bahwa penduduk yang setengah menganggur atau setengah kerja berbeda dengan penganggur tersembunyi. Bahwa pada dasarnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan kesejahteraan ekonomi dan kurang meratanya fasilitas pembangunan antar satu negara/daerah.

95

Bahwa migrasi dipengaruhi oleh daya dorong (push factors) satu wilayah dan daya tarik (pull factors) wilayah lainnya. Bahwa migrasi dikelompokkan berdasarkan dua dimensi penting, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Bahwa dengan mengingat berbagai keberhasilan dan kekurangannya, orientasi transmigrasi harus diubah dari program pemindahan penduduk untuk menunjang pembangunan menjadi pengembangan wilayah di daerah transmigrasi yang berdampak pada kebutuhan akan mobilitas penduduk secara spontan (bukan karena program pemerintah). Masalah Penduduk

4.1

Masalah penduduk bukan hanya masalah tingkat pertumbuhan yang akhirnya bermuara pada jumlah penduduk keseluruhan, melainkan lebih dari itu, yakni juga menyangkut kepentingan pembangunan serta kesejahteraannya. Pertambahan penduduk Indonesia yang sekarang ini sekitar 1,2 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 2,5 sampai 3 juta orang per tahun menimbulkan aneka masalah yang serius bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Masalah yang mungkin muncul adalah perbaikan tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan umum seperti misalnya peningkatan kepercayaan diri, rasa hormat, harga diri, dan kebebasan untuk memilih. Peningkatan kesejahteraan umum di sini dimaksudkan kalau kita mengingat tujuan dari pada pembangunan ekonomi secara utuh, di mana menyangkut juga harga diri dan kebebasan untuk memilih. Namun kita hanya memperhatikan masalah yang paling mendasar saja, antara lain : 1. Mampukah Indonesia mengatasi masalah kependudukan mengingat jumlah dan penyebaran penduduk yang ada sekarang ini? Lalu sampai seberapa jauhkan pertambahan penduduk yang telah terjadi. 2. Apakah yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk peningkatan angkatan kerja yang terjadi di masa mendatang? Apakah akan tersedia cukup banyak kesempatan kerja untuk mereka atau apakah pemerintah hanya berusaha menjaga agar tingkat pengangguran tidak meningkat, atau membiarkannya begitu saja? 3. Apa sajakah implikasi dari jumlah penduduk yang besar dan distribusinya yang tidak merata ini terhadap peluang mereka untuk meringankan penderitaan hidupnya? Apakah program transmigrasi dapat memecahkan sebagian dari masalah kependudukan? 4.2 Struktur Penduduk Indonesia

Distribusi penduduk Indonesia sangat tidak merata, baik menurut wilayah geografis, laju pertumbuhan penduduk (tingkat fertilitas dan mortalitas), maupun menurut struktur usia.

96

Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan persebaran penduduk secara geografis sejak dahulu hingga sekarang adalah persebaran atau distribusi penduduk yang tidak merata antara Jawa dan luar Jawa. Penyebab utamanya adalah keadaan tanah dan lingkungan yang kurang mendukung bagi kehidupan penduduk secara layak. Ditambah lagi, dengan kebijakan pembangunan di era Orde Baru yang terpusat di pulau Jawa, yang menyebabkan banyak penduduk yang tinggal di luar pulau Jawa bermigrasi dan menetap di pulau Jawa. Ini menyebabkan kepadatan pulau Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk di pulau-pulau lain. Informasi tentang distribusi penduduk secara geografis dan terpusatnya penduduk di satu tempat memungkinkan pemerintah mengatasi kepadatan penduduk, yang umumnya disertai dengan kemiskinan, dengan pembangunan dan program-program untuk mengurangi beban kepadatan penduduk atau melakukan realokasi pembangunan di luar Jawa atau realokasi penduduk untuk bermukim di tempat lain. 4.2.1 Sebaran per Wilayah Geografis Lebih dari 132 juta orang (atau sekitar 55 persen penduduk Indonesia) pada tahun 2008 yang berjumlah sekitar 240 juta orang bermukim di pulau Jawa + Madura, sedangkan luas wilayah pulau itu sendiri hanyalah 132.186 km2 (atau hanya sekitar 6,7 persen dari luas wilayah Indonesia sekitar 1.919.317 km2 ). Kepadatan penduduk di pulau Jawa dan Madura rata-rata untuk tahun 2008 adalah sekitar 1000 orang per km2. Pulau Sumatera dengan luas wilayah 473.481 km2 mempunyai jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 48,6 juta orang atau kepadatan penduduknya sekitar 100 orang per km2. Pulau Sulawesi, dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 16.703.900 orang dan luas pulau 189.216 km2, mempunyai kepadatan penduduk hanya sekitar 88 orang per km2, sedangkan pulau Kalimantan, dengan jumlah penduduk tahun 2008 sebesar 13 juta orang dan luas pulau 539.460 km2, mempunyai kepadatan penduduk per km2 hanya sekitar 25 orang per km2. Pulau-pulau lainnya mempunyai kepadatan penduduk yang lebih kecil dari pulau Jawa dan Madura, pulau Sumatera, pulau Sulawesi. Papua Barat, misalnya hanya mempunyai kepadatan penduduk sekitar 5 orang per km2. Sebaran penduduk Indonesia pada tahun 2008 pada berbagai pulau disajikan pada Tabel 1 berikut, tabel mana menunjukkan dengan jelas terjadi distribusi penduduk yang sangat timpang antar pulau. Tabel 4.1: Distribusi Geografis Penduduk Indonesia, 2008 Pulau Pulau Sumatera Pulau Jawa + Madura Pulau Bali Kepulauan Nusa Tenggara Pulau Kalimantan Pulau Sulawesi Kepulauan Maluku Pulau Papua Lain-lain Jumlah (000 orang) 48.641,1 132.725,3 3.510,2 8.863,8 13.371,7 16.703,9 2.263,6 2.699,5 11.780,8 Persen 20,22 55,17 1,46 3,68 5,56 6,94 0,94 1,12

97

4,91 240.559,9 Indonesia 100,00 Sumber : BPS/Proyeksi 2000-2025, seperti pada www.depnaker.go.id (diolah)

4.2.2

Tren Tingkat Kelahiran dan Kematian

Secara kuantitatif, tingkat pertambahan penduduk (rate of population increase) dihitung atas dasar persentase kenaikan relatif (atau persentase penurunan, yakni dalam kasus pertambahan penduduk yang negatif) dari jumlah penduduk neto per tahun yang bersumber dari pertambahan alami (natural increase) dan migrasi internasional neto (net international migration). Adapun yang dimaksud dengan pertambahan alami adalah selisih antara jumlah Kelahiran dan Kematian, atau istilah teknisnya, selisih antara tingkat fertilitas dan mortalitas. Sedangkan migrasi internasional neto adalah selisih antara jumlah penduduk yang beremigrasi dan berimigrasi. Dibandingkan dengan pertambahan alami, faktor migrasi internasional neto ini relatif terabaikan (kecil bagi satu negara). Dengan demikian laju pertambahan penduduk hampir sepenuhnya dihitung berdasarkan atas pertambahan alami, yakni selisih antara tingkat Kelahiran dan tingkat Kematian. Data penduduk Dunia menunjukkan bahwa tingkat Kelahiran selalu lebih tinggi daripada tingkat Kematian, sehingga di negara mana pun di Dunia ini terjadi pertumbuhan penduduk; hanya saja pertumbuhan penduduk di negara sedang berkembang lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk di negara maju. Kedua besaran demografi ini mempunyai kecenderungan untuk menurun dan, sekali lagi, data penduduk dunia menunjukkan bahwa penurunan tingkat Kematian terjadi lebih dahulu, kemudian baru diikuti oleh penurunan tingkat Kelahiran. Untuk Indonesia, data mengenai tingkat Kelahiran dan tingkat Kematian dapat ditemukan pada Sensus Penduduk yang dilaksanakan tiap sepuluh tahun, 1961, 1971, 1981 dan seterusnya. Dewasa ini, baik tingkat Kelahiran maupun tingkat Kematian telah sama-sama mengalami penurunan (tidak lagi penurunan tingkat Kematian lebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh penurunan tingkat Kematian). Sekitar tahun 1960an, tingkat mortalitas terutama untuk bayi dan anak masih tinggi di Indonesia. Sebagian besar dari Kematian tersebut disebabkan oleh faktor-faktor sederhana. Dapat dikatakan bahwa tingkat mortalitas turun sebesar 50 persen dalam satu dekade. Indonesia telah mencapai kemajuan yang pesat dalam mengontrol apa yang dinamakan oleh Florence Nightingale sebagai massacre of Innocents, sehingga tingkat mortalitas mungkin bisa mencapai tingkat mortalitas di negara-negara maju. Turunnya tingkat mortalitas ini terutama sumbangan dari turunnya tingkat Kematian bayi sebelum mereka berumur dua tahun. Tingkat mortalitas ini telah mulai menurun sebelum adanya Program Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1972. Di samping mortalitas bayi dan anak, pola umum dari mortalitas dewasa menunjukkan adanya kemungkinan Kematian yang lebih tinggi pada usia muda dan tua, serta tingkat Kematian yang rendah pada usia 20-45 tahun. Menurut Widjojo Nitisastro (1970:126, seperti pada Booth dan McCawley, 1999:343), bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sebelum 1940 adalah sekitar 1

98

persen per tahun, kemudian untuk dekade 1940-1950 dan dalam dekade 1950-1960 pertumbuhan ini terus mengalami perubahan menjadi masing-masing sekitar 1,5 persen per tahun dan 1 persen per tahun. Kemudian pada dekade 1960an dan 1970an tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat menjadi sekitar 2,1 persen per tahun untuk ke dua dekade tersebut. Kenaikan ini mungkin disebabkan oleh adanya penurunan pada tingkat Kematian, karena adanya perbaikan kesehatan dan gizi penduduk setelah kemerdekaan dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya; sedangkan tingkat Kelahiran masih kurang lebih tetap, belum mengikuti turunnya tingkat Kematian. Sekitar tahun 1970an, laju pertambahan jumlah penduduk Indonesia telah mengalami penurunan menjadi sekitar 2 persen, dan terus mengalami penurunan setelah program Keluarga Berencana sampai sekitar tahun 2010 mengalami pertumbuhan hanya 1,1 persen per tahun. Selanjutnya hasil proyeksi menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata per tahun antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun dari 1,34 persen menjadi 0,92 persen per tahun. Jumlah penduduk di setiap pulau (seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1) sangat beragam dan bertambah dengan laju pertumbuhan yang sangat beragam pula. Sebagai contoh laju pertumbuhan penduduk untuk periode 2010 -2015 di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (0,26% per tahun, terkecil), Sumatera Utara (1,05 %), Sumatera Barat (0,69 %), Sumatera Selatan (1,42 %), Riau (3,76 %, terbesar), Jawa Barat (1,60%), Jawa Tengah (0,26%), Jawa Timur (0,31 %), Bali (1,07%), Kalimantan Barat (1,51 %), Kalimantan (2,37 %), Gorontalo (0,67 %), dan Papua (2,04 %). Sudah tentu variasi pada tingkat pertumbuhan penduduk per tahun antar provinsi tersebut disebabkan oleh variasi pada tingkat fertilitas dan mortalitas di masing-masing provinsi. Penyebab utama Kematian bayi dan anak adalah penyakit menular (termasuk muntah berdarah), pneumonia, dan penyakit masa kanak-kanak seperti kekurangan gizi. Di samping itu, seorang anak yang menderita salah satu penyakit itu, sangat mudah menularkan penyakit yang dideritanya kepada anak lain. Gizi yang lebih baik dan lingkungan yang lebih sehat sangat diperlukan untuk mengurangi penyebab Kematian bayi dan anak. Sebab-sebab Kematian dapat dikurangi dengan cara melaksanakan beberapa program yang tidak terlalu mahal, terutama untuk mengatasi terjadinya penyakit perut (muntah berdarah), kekurangan gizi ibu dan anak, serta penyakit-penyakit yang tidak terlalu parah. Sebab-sebab Kematian dewasa yang paling menonjol adalah Tuberkulosis, Pneumonia, Penyakit perut menular, Penyakit perut karena parasit, Penyakit jantung, Komplikasi sejak lahir, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain. Barangkali beralasan kalau kita katakan bahwa dengan kemajuan ilmu kedokteran, Indonesia akan terus mengalami penurunan tingkat mortalitas, dengan penurunan tingkat mortalitas bayi dan anak lebih cepat dari pada penurunan tingkat mortalitas dewasa. Tidak perlu diragukan lagi bahwa program Keluarga Berencana (penggunaan alatalat kontrasepsi) memegang peranan yang sangat penting dalam penurunan tingkat fertilitas. Hal ini jelas, karena kelahiran dapat dicegah. Selain itu telah terjadi perubahan pola-pola perkawinan, yakni meningkatnya usia kawin pertama, bertambahnya jumlah wanita yang tidak kawin, yang diimbangi dengan menurunnya jumlah perceraian. Di seluruh Indonesia, para calon pengantin mulai tidak menganut cara-cara tradisional dalam memilih jodoh, dan mereka memilih sendiri teman hidupnya. Pasangan-pasangan muda sangat sulit dalam mempersiapkan rumah tangga mereka karena adanya kesulitan mencari

99

pekerjaan di samping mempunyai cita-cita tinggi, dan memenuhi tuntutan yang terus menerus dari anak mereka dirasakan sebagai tekanan pembiayaan di dalam upaya menjadikan mereka seorang pemuda modern. Bahkan di antara golongan miskin di mana tuntutan anak-anak mereka lebih sederhana, juga mengeluh karena anak-anaknya selalu menyusahkan orang tua. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk membatasi jumlah anak dan memperpanjang jarak kelahiran yang mengakibatkan turunnya tingkat fertilitas. Diperkirakan bahwa tingkat fertilitas di Indonesia telah mengalami penurunan dari 5,5 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 2,7 persen pada tahun 2000. 4.2.3 Struktur Usia dan Beban Ketergantungan Informasi tentang jumlah penduduk untuk kelompok usia tertentu penting diketahui agar pembangunan dapat diarahkan sesuai kebutuhan penduduk sebagai pelaku pembangunan. Keterangan atau informasi tentang penduduk menurut umur yang terbagi dalam kelompok umur lima tahunan, sangat penting dan dibutuhkan berkaitan dengan pengembangan kebijakan penduduk terutama berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Jumlah penduduk yang besar dapat dipandang sebagai beban sekaligus juga modal dalam pembangunan. Dengan mengetahui jumlah dan persentase penduduk di tiap kelompok umur, dapat diketahui berapa besar penduduk yang berpotensi sebagai beban. Juga dapat dilihat berapa persentase penduduk yang berpotensi sebagai modal dalam pembangunan yaitu penduduk usia produktif. Selain itu, dalam pembangunan berwawasan gender, penting juga mengetahui informasi tentang berapa jumlah penduduk perempuan terutama yang termasuk dalam kelompok usia reproduksi (usia 15-49 tahun), partisipasi penduduk perempuan menurut umur dalam pendidikan, dalam pekerjaan dll. Hampir 40 persen penduduk di negara-negara berkembang terdiri dari anak-anak berusia di bawah 15 tahun, sedangkan di negara-negara maju jumlah generasi mudanya hanya sekitar 20 persen dari jumlah total penduduknya. Sebagai contoh, sebanyak 46 persen penduduk Nigeria dan 48 persen untuk Ethiopia berusia di bawah 15 tahun pada tahun 1997 (Todaro dan Smith 2003:299). Di negara-negara yang mempunyai struktur usia penduduknya seperti itu, rasio ketergantungan pemuda (youth dependency ratio) yakni perbandingan antara pemuda berusia di bawah 15 tahun yang tentunya belum memiliki pendapatan sendiri, dengan orang-orang dewasa yang aktif atau produktif secara ekonomis berusia 15 tahun hingga 64 tahun sangat tinggi. Hal ini berarti angkatan kerja di negara-negara berkembang harus menanggung beban hidup anak-anak mereka yang besarnya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan angkatan kerja di negara-negara kaya. Sebagai contoh, di Swedia dan Inggris, jumlah kelompok usia kerjanya (15-64 tahun) hampir mencapai 65 persen dari total penduduk. Penduduk usia kerja ini hanya berkewajiban menanggung beban hidup anak-anak yang jumlahnya 18 persen dan 19 persen saja dari total penduduknya di masing-masing negara itu. Bagaimana struktur usia penduduk di Indonesia? Tabel 4.2 di bawah menunjukkan bahwa jumlah anak-anak berumur di bawah 15 tahun mencapai hampir 26 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008. Keadaannya lebih baik dari pada di negaranegara berkembang seperti di Nigeria dan Ethiopia.

100

Tabel 4.2: Penduduk Indonesia menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin, 2008 (dalam 000 orang) Golongan Umur 0-4 5-9 10-14 Laki-laki Perempuan J u m l a h

10490,1 10259,6 20749,7 10229,4 10210,9 20440,3 10458,0 10063,3 20521,3 31177,5 30533,8 61711,3 Jumlah penduduk berumur di bawah 15 (27,68%) (23,87) (25,65%) 5-19 10904,5 9855,9 20760,4 20-24 10598,4 10105,8 20704,2 25-29 10175,2 10529,7 20704,9 30-34 9341,5 10291,1 19632,6 35-39 8702,1 10349,7 19051,8 40-44 7897,4 9812,9 17710,3 45-49 6874,0 8832,7 15706,7 50-54 5651,9 7655,5 13307,4 55-59 4236,2 6422,7 10658,9 60-64 3032,4 4875,7 7908,1 77413,6 88731,7 166144,0 Jumlah penduduk usia kerja (15-64) (68,73%) (69,36%) (69,07%) 65+ 5316,7 8667,3 1398,4 JUMLAH 112627,1 127932,8 240559,9 Sumber: BPS/Proyeksi 2000-2025 seperti pada www.depnaker.go.id Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia kerja di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 69,07 persen, satu keadaan yang kelihatannya lebih baik dari keadaan di negara maju, Swedia dan Inggris seperti digambarkan di atas. Namun di antara penduduk usia kerja masih termasuk ibu rumah tangga dan mereka yang terdaftar sedang dalam pendidikan, di samping banyak yang menganggur, baik menganggur terbuka maupun setengah menganggur). Barangkali yang lebih cocok dipakai adalah jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada tahun 2008 (lihat Tabel 4.4 di bawah), yang angkanya adalah 102,55 juta atau sekitar 42,63 persen dari jumlah penduduk. Mereka ini menanggung sekitar 25,65 persen dari penduduk yang merupakan anak-anak. Kalau demikian halnya, rasio ketergantungan pemuda masih lebih jelek dibandingkan dengan negara maju, namun lebih baik daripada negara berkembang pada umumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin cepat laju pertambahan penduduk, akan semakin besar pula proporsi penduduk berusia muda yang belum produktif dalam total populasi, dan semakin berat pula beban tanggungan penduduk yang produktif. Fenomena ketergantungan penduduk berusia muda ini selanjutnya menimbulkan lain, yakni konsep penduduk tua dan penduduk muda, dan yang tidak kalah pentingnya, yakni apa yang 101

disebut sebagai momentum pertumbuhan penduduk yang tersembunyi (hidden momentum of population growth). 4.2.4 Penduduk Muda dan Penduduk Tua Klasifikasi penduduk menurut umur dapat digunakan untuk mengetahui apakah penduduk di satu negara termasuk berstruktur umur muda atau tua. Penduduk satu negara dianggap penduduk muda apabila penduduk usia di bawah 15 tahun mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari jumlah seluruh penduduk. Dengan melihat Tabel 4.2 di atas Indonesia tidak dapat dikatakan merupakan pola penduduk muda karena jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun hanya 25,65 persen. Sebaliknya penduduk disebut penduduk tua apabila jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas di atas 10 persen dari total penduduk. Dalam hal Indonesia, jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih hanyalah 1398,4 juta orang atau hanya sekitar setengah persen dari jumlah penduduk. Artinya Indonesia juga tidak dapat dikatakan mempunyai struktur penduduk tua. Satu bangsa yang mempunyai karakteristik penduduk muda akan mempunyai beban besar dalam investasi sosial untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar bagi anak-anak di bawah 15 tahun ini. Dalam hal ini pemerintah harus membangun sarana dan prasarana pelayanan dasar mulai dari perawatan ibu hamil dan kelahiran bayi, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, sarana untuk tumbuh kembang anak termasuk penyediaan imunisasi, penyediaan pendidikan anak usia dini, sekolah dasar termasuk guru-guru dan sarana sekolah yang lain. 4.2.5 Momentum Pertumbuhan Penduduk yang Tersembunyi Agaknya salah satu aspek pertumbuhan penduduk yang sulit dipahami adalah kecenderungannya untuk terus menerus mengalami peningkatan yang tidak terhentikan sekali pun tingkat kelahiran telah mengalami penurunan secara drastis. Pertambahan penduduk mempunyai kecenderungan inheren untuk terus melaju; seolah-olah laju pertumbuhan penduduk tersebut mempunyai satu daya tarik internal yang kuat dan tersembunyi seperti pada mobil yang masih bisa berjalan terus meskipun rem diinjak maksimum, sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Dalam kasus pertumbuhan penduduk, daya gerak tersebut agaknya akan dapat berlangsung terus sampai beberapa dekade kemudian setelah angka kelahiran mengalami penurunan yang cukup berarti. Ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi keberadaan daya gerak tersembunyi itu. Yang pertama, tingkat kelahiran itu sendiri tidak mungkin diturunkan hanya dalam satu malam saja. Kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan institusional yang mempengaruhi tingkat fertilitas yang telah ada dan bertahan selama berabad-abad tidak mudah hilang begitu saja hanya karena himbauan-himbauan dari para pemimpin nasional. Pengalaman menunjukkan bahwa penurunan tingkat Kelahiran secara berarti memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun. Itulah sebabnya, meskipun Indonesia menetapkan upayaupaya untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk sebagai prioritas utama, kita tidak akan memperoleh hasil-hasilnya segera. Selain usaha yang gigih dan berkesinambungan, untuk menurunkan fertilitas sampai pada tingkat yang diinginkan, prosesnya sendiri memang memerlukan waktu yang cukup lama.

102

Sedangkan alasan yang ke dua atas adanya momentum yang tersembunyi tersebut erat kaitannya dengan struktur usia penduduk Indonesia. Di negara yang mempunyai tingkat kelahiran tinggi, proporsi jumlah anak-anak dan remaja acap kali mencapai 50 persen dari jumlah penduduk. Dalam populasi yang tingkat fertilitasnya tinggi, jumlah anak-anak muda lebih banyak dibandingkan dengan jumlah orang tua mereka, dan apabila anak-anak ini nantinya menjadi dewasa maka jumlah orang tua yang potensial dengan sendirinya akan melebihi jumlah yang ada pada saat ini. Walaupun pasangan baru ini mempunyai lebih sedikit anak (katakanlah hanya dua orang dibandingkan dengan orang tua mereka yang rata-rata mempunyai, misalnya, empat orang), tetapi jumlah seluruh pasangan baru yang mempunyai dua anak tersebut jauh melebihi jumlah pasangan lama yang mempunyai empat anak sehingga pada akhirnya jumlah penduduk tetap tinggi sebelum menurun beberapa saat kemudian. 4.3 Penduduk Usia Kerja dan Pengangguran

Kalau kita kembali ke distribusi penduduk berdasarkan umur yang telah dibicarakan di depan, maka penduduk yang mempunyai usia 15 tahun sampai dengan 64 tahun biasanya disebut sebagai penduduk usia kerja atau sering juga disebut sebagai penduduk yang aktif secara ekonomi. Konsep yang terakhir ini adalah konsep Barat (konsep negara industri), yang membedakan kegiatan ekonomi dari kegiatan-kegiatan lain. Bahkan di Barat pun, pemisahan antara, katakanlah, seorang ibu rumah tangga dari seorang pelayan di restoran semata-mata dilandaskan pada konvensi statistik sebagai satu penalaran belaka. Dalam lingkungan petani, atau di satu negara yang bersifat agraris, pada hakikatnya setiap orang aktif secara ekonomis. Rumah tangga adalah unit produksi, dan waktu yang lama yang digunakan oleh seorang ibu rumah tangga untuk memasak, mengambil air dari sumur atau kali, dan membuang sisa-sisa makanan untuk itik atau ayam, dan demikian juga dengan pekerjaan seorang anak menjaga adik-adiknya yang masih kecil, mengusir burung-burung dari tanaman yang sudah tua, adalah bagian dari usaha produktif rumah tangga, walaupun pekerjaan suami di belakang bajaknya secara langsung kelihatan lebih produktif. Lagi pula, bukan hanya dalam usaha tani, tetapi juga dalam usaha kedai keluarga, kedai dan industri-industri kerajinan tangan, semua anggota keluarga kecuali yang masih sangat kecil biasanya terlibat dalam kegiatan usaha setidak-tidaknya sebagian dari waktunya, dengan dasar musim atau tidak tetap. Oleh karena alasan ini, banyak penulis mempertanyakan relevansi konsep penduduk usia kerja dan angkatan kerja bagi masyarakat yang bukan industri (agraris). Namun demikian, konsep Barat juga dibicarakan di bawah ini. 4.3.1 Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja

Penduduk usia kerja adalah semua penduduk, laki - perempuan, yang siap untuk memasuki angkatan kerja, yakni semua orang yang telah melewati wajib belajar yang ditentukan oleh negara dan belum mencapai umur pensiun. Wajib belajar biasanya berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Indonesia, sebagai contoh, menentukan wajib belajar 9 tahun. Karena seorang anak baru diperkenankan memasuki pendidikan dasar pada umur 6 tahun, maka seseorang yang telah berumur 6 tahun ditambah 9 tahun = 15 tahun dianggap siap memasuki angkatan kerja. Di negara yang mempunyai wajib belajar yang lain, katakanlah di Australia, di mana wajib belajar adalah 11 tahun, maka seseorang baru siap untuk memasuki angkatan kerja pada saat berumur 17 tahun. Demikian juga 103

umur pensiun, sebagai batas dari usia kerja. Di Indonesia, ada jabatan yang mengharuskan seseorang pensiun pada usia 56 tahun, ada juga pada usia 60 tahun, 65 tahun. Namun secara rata-rata dipakai usia 65 tahun sebagai batas usia kerja. Jadi di Indonesia penduduk usia kerja adalah mereka yang berumur 15 tahun sampai 64 tahun, meskipun kenyataannya banyak penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun telah bekerja. Tingkat kegiatan kasar (crude activity rate) diartikan sebagai persentase jumlah penduduk yang secara ekonomi aktif dan hal ini tergantung pada dua aspek: struktur umur - jenis kelamin penduduk, dan persentase yang bekerja pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Perlu dimaklumi bahwa dalam konsep Barat tidak semua orang pada usia kerja itu termasuk angkatan kerja. Mereka yang berumur usia kerja tetapi terdaftar sebagai siswa/mahasiswa penuh waktu dan semua ibu rumah tangga tidak masuk pada angkatan kerja; mereka dianggap bukan angkatan kerja. Jumlah penduduk usia kerja (umur 15 tahun umur 65 tahun) di Indonesia untuk 2004 2008 adalah seperti Tabel 4.3 berikut. Angka untuk tahun 2004 adalah angka untuk pertengahan tahun (1 Juli 2004), sedangkan untuk tahun lainnya sesuai dengan bulan yang tercantum untuk tahun yang bersangkutan. Perlu dimaklumi bahwa jumlah usia kerja dan angkatan kerja tidaklah konstan selama satu tahun, namun angka-angka dalam tabel di bawah ini dianggap mewakili periode satu tahun. Tabel 4.3: Jumlah Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja (juta orang) Jenis Kegiatan 2004 November 2005 158,49 105,86 66,79% Agustus 2006 160,81 106,39 66,16% Agustus 2007 164,12 109,94 66,99% Agustus 2008 166,64 111,95 67,18%

Penduduk usia kerja Angkatan kerja

153,92 103,97 67,55%

Sumber: Sakernas 2004-2008, BPS, seperti pada www.depnaker.go.id Dari Tabel 4.3 di atas jelaslah bahwa hanya sekitar dua pertiga dari mereka yang berumur 15-65 tahun memasuki angkatan kerja. Sisanya, sepertiga, adalah mereka yang termasuk usia kerja namun ibu rumah tangga dan mereka yang masih terdaftar di sekolah dan perguruan tinggi; mereka dianggap tidak akan mencari kerja. 4.3.2 Konsep Bekerja dan Menganggur

Tidak semua angkatan kerja itu mendapatkan kerja. Sebagian dari mereka mendapatkan kerja dan sebagian lagi tidak. Yang mendapatkan kerja, biasanya sebagai pekerja untuk orang lain, meskipun di negara industri sekali pun, masih banyak orang yang bekerja untuk diri sendiri (self employed). Dalam konsep Barat, siapa yang dimasukkan sebagai bekerja itu sudah jelas. Mereka pada umumnya bekerja dengan upah atau dipekerjakan oleh orang lain dan memakan waktu yang kurang lebih penuh waktu dalam seminggu.

104

Konsep yang demikian ini sangat cocok dan memang diciptakan untuk masyarakat industri. Berbeda halnya dengan masyarakat agraris yang berlaku pada kebanyakan negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. The Internasional Labor Office (ILO) memberikan tiga aspek untuk diperhatikan sebelum kita dapat mengatakan bahwa seseorang di negara sedang berkembang itu sebagai bekerja. Ketiga aspek tersebut adalah: 1. Aspek penghasilan, pekerjaan memberikan penghasilan kepada yang bekerja. 2. Aspek produksi, pekerjaan memberikan output (produksi), dan 3. Aspek pengakuan (recognition), pekerjaan memberikan pengakuan kepada seseorang bahwa dia terikat dengan sesuatu yang layak bagi hidupnya. Walaupun urutan aspek pekerjaan di atas sesuai dengan tingkat keruwetannya, perhatikanlah aspek pengakuan terlebih dahulu. Pekerjaan bisa jadi sebagai satu faktor harga diri. Namun hal ini sudah dengan sendirinya tergantung daripada pandangan orang yang bersangkutan. Bagi mereka yang termasuk kelas orang santai dan dari keluarga kaya, kenyataan bahwa mereka tidak bekerja untuk kepentingan penghasilan keluarga mungkin merupakan satu kebanggaan. Tetapi bagi orang-orang yang harus bekerja untuk mempertahankan hidup, kekurangan kesempatan kerja tidak hanya berarti kehilangan kemungkinan memperoleh penghasilan, tetapi mungkin juga sebagai sumber rasa malu. Demikian juga halnya dengan seseorang yang terpaksa mengambil pekerjaan yang menurut pendapatnya tidak sesuai dengan cita-citanya, atau tidak sesuai dengan pendidikannya, mereka ini mungkin terus menganggap dirinya menganggur. Phenomena seseorang yang sesungguhnya telah mempunyai kerja namun mereka menganggap dirinya menganggur merupakan hal yang umum dijumpai di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, baik di sektor pertanian, maupun di sektor formal itu sendiri. Jadi dalam menilai apakah seseorang itu bekerja atau menganggur, jelaslah pandangan orang yang bersangkutan perlu mendapat pertimbangan, dan masalah seseorang itu disebut bekerja tidak hanya bahwa dia itu mengerjakan sesuatu tetapi juga harus memenuhi satu pengharapan minimal tertentu bagi pencari kerja itu sendiri. Ini adalah masalah praktis, di mana seseorang mengatakan bahwa dirinya menganggur kalau dia tidak mempunyai pekerjaan tetap dengan penghasilan yang tetap dan memberikan kepastian di masa depan. Dalam keadaan yang demikian ini, data yang diperoleh oleh kantor statistik mengenai jumlah penganggur terbuka mungkin terlalu tinggi dibandingkan dengan angka sebenarnya. Masalahnya adalah apakah seseorang tanpa pekerjaan tetap merupakan cara yang terbaik untuk menghitung seseorang itu menganggur terbuka. Aspek pengakuan dari pekerja itu sendiri dapat mempengaruhi pilihan seseorang terhadap pekerjaan, kalau pilihan tersebut terbuka baginya. Sebagai contoh, seorang yang lebih menyukai bekerja mandiri dibandingkan bekerja untuk orang lain sedikit banyak berkaitan dengan aspek pengakuan ini dalam arti status dan tidak suka akan diperintah oleh orang lain. Aspek khusus dalam hal ini adalah posisi wanita. Di masa lalu, mereka pada umumnya enggan menerima pekerjaan di luar rumah, sedangkan di lain pihak, pekerjaan wanita di dalam rumah biasanya tidak dianggap sebagai bekerja, dan cerita seorang laki-

105

laki yang mengawini tukang masaknya (pembantunya), akan berakibat menurunkan jumlah penghasilan nasional dan jumlah angkatan kerja. Aspek produksi. Perhatikanlah nasihat lama yang mengatakan bahwa jangan perhatikan buah/hasil dari perbuatan anda. Buah itu akan mengikut dan datang sendiri. Namun pasti tidak demikian halnya bagi pekerja upahan, sebab kalau mereka tidak memikirkan hasilnya mereka pasti dipecat oleh majikannya. Pekerjaan biasanya dinilai dari hasil karyanya. Demikian juga pada umumnya tindakan ekonom, menilai pekerjaan dari hasilnya, tidak hanya untuk pekerja upahan tetapi juga bagi mereka yang bekerja untuk diri sendiri (self employed). Kasus yang sangat jelas untuk hal yang terakhir adalah dalam teori penganggur tersembunyi = disguised unemployment). Pembicaraan terpusat pada jumlah penduduk yang dapat dipindahkan dari sektor pertanian tradisional tanpa mempengaruhi tingkat produksi di sektor pertanian tersebut. Perhatikan contoh berikut ini, di mana satu keluarga petani dengan empat pekerja (suami, istri, dan dua pekerja) mempunyai sebidang tanah yang cukup luas untuk dikerjakan secara penuh waktu oleh dua orang pekerja saja. Masing-masing dari keempat pekerja tersebut cukup bekerja paruh waktu (atau bekerja dengan intensitas tidak penuh), dan apabila seorang dari mereka pergi ke kota, misalnya, yang lainnya bekerja dengan lebih giat, sehingga jumlah jam kerja dan produksinya tetap tidak berubah. Sebelum pekerja dimaksud meninggalkan tanah pertanian untuk pergi ke kota, apakah dia itu bekerja atau menganggur? Sudah pasti dia bekerja dan menerima hasilnya, dan dipandang sebagai berada dalam usaha keluarga. Jelaslah bahwa dia itu bukanlah menganggur sepenuhnya, tetapi dia dianggap sebagai kasus penganggur tersembunyi dalam arti produksi keluarga tidak dipengaruhi dengan kepergiannya. Ini adalah sudut pandang aspek produksi dari pekerjaan dalam arti dari sudut produksi keluarga. Aspek penghasilan. Ketika seorang buruh menjual jasa tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah, dia akan menerima pekerjaan itu untuk satu penghasilan tertentu, dan penghasilan ini sering merupakan pertimbangan utamanya. Apa yang perlu diperhatikan oleh majikan dalam hal perusahaan yang berorientasi keuntungan adalah tingkat upah yang harus dibayarnya dibandingkan dengan harapan majikan akan hasil yang diperoleh dari menyewa buruh tersebut, tetapi dari sudut pekerja itu sendiri pertimbangannya hanyalah besarnya upah yang diperolehnya. Aspek penghasilan dari satu pekerjaan adalah menyangkut penghasilan yang diterima oleh seseorang dengan catatan ia itu bekerja. Jika seseorang mendapat sebagian dari satu penghasilan gabungan keluarga, terlepas apakah dia bekerja atau tidak, maka bagian tersebut sudah pasti tidak termasuk dalam aspek penghasilan dari satu pekerjaan. Jadi titik sentral dari aspek penghasilan dalam pekerjaan adalah syarat bahwa seorang mendapatkan penghasilan tersebut karena bekerja, dan bukanlah pada masalah berapa besar penghasilan tersebut. Dalam hal bekerja untuk diri sendiri (self employed), aspek penghasilan tidak mudah dipisahkan dari aspek produksi. Satu penghasilan keluarga tani berasal dari produksinya, sehingga naik turunnya produksi akan diikuti oleh naik turunnya penghasilan mereka. Hal ini benar untuk keluarga, tetapi bagaimana untuk individu? Dalam kasus di atas, satu usaha tani dengan 4 orang (pekerja), pekerja yang keempat yang meninggalkan usaha tani tersebut dan pergi ke kota dianggap sebagai penganggur (tersembunyi), karena

106

kepergiannya meninggalkan usaha tani tersebut tidak menurunkan jumlah produksi usaha tani tersebut. Namun pekerja yang ke empat tersebut, rasanya tidak mungkin tidak mau membagi kerja dengan yang lainnya, dan dia mendapat sebagian dari hasil usaha tani tersebut. Dengan kata lain, bagian penghasilannya adalah imbalan dari kerjanya, sehingga dari aspek penghasilan dia dimasukkan sebagai pekerja. Kesimpulannya adalah bahwa ditinjau dari aspek produksi dia adalah penganggur (terbuka), sedangkan ditinjau dari aspek penghasilan dia itu bekerja. Jadi perlu dipahami bahwa tinjauan dari aspek yang berbeda akan memberikan data yang berbeda mengenai jumlah pekerja dan penganggur di pedesaan satu negara, terutama negara sedang berkembang termasuk di pedesaan Indonesia. 4.3.3 Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Penganggur Terbuka Di atas telah dijelaskan bahwa dalam konsep Barat, siapa yang dimasukkan sebagai bekerja itu sudah jelas. Mereka pada umumnya bekerja dengan upah atau dipekerjakan oleh orang lain dan memakan waktu yang kurang lebih penuh waktu dalam seminggu. Demikian juga halnya siapa yang dianggap menganggur terbuka. Di negara maju yang dianggap penganggur terbuka adalah mereka yang sedang mencari kerja, mereka secara aktif mencari pekerjaan. Untuk menunjukkan bahwa mereka secara aktif mencari kerja mereka mendaftarkan diri di kantor tenaga kerja (employment office). Dalam mendaftarkan dirinya di kantor tenaga kerja mereka harus menerangkan, antara lain, data pribadi, pendidikan dan jenis pekerjaan yang diinginkannya. Di samping itu mereka juga harus aktif melamar kerja dengan menunjukkan surat lamaran kerja yang telah dibuatnya setiap minggu. Mereka yang mendaftar ke kantor tenaga kerja dibayar biaya hidup yang disebut dole, yang jumlahnya lebih kecil daripada upah kalau ia bekerja. Kalau kantor tenaga kerja mengetahui ada lowongan kerja yang sesuai, maka mereka dipanggil dan diwawancarai apakah dia cocok dengan lowongan yang tersedia. Kalau dianggap cocok, maka dia dipekerjakan, namanya dihapus dari daftar pencari kerja dan dolenya distop. Jumlah mereka yang terdaftar di kantor tenaga kerja pada satu hari tertentu dianggap jumlah penganggur terbuka, dan kalau dibagi dengan jumlah angkatan kerja, maka diperoleh persentase penganggur terbuka pada hari tersebut. Sudah tentu jumlah ini berubah dari hari ke hari, namun angka pada satu hari tertentu dianggap mewakili jumlah/persentase penganggur terbuka untuk tahun bersangkutan. Dalam keadaan normal angka yang diperoleh sekitar 5-6 persen; dalam keadaan krisis ekonomi seperti sekarang ini persentase pengangguran terbuka (Agustus 2009), sebagai contoh di Amerika Serikat mencapai 11 persen (dari VoA). Di Indonesia juga ada departemen tenaga kerja yang mempunyai kantor penempatan tenaga kerja di setiap provinsi dan kabupaten. Para pencari kerja (departemen pemerintah dan pengusaha) harus melaporkan ke kantor ini kalau yang bersangkutan mempunyai lowongan pekerjaan. Para pencari kerja, di lain pihak, juga harus mendaftarkan diri di kantor tersebut ketika melamar/mencari pekerjaan. Logikanya, cara menghitung jumlah penganggur terbuka seperti halnya di negara Barat dapat diterapkan, hanya dengan menghitung jumlah pendaftar pencari kerja yang belum ditempatkan dibagi dengan jumlah angkatan kerja.

107

Namun cara menghitung penganggur terbuka seperti diterapkan di negara Barat dianggap tidak menggambarkan keadaan sebenarnya, dan oleh karenanya tidak dipakai. Ada setidaknya dua alasan untuk hal itu, yakni: 1. Banyak pencari kerja di Indonesia yang enggan mendaftarkan diri dengan alasan bahwa kantor tersebut tidak pernah menempatkan pencari kerja. Apa yang dilakukan oleh pencari kerja adalah mereka baru mendaftar di kantor penempatan tenaga kerja setelah mereka dinyatakan diterima, biasanya di departemen pemerintah, karena kartu pendaftaran di kantor tersebut diperlukan untuk pengangkatan di departemen pemerintah. 2. Banyak pencari kerja yang terdaftar di kantor penempatan tenaga kerja yang tidak menghapus/mencoret namanya meskipun mereka telah bekerja; alasannya adalah pekerjaan yang mereka peroleh belum sesuai dengan keahliannya, sehingga mereka menganggap dirinya masih sebagai pencari kerja. Dengan dua alasan ini kiranya cukup beralasan bagi pemerintah untuk tidak menerapkan begitu saja cara menghitung penganggur terbuka seperti yang diterapkan di negara maju. Anda pasti bisa membayangkan sendiri bagaimana keadaan pendaftaran seandainya pemerintah membayar pencari kerja, seperti halnya di negara maju. Di samping pemerintah akan kekurangan dana, barangkali jumlah pendaftar akan menjadi banyak sekali, mereka yang setengah menganggur pun akan mendaftar demi memperoleh bayaran. Pemerintah Indonesia harus menciptakan sendiri cara menghitung penganggur terbuka yang dianggap lebih menggambarkan keadaan sebenarnya. Cara yang dipilih adalah dengan mengadakan survei (survei angkatan kerja = sakernas) yang dilaksanakan pada waktu tertentu. Salah satu pertanyaan dalam survei tersebut adalah untuk menentukan apakah seseorang itu sedang aktif mencari kerja (penganggur terbuka) atau tidak. Pertanyaannya adalah: Apakah anda selama seminggu sebelum Minggu survei bekerja setidak-tidaknya satu jam sehari untuk memperoleh penghasilan keluarga? Jika tidak apakah anda aktif mencari kerja? Kalau jawaban yang diperolehnya adalah tidak bekerja dan aktif mencari pekerjaan, maka responden dimasukkan sebagai penganggur terbuka, sedangkan apabila jawaban yang diperoleh adalah tidak bekerja dan tidak aktif mencari kerja maka responden dimasukkan ke dalam kelompok penganggur sukarela. Dengan memakai metode survei ini Indonesia telah memperoleh jumlah dan persentase penganggur terbuka untuk 2004-2008 seperti pada Tabel 4.4. Tabel tersebut menunjukkan jumlah angkatan kerja (dalam juta orang) yang diperoleh dari jumlah penduduk usia kerja dikurangi dengan jumlah ibu rumah tangga dan mereka yang terdaftar sebagai siswa/mahasiswa penuh waktu, penganggur terbuka (dalam juta orang dan persentase) yang diperoleh melalui survei tenaga kerja, dan jumlah serta persentase penduduk yang bekerja, yang diperoleh dengan mengurangi jumlah angkatan kerja dengan jumlah penganggur terbuka.

108

Tabel 4.4: Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Penganggur Terbuka Nov. Agust. Agust. Agust. Jenis Kegiatan 2004 2005 2006 2007 2008 Angkatan kerja (juta orang) 103,97 Penduduk bekerja (juta orang) 93,72 (persen) 90,14% Penganggur Terbuka (juta orang) 10.25 (persen) 9,86% 105,86 93,96 88,76%
11,90 11,24%

106,39 95,46 89,73%


10,93 10,27%

109,94 99,93 90,90% 10,01 9,10%

111,95 102,55 91,60% 9,39 8,40%

Sumber: Sakernas 2004-2008, BPS, seperti pada www.depnaker.go.id Penduduk Yang Bekerja. Marilah kita tinjau jumlah penduduk yang bekerja terlebih dahulu sebelum meninjau mereka yang penganggur terbuka hasil survei. Untuk tahun 2008 jumlah penduduk yang bekerja adalah 102,55 juta orang dari 111,95 juta orang atau
sebesar 91,60 persen dari angkatan kerja. Mereka ini bekerja di pedesaan dan di perkotaan berdasarkan jumlah jam kerja per Minggu sebagai tabel berikut:

Tabel 4.5: Penduduk Yang Bekerja di Indonesia menurut Jam Kerja dan Daerah Pedesaan/ Perkotaan, 2008 (orang) Jam Kerja 0*) 1-9 10-14 15-24 25-34 35-44 45-59 60 + Jumlah * Pedesaan 1.706.194 1.992.974 2.919.984 8.405.254 9.598.633 15.665.723 14.886.000 5.802.779 60.977.541 Perkotaan 875.020 795.366 1.010.100 2.682.670 3.239.460 10.216.591 14.424.092 7.829.017 41.072.316 Jumlah 2.581.214 2.788.340 3.930.084 11.087.924 12.838.093 25.882.314 29.310.092 13.631.796 102.049.857*

Jumlah penduduk yang bekerja sebesar 102.049.857 orang tidak sama dengan 102.55 juta orang, karena masalah statistik. Sumber : BPS/Sakernas Februari, 2008 (seperti pada www.depnaker.go.id.). Ternyata sekitar 60 persen dari jumlah penduduk yang bekerja mendapatkan pekerjaan di pedesaan, yakni pekerja sebagai petani, petani kebun, buruh tani, nelayan, dan pekerjaan lain yang tersedia di pedesaan, sedangkan sisanya sekitar 40 persen mendapatkan pekerjaan di perkotaan sebagai pegawai buruh, pemilik toko/perusahaan dan lain-lain. Jumlah penduduk yang bekerja di bawah 15 jam per Minggu hanya sekitar 9 persen dari jumlah seluruh penduduk yang bekerja. Kebanyakan dari mereka bekerja selama 35-44

109

jam per Minggu dan 45-59 jam per Minggu, yakni masing-masing sekitar 25 dan 28 persen. Akhirnya banyak juga, yakni sekitar 13 persen, bekerja lebih dari 60 jam per Minggu. Jenis pekerjaan yang diperoleh oleh penduduk yang bekerja berupa berbagai jenis pekerjaan dari pekerjaan profesional, teknisi dan sejenisnya sampai dengan pekerjaan di bidang produksi, peralatan, operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar seperti tercantum pada Tabel 4.6 berikut. Dari tabel tersebut ternyata bahwa sekitar 60 persen merupakan pekerjaan di pedesaan dan sisanya 40 persen merupakan pekerjaan di perkotaan. Pekerjaan di pedesaan yang paling banyak digeluti oleh penduduk, sebagaimana dapat dibayangkan adalah usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, dan usaha produksi, peralatan, operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar, meskipun pekerjaan semacam itu juga terdapat di perkotaan. Tenaga untuk usaha penjualan terdapat baik di pedesaan maupun di kota, yang secara keseluruhan meliputi sekitar 17 persen dari seluruh penduduk yang mendapatkan kerja (masing-masing sekitar 7 persen untuk pedesaan dan 10 persen untuk perkotaan). Penganggur Terbuka. Survei angkatan kerja pada tahun 2005 dilaksanakan bulan November, sedangkan selanjutnya untuk tahun 2006, 2007 dan 2008 selalu dilaksanakan pada bulan Agustus. Hasil survei mengenai jumlah penganggur terbuka disajikan pada Tabel 4.4 di atas. Dari tabel tersebut ternyata bahwa jumlah penganggur terbuka terus menerus mengalami penurunan dari tahun 2006 sebesar 11,9 juta orang atau 11,24 persen dari angkatan kerja menjadi 9,39 juta orang atau 8,40 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2008. Ini berarti penurunan sekitar 0,7 sampai 0,8 juta orang penganggur terbuka per tahunnya. Tabel 4.6: Penduduk yang Bekerja di Indonesia menurut Jenis Pekerja/Jabatan dan Daerah Pedesaan/Perkotaan, 2008 Pekerjaan/Jabatan Profesional, Teknisi dan yang sejenis Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan Tenaga Tata Usaha dan yang sejenis Tenaga Usaha penjualan Tenaga Usaha jasa Usaha Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Produksi, Peralatan, Operator alat-alat angkutan dan Pekerja Kasar Lain-lain Jumlah Pedesaan 1.669.523 111.052 997.640 7.110.368 1.518.016 37.798.442 11.663.067 109.423 60.977.541 Perkotaan 3.080.176 537.667 3.595.983 10.794.403 4.220.121 4.353.507 14.048.760 441.699 41.072.316 Jumlah 4.749.699 648.719 4.593.623 17.904.771 5.738.137 42.151.949 25.711.827 551.132 102.049.857

Sumber : BPS/Sakernas Februari 2008, seperti pada www.depnaker.go.id

110

Tidak sedikit orang mempertanyakan jumlah penganggur terbuka seperti yang dicantumkan pada Tabel 4.4 di atas. Masalahnya adalah pertanyaan yang mendasarinya, yakni apakah seseorang bekerja selama satu jam per hari selama seminggu sebelum Minggu survei. Sudah tentu data yang diperoleh mungkin dua kali lipat kalau rujukan waktu yang dipakai dua jam per hari atau periode waktu lain. Untuk memahami hal ini lebih dalam, kiranya kita perlu merenungkan secara umum, banyakkah penduduk yang mampu menganggur di satu bangsa, satu wilayah, atau satu desa di mana penghasilan masyarakat masih rendah. Katakanlah sebagai contoh di kawasan kumuh di Jakarta. Masyarakat di sana akan bersedia mengambil pekerjaan apa saja asalkan mereka dapat mempertahankan hidupnya. Bagi mereka penganggur terbuka, menganggur itu adalah barang mewah dan tidak banyak yang mampu menganggur. Hanya anak orang kaya yang mampu menganggur di negara yang penghasilan nasionalnya masih rendah dan distribusinya masih timpang seperti Indonesia. Kalau kita telusuri, siapakah penganggur terbuka ini, ternyata hampir 90 % dari mereka mengatakan sedang mencari kerja, lainnya (1,63 persen) sedang mempersiapkan usaha, 8,56 persen mengatakan tidak mencari kerja, dan 2,26 persen mengatakan sudah mempunyai kerja, tetapi belum mulai kerja seperti yang tersirat pada Tabel 4.7. Sedangkan berdasarkan pendidikannya, kebanyakan mereka berpendidikan sampai SD, SMTP dan SMTA, meskipun ada juga yang berpendidikan akademi/diploma dan universitas, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.8. Namun, yang disebut terakhir ini jumlahnya hanya sekitar 11 persen dari jumlah penganggur terbuka, sekitar 5 persen berpendidikan akademi/diploma dan 6 persen lagi berpendidikan universitas. Sedangkan berdasarkan umurnya, kebanyakan penganggur terbuka ini berumur dari 15 tahun sampai 34 tahun, meskipun ada juga di antara mereka yang berumur 35 tahun atau lebih (lihat Tabel 4.9). Tabel 4.7: Penganggur Terbuka di Indonesia Menurut Golongan Umur dan Kategori, 2008 (orang) Tidak Sudah punya mencari kerjaan tapi Golongan Mencari Mempersipekerjaan belum mulai Umur pekerjaan apkan usaha Jumlah 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60+ Jumlah 1.488.546 2.460.728 1.587.253 938.806 727.252 570.867 318.738 98.617 40.485 23.943 8.255.235 (87,65%) 8.910 24.065 33.498 26.222 12.968 14.037 14.285 6.312 10.028 3.343 153.668 (1,63%) 243.207 219.957 116.850 60.703 39.700 31.868 20.386 30.220 22.371 20.867 806.129 (8,56%) 57.919 58.453 30.041 19.277 12.311 9.992 13.499 3.046 5.174 2.846 212.558 (2,26%) 1.798.582 2.763.203 1.767.642 1.045.008 792.231 626.764 366.908 138.195 78.058 50.999 9.427.590 (100.00%)

Catatan :

111

* Jumlah Penganggur Terbuka pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta orang (8,39 %) dari Angkatan Kerja (BPS, Januari 2009) Sumber : BPS/Sakernas Februari 2008, seperti pada www.depnaker.go.id Tabel 4.8: Penganggur Terbuka di Indonesia Menurut Pendidikan dan Kategori, 2008 (orang) Pendidikan Mencari MempersiTidak Sudah punya pekerjaan apkan usaha mencari kerja tapi Jumlah pekerjaan belum mulai <= SD 2.182.284 40.011 435.705 83.943 2.744.943 SMTP 1.842.674 39.834 228.298 55.813 2.166.619 SMTA 3.133.974 54.295 126.853 54.837 3.369.959 AK/DIP 492.792 8.373 8.154 10.548 519.867 UNIV 603.511 11.155 4.119 7.417 626.202 Jumlah 8.255.235 153.668 806.129 212.558 9.427.590 Sumber: BPS/Sakernas Februari 2008 Seperti pada www.depnaker.go.id.

Tabel 4.9: Penganggur Terbuka di Indonesia Menurut Golongan Umur dan Kategori, 2008 (orang) Tidak Sudah punya mencari kerja tapi Golongan Mencari Mempersipekerjaan belum mulai Jumlah Umur pekerjaan apkan usaha 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60+ Jumlah 1.488.546 2.460.728 1.587.253 938.806 727.252 570.867 318.738 98.617 40.485 23.943 8.255.235 8.910 24.065 33.498 26.222 12.968 14.037 14.285 6.312 10.028 3.343 153.668 243.207 219.957 116.850 60.703 39.700 31.868 20.386 30.220 22.371 20.867 806.129 57.919 58.453 30.041 19.277 12.311 9.992 13.499 3.046 5.174 2.846 212.558 1.798.582 2.763.203 1.767.642 1.045.008 792.231 626.764 366.908 138.195 78.058 50.999 9.427.590

Catatan : - Jumlah Penganggur Terbuka pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta orang (8,39 %) dari Angkatan Kerja (BPS, Januari 2009) Sumber: BPS/Sakernas Februari 2008 Seperti pada www.depnaker.go.id. Penduduk yang Setengah Menganggur . Di samping penganggur terbuka, di Indonesia juga dikenal penduduk setengah menganggur atau setengah bekerja. Mereka adalah yang bekerja lebih sedikit dari waktu penuh (35 jam) dalam seminggu, mungkin hanya dua jam, 112

atau sepuluh jam, atau tiga puluh jam. Harus dimaklumi bahwa setengah menganggur berbeda dengan penganggur tersembunyi. Dalam hal penganggur tersembunyi, jumlah jam kerja mereka mungkin sekali berada di bawah penuh waktu (35 jam per Minggu), namun kalau mereka dipindahkan dari tempat kerjanya sekarang, jumlah produksi tidak menurun. Dalam hal setengah menganggur, mereka bekerja kurang dari penuh waktu, namun kalau mereka dipindahkan dari tempat kerjanya sekarang, produksi di tempat kerjanya menurun. Ini berarti pada penganggur tersembunyi, produk marjinal penganggur tersebut adalah nol (atau MPL = 0), sedangkan pada pekerja setengah menganggur mempunyai produk marjinal yang positif (atau MPL >0). Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional ( Sakernas) yang dilaksanakan pada bulan Februari 2008 jumlah penduduk setengah menganggur di Indonesia adalah sekitar 30,6 juta orang (lihat Tabel 4.10). Jumlah ini adalah sekitar 27,35 persen dari angkatan kerja sejumlah 111,95 juta orang (Tabel 4.3). Penduduk yang setengah menganggur ini dibedakan menjadi dua golongan, yakni penduduk yang terpaksa menerima keadaan setengah menganggur (jumlahnya 14.595.152 orang atau sekitar 13 persen dari angkatan kerja) dan maupun yang secara sukarela menerima keadaan setengah menganggur (jumlahnya 16.049.289 orang atau sekitar 14 persen dari jumlah angkatan kerja (lihat Tabel 4.10). Penduduk yang setengah menganggur ini tersebar hampir merata dari umur 15 tahun sampai di atas 60 tahun, dengan jumlah terkecil pada rentang umur 55-59 tahun. Dengan mengingat upah tenaga kerja di Indonesia relatif murah dan bahwa mereka adalah setengah menganggur, kalau mereka ini dihitung saja sebagai penganggur, maka angkatan kerja yang mendapat kerja adalah seluruh angkatan kerja dikurangi yang setengah menganggur (27,35 persen) dikurangi lagi dengan penganggur terbuka (8,40% dari angkatan kerja) = 64,25 persen. Jadi hanya 64,25 persen dari angkatan kerja yang mendapatkan pekerjaan yang pantas, dan kalau demikian halnya maka tingkat ketergantungan pemuda seperti telah dibicarakan di depan menjadi tambah parah lagi. Tabel 4.10: Setengah Penganggur di Indonesia menurut Umur dan Terpaksa Sukarela 2008 (orang) Golongan Umur 15 19 20 24 25 29 30 34 35 39 40 44 45 49 50 54 55 59 60 + Jumlah Terpaksa 1.522.227 2.398.690 2.215.466 2.006.606 1.893.345 1.523.610 1.244.014 771.688 520.054 499.452 14.595.152 Sukarela 1.045.447 887.006 1.129.859 1.449.426 1.579.557 1.699.823 1.801.656 1.695.606 1.477.764 3.283.145 16.049.289 Jumlah 2.567.674 3.285.696 3.345.325 3.456.032 3.472.902 3.223.433 3.045.670 2.467.294 1.997.818 3.782.597 30.644.441

113

Sumber : BPS/Sakernas Februari 2008, seperti pada www.depnaker.go.id 4.4 Masalah distribusi dan perpindahan penduduk

Informasi tentang distribusi penduduk secara geografis dan terpusatnya penduduk di beberapa pulau terutama Jawa memungkinkan pemerintah mengatasi kepadatan penduduk, dengan pembangunan dan program-program untuk mengurangi beban kepadatan penduduk atau melakukan realokasi pembangunan di luar Jawa atau realokasi penduduk untuk bermukim di tempat lain. Di mana-mana di dunia ini, tidak hanya di Indonesia, perpindahan penduduk (migrasi) dari satu tempat ke tempat lainnya tidak bisa dihindarkan, baik yang bersifat antar negara maupun internal dalam satu negara (Indonesia). Analisis dan perkiraan besaran dan arus migrasi merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya. Apalagi kalau analisis mobilitas tersebut dilakukan pada satu wilayah administrasi yang lebih rendah daripada tingkat provinsi. Karena justru tingkat mobilitas penduduk baik yang permanen maupun yang tidak permanen akan tampak lebih nyata terlihat pada satuan unit administrasi yang lebih kecil seperti kabupaten, kecamatan dan desa atau kelurahan. Pada dasarnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan kesejahteraan ekonomi dan kurang meratanya fasilitas pembangunan antara satu negara/daerah dengan negara/daerah lain. Penduduk dari negara/daerah yang tingkat kemakmuran ekonominya kurang akan bergerak menuju ke negara/daerah yang mempunyai tingkat kemakmuran ekonomi yang lebih tinggi. Faktor pendorong dan penarik migrasi. Migrasi dipengaruhi oleh daya dorong (push factors) satu wilayah dan daya tarik (pull factors) wilayah lainnya. Daya dorong wilayah menyebabkan orang pergi ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai untuk memberikan jaminan kehidupan bagi penduduknya. Pada umumnya, hal ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di wilayah tersebut. Adapun faktor-faktor pendorong (push factors), antara lain, adalah: 1. Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian. 2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah pedesaan yang makin menyempit). 3. Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal. 4. Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan. 5. Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit. Sedangkan daya tarik wilayah adalah jika satu wilayah mampu atau dianggap mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di

114

wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Adapun faktor-faktor penarik (pull factors), antara lain, adalah: 1. Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup atau kesejahteraannya. 2. Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. 3. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya. 4. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar. Perpindahan penduduk dengan berbagai alasan diistilahkan sebagai migrasi. Secara luas migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari satu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Migrasi dalam dimensi spasial dan dimensi waktu. Migrasi dikelompokkan berdasarkan dua dimensi penting, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Dalam dimensi ruang/daerah atau dimensi spasial dikenal migrasi internasional dan migrasi internal (dalam satu negara). Migrasi internasional merupakan perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain atau dari satu benua ke benua lain. Misalnya saja bangsabangsa di Eropa Barat ketika berlomba-lomba mencari daerah baru di benua Amerika, Amerika Latin, Afrika dan juga sampai ke Asia (termasuk Indonesia). Bayangkan misalnya sekarang ini, suku bangsa apa saja atau hampir semua suku bangsa di Eropa terdapat di Amerika Serikat, atau di Australia. Di Melbourne, Australia, misalnya, jumlah orang yang terbanyak di kota itu adalah orang Yunani; jumlahnya lebih banyak dari pada di ibukota negerinya sendiri, yakni di Athena; mereka bercampur baur dengan orang Italia dan hampir setiap suku bangsa lainnya yang ada di Eropa. Migrasi internasional ini terdapat juga di Indonesia, baik yang masuk ke Indonesia maupun yang ke luar dari Indonesia. Bayangkan banyaknya orang luar (dari mana saja) yang bermukim di Indonesia dengan berbagai macam alasan dan tujuan. Migrasi yang ke luar Indonesia pun tidak kalah jumlahnya dari yang disponsori oleh pemerintah sampai yang gelap (tidak resmi). Migrasi ke luar Indonesia yang resmi disponsori oleh pemerintah, misalnya untuk TKW (tenaga kerja wanita) yang dikirim ke Timur Tengah, Arab Saudi,Singapura dan Malaysia. Sekarang ini, banyak orang Indonesia (dari Bali) yang mencari pekerjaan di Amerika Serikat dan Eropa untuk bekerja di kapal pesiar. Migrasi internal di Indonesia yang penting meliputi perpindahan penduduk: 1. antar provinsi/kabupaten antar pulau yang dikenal dengan istilah transmigrasi atau antar propinsi/kabupaten dalam satu pulau, dan 2. dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan yang disebut urbanisasi, atau sebaliknya dari kota ke pinggir kota dan pedesaan (deurbanisasi).

115

Transmigrasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari pulau Jawa, Madura, dan Bali ke pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan bahkan Timor Timur. Meskipun ada juga transmigrasi swakarsa, pada umumnya transmigrasi yang sudah dilaksanakan sampai sekarang ini adalah atas sponsor pemerintah. Dalam perspektif pembangunan nasional, transmigrasi dapat dikatakan sebagai derivatif dari citacita kemerdekaan dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya bangsa yang berorientasi pada pengembangan wilayah yang diintegrasikan dengan penataan penyebaran penduduk. Program transmigrasi sesungguhnya telah dilaksanakan untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni pada tahun 1905 dengan latar belakang, falsafah dan tujuan utama untuk mencari buru murah untuk kepentingan perusahaan perkebunan milik Belanda. Pada masa kemerdekaan, istilah transmigrasi itu sendiri baru dipergunakan pada awal 1946 oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai satu kesadaran bersama untuk memanfaatkan, mengolah, dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya bangsa sebagai pengamalan Pancasila. Jadi sejak awal kemerdekaan gagasan besar transmigrasi diarahkan pada upaya pemanfaatan, pengolahan, dan pengembangan potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia. Demikian programnya disusun dan terus dijalankan sampai sekitar masa krisis di tahun 1997. Kontribusi transmigrasi terhadap pertumbuhan dan pembangunan wilayah tujuan perpindahan penduduk (terutama di luar pulau Jawa) cukup signifikan. Melalui transmigrasi, jutaan potensi sumber daya yang kurang bermakna telah berhasil digali dan dikembangkan. Sekitar 2,2 juta kepala keluarga atau sekitar 8,8 juta orang miskin dan penganggur memperoleh secara langsung peluang berusaha dan kesempatan kerja untuk (minimal) memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Selama perjalanannya, telah berhasil dibangun dan dikembangkan sekitar 3.325 desa baru yang tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten. Di antara desa-desa tersebut, kini terdapat 88 desa telah berkembang dan mendorong pembentukan ibu kota kabupaten, dan 235 desa lainnya berkembang menjadi ibu kota kecamatan (Erman Suparno, 2009:5). Di daerah tujuan, transmigrasi juga telah berhasil membuka area produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, serta perikanan seluas sekitar 3,6 juta hektar. Dari jumlah tersebut sekitar 300 ribu hektar berupa perkebunan yang mampu menyerap sekitar 235 ribu kesempatan kerja langsung (belum termasuk anak turunannya). Di daerah asal, program transmigrasi telah menampung jutaan orang yang menghadapi persoalan akibat keterbatasan peluang kerja dan berusaha, di samping membantu suksesnya penataan lingkungan seperti pembangunan waduk raksasa Gajah Mungkur di Wonogiri, dan waduk Mrica di Jawa Tengah, waduk Saguling di Jawa Barat, dan bandara udara internasional Sukarno-Hata. Dalam perjalanannya selama 58 tahun (sejak keberangkatan 77 keluarga transmigran asal Jawa Tengah menuju Lampung pada 12 Desember 1950 sampai 2008) banyak terdengar berita keberhasilan, namun sebanyak itu pula berita kekurangan dan kelemahannya. Kritik tajam dari program yang bersifat sentralistik, pemindahan kemiskinan, klaim-klaim masyarakat adat terhadap lahan, deforestasi, jawanisasi, pelanggaran hak asasi manusia, sampai dengan polemik perlu tidaknya program transmigrasi dan penolakan program di beberapa daerah. Orientasi transmigrasi, kalau mau dilanjutkan, harus diubah dari program pemindahan penduduk untuk menunjang pembangunan menjadi pengembangan

116

wilayah di daerah transmigrasi yang berdampak pada kebutuhan akan mobilitas penduduk secara spontan (bukan karena program pemerintah). Urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk ke wilayah perkotaan dari wilayah pedesaan di sekitarnya, lain propinsi, atau lain pulau. Urbanisasi itu sendiri telah ada sejak berkembangnya kota kecil menjadi pusat-pusat perdagangan, pendidikan, dan pemerintahan. Aliran perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke kota sangat dirasakan pada masa/setelah revolusi Industri di Inggris pada pertengahan abad 19. Aliran penduduk yang menuju kota-kota di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya begitu besar, sehingga pada tahun 1954 W. Arthur Lewis dalam bukunya mengatakan yang berjudul Economic Growth with Unlimited Supply of Labour bahwa industri di kota bisa mendapatkan buruh dengan upah yang murah dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga tidak mengakibatkan kenaikan upah buruh di kota dan industri berkembang dengan pesat. Aliran tenaga kerja dari pedesaan ini merupakan buruh tidak terdidik dan dianggap sebagai penganggur tersembunyi dalam arti bahwa keberangkatan mereka ke kota tidak mengakibatkan turunnya produksi pertanian di daerah asalnya. Keadaan di Indonesia hampir sama dengan keadaan di Inggris dan Eropa Barat setelah revolusi industri, bahwa masyarakat pedesaan berbondong-bondong datang ke kota besar. Keadaan demikian ini mulai terasa sejak awal Orde Baru. Katakanlah, sebagai contoh, perkembangan kota Batavia menjadi Jakarta sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Penduduk dari daerah pedesaan sekitarnya, dari Bekasi, Bogor, Tanggerang, malah dari daerah pedesaan di seluruh Indonesia berdatangan ke Jakarta, sampai-sampai dewasa ini diimbau agar para pendatang jangan datang (dibatasi datang) ke Jakarta. Demikian juga halnya dengan kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar untuk menyebut beberapa saja. Keadaan yang demikian ini terus berlangsung sampai-sampai pada sekitar pertengahan 1970an timbul isu bahwa di daerah pedesaan kekurangan tenaga kerja untuk mengerjakan sawah. Para pemuda dan pemudi di pedesaan pindah ke kota untuk tujuan pendidikan dan setelah menamatkan pelajarannya banyak dan malah sebagian besar tidak kembali ke desanya, melainkan mencari kerja di kota. Akibatnya yang masih tinggal di daerah pedesaan adalah orang tua, anak-anak dan kaum wanita. Mereka itu tidak mampu mengerjakan tanah sawahnya, sehingga oleh karenanya pemerintah mengenalkan mekanisasi untuk usaha-usaha pertanian di desa. Aliran sebaliknya dari kota ke pedesaan disebut deurbanisasi. Istilah ini muncul di Amerika Serikat dan kota-kota besar di Eropa Barat, ketika kota-kota besar sudah begitu padat sehingga pasangan muda tidak nyaman bermukim di pusat kota. Mereka memilih bermukim di pinggir-pinggir kota, dan hal yang demikian ini diikuti oleh banyak orang sehingga dianggap sebagai aliran penduduk yang bermukim di pinggir kota. Keadaan yang demikian ini juga kita saksikan di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, kita saksikan banyak penduduk yang memilih tinggal di Bogor dan daerah sekitarnya, misalnya, dan pergi tiap hari bekerja di Jakarta. Demikian juga di kota-kota besar lainnya. Di samping migrasi dalam dimensi ruang atau spasial seperti yang dibicarakan di atas, kita juga mengenal migrasi dalam dimensi waktu, yang artinya penduduk pindah ke tempat lain dengan tujuan menetap dalam waktu enam bulan atau lebih. Jenis migrasi dalam dimensi waktu yang paling umum adalah migrasi sirkuler atau musim dan migrasi ulang-alik (commuter migration). Migrasi sirkuler (migrasi musim) adalah penduduk 117

yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Migran sirkuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung Tegal, yang sehariharinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya setiap bulan atau beberapa bulan sekali. Sedangkan yang dimaksud dengan migrasi ulang-alik (commuter migration) adalah orang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap Minggu), pergi ke tempat lain untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula (misal pada sore atau malam hari atau pada akhir Minggu). Migrasi ulang-alik biasanya menyebabkan jumlah penduduk di tempat tujuan lebih banyak pada waktu tertentu, misalnya pada siang hari. Sebagai contoh, jumlah penduduk Jakarta pada siang harinya diperkirakan mencapai 11 12 juta orang, sedangkan jumlah penduduk di malam hari hanya sekitar 7-8 juta orang. Kriteria migrasi. Masalah lain yang juga penting dalam hal perpindahan penduduk adalah apa kriteria seorang agar dia bisa disebut sebagai migran. Dalam hal ini dikenal migrasi seumur hidup, migrasi risen, dan migrasi total. Disebut migrasi seumur hidup (life time migration) kalau seorang bertempat tinggal pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu mereka lahir. Migrasi risen (recent migration) adalah apabila tempat tinggal seseorang pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya. Sedangkan migrasi total (total migration) adalah apabila seseorang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data. Kriteria migrasi risen (recent migration) lebih mencerminkan dinamika spasial penduduk antar daerah daripada migrasi seumur hidup (life time migration) yang relatif statis. Sedangkan migrasi total tidak memasukkan batasan waktu antara tempat tinggal sekarang (waktu pencacahan) dan tempat tinggal terakhir sebelum tempat tinggal sekarang. Akan tetapi migrasi total biasa dipakai untuk menghitung migrasi kembali (return migration). Selanjutnya untuk perhitungan angka migrasi, penduduk yang ada yang dihitung atau dicacah adalah penduduk usia lima tahun atau lebih. Penduduk usia 04 tahun tidak dimasukkan, karena kelompok penduduk ini merupakan kelompok penduduk yang lahir pada periode antar dua survei/sensus. Namun demikian, angkaangka migrasi sangat sulit diperoleh, baik untuk migrasi internasional, migrasi antar pulau (transmigrasi), apalagi urbanisasi, oleh karena itu tidak disajikan data mengenai migrasi dalam tulisan ini. 4.5 Kesimpulan Masalah penduduk di Indonesia, sebagaimana kita ketahui, bukan hanya masalah tingkat pertumbuhan, melainkan lebih dari itu, yakni menyangkut masalah distribusinya yang akhirnya bermuara pada kepentingan pembangunan serta kesejahteraannya. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mengalami penurunan dan terus mengalami penurunan setelah program Keluarga Berencana sampai sekarang yang mungkin mencapai angka pertumbuhan sekitar 1,1 persen per tahun. Informasi tentang jumlah penduduk untuk kelompok usia tertentu ternyata bahwa rasio ketergantungan pemuda masih lebih jelek dibandingkan dengan negara maju, namun lebih baik daripada negara berkembang pada umumnya. Sekitar dua pertiga dari jumlah penduduk yang berumur 15118

65 tahun memasuki angkatan kerja, dari jumlah tersebut sekitar 91 persen mendapatkan kerja dan sekitar 9 persen menganggur secara terbuka (data tahun 2008). Sekitar 60 persen dari jumlah penduduk yang bekerja mendapatkan pekerjaan di pedesaan, dan sisanya sekitar 40 persen mendapatkan pekerjaan di perkotaan. Dari mereka yang mendapatkan kerja terdapat penduduk yang setengah menganggur sekitar 27,35 persen dari angkatan kerja. Kebanyakan penganggur terbuka berpendidikan sampai SD, SMTP dan SMTA, meskipun ada juga (sekitar 11 persen) yang berpendidikan akademi/diploma dan universitas. Informasi dari distribusi penduduk antar daerah menunjukkan sekitar 55 persen penduduk Indonesia pada tahun 2008 bermukim di pulau Jawa + Madura, sedangkan luas wilayah pulau itu sendiri hanyalah 132.186 km2 (atau hanya sekitar 6,7 persen dari luas wilayah Indonesia sekitar 1.919.317 km2 .Pada dasarnya perpindahan penduduk merupakan refleksi perbedaan kesejahteraan ekonomi dan kurang meratanya fasilitas pembangunan antara daerah. Melalui transmigrasi, pemerintah telah berhasil memindahkan sekitar 2,2 juta kepala keluarga atau sekitar 8,8 juta orang miskin dan penganggur, membangun dan mengembangkan sekitar 3.325 desa baru yang tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten, di antaranya 88 desa telah berkembang, mendorong pembentukan ibu kota kabupaten dan 235 desa lainnya berkembang menjadi ibu kota kecamatan. Di daerah tujuan, transmigrasi juga telah berhasil membuka area produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, serta perikanan seluas sekitar 3,6 juta hektar dan mampu menyerap sekitar 235 ribu kesempatan kerja langsung (belum termasuk anak turunannya). Sedangkan di daerah asal, program transmigrasi telah menciptakan kesempatan kerja jutaan orang dan membantu suksesnya penataan lingkungan (seperti pembangunan waduk raksasa dan bandara udara internasional Sukarno-Hata). Mengingat kritik dan keberhasilannya, orientasi transmigrasi, kalau mau dilanjutkan, harus diubah dari program pemindahan penduduk untuk menunjang pembangunan menjadi pengembangan wilayah di daerah transmigrasi yang berdampak pada kebutuhan akan mobilitas penduduk secara spontan (bukan karena program pemerintah). Masalah perpindahan penduduk lainnya khususnya urbanisasi tampaknya terus berlangsung tanpa bisa dicegah, yang pada akhirnya mengakibatkan kekurangan angkatan kerja di pedesaan dan di luar Jawa +Madura , sebelum pembangunan pedesaan itu sendiri (dan pembangunan di luar Jawa + Madura) dapat mengatasi aliran urbanisasi tersebut. 4.6 Ringkasan Distribusi penduduk Indonesia berdasarkan wilayah geografis sangat tidak merata, yakni sekitar 55 persen penduduk Indonesia tahun 2008 bermukim di pulau Jawa + Madura, sedangkan luas wilayah pulau itu sendiri hanyalah sekitar 6,7 persen.

119

Laju pertumbuhan penduduk juga bervariasi antar provinsi, misalnya untuk periode 2010-2015 bergerak dari yang terkecil di Nanggroe Aceh Darussalam (0,26 persen per tahun) sampai terbesar di Riau (3,67 % per tahun. Jumlah anak-anak berumur di bawah 15 tahun mencapai hampir 26 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008, satu jumlah yang jauh lebih kecil dari yang terjadi di negara-negara sedang berkembang (40%), dan lebih besar dari yang terjadi di negara maju (20 %). Jumlah penduduk usia kerja di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 69,07 persen, satu keadaan yang kelihatannya lebih baik dari keadaan di negara maju (sekitar 65 % dari jumlah penduduk). Dengan menggunakan jumlah penduduk usia kerja (sekitar 69,07 persen dari jumlah penduduk) yang hanya menanggung sekitar 25,65 persen dari penduduk, maka rasio ketergantungan pemuda lebih baik dari di negara maju. Namun kalau yang dipakai adalah jumlah penduduk yang bekerja, maka rasio ketergantungan pemuda lebih jelek dibandingkan dengan di negara maju, namun lebih baik daripada negara berkembang pada umumnya. Dengan memakai data penduduk tahun 2008 Indonesia tidak dapat dikatakan mempunyai struktur penduduk muda, dan juga tidak dapat dikatakan mempunyai struktur penduduk tua. Hanya sekitar dua pertiga dari mereka yang berumur usia kerja merupakan angkatan kerja, sedangkan sepertiga lainnya adalah ibu rumah tangga dan mereka yang masih terdaftar di sekolah dan perguruan tinggi, yang bukan merupakan angkatan kerja. Cara menghitung penganggur terbuka seperti diterapkan di negara Barat dianggap tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Cara yang dipakai di Indonesia adalah dengan survei dengan menanyakan apakah seseorang selama seminggu sebelum Minggu survei bekerja setidak-tidaknya satu jam sehari untuk memperoleh penghasilan keluarga? Dengan cara ini diperoleh jumlah penganggur terbuka untuk 2008 (Agustus) sebesar 8,40%. Bagi masyarakat banyak menganggur (terbuka) itu adalah barang mewah dan tidak banyak yang mampu menganggur. Hanya anak orang kaya yang mampu menganggur di negara yang penghasilan nasionalnya masih rendah seperti Indonesia. Sekitar 60 persen dari jumlah penduduk yang bekerja mendapatkan pekerjaan di pedesaan, sisanya sekitar 40 persen mendapatkan pekerjaan di perkotaan.

120

Berdasarkan pendidikannya, kebanyakan penganggur terbuka berpendidikan sampai SD, SMTP dan SMTA, meskipun ada juga yang berpendidikan akademi/diploma (5 persen) dan universitas (6 persen). Pada Februari 2008 jumlah penduduk setengah menganggur di Indonesia adalah sekitar 30,6 juta orang (sekitar 27,35 persen dari angkatan kerja). Hanya 64,25 persen dari angkatan kerja yang mendapatkan pekerjaan yang pantas, sisanya adalah yang setengah menganggur (27,35 persen), dan menganggur terbuka (8,40% dari angkatan kerja). Melalui transmigrasi, sekitar 2,2 juta kepala keluarga atau sekitar 8,8 juta orang miskin dan penganggur memperoleh secara langsung peluang berusaha dan kesempatan kerja untuk (minimal) memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Selama perjalanannya, transmigrasi telah berhasil dibangun dan dikembangkan sekitar 3.325 desa baru yang tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten. Di antaranya 88 desa telah berkembang dan mendorong pembentukan ibu kota kabupaten, dan 235 desa lainnya berkembang menjadi ibu kota kecamatan. Di daerah tujuan, transmigrasi juga telah berhasil membuka area produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, serta perikanan seluas sekitar 3,6 juta hektar dan mampu menyerap sekitar 235 ribu kesempatan kerja langsung (belum termasuk anak turunannya). Di daerah asal, program transmigrasi telah menampung jutaan orang yang menghadapi persoalan akibat keterbatasan peluang kerja dan berusaha, dan membantu suksesnya penataan lingkungan (pembangunan waduk raksasa Gajah Mungkur di Wonogiri, dan waduk Mrica di Jawa Tengah, waduk Saguling di Jawa Barat, dan bandara udara internasional Sukarno-Hata). Konsep Penting Tingkat kegiatan kasar Aspek penghasilan dari pekerjaan Aspek produksi dari pekerjaan Aspek pengakuan (recognition) dari pekerjaan Penganggur tersembunyi (disguised unemployment) Penduduk setengah menganggur Migrasi Daya dorong (push factors) migrasi

4.6

Masalah penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk Angkatan kerja Tingkat pengangguran Program transmigrasi Struktur usia penduduk Indonesia Distribusi penduduk secara geografis Kepadatan penduduk Pertambahan alami (natural increase) Migrasi internasional neto (net

121

international migration) Tingkat fertilitas dan mortalitas Massacre of Innocents Program Keluarga Berencana Kelompok usia reproduksi Rasio ketergantungan pemuda (youth dependency ratio) Penduduk usia kerja Menganggur terbuka Setengah menganggur Konsep penduduk tua Konsep penduduk muda Momentum pertumbuhan penduduk yang tersembunyi

Daya tarik (pull factors) migrasi Migrasi internal Migrasi internasional Migrasi dimensi spasial Migrasi dalam dimensi waktu Urbanisasi Deurbanisasi Transmigrasi Transmigrasi swakarsa Migrasi sirkuler Migrasi ulang-alik (commuter migration) Migrasi seumur hidup Migrasi risen Migrasi total

4.7

Pertanyaan untuk Diskusi 1. Di antara masalah penduduk yang menonjol di Indonesia adalah masalah jumlah dan masalah distribusi yang sangat tidak merata. Salah satu cara untuk menanggulangi masalah distribusi penduduk adalah program transmigrasi. a. Sebutkan kritik yang sering dilontarkan terhadap program transmigrasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia! b. Jelaskan keberhasilan yang dicapai oleh program transmigrasi tersebut! c. Menurut pendapat anda program apa yang sebaiknya dilaksanakan untuk memecahkan (setidaknya mengurangi akibat) masalah distribusi penduduk antar pulau di Indonesia? Jelaskan pendapat anda! 2. Dikatakan dalam bab ini bahwa dengan memakai distribusi penduduk berdasarkan umur untuk tahun 2008, struktur penduduk Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai struktur penduduk tua dan juga tidak dapat dikatakan sebagai struktur penduduk muda. a. Mengapa demikian? Jelaskanlah! b. Apa gunanya mengetahui struktur penduduk (tua atau muda) satu Negara? Jelaskanlah! 3. Konsep untuk menentukan jumlah penduduk yang menganggur terbuka yang biasa diterapkan di Negara maju tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.

122

a. Jelaskanlah, mengapa demikian! b. Cara apa yang diterapkan di Indonesia? Jelaskanlah! c. Jelaskanlah bahwa aspek produksi dan aspek penghasilan tidak selalu sejalan dalam menentukan apakah seorang diklasifikasikan menganggur atau bekerja. 4. Jelaskanlah arti dari beberapa istilah berikut ini: a. Penduduk usia kerja dan angkatan kerja b. Momentum Pertumbuhan Penduduk yang Tersembunyi c. Penganggur tersembunyi dan setengah menganggur d. Faktor pendorong dan faktor penarik migrasi e. Migrasi dalam dimensi spatial dan dimensi waktu. 5. Jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi bukanlah merupakan hambatan dalam pembangunan ekonomi. Jelaskan pendapat Anda mengenai pernyataan tersebut! Dalam jawaban Anda, kaitkan dengan keadaan di Indonesia!

4.8 1. 2. 3. 4.

Daftar Bacaan Booth, A. dan P. McCawley (penyunting). 1990. Ekonomi Orde Baru. LP3ES. Erman Suparno, 2009. Transmigrasi: Menyongsong 2025. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Soetrisno, P.H. 1992. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu Studi), Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Andi, Bab 3. Sen, A.K. 1975. Employment, Technology, and Development: A study prepared for the International Labour Office within the framework of World Employment Programme. Melbourne:Oxford University Press. Siswono Yudohusodo, 2003. Transmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen Dengan Persebaran Yang Timpang. Jakarta: Terbitan khusus Hari Bakti Transmigrasi ke 53, Desember 2003, Jakarta: PT. Tema Baru. Todaro, M.P dan S.C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan. Jakarta:Penerbit Erlangga. www.depnaker.go.id. www.bkkbn.go.id.

5.

6. 7. 8.

123

9.

www.data statistik indonesia.com.

124

Vous aimerez peut-être aussi