Vous êtes sur la page 1sur 43

BAB II I.

Prosedur Diagnosis Tujuan dari penatalaksanaan trauma yang baik adalah untuk mencegah kematian awal akibat trauma. Kematian awal trauma biasanya disebabkan oleh kegagalan oksigenasi dari organ-organ vital atau trauma system saraf pusat ataupun keduanya. Trauma yang mengancam jiwa harus ditangani sebaik mungkin, dan evaluasi prioritas dan intervensi sangat penting. Beberapa jam pertama sesudah truma merupakan saat kritis bagi pasien dengan multiple system injury. Kehilangan jalan napas dapat membunuh lebih cepat dibandingkan dengan kehilangan volume darah. Penilaian initial meliputi primary survey, secondary survey dan perawatan yang tepat untuk pasien 1.1 Primary Survey A B C D E Airway with cervical spine control Breathing Circulation Disability or neurologic status Exposure with temperature control

Airway Maintenance Cervical Spine Protection Periksa adanya tanda-tanda obstruksi jalur napas, benda asing, fasial, mandibular atau laryngeal fractures Bebaskan jalan napas dengan chin lift atau jaw thrust tetapi proteksi tulang servikal. Jika pasien bisa berbicara, jalan napas berarti baik tetapi tetap hati-hati dan lakukan pengecekkan ulang. Apabila Glasgow Coma Scale kurang dari 8 diperlukan pembukaan jalur napas yang definit. Proteksi tulang leher lebih penting sangat penting selama penatalaksanaan jalur napas. Hindari pergerakan yang berlebihan dari tulang servikal seperti hiperekstensi, flexi ataupun rotasi. Riwayat dari trauma mengindikasikan kecenderungan untuk

ketidakstabilan tulang servikal. Immobilisasi dan proteksi dari tulang servikal harus dijaga. Asumsikan adanya trauma tulang servikal pada pasien dengan multisystem trauma terutama pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran. Pemeriksaan X-Rays dapat dilakukan setelah kondisi yang mengancam jiwa distabilkan. Resusitasi yang dilakukan: Lindungi dan jaga jalan napas Jaw lift dan chin lift Kontrol sekresi Intubasi: Pada pasien yang sadar dapat dilakukan nasopharyngeal intubasi. Oropharyngeal intubasi dilakukan pada pasien yang tidak sadar tanpa adanya gag reflex
-

Surgical airway: Pembukaan jalan napas yang definit harus dilakukan bila pasien tidak bisa menjaga integritas dari jalan napas. (cricothiroidotomy, emergency tracheostomy). Breathing and Ventilation Evaluasi pernapasan dengan melihat dada dan diafragma. LIhat pergerakan dada, auscultasi dan perkusi untuk mendeteksi lesi akut yang memperburuk ventilasi seperti tension pneumothorax, pergerakan dada yang tidak terkontrol (flail chest), haemothorax, pneumothorax. Resusitasi:

Dekatkan telinga penolong ke arah hidung dan mulut korban untuk medengar adanya napas yang keluar sambil melihat apakah ada gerakan dada yang teratur. Bila dada tidak bergerak dan tidak ada lairan udara, berarti korban tidak bernapas. Cara pemberian bantuan napas antara lain dengan mouth to mouth breathing, mouth to nose breating, mouth to stoma breathing, mouth to stoma breathing, mouth to mask rescue breathing, bag-mask breathing.

Tension pneumothorax harus dilakukan kompresi dengan tube thoracostomy Circulation

Untuk menentukan seberapa cepat kehilangan darah, observasi: Tingkat kesadaran Warna kulit Denyut nadi Perdarahan harus dikontrol dengan penekanan pada daerah yang berdarah ataupun surgical intervention. Meneliti denyut nadi dengan cara meraba arteri-arteri besar seperti arteri carutis atau meraba dan mendengar suara jantung. Bila tidak ada monitor ECG, dilakukan defibrilasi. Periksa tanda sirkulasi dengan cara memberikan satu kali bantuan napas lalu mendengarkan suara napas dari mulut atau hidung dan sekaligus melihat adanya sirkulasi. Bila korban menunjukkan tidak adanya sirkulasi, segera lakukan kompresi dada. Kompresi dda adalah memberikan tekanan pada sternum bagian bawah sehingga timbul tekanan positif di rongga thorax dan sekaligus tekanan langsung terhadap jantung. Komperesi dada dilakukan dengan kecepatan 80-100 per menit dan bergantung pada jumlah penolong. Apabila 1 penolong, setiap 15 kompresi diikuti dengan 2 kali pemberian bantuan ventilasi, sedang apabila ada 2 penolong setiap 5 kali kompresi diikuti 1 kali ventilasi. Hal ini dilakukan terus-menerus sampai timbul sirkulasi dan atau korban bernapas spontan atau staf medic darurat telah dating. Resusitasi dilakukan dengan: Control perdarahan dengan penekanan langsung ataupun surgical Cairan intravena harus diberikan secara cepat dan harus dihangatkan. Ringerss lactate adalah cairan crystalloid yang diperlukan. Apabila tidak merespon terhadap terapi IV maka terapi darah harus diberikan. Disability / Neurological Status Setelah A, B dan C stabil, penilaian neurological dapat ditetapkan: Tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale

Ukuran simetri dan reaksi pupil Tanda-tanda lateralisasi

Exposure Buka pakaian pasien tetapi cegah terjadinya hipotermia. Setelah pemeriksaan berikan penghangat pada korban seperti selimut hangat. Cairan intravena harus selalu dihangatkan sebelum infuse. 1.2 Secondary Survey Dimulai setelah ABCDE dari primary survey setelah dilakukan dan pasien berespon dengan normalisasi dari tanda-tanda vital. Secondary survey meliputi pemeriksaan dari kepala sampai kaki. Secondary survey ini membutuhkan pemeriksaan X-rays dan test laboratorium. History A = Allergies M = Medication cueently used

P = Past illness/ pregnancy L = Last Meal E = Events realted to injury Physical Examination

Head, Maxillofacial Region and Cervical Spine Survey kulit kepala, region post auricular dan posterior leher. Periksa adanya laserasi, contusion atau tanda-tanda fraktur. Periorbital edema, injuri globe, perubahan aktivitas visual dan diskonjugasi pergerakkan mata harus di obeservasi

Chest Trauma dada dalam ditandai dengan contuse dan hematom pada dinding dada. Visual inspeksi pada dinding anterior dan posterior dada akan adanya luka rebuke, segment dada yang bergerak disertai palapsi pada keseluruhan dada termasuk sternum. Struktur interna dievaluasi dengan auscultasi dan radiograf.

Abdomen Pasien dengan hyoptensi yang berprogres yang tidak dapat dijelaskan merupakan candidat untuk dilakukan pemeriksaan peritoneal lavage.

Urogenital System Perineum harus diperiksa adanya contuse, hematoma, lacerasi dan perdarahan uretral.

Musculoskeletal system Ekstremitas harus diperiksa adanya contuse dan deformasi. Palpasi akan mendeteksi adanya segmen fraktur. Sensasi yang memburuk atau hilangnya kontraksi otot voluntary dapat disebabkan karena trauma pada saraf atau iskemik

Neurologic System Kondisi neurologic ditentukan dengan GCS. Paralysis atau paresis menunjukkan adanya trauma pada corda spinalis. Perubahan tingkat kesadaran harus diperhatikan.

1.3 Reevaluation

Penanganan definit dari trauma fasial yang tidak berhubungan dengan obstruksi jalan napas, fraktur basis crania, trauma jaringan lunak atau perdarahan bear harus dimulai setelah pasien stabil. Monitoring tanda-tanda vital dan pengeluaran urin sangat pentinf. Pasien trauma harus di reevaluasi untuk memastikan penemuat baru tidak terlewatkan dan kondisi yang telah didapat sebelumnya tidak memburuk

II.

Pemeriksaan Klinis Kepala dan Leher Fraktur wajah atas dicurigai bila pasien melaporkan sakit kepala, sesak nafas, hilang kesadaran, dan forehead numbness. Perubahan ketajaman visual, diplopia, perubahan oklusi, trismus, paranasal dan infraorbital numbness, dan obstruksi jalan napas berhubungan dengn cedera midface. Perubahan oklusi, nyeri rahang, lower lip numbness, preauricular pain, ear stuffiness, dan trismus adalah karakteristik dari fraktur mandibula. Riwayat medis terdahulu harus didapat untuk fraktur facial, sinusitis, penyakit mata dan penglihatan, pendengaran, bedah wajah terdahulu, dan oral higiene. 2.1 Pemeriksaan Oromaksilofasial a) Inspeksi Wajah Upper Third Observasi scalp laseration, exposed cranium, skull fractures, occiput and posterior neck, cervical spine fractures.

Middle Third

Observasi periorbital edema, subconjungtival ecchymosis, enopthalamus, proptosis, dystopia, ophthalmoplegia, pelebaran jarak intercanthal, lingkaran batas medial canthal, dan periorbital and eyelid laseration. Inspeksi mata untuk benda asing, penetrasi jaringan, hyphema, traumatic mydriasis, dan perubahan pada reaktivitas, ukuran, atau bentuk pupil.

Lower Third

Inspeksi untuk perubahan pada oklusi, disrupsi

bentuk lengkung alveolar, edema, sublingual ecchymosis, laserasi intra-dan-ekstra oral, dan perubahan pada pembukaan rahang. Leher Observasi pada penetrasi jaringan, pretracheal abrasion atau ecchymosis, pembengkakan servikal, muscle splinting, expanding neck masses, dan deviasi trakea.

b) Palpasi Wajah Upper Third Palpasi sekeliling kranium, termasuk regio servikal occiput dan posterior. Adanya kontur ireguler dapat terlihat karena edema dapat teridentifikasi dengan palpasi. Dapat melihat fraktur anterior skull dan regio sinus frontal. Middle Third Palpasi supra-and-infraorbital rims dan kontur lengkung zigomatik. Ukur jarak intercanthal dan interpupil. Nasofrontal complex utk mendeteksi crepitus, gross mobility, dan instabilitas tulang rawan hidung. Perlekatan medial canthal dan posterior lamina papyracea lainnya mendeteksi fraktur nasoorbitalethmoid complex dan fraktur medial orbital roof Lakukan bowstring test (tekan perlekatan medial canthal dengan satu tangan dan palpasi perlekatan ipsilateral medial canthal) mendeteksi mobilitas prosesus frontal maksila atau laksitas pada ligamen. Maksila identifikasi mobilitas LeFort I, II, atau III. Goncangkan segmen alveolar maksila mendeteksi

fraktur alveolus atau split pada palatum. Lower Third Segmen horizontal dan vertikal mandibula mobilitas, sep deformities, gigi hilang, gigi fraktur, dan perubahan oklusi. Reposisi mandibula dan observasi relasi sentris dan oklusi sentris.

c) Auskultasi Dilakukan pada pembengkakan leher yang tidak biasa, arteri karotid secara bilateral, regio anatomis, dan laserasi yang berhubungan erat dengan pembuluh fasial dan leher. Observasi bruits, empisema udara, crackles, dan adventitious lung sounds. 2.2 Pemeriksaan Neurologi

Hanya dilakukan pada pasien yang masih sadar Perubahan sensasi pada upper, middle, and lower face injuri pada 3 cabang sensori saraf trigeminal Hilangnya animasi upper face, inabilitas mengangkat upper corner mulut, lower lip lag, dan inabilitas purse the lips injuri saraf fasial

Facial paralysis pada ketidakhadiran laserasi fasial injuri saraf kranial VII pada basis skull, tulang temporal, atau foramen stylomastoid. Hilang/berubahnya penciuman fraktur nasofrontal complex dan cribiform plate Ketidakhadiran refleks corneal langsung injuri saraf optik Diskonjugasi eye movement atau ophthalmoplegia injuri saraf oculomotor, abducens, atau trochlear. Hilangnya atau rusaknya pendengaran fraktur basis tengkorak atau tulang temporal Penetrasi jaringan kepala dan leher dapat melibatkan saraf kranial IX, X, XI, atau XII, mengakibatkan lidah berdeviasi ke affected side, perubahan pada gag reflex, atau shoulder droop.

Meiosis dan upper eyelid ptosis injuri simpatetik servikal superior

2.3 Pemeriksaan Radiologi

CT-scan fraktur midfasial, untuk menentukan lokasi dan konfigurasi semua segmen fraktur. Identifikasi fraktur dinding orbital, perubahan volume orbit, dan injuri naso-orbitalethmoid dgn CT scan adalah bagian penting dalam manajemen fraktur fasial. Plain radiograf fraktur mandibula, dengan 2 pengaturan Ada juga MRI, angiografi, dan Doppler USG alat diagnosa utk penetrasi jaringan kepala dan leher

III.

Fraktur Mandibula

3.1 Klasifikasi Fraktur Mandibula Secara Umum


Simple atau Closed : tidak ada luka terbuka => gbr A Compound atau Open: ada luka terbuka => gbr B Comminuted : tulang patah / terdesak => gbr C Greenstick fracture : salah satu korteks tulang patah dan lainnya tertekuk Fraktur Patologis : timbul karena injuri ringan dari penyakit tulang yang memang sudah ada => gbr D Multipel : >2 garis fraktur pada tulang yang sama dan tidak bersambungan (tempatnya berbeda) Impacted : salah satu fragmen mendorong fraktur ke sisi lainnya => gbr D Athropic : terjadi pada tulang yang atrofi (edentulous) Indirect : jauh dari lokasi injuri => gbr E Complicated atau Complex : memilki kecenderungan injuri ke jar.lunak maupun bagian lain di sekitarnya (bisa simple ataupun compound)

Berdasarkan Anatomi (Dingman & Natvig)

Midline : diantara I1 Canine Region Fracture : dibatasi garis vertikal pd distal C Symphysis fracture : timbul pada area simfisis Body : dari distal simfisis s/d garis batas alveolar otot masseter (biasanya meliputi M3/ berada diantara canine region dan angulus) Angle : region triangular dibatasi batas anterior otot masseter sampai perlekatan posterosuperior dari otot masseter (biasanya distal M3) Ramus: dibatasi aspek superior angulus hingga dua garis yang terbentuk pada apeks sigmoid notch Condylar process : area prossesus condiloid, superior dari region ramus

Coronoid process : meliputi prosessus koronoid dari

mandibula, superior dari ramus Dentoalveolar process : meliputi gigi Berdasarkan keberadaan Gigi pada Garis Fraktur (Kazanjian & Converse) Berdasarkan Keterlibatan Tl. Basal (Rowe & Killey)

Kelas I : gigi berada pada kedua sisi garis fraktur Kelas II : gigi hanya berada pada salah satu sisi garis fraktur Kelas III : pasiennya edentulous A Melibatkan tl. Basal mandibula : (Fraktur Unilateral Single) 1.Condyle: Intracapsular Extracapsular Dislokasi fraktur 2.Coronoid Tanpa pergeseran (displacement) Ada pergeseran 3.Ramus Fraktur Linear Horizontal Fraktur Linear vertikal Fraktur tipe Stelatta 4.Angle & Body Horizontaly favourable / unfavourable Vertically favourable / unfavourable 5.Canine Pergeseran fragmen ke arah lateral Pergeseran fragmen ke arah medial 6.Symphysis Fraktur midline Fraktur Oblique (Fraktur Bilateral) Fraktur Bilateral dengan dislokasi Kondil Fraktur bilateral secara horizontal/vertikal (unfavourable) Fraktur bilateral pada regio Canine B Tidak melibatkan tl. Basal (Fraktur processus alveolar):

Berdasarkan garis dan area Fraktur dengan aksi otot

Fraktur pada angulus mandibula: m. Medial Pterygoid dan m. Masseter Fraktur pada simfisis dan parasimfisis: m. Mylohyoid dan m. Geniohyoid Fraktur pada kepala kondil:

m. Lateral Pterygoid Fraktur pada processus koronoideus: M. Temporalis Klasifikasi Kruger & Schilli 1. Berhubungan dengan Lingkungan eksternal Simple / Compound Compound / Open 2. Tipe Fraktur Incomplete Greenstick Complete Comminuted 3. Gigi pada rahang, sebagai panduan penggunaan splint Gigi yang cukup pada rahang Edentulous / gigi tidak cukup pada rahang Primary / Mixed Dentition 4. Lokalisasi Fraktur simfisis diantara canine Fraktur pada regio canine Fraktur pada body mandibula, diantara canine &angulus Fraktur pada angulus mandibula, daerah M3 Fraktur pada ramus mandibula, diantara angulus & sigmoid notch Fraktur pada processus Coronoideus Fraktur pada processus kondil Berdasarkan jumlah fragmen (F) F0: Fraktur incomplete F1: Fraktur single F2: Fraktur multiple F3: Fraktur comminuted F4: Fraktur dengan defek tulang (bone loss) Berdasarkan lokasi farktur (L) L1: precanine L2: canine L3: postcanine Berdasarkan status oklusi / pergeseran (O) O0: tidak ada Maloklusi O1: Maloklusi O2: edentulous Berdasarkan keterlibatan jar. Lunak (S) S0: Tertutup S1: Terbuka secara intraoral S2: Terbuka secara ekstraoral S3: Terbuka secara intraoral & ekstraoral S4: Defek jar.lunak Berdasarkan adanya fraktur pada tl. Facial yang

Klasifikasi Spiessel

berasosiasi(A) A0: tidak ada A1: Fraktur/ kehilangan gigi A2: Tl. Nasal A3: Zygoma A4: Le Fort I A5: Le Fort II A6: Le Fort III 3.2 Diagnosis Fraktur Mandibula History Rekam medis pasien: sudah adanya kelainan tulang sistemik, neoplasia, kelaianan nutrisi dan metabolik, arthritis, kelainan colagen yang berhubungan, serta penyakit endokrin Tipe, besar, dan arah datanganya traumatic force Bentuk dari objek yang menyebabkan fraktur Sejarah trauma pasien i. Persiapan Wajah harus dibersihakan dengan lembut menggunakan air hangat atau diusap untuk membuang darah serta kotoran yang menempel Mulut harus diperiksa secara keseluruhan ttg adanya kehilangan atau patahnya gigi/ GT Selama pembersihan wajah, lakukan inspeksi kranium dan tl. Servikal spinal, serta palpasi adanya tanda-tanda injuri ii. Pemeriksaan Ektraoral Pembengkakan, eritema, robek, memar, luka gores, perdarahan dan ekimosis Deformitas kontur tulang Biasanya pasien yang sadar, akan menyangga mandibula dengan tangannya Saliva bercampur dengan darah Palpasi dimulasi secara bilateral pada kondil, kemudian turn kebawah disepnajang batas bawah mandibula Biasanya berhubungan dengan injuri pada nervus alveolaris inferior pengurangan/ absennya sensasi iii. Pemeriksaan Intraoral Periksa adanya Ekimosis maupun bekuan daran pada sulkus bukallingual Periksa mukosa dasar mulut Garis kecil hematoma pada daerah M3 Defek tulang Gigi-geligi: satu persatu diperiksa adanya fraktur, avulsi, luksasi, subluksasi, kehilangan GT(crown, bridge), kehilangan bahan pengisi sal. Akar, keterlibatan dentin-pulpa bila perlu lakukan radiograf pada dada (kemungkinan tertelan/ ter-inhalasi) Periksa perubahan oklusi, dengan cara: - Meletakkan telunjuk dan ibu jari pada setiap sisi untuk menggerakan

Pemeriksaan Klinis

secara perlahan, sehingga pergerakan yang tidak alami terdeteksi - Adanya nyeri maupun keterbatasan gerak selama pergerakan mandibula mengindikasikan injuri - Bila gagal dalam meng-konfirmasi adanya fraktur mandibula, maka letakkan telapak kedua tangan pada angulus dan dengan lembut, dan lakukan retrusi mandibula (sebagai prosedur pilihan terakhir) Pemeriksaan Radiograf Panoramik : - Memperlihatkan gambaran mandibula sekaligus kondilnya (sebagai pilihan pertama) - Keuntungan: sederhana, kemampuan memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu radiograf, serta detailnya baik - Kerugian: memerlukan posisi pasien tegak (dimana susah pada pasien yang mengalami trauma), susah mengidentifikasi pergeseran tl bukal-lingual dan kondil, detail kurang baik pada area TMJ, Oblique-lateral : membantu mendiagnosis bagian ramus, angulus, dan badan posterior Posteroanterior : memperlihatkan pergeseran medial/lateral pada fraktur di ramus, angulus, body, dan simfisis Anteroposterior : bagi pasien yang tidak bisa diperiksa dalam keadaan telentang Oklusal : memperlihatkan posisi medial & lateral fraktur body serta pergeseran anteroposterior pada simfisis Periapikal : paling detail, digunakan pada fraktur tanpa pergeseran linear, alveolar process serta trauma gigi Reverse Townes : ideal dalam memperlihatkan pergesaran medial pada fraktur kondil dan leher kondil Plain Tomograms : bisa melalui arah anteroposterior maupun lateral Trancranial Lateral : sangat membatu mendeteksi fraktur pada kondil dan adanya pergeseran kepala kondil CT scan : ideal untuk fraktur pada kondil yang sangat susah divisualisasi

3.3 Prinsip Perbaikan Fraktur Mandibula Untuk mencapai pertahanan bentuk dan fungsi regio maksilofasial yang cukup, diperlukan adanya reduksi, fiksasi, dan stabilisasi. Beberapa tujuan dari terapi itu sendiri adalah untuk mendapatkan oklusi yang stabil, untuk memperbaiki pembukaan interinsisial dan pergerakan excursive mandibula dan untuk meminimalkan deviasi mandibula. a) Reduksi

Sangatlah penting untuk mereduksi segmen fraktur ke alignment yang benar. Reduksi dapat dicapai melalui dua teknik, yaitu closed reduction dan open reduction. Closed reduction Mereduksi fraktur ke aligment yang tepat dan mendapatkan hubungan oklusal yang tepat tanpa visualisasi (tanpa tindakan pembedahan). Dapat dilakukan dengan menggunakan kawat dan memerlukan adanya MMF (mengikatkan gigi pada rahang yang tidak terinjuri ke gigi pada rahang yang terinjuri).

Indikasi: fraktur comminuted; atropi edentulous mandibula fraktur; kekurangan jaringan lunak; fraktur yang melibatkan mixed dentition; favourable fracture.

Kerugian: pasien panik; pasien tidak nyaman; nutrisi pasien yang buruk; berkurangnya berat badan; atropi otot; osteoporosis.

Teknik wire fixation pada closed reduction: 1. Direct Interdental Wiring

Teknik : Gunakan kawat stainless-steel halus sepanjang 15cm, kelilingi gigi dengan kawat tersebut .Lalu pilin pada bagian pertengahan gigi.Lakukan pada gigi lainnya juga. Setelah reposisi tersebut selesai, lakukan IMF dengan memilin ujung kawat di gigi RA dan gigi RB Keuntungan : sederhana, first-aid method Kerugian : kawat cenderung akan patah, jika ada bagian kawat tidak bisa diganti jika tidak seluruh kawatnya diganti 2. Interdental Eyelet Wiring (Ivy Loop Method)

Gunakan kawat stainless steel 0.35mm, kawat dibagi jadi beberapa segmen masing-masing 15mm. Buat eyelet dengan memilin kawat (3-4pilin). Kawat tersebut diletakan di ruang interdental lalu kedua ujung kawat dibengkokan pada sisi palatal/lingual berbentuk huruf w. Tiap ujung w dimasukan ke mesial dan distal gigi terdekat. Kawat distal dimasukan ke dalam eyelet lalu dipilin dengan kawat mesial. Prosedur ini dilakukan di bawah anestesi lokal/umum.

Buat 5 kawat ditempatkan pada RA dan RB. Fraktur tereduksi dengan menempatkan kawat melewati eyelet RA dan RB. Lalu dipilin sehingga kedua rahang bersatu Mengencangkan kawat dimulai dari area molar pada satu sisi dilanjutkan ke sisi lainnya sampai mencapai area insisif. 3. Continous or Multiple Loop Wiring

Teknik dengan wiring gigi geligi pada kedua rahang dan menggunakan elastic traction. 4. Arch Bar

Indikasi : Jika gigi yang tersisa tidak cukup memberikan efisiensi untuk dilakukan eyelet wiring; Fraktur dentoalveolar sederhana; Jika laboratorium dan fasilitas teknikal tidak ada / tidak adekuat Teknik : Gigi geligi dalam fraktur utama diikat ke metal bar yang diadaptasikan pada lengkung dental Arch bar diadaptasikan pada permukaan bukal RA dan RB dengan bending awal pada permukaan bukal gigi terakhir satu sisi terus melewati midline ke sisi yang berlawanan. Arch bar dikunci ke masing-masing gigi dengan menggunakan kawat halus 0.35mm. Tiap kawat bagian mesial melewati atas bar, mengelilingi gigi dan bagian distal kawat melewati bawah bar. Lalu pilin ke dua ujung kawat tersebut di bagian bukal gigi

IMF didapatkan dengan tie wire dimasukan ke dalam hook RA dan RB lalu dipilin 5. 6. Cap Splints Bonded Modified Orthodontic Brackets

Braket dimodifikasi dengan hook-hook kecil untuk tempat elastic band yang berfungsi sebagai intermaxillary fixation

A. Arch Bar; B. Ivy Loop; C. Continous loop

Terdapat pula fiksasi eksternal dengan menggunakan teknik closed reduction, yaitu external pin fixation. External pin fixation digunakan untk fraktur comminuted mandibula yang parah dan fraktur yang terinfeksi. Open reduction

Segmen fraktur diidentifikasi secara visual dengan teknik pembedahan dimana bagian fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi atau difiksasi secara langsung dengan kawat atau plat.

Indikasi: unfavourable fracture; delayed repair; fraktur fasial kompleks; pasien dengan keterbatasan medis; fraktur kondil yang mengalami pergeseran.

Kerugian: adanya formasi jaringan parut; potensi kerusakan saraf. Akses pembedahan dapat dicapai secara intraoral ( simfisi dan parasimfisis; badan,angulus,ramus; mandibula edentulous) dan ekstraoral (submandibular; retromandibular; preauricular).

Teknik internal fixation dengan open reduction

i.

Wire osteosynthesis (Non-rigid fixation) Dilakukan dengan pengeburan pada segmen fraktur dan mengaitkannya dengan kawat. Beberapa tekniknya adalah transosseous wiring dan circummandibular wiring.

A.Simple straight wire (tegak lurus terhadapsegmen fraktur); B. Figure-eight wire (lebih kuat); C.Transosteal circummandibular wire (pada fraktur oblik). ii. Rigid fixation Tujuan AO/ASIF (standard untuk bedah ortopedi mandibula) adalah untukmencapai primary bone healing dengan 4 prinsip, yaitu reduksi frakmen tulang, fiksasi stabil fraktur, preservasi suplai tulang yang berdekatan, dan mobilitas fungsional awal. Hardware dalam rigid fixation: plates (DCP/EDCP) dan screw, ditambah pula instrumen yang dapat diaplikasikan agar hardware dapat terpasang dengan baik. Teknik rigid fixation: 1) Lag Screw

Lag screw dapat digunakan untuk berbagai kasus fiksasi mandibula. Umumnya lag screw digunakan pada fraktur anterior mandibula, fraktur oblique body mandibula, dan terkadang untuk fraktur angle mandibula. Selain itu lag screw juga sering digunakan sebagai tambahan bagi plate dalam melindung fragmen fraktur. Screw masuk melalui korteks salah satu fargment dan mengikat koretks fragmen lawan dengan ulirannya yang menarik dan menekan kedua fragmen ketika dikencangkan.

2) Compression Plate Compression plate seharusnya diletakkan pada area tension (processus alveolar), tetapi hal ini tidak memungkinkan karena terhalang gigi dan kanal mandibula. Maka, compression plate diletakkan pada area kompresi (inferior border) dan memerlukan tambahan adanya tension band pada area processus alveolar untuk mengontrol kemungkinan distraksi pada inferior border. 3) Non-compression miniplate Teknik miniplate fixation (semi-rigid fixation) untuk

memperbaiki fraktur mandibula didasarkan pada Champys line dari osteosynthesis yang ideal. Miniplate bersifat lunak dan dipasang melalui rute intraoral atau transbuccal dengan monocorticalscrew. Plate yang ditempatkan pada area yang disekitarnya tidak terdapat struktur penting (seperti kanal mandibula, akar gigi), biasanya dipasang dengan bicortical screw. Keuntungan dari teknik miniplate adalah aplikasi hardware pada rute intraoral, sehingga mengijinkan inspeksi oklusi secara langsung selama reduksi fraktur; mengeliminasi luka ekstraoral; eliminasi kemungkinan merusak saraf facial

cabang

mandibular

marginal.

Kerugian

yang

sering

diperdebatkan adalah stabilitas fraktur.

b) Fiksasi Dua Pendekatan Fiksasi

Eksternal

Internal

Rigid (pin intraosseous dan penyangga)

Non-rigid (pembalut Barton sederhana)

Rigid (bone plate dan sekrup)

Non-rigid (kawat)

c) Stabilisasi

Dapat disebut juga sebagai imobilisasi. Waktu yang diperlukan tergantung pada jenis fraktur, teknik yang digunakan, dan kesehatan pasien.

3.4 Fraktur Kondil


a) Etiologi: Cedera karena objek bergerak; Cedera karena jatuh atau menghantam

permukaan; Cedera karena tekanan kombinasi penyebab yang telah disebutkan di atas. b) Klasifikasi 1. Unilateral & bilateral 2. Intracapsular (high condilar) & extracapsular (low condylar) 3. Simple, compuondm atau comminuted 4. 1934, Wassmund Type 1 fraktur leher kondil dengan sedikit displacement. Sudut antara kepala & axis mandibula 10 - 45. Dapat reduksi dengan spontan. Type 2 sudutnya 45-90 menghasilkan robekan porsi medial kapsul sendi Type 3 fragmennya tidak berkontak, & kepala mengalami displacement ke mesial & ke depan, memperlihatkan traksi otot pterygoid. Fragmen umumnya terbatas di dalam daerah glenoid fossa. Type 4 fraktur kepala kondil berartikulasi di atas atau di dalam posisi maju terhadap articular eminence. Type 5 fraktur oblik atau vertical melewati kepala kondil.

5. 1977, Lindhal a. Berdasarkan lokasi anatomis fraktur (level fraktur kondil) : i. Kepala kondil superior dari konstriksi sempit leher kondil. Diklasifikasikan lebih jauh menjadi vertical, kompresi, & comminuted

ii.

Leher kondil daerah kontriksi di bawah kepala kondil, merupakan extracapsular

iii.

Subcondylar di bawah leher kondil & memanjang dari titi terdalam sigmoid notch anterior ke titik terdalam sepanjang aspek konkav posterior ramus mandibula. Dideskripsikan sebagai tinggi atau rendah.

b. Berdasarkan hubungan kondil & mandibula : i. ii. non-displaced deviated melibatkan angulasi fragmen kondil terhadap distal fragmen mandibula. Ujung fraktur tetap berkontak, tanpa separasi atau overlap. iii. iv. v. Displacement dengan overlap medial atau lateral Displacement dengan overlap anterior atau posterior Tidak ada kontak antara segmen fraktur

c. Berdasarkan hubungan antara leher kondil & glenoid fossa : i. ii. Non-displaced Displacement kepala kondil tetap di dalam fossa, namun terdapat alterasi dalam ruang sendi. iii. Dislokasi kepala kondil keluar seluruhnya dari fossa.

6. 1952, MacLennan berdasarkan hubungan proksimal & distal segmen fraktur a. Non-displaced b. Deviasi fraktur c. Fraktur displacement d. Fraktur dislokasi leher kondil keluar dari fossa glenoid

c) Identifikasi : Radiograf konvensional (Orothopantomogram (OPG); Reverse Townes

view; Transcranial view of TMJ); CT scan; MRI; Arthrografi d) Pemeriksaan Klinis Unilateral Condylar Fractures Bengkak dan rasa sakit pada Perdarahan pada satu sisi. anterior dari auditory Bilateral Condylar Fractures Swelling dan rasa sakit jika Movement mandibula pada

salah satu daerah TMJ Perdarahan ini dihasilkan dari laserasi dinding eksternal. Ekimosis pada kulit dibawah prosesus mastoid. Tanda ini dikenal sebagai Battle Sign fraktur Unilateral posterior crossbite Parestesia dari bibir bawah Displacement condyle dari dan retrognatic oklusi Deviasi mandibula saat membuka mulut searah dengan arah

dipalpasi pada kedua daerah kedua daerah

Anterior open bite. Hal ini jika condyle mengalami

terjadi

displacement dari fossa glenoid. Rasa sakit dan keterbatasan saat membuka dan melakukan gerakan protrusi dan gerakan lateral

Wajah terlihat lebih panjang Simphysis atau parasimphysis

fossanya Rasa sakit dan keterbatasan saat melakukan gerakan protrusi dan lateral kea rah yang berlawanan dari fraktur Terkadang mandibula juga mengalami locked. Biasanya disertai dengan perdarahan telinga Rasa sakit pada daerah TMJ saat dipalpasi

e) Prinsip Perawatan Untuk Fraktur Kondil

Tindakan Conservatif Closed Treatment/Closed Reduction Menggunakan teknik Intermaxillary Fixation. Durasi dari treatment ini dapat memakan waktu sekitar 7-10 hari pada kasus unilateral fracture dan akan lebih lama pada kasus bilateral fracture yang disertai openbite. Tindakan Functional Closed Treatment/Closed Reduction Menggunakan teknik Active Movement. Dengan teknik ini, ankilosis dapat dicegah. Tindakan Surgical Open Treatment/Open Reduction Menggunakan Miniature Bone Plates untuk memfiksasi rahang. f) Treatment Untuk Fraktur Kondil A) Closed Teknik (Conservative Treatment) Teknik ini dapat digunakan baik pada kasus unilateral maupun bilateral condylar fractures
-

Indikasi

: Fraktur kondil dengan displacement minimal, gangguan oklusal

minimal, deviasi mandibula saat membuka mulut B) Open Reduction Indikasi Utama Fraktur dislokasi dari kondil ke arah middle cranial fossa Ketidakmampuan mencapai oklusi karena terjadi interlocking yang disebabkan oleh fracture condylar segment Lateral fracture dislokai dari kondil Compound fracture dari kondil yang disebabkan oleh tembakan pistol atau senjata tajam lain. Penyembuhan edeme dan perdarahan karena sebab tersebut akan memakan waktu sekitar 1-2 minggu Indikasi Tambahan

Unilateral atau bilateral condylar fractures pada pasien yang disertai dengan penyakit sistemik, seperti : severe respiratory disorder, pchychiatric problem, refractory behaviour, mental retardasi atau kelainan neurological lainnya

Bilateral condylar fracture pada pasien edentolus Bilateral condylar fracture yang juga disertai dengan fracture tengah wajah Bilateral condylar fracture pada pasien dengan orthognatic problem, misalnya masalah retrognatic atau prognatic, kehilangan banyak gigi pada area posterior, dan open bite

Method

of

Immobilisasi

Condyle:

Transosseous

Wiring;

Kirschner

Wire;

Intramedullary Screw; Bone Pins;Bone Plating Treatment Protocol: Anak <10 tahun Biasanya dikhawatirkan akan terjadi ankilosis. Disarankan untuk menggunakan teknik fungsional pada kasus unilateral maupun bilateral condylar fractures. IMF dapat dilakukan pada hari 7-10 pada kasus dengan rasa sakit yang parah Remaja tahun 10-17 Biasanya akan terjadi maloklusi. Disarankan untuk menggunakan teknik fungsionak pada kasus unilateral maupun bilateral condylar

fractures. IMF dapat dilakukan pada minggu ke 2-3 Adult (unilateral Kebanyakan tidak mengakibatkan deformasi. Disarankan untuk intracapsular) menggunakan teknik konservatif. IMF dapat dilakukan pada minggu 2-3 pada kasus dengan maloklusi Adult (bilateral IMF baru dapat dilakukan setelah 3-4 minggu. Setelah IMF, dapat intracapsular) dilakukan perawatan physiotheraphy

Adult (unilateral Low condylar neck fracture dapat dirawat dengan open reduction ekstracapsular) method pada kasus severe maloklusi parah yang disebabkan oleh fraktur atau dislokasi. Tidak ada perawatan efektif yang dapat dilakukan. Adult (bilateral Fraktur ini biasanya menghasilkan ketidakstabilan dan perpindahan ekstraselular) mandibula yang ekstensif. Dilakukan open reduction pada salah satu sisi fraktur. Dilakukan open reduction pada kedua belah sisi fraktur jika ditemukan juga midfacial fraktur. g) Komplikasi Pada Fraktur Kondil

1) Ankylosis TMJ Ankilosis TMJ mengacu pada imobilitas dan konsolidasi TMJ yang membuat keterbatasan yang significant atau keterbatasan penuh saat membuka mulut. Faktor predisposisi ankilosis menurut Laskin adalah : Usia pasien
Lokasi dan Jenis Fraktur

Prolonged Immobilization Damage to Meniscus 2) Interference with Growth Gangguan pertumbuhan dapat terlihat pada sebagian kecil kasus anak-anak yang mengalami fraktur pada daerah cartilage condyle dan permukaan articular. Pada kasus ini, fibrous atau ankilosis TMJ akan terlihat pada beberapa kasus. Keadaan ini akan mengurangi fungsi normal perpindahan rahang yang nantinya akan menghambat pertumbuhan.

IV.

Fraktur Maksila

4.1 Fraktur 1/3 Tengah Wajah a) Middle Third of Face

Karakteristik wajah bagian tengah: o Struktur tulang tersebut dapat menerima tekanan yang diaplikasikan dari bawah tapi, mudah fraktur jika diaplikasi tekanan dari lateral, anterior/superior. o Daerah yang rentan fraktur: tulang nasal, arkus zygomaticus dan maxilla o Tulang yang rapuh (fragile) tersebut berperan sebagai peredam/ pengurang tekanan trauma yang mengai cranium langsung dari arah anterior/antrolateral o Mekanisme dalam meredam tekanan trauma Tekanan yang keras terhadap cranium diredam oleh tekanan tersebut memfrakturkan diri proteksi terhadap cranium
o

Trauma pada arah anterior comminution dari tulang superficial terutama tulang naso-ethmoid dan anterior maxilla dish face deformity

b) Anatomi Maksila Tekanan mastikasi akan diserap oleh maksila. Adanya sistem buttress pada facial juga membantu dalam menyerap dan menyebarkan tekanan ke tulang facial. Ada 2 buttress yaitu: o Vertical buttress : sutura nasomaxillary, sutura zygomaxillary dan pterygomaxillary o Horizontal buttress: frontal bar, orbital rims. Zygomatic processes of temporal bone, maxillary alveolus dan palate, greater wings of sphenoid Gangguan terhadap oklusi o Perpindahan ke arah belakang dan bawah dari daerah 1/3 tengah wajah menyebabkan mandibula terbuka disertai adanya hambatan dari gigi molar, retroposisi gigi anterior rahang atas, dan anterior open bite o Midline split dari maksila pada sutura median palatal karena tekanan yang ditransmisikan ke atas melalui gigi geligi mandibula
o

Depressed zygomatic bone mengenai prosesus coronoid mengganggu pergerakan normal mandibula

Nerve supply Daerah ini diinervasi oleh maxillary nerve (V2)

Blood supply Region midface disuplai oleh 3 bagian dari maxillay artery

c) Prinsip Umum Penanganan Fraktur 1/3 Wajah 1. Waktu untuk pembedahan Meskipun ada beberapa pemahaman yang menyatakan bahwa perbaikan sesegera mungkin harus dilakukan ketika pasien sedang dalam keadaan stabil, tidak ada efek signifikan yang timbul dengan ditundanya perbaikan selama 7-14 hari, dimana edema akan sembuh atau mennghilang sehingga memudahkan perawatan Jangan menunggu terlalu lama dari jangka waktu 7-14 hari karena lebih dari jangka waktu tersebut proses penyembuhan dan fibrosis dimulai, dan menyebabkan proses perbaikan akan terganggu. Selain itu perbaikan dapat ditunda untuk pasien yang masih belum stabil atau pasien dengan tekanan intracranial (ICP) yang tinggi. Adanya kebocoran cerebralspinal fluid (CSF) merupakan bukan kontraindikasi yang absolute untuk perbaikan fraktur awal, akan tetapi perbaikan tersebut dan perawatan terhadap kebocoran CSF yang bersamaan dapat meningkatkan ICP.

2. Masalah yang berhubungan dengan perawatan midface fracture

Pemeliharaan airways i. Reduksi farktur dari area tersebut membutuhkan GA yang dapat diberikan melalui intubasi nasal bukan melalui mulut. ii. Intubasi oral dapat diindikasikan bila terjadi luka pada jaringan lunak yang parah pada hidung iii. Pada kasus fraktur mandibula yang membutuhkan penilaian terhadap oklusi, intubasi submental dapat dilakukan.

Kerumitan dari fraktur i. Tingkat kerumitan cedera tergantung dari tipe fraktur Le Fort.

Fiksasi i. Fiksasi membutuhkan immobile point sebagai pendukung ii. Mandibula merupakan tulang yang bergerak sehingga tidak dapat dijadikan sebagai tulang untuk fiksasi dari tulang maksila

3. Surgical approach Beberapa pendekatan bedah dapat dilakukan dengan metode berikut ini Coronal dan haemicoronal Teknik ini memberikan pemaparan yang baik pada area frontal dan dapat diperluas untuk medapatkan akses ke dinding orbital lateral, dahi dan area nasofrontal, dan arkus zygomaticus. Midfacial degloving

Transconjunctival/ subciliary Teknik ini memberikan akasis ke inferior orbital rim, infraorbital area, dan dasar orbital.

Transantal Akses ini digunakan untuk meperbaiki pada daerah dinding anterior maxillary wall

Nasoantral window

d) Le Fort Fracture

Keterangan Le Fort I Dari nasal septum ke lateral pyryform rims, berjalan horizontal diatas apikal gigi, di bawah zygomatic buttress dan melewati 1/3 bawah lamina pterygoid. Diakibatkan karena adanya gaya horizontal yang mengenai daerah apikal gigi maksila Tanda dan gejala:
-

Manajemen Pertama-tama, blok fraktur direposisi untuk mendapatkan oklusi dengan menggunakan Rowes disimpaction forceps atau Hayton Williams forceps. Setelah reposisi, lakukan fiksasi. Pada non-comminuted fracture dapat dilakukan simple maxillomandibular fixation tanpa suspension wire selama 4 minggu. Alternatif lainnya, intraosseous wiring dapat dilakukan. Alternatif lainnya

Terlihat sedikit pembengkakan di bibir atas, gangguan oklusi dan terkadang terjadi fraktur palatum

Adanya ecchymosis pada sulcus bukal di bawah arkus zygomaticus Karena terjadi impaksi (hambatan) pada gigi mandibular terhadap gigi maksila lawannya menyebabkan terjadinya kerusakan pada cusp gigi maksila. Kerusakan cusp terlihat pada daerah gigi premolar Gigi dan maksila dapat digerakkan akan tetapi, hidung dan wajah bagian atas tetap Perkusi pada maksila akan terdengar suara yang khas yaitu cracked-pot sound Tidak ada tenderness atau disorganisasi dan mobilitas dari arkus dan tulang zygomaticus

dapat menggunakan miniplate dan screw. Pasien diinstruksikan untuk mengonsumsi makanan yang lunak (soft diet) selama beberapa minggu. Pada comminuted fracture, tidak disarankan untuk menggunakan plat maupun kawat, lebih baik melakukan maxillomandibular fixation dan suspension

Le Fort II

Fraktur ini terjadi bila gaya mengenai daerah tulang nasal. Fraktur ini berbentuk piramida. Tanda dan gejala:
-

Edema yang besar pada daerah 1/3 wajah tengah (moon facies) Pemeriksaan intraoral retroposisi maksila dan hambatan oklusi terlihat Ketika tulang maksila dipegang, mid-facial skeleton bergerak seperti bentuk piramida dan pergerakan dapat dideteksipada infraorbital margin dan nasal bridge.

Pertama-tama, blok fraktur direposisi dengan menggunakan Rowes disimpaction forceps untuk mengembalikan oklusi. Setelah oklusi didapatkan, pasien dapat dirawat dengan menggunakan suspension. Alternatif lainnya dapat juga dilakukan dengan open reduction kemudian dilakukan fiksasi dengan menggunakan kawat (wire) atau miniplate

Adanya hematoma pada sulkus bukal didepan gigi M1 dan M2 RA karena frakturnya zygomaticus buttress Fraktur orbital menyebabkan keterbatasan gerak ocular Bilateral circumorbital ecchymosis memberikan tampakan raccoon eyes Sunconjuctival haemorrhage berkembang dengan cepat pada area yang berdekatan dengan letak cidera CSF rhinorrhoea dapat terjadi Anesthesia atau parasthesia dari pipi terjadi akibat cidera dari infraorbital nerve Deformitas dari hidung dengan epitaxsis Dish face dengan pemanjangan wajah karena separasi dari 1/3 tengah wajah dari dasar tengkorak Maxilla yang mengambang Terpisahnya midline atau paramedian dari palatum Prinsip manajemen fraktur Le Fort III pada dasarnya sama dengan manajemen fraktur Le Fort I dan Le Fort II.

Le Fort III

Disebut juga Suprazygomathic Fracture. Tanda dan gejala: Edema yang besar pada tengah wajah Bilateral circumorbital ecchymosis dengan sub conjunctival haemorrhage Karakteristik: dish face

pemanjangan wajah Mobilitas dari seluruh tulang wajah sebagai satu unit Ketika terjadi lateral displacement kemiringan dari bidang oklusal dan hambatan pada satu sisi terjadi Tenderness dan separasi dari sutura frontozygomatic terjadi Hooding eyes terlihat karena terjadi separasi dari sutura frontozygomatic Deformitas dari arkus zygomatic CSF Rhinnorrhea Kesulitan dalam membuka mulut, tidak dapat menggerakkan rahang bawah.

Gambar:

Gambar 1 : Le Fort I Gambar 2 : Le Fort II Gambar 3 : Le Fort III

4.2 Fraktur Komplek Zygomatik a) Klasifikasi Menurut Rowe dan Williams 1. Fraktur stabil setelah elevasi Hanya arch (medially displaced) Rotasi mengelilingi vertical axis: medially, laterally

2. Fraktur tidak stabil setelah elevasi


-

Hanya arch (inferiorly displaced)

Rotasi mengelilingi horizontal axis: medially dan laterally Dislokasi enblok: inferiorly, medially, posterolaterallt Fraktur comminuted

Menurut Larsen dan Thomsen 1. Grup A: fraktur stabil, menunjukkan minimum atau tanpa pergeseran, tidak membutuhkan treatment 2. Grup B: Fraktur tidak stabil, pergeseran besar dan disrupsi suture frontozygomatic dan fraktur comminuted, membutuhkan reduksi dan fixasi 3. Grup C: fraktur stabil, tipe fraktur zygomatic yang membutuhkan reduksi tapi tidak fixasi 4. Fraktur zygomatic yang tidak melibatkan orbit: Minimum atau tanpa pergeseran Fraktur tipe V Fraktur comminuted

b) Tanda dan Gejala 1. Circumorbital ekimosis Periorbital bleeding terjadi mengikuti fraktur pada orbital rim. Ini dapat terlokalisasi di batas inferior infraorbital atau semua orbital rim . Hemmorage di dalam muscle one atau retrobulbar hemmorage mungkin menyebabkan kenaikan teknan di dalam spase infraorbital yang berkonsekuensi menjadi proptosis, dilatasi pupil, optalmoplegia, penurunan visual. Ketika ada pergeseran tulang zygomatic ke dalam antrum maxillary, antrum mungkin diisi dengan darah. 2. Flattening malar prominence

Fraktur tulang zygomati di region zygomati frontal, zygomatic temporal atau zygomatico-maxillary suture mengahsilkan prgeseran ked lam dari tulang. Adanya edema dan lemak wajah mungkin menyamarkan fraktur tulang zygomatic di bawahnya. 3. Flattening zygomatic arh 4. Tenderness and deformity at the zygomatic buttress of the maxlla 5. Nyeri Jika fragment fraktur tidak mobile, normalnya pasien tidak akan merasakan sakit, tetapi tenderness mungkin ada. 6. Epistaxis Hemorage unilateral dari hidung mungkin terjadi jika ada perdarahan dar sinus sebagai hasil dari disrupsi mukosa sinus. 7. Trismus Trismus terjadi karena depressed zygoma yang melewati batas prosessus coronoid. Pasien biasanya tidak mapu menutup mulut dan jika mulut telah tertutup selama waktu injury, pasien tidak dapat membuka mulut lagi. Pasien juga tidak dapat menggerakkan rahang ke lateral dan protrusi. 8. Sensibilitas saraf yang abnormal Anaesthesia atau paraesthesia di saraf infraorbital sebagai hasil neuropraxia atau neurotmesis umum terjadi pada fraktur zygoma 9. Perubahan globe level 10. Crepitisasi dari emfisema udara Pengoyakan pada lining mukosa sebagai hasil dari fraktur yang melalui dinding sinus mungkin menyebabkan udara melepaskan diri ke jaringan lunak fasial jika tekanan di sinus lebih besar dari tekanan di jaringan. 11. Pergeseran fissure palpebral

12. Enophthalmos: mata tenggelam ke dalam yang mungkin menyebabkan

diplopia. Disebabkan oleh kenaikan volume dari orbit karena fraktur. 13. Diplopia Merupaan komplikasi serius dari fraktur zygoma yang disebabkan campur tangan aksi otot extraoular dan juga edema dan perdarahan di sekitar otot ini. Pasien merasakan kabur dan double vision. Tipe diplopia: 1. Temporer atau permanen Temporer: hasil dari hematoma atau edema pada otot extraoular Permanen: hasil dari paralysis atau musce entrapment dalam segmen fraktur 2. Monoular atau binocular
-

Monocular: double vision dalam satu mata, dengan mata yang lain tertutup

Binocular: Karena fraktur zygomatic. Ketika melihat melalui kedua mata, double vision dialami pasien

Test untuk diplopia: 1. Tes untuk pergerakan mata Jari diletakkan di depan pasien dan dipindahkan ke segala arah dan mata pasien mengikuti pergerakan jari tersebut. Pasien diminta melaporkan double vision yang terjadi. 2. Tes untuk mengetahui penyebab diplopia Traction test: Dengan forsep pemegang jaringan, pegang tendon inferior rectus muscle dan pasien diminta untuk melakukan semua pergeraka mata. Kegagalan merotsikan mata ke superior mengindikasikan paralysis atau entrapment muscle di dalam segmen fraktur.

c) Manajemen Fraktur Zygoma Pendekatan surgical: a. Intraoral Insisi transverse bukal sulcus unuk mengakses space infratemporal Caidwell-Luc untuk mengakses lantai orbital dn body zygomati

b. Ekstraoral Insisi temporal Gillies untuk mengakses plane di antara temporalis fascia dan otot temporal untuk mengelevasi komplek dan arch zygoma Insisi coronal Lateral eyebrow Insisi upper eyelid Insisi lower eyelid

Indirect reduction: 1. Tanpa fiksasi a. Pendekatan Gillies temporal fossa Untuk meredeuksi fraktur kompleks zygoma yang stabil. Prosedurnya: Insisi 2, 5 cm dibuat di antara dua cabang arteri temporal superficial dengan sudut 45 ke batas atas perlekatan telinga luar. Diseksi dilakukan hingga temporal fasia. Elevator Bristow dilewatkan melalui inisi ini di bawah tulang zygoma yang kemudian dikurangi ke posisinya. Insisi ini kemudian ditutup di layer. b. Transverse bukal sulcus insisi: Hook tulang dapat dilewatkan dari insisi transverse yang dibuat di region bukal sulus dan segmen fraktur dapat direduksi. Insisi 1 cm dibuat di sulkus bukal di belakang buttress zygomatic. Hook tulang dilewatkan di belakang, supraperiostelly untuk berkontak bagian dalam tulang zygomatic. 2. Dengan fiksasi

a. Transosseous wiring b. Fiksasi pin Teknik ini berarti bahwa tulang zygomatic dilindungi secara rigid ke point di tempat lain di skeleton fasial dengan external pin dan rod hingga persatuan terjadi setelah pin dan rods dapat dihilangkan. c. Bone platting d. Fiksasi dengan pack di sinus maxillary Tidak ada perawatan untuk fraktur zygoma dengan pergeseran minimal dan tanpa gejala yang sigifikan, dan pada pasien tua yang punya medically compromised. Komplikasi Fraktur Zygomatic: Retrobullar hemorage; Molar asymmetry; Gangguan penglihatan; Diplopia; Orbital dystopia; Enophthalmos; Sensory deficit yang melibatkan saraf infraorbital. Frontozygomati suture Infraorbital margin

4.3 Fraktur Nasal a) Anatomi

b) Patofisiologi

Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista maksilaris. Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III. c) Diagnosis a. Anamnesis Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter bedah sangatlah penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia. b. Pemeriksaan fisik Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah. Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus medial,

apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis. Palpasi: krepitasi akibat emfisema sukutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi nampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal. c. Pemeriksaan radiologis Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan. Radiografi yang dapat dipakai berupa : CT scan dan posisi AP dan lateral. d) Penatalaksanaan A. Konservatif Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa.Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien B. Operatif

Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung e) Komplikasi i. Hematom septi Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase. ii. Fraktur akibat pukulan Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler. iii. Fraktur septum nasal Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal. Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch. iv. Fraktur lamina kribriformis Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.

V.

Bone Healing

5.1 Secondary Healing

Merupakan proses healing yang terjadi jika fraktur dibiarkan saja atau ditangani Terjadi pembentukan callus pada proses healing ini. Proses yang terjadi : Kerusakan pembuluh darah terjadi nekrosis tulang terjadi inflamasi terjadi inisiasi poliferasi sel pembuluh kapiler terbentuk fibroblast terbentuk terjadi produksi kolagen jaringan granulasi terbentuk hyaline cartilage terbentuk harus dilakukan immobilization.

tanpa keterlibatan operasi, selain itu juga jika memakai fixation jenis semi rigid. Initial stage

Cartilaginous callus formation Kalsifikasi tulang cartilage immature cell yang terbentuk saat poliferasi sel pada tahap initial stage menjadi kondroblas dan kondrosit callus terbentuk secara internal (pada ujung tulang yang fraktur) dan eksternal (pada sekitar daerah fraktur). Bony callus formation Kalsifikasi callus menjadi woven bone terjadi perkembangan vascular lebih lanjut kondrosit menjadi osteosit osteosit menjadi osteoblas osteoblas menjadi osteoid tulang cartilage menjadi tulang keras terjadi kalsifikasi tulang keras. Remodeling Woven bone menjadi lamellar bone terjadi remodeling menjadi normal bone (bentuk, struktur, ukuran disamakan dengan tulang sebelum fraktur).

5.2 Primary Bone Healing

Merupakan proses healing yang terjadi jika memakai fixation jenis rigid. Tidak terjadi pembentukan callus pada proses healing ini. Proses yang terjadi : a. Gap healing Pembuluh darah masuk ke gap mesenchymal osteoblastic precursor masuk tulang dideposit di permukaan fraktur tanpa pembentukan tulang cartilage terjadi remodeling. b. Contact healing Osteoklas teraktivasi pada ujung tulang fraktur terjadi resorpsi tulang osteoblas memasuki celah tersebut terjadi poliferase osteoblas dan pembentukan kapiler baru terbentuk tulang baru.

5.3 Komplikasi Healing 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Delayed union Non union Malunion Infection Nerve injury Ankylosis Cerebral Sinus Fluid (CSF) Leak

VI.

Cedera Jaringan Lunak Keterangan (Etiologi) Perawatan Secara umum tidak diperlukan perawatan bedah jika tekanan hidrostatik jaringan lunak sudah sama dengan tekanan kapiler, maka perdarahan akan terhenti. Penanganan awal sederhana dapat berupa pemberian es pada area luka untuk merangsang konstriksi pembuluh darah

Contusion (Luka Memar)

Merupakan luka dengan kerusakan jaringan di dalam yang menghasilkan hemorrhage subkutan atau submukosa tanpa kerusakan pada permukaan jaringan lunak. Etiologi : - Trauma akibat terkena benda tumpul.

Biasanya juga ditemukan bersamaan dengan trauma dentoalveolar atau fraktur tulang facial. Trauma pada bagian yang dalam (misalnya: dasar mulut, vestibulum labial) biasanya merupakan efek dari fraktur tulang di sekitarnya.

dan mengurangi pembentukan hematoma. Jika perluasan tidak terhenti, akan terbentuk hematoma mungkin membutuhkan bedah dan ligasi pembuluh darah. Dalam beberapa hari, area ekimosis (berwarna keunguan) akan berubah warna menjadi biru, hijau, atau kuning, sebelum akhirnya hilang. Dengan tidak adanya kerusakan pada permukaan jaringan lunak, maka tidak mungkin terjadi infeksi antibiotik tidak dibutuhkan. Jika luka memar merupakan efek dari trauma dentoalveolar, perhatikan hubungan rongga mulut dan hematoma submukosal tersebut dibutuhkan antibiotik sistemik.

Abrasion (Luka Gesek)

Merupakan luka dengan hilangnya lapisan epitel dan papilla pada kulit, terkadang menyebabkan tereksposnya nerve ending sehingga terasa sakit.

-Area yang mengalami gesekan harus dibersihkan dengan benar untuk menghilangkan partikel-partikel asing.

-Pada luka gesekan yang cukup dalam dengan banyak partikel kotor di dalamnya, Etiologi : terkadang dibutuhkan anestesi lalu luka tersebut dibersihkan dengan surgical scrub -Pergesekan antara sebuah objek brush (sikat gigi). dengan jaringan lunak. -Jika luka sudah bersih, lakukan aplikasi -Dapat tercipta secara iatrogenik topikal salep antibiotik. pada dental office (terkena bur, tergesek gauze pack saat -Tutup luka tersebut dengan plester atau dilepaskan dari mukosa). perban. -Epitelium oral dapat beregenerasi dengan cepat, sehingga yang paling penting dilakukan adalah pemeliharaan oral hygiene

Laceration (Luka Robek)

Merupakan luka dengan -Luka jaringan lunak yang diakibatkan kerusakan jaringan epitel dan oleh trauma dentoalveolar, harus dirawat subepitel. Paling sering terjadi. dulu trauma dentoalveolarnya. Etiologi : -Terkena benda tajam. -Langkah-langkah bedah untuk laserasi: 1.Anestesi.

-Laserasi pada bibir biasanya 2.Pembersihan dengan surgical soap,

terjadi pada trauma dentoalveolar, namun umumnya gigi justru tidak mengalami trauma terlalu parah, karena terlindungi oleh jaringan lunak itu sendiri.

sikat, larutan saline, pulsed irigation (lebih efektif daripada irigasi mengalir). 3.Debridement pembersihan luka dari jaringan-jaringan nonvital. Pada maksila, dengan vaskularisasi yang banyak, tidak dibutuhkan terlalu banyak debridement. 4.Hemostasis harus dilakukan dengan baik sebelum penutupan luka jika tidak (perdarahan belum berhenti) terbentuk hematoma merusak jaringan (membuka jahitan) setelah luka ditutup. 5.Pada luka yang dalam, diindikasikan pemberian antibiotika. 6.Penutupan luka dengan suturing, namun tidak semua luka robek butuh dijahit.

Avulsion

Merupakan luka dengan Dengan skin graft atau local flap hilangnya jaringan yang meninggalkan gap pada kulit. Merupakan luka akibat benda yang langsung menembus kulit. -

Puncture wound

Pain control. Prophylaxis tetanus. Drainase pus atau eksudat. Antibiotic dressing mencegah kontaminasi. untuk

Vous aimerez peut-être aussi