Vous êtes sur la page 1sur 88

ANALISIS WACANA PEMBERITAAN KASUS BIBIT-CHANDRA DI SURAT KABAR JAWA POS

SKRIPSI

Diajukan Oleh : Meita Sari Ramadani 06.01.3.1.1.000.27

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS TRUNOJOYO 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Who? Says What? In Which Channel? To Whom? With What Effect? (Harold Laswell) Mengacu pada lima unsur komunikasi tersebut menjelaskan bahwa sebuah proses komunikasi tidak hanya membutuhkan komunikan dan komunikator saja, akan tetapi diperlukan media sebagai penghantarnya. Dalam komunikasi politik, keberadaan media menjadi sangat penting sebagai ruang membentuk realitas. Media memiliki cara tersendiri untuk menampilkan peristiwa-peristiwa politik dan menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik. Bentuk pembicaraan politik tersebut antara lain berupa teks atau berita politik (Ibnu Hamad, 2004:9). Mengutip pendapat Mcluhan (dalam Nimmo, 2005:170) bahwa media bukanlah sekadar saluran yang bebas namun subyek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias, dan pemaknaannya. Di dalam pemuatan beritaberita politik yang akan disajikan, teks yang hadir tentunya tak lepas dari sebuah konstruksi si penulis berita maupun dari perusahaan surat kabar yang bersangkutan. Adanya campur tangan dari pemikiran si penulis berita bisa membuat obyektivitas wacana semakin menonjol atau bahkan tenggelam sama sekali. Hal tersebut semakin menguatkan fakta bahwa media memang tidak berada pada ruang vakum, namun di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai

kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Alex Sobur, 2004:29). Keberadaan media dalam posisi ketidakvakuman memunculkan adanya realitas media. Yang dimaksud disini adalah realitas hasil bentukan para pembuat berita di media yang dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural seperti budaya, ekonomi-politik, dan faktor lainnya yang tidak bisa begitu saja diketahui secara kasat mata. Kekuatan media dalam membentuk realitas didukung dengan apresiasi masyarakat karena teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse). Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Kondisi seperti di atas memungkinkan terjadinya pemilihan wacana pada media. Sesuai asas pemberitaan, sebuah liputan yang layak diberitakan adalah peristiwa yang memiliki nilai berita (Hamad, 2004:9). Oleh karena itu media akan lebih mengutamakan wacana utama ketimbang wacana minoritas karena mempunyai bobot berita lebih tinggi dan memberi keuntungan dibalik pemberitaannya. Namun sikap media yang pemilih tersebut akan memicu terpinggirkannya wacana lain yang membawa implikasi: pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dan berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukan praktik ideologi. Acap kali seseorang, kelompok, gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan menjadi marjinal melalui penciptaan wacana-wacana tertentu. Sementara wacana dominan akan memberikan arahan bagaimana subyek harus dibaca dan dipahami. Pandangan lebih luas mengenai sebuah fakta akan terhalang oleh hal yang telah disiapkan. Lebih lanjut, struktur diskursif yang tercipta atas suatu obyek tidak berarti

kebenaran. Batasan yang tercipta tersebut hanya membatasi pandangan kita (Andre Yuris, 2008). Sayangnya tidak semua penikmat media dapat memahami praktik media tersebut. Masyarakat cenderung menelan begitu saja wacana yang diberikan media tanpa adanya proses pemaknaan lebih lanjut. Jadi ketika dalam sebuah pemberitaan, seorang tokoh politik diinterpretasikan sebagai koruptor maka masyarakat juga memiliki pemahaman yang sama dengan apa yang dibentuk oleh media. Padahal interpretasi itu tidak selamanya realitas murni karena bisa saja predikat yang diberikan kepada tokoh politik tersebut karena adanya kepentingan politik dibalik pemberitaannya. Seperti pemihakan kepada tokoh tertentu yang menjadi rival dan situasi politik di lingkungan media berada. Dari beberapa jenis media massa, yang akan menjadi obyek penelitian disini ialah surat kabar. Menurut Elvinaro (dalam Ananta, 2009:10) fungsi surat kabar sejatinya yaitu sebagai alat kontrol sosial yang konstruktif dan informatif. Surat kabar memberikan beragam informasi yang dibutuhkan pembacanya. Bisa dikatakan, surat kabar menghadirkan informasi lengkap seputar peristiwa yang terjadi di negeri ini. Kembali ke penghujung tahun 2009, mencuat kasus penangkapan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah atas dugaan penyalahgunaan wewenang ketika menjabat Wakil Ketua KPK. Kepolisian menangkap kedua tokoh tersebut terkait kasus tindak pidana korupsi ketika menangani kasus PT. Masaro Radiokom. Berita yang membawa nama sejumlah petinggi KPK serta melibatkan kredibilitas Kepolisian RI menjadi headline di berbagai media. Berita Bibit-Chandra mewarnai

wajah depan surat kabar Indonesia. Media massa gencar memuat perkembangan kasusnya, sehingga berita Bibit dan Chandra menjadi dominan ketimbang beritaberita lainnya. Dengan diterbitkannya berita-berita seputar penangkapan dua tokoh KPK oleh Kepolisian di surat kabar, maka kasus ini bukan saja ditujukan untuk para penegak hukum dan aparatur negara melainkan juga untuk dikonsumsi masyarakat luas. Pada surat kabar Jawa Pos, pemberitaan kasus Bibit-Chandra memiliki ruang yang cukup lebar untuk pemuatan berita kedua tokoh KPK tersebut, bahkan selama Oktober hingga November 2009 menjadi headline atau berita utama yang dimuat di halaman depan Jawa Pos. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan yang dapat menganalisis realitas yang dihasilkan oleh wacana media. Proses pemaknaan suatu pesan tidak bisa hanya menafsirkan apa yang tampak nyata (manifest) dalam teks namun juga harus menganalisis makna latent dalam teks media. Analisis Wacana dapat membantu memahami realitas dibalik teks yang mungkin saja berupa faktor kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi-politik. Dengan analisis wacana juga dapat diketahui proses merepresentasikan pemaknaan yang dilekatkan Analisis surat kabar untuk untuk

tokoh-tokoh

politik.

ini dimungkinkan

menentukan pula aspek-aspek yang perlu ditonjolkan atau bahkan dihilangkan dari sebuah berita, sisi penyorotan berita, dasar pemilihan narasumber, dan lain-lain yang terkait tingkat relevansi sebuah berita. Seperti yang disebutkan Gaye Tuchman (1978, dalam Dictum, 2007) bahwa berita bukanlah representasi dari peristiwa

semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai lembaga media yang membuatnya.

1.2 Perumusan Masalah Pokok permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana Jawa pos mengkonstruksi berita seputar kasus Bibit Chandra sebagai sebuah realitas politik ?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengkonstruksian berita penangkapan Bibit Chandra oleh Jawa Pos sebagai sebuah realitas politik.

1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu :
1.

Mengetahui perspektif harian Jawa Pos dalam mengkonstruksi realitas politik menjadi sebuah wacana.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kajian ilmu komunikasi terutama mengenai analisis wacana (discourse analysis) dan jurnalistik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Berita Berita didefinisikan sebagai penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi yang dapat menarik perhatian pembaca di surat kabar tersebut. Fanny Lesmana (2007:3-5) mengemukakan dalam bukunya News On My Mind bahwa definisi dari berita salah satunya yaitu sebuah peristiwa / kejadian / informasi yang memiliki nilai berita dan dilaporkan melalui media massa, baik media cetak maupun elektronik. Untuk menjadi berita, sebuah peristiwa harus memiliki kriteria dan juga nilai berita (news value). Kriteria berita itu meliputi : 1. Baru (Actual) Memberikan informasi kepada pembaca tentang peristiwa yang sedang terjadi. 2. Nyata (factual) Menginformasikan mengenai sesuatu yang sebenarnya terjadi.

penggabungan dari kejadian nyata, pendapat, dan pernyataan narasumber. 3. Penting (important) Bersangkutan dengan kepentingan orang banyak. 4. Menarik (interest) Mampu mengundang ketertarikan orang (secara emosi) untuk membaca.

Sementara nilai berita adalah hal-hal yang menjadi penentu kelayakan sebuah berita. Beberapa elemen nilai berita menurut Santana (2005:18-20) ialah :

1. Immediacy Terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Unsur waktu sangat diutamakan dalam pelaporan berita. 2. Proximity Keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup mereka, baik secara geografis maupun emosional. Penikmat berita akan lebih tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan sehari-harinya. 3. Consequence Berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. 4. Conflict Elemen konflik memiliki nilai berita yang tinggi dalam pemberitaan, elemen ini bersifat natural. 5. Oddity Berorientasi pada hal-hal yang tidak biasa terjadi dimana akan menjadi perhatian masyarakat. 6. Sex Elemen tambahan bagi pemberitaan tertentu, seperti pada berita selebritis dan kriminal. Unsur seks bisa menambah nilai berita karena bisa menarik perhatian pembaca. 7. Emmotion

Dinamakan elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah individu / kelompok yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, kebahagiaan. 8. Prominence Unsur keterkenalan yang membuatnya menjadi berita. Hal-hal yang terkenal tersebut dapat berupa orang, benda, tempat, atau hari besar. 9. Suspence Menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu masyarakat terhadap sebuah peristiwa. 10. Progress Elemen yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam menunggu perkembangan sebuah peristiwa.

Kelayakan sebuah berita ditentukan pula oleh kandungan unsur-unsur berita dan jenis-jenis dari berita tersebut. Unsur berita yang sewajarnya terdapat dalam tiap pemberitaan adalah 5W 1H : What (peristiwa apa) ; Who (siapa pelaku yang terlibat) ; When (waktu terjadinya peristiwa) ; Where (dimana tempat kejadian) ; Why (mengapa bisa terjadi) ; dan How (kronologis kejadian). Unsur berita membantu memudahkan wartawan dalam pengumpulan data untuk menyusun fakta-fakta hingga menjadi berita. Kemudian ditinjau dari jenisnya, berita dibagi menjadi beberapa kategori pemberitaan (Santana, 2005:21) :

1. Hard News

Disebut juga dengan straight news, isi beritanya menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca. Karena sifatnya sangat penting maka biasanya diletakkan di halaman depan. 2. Feature News Berita ini merupakan kisah peristiwa atau situasi yang menimbulkan kegemparan atau imaji (pencitraan). Kisahnya didesain untuk menghibur karena informasi yang diberikan tidak teramat penting untuk diketahui masyarakat. Namun tetap terkait dengan hal-hal yang menjadi perhatian khalayak. Jenis berita ini biasanya memainkan emosi pembaca (sedih, terharu, semangat, dll.) 3. Investigation News Berita yang dikembangkan dengan pendapat / penilaian penulis terkait dengan hasil penginvestigasiannya terhadap suatu masalah atau kasus. 4. Berita Ringan Dalam berita jenis ini, yang diutamakan adalah unsur hiburan (santai) ketimbang unsur pentingnya.

Lepas dari jenis-jenis pemberitaan, setiap surat kabar baik cetak maupun elektronik tentunya tidak mengacuhkan keberadaan cover atau sampul wajahnya. Dari halaman muka (depan) inilah berita-berita yang menjadi topik utama ditampilkan media secara lebih terekspos. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi point of interest dari semua pemberitaan yang ada di edisi tersebut sehingga ada keinginan dan ketertarikan pembaca untuk membaca berita yang dimaksud secara

lebih lengkap. Jadi, secara prinsip halaman depan turut menentukan keseluruhan isi surat kabar bahkan lebih jauh akan mempengaruhi angka penjualan koran tersebut. Tidak seperti berita di halaman lainnya, berita-berita yang dimuat di halaman depan surat kabar mempunyai ciri yang amat spesifik yakni penulisan judul yang ditampilkan dalam ukuran besar. Dalam bahasa jurnalistik judul berukuran besar ini disebut headline.

2.1.1

Headline Headline adalah judul dengan huruf-huruf besar yang mengawali berita,

dimana hal tersebut dapat menarik perhatian pembaca jika ditulis dengan baik. Menurut Rolnicki, dkk (2008:221-222), Headline menjadi penting sebab : 1. menyebut dan meringkas fakta penting dari sebuah berita. 2. mengkomunikasikan mood (suasana) berita. Di poin ini ada semacam nada berita yang diberikan oleh headline.
3. menandai arti penting relatif dari sebuah berita. Kaidah umum dari headline,

semakin besar font-nya maka akan semakin penting beritanya.

Headline biasanya dibuat dalam satu atau dua kalimat pendek tapi cukup memberitahukan persoalan pokok dari peristiwa yang diberitakan. Berdasarkan kepentingan berita (Suhandang, 2004:23) ada empat jenis headline yaitu : 1. banner headline, untuk berita yang terpenting. Jenis dan ukuran huruf mencerminkan sifat gagah dan kuat.

2. Spread headline, untuk berita penting. Tampil dengan huruf yang sedikit lebih kecil dari banner headline. 3. secondary headline, untuk berita yang kurang penting. Hurufnya tampak lebih kecil lagi spread headline, tapi lebih besar dari secondari headline. 4. subordinated headline, untuk berita yang dianggap tidak penting. Terkadang hanya untuk mengisi tempat kosong pada halaman yang bersangkutan.

Tidak semua berita dapat dijadikan headline. Hanya berita-berita tertentu yang telah dipilih redaksi yang akhirnya lolos menjadi headline untuk kemudian dipasang pada halaman depan. Kebijakan redaksional mengenai berita apa saja yang masuk menjadi headline didasarkan pada pertimbangan tertentu yang dianut redaksi ataupun media yang menaunginya. Beragam isu menarik seputar politik seringkali menjadi pemberitaan di hampir seluruh media massa. Politik merupakan sesuatu yang menarik untuk dibahas, karena didalamnya berkaitan dengan kekuasaan, perang ideologi, munculnya idealisme-idealisme baru, dan tentunya pemerintahan. Salah satu

pembahasan menarik yang menyita perhatian Indonesia dan media menjelang akhir tahun 2009 yaitu munculnya serangkaian kasus yang melibatkan nama kepolisian dan lembaga pemberantasan korupsi, dalam hal ini KPK.

2.2. Pemberitaan Kasus Bibit-Chandra Meninjau sejarah KPK, sebagai lembaga yang independen, KPK memang memiliki hak prerogative untuk melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan

dugaan kasus korupsi. Pengadaan hak ini berlaku bagi semua tataran pemerintahan, dari level rendah seperti pegawai, pihak swasta, bupati hingga level atas seperti kalangan pejabat negara, menteri, hingga jajaran penegak hukum. Kebebasannya dalam menyadap semua pembicaraan di telepon yang dilakukan pihak-pihak yang dicurigai terkait korupsi semakin melancarkan aksi KPK. Keberhasilan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 59,2 miliar (Muhammad, 2009:101). Kepolisian RI yang notabene lahir lebih dulu dibanding KPK memiliki beban tugas dan tanggungjawab yang beragam. Semua isu beraspek hukum (pidana) ditangani oleh lembaga ini. Mulai dari pelanggaran lampu lalu lintas, pencurian, trafficking atau perdagangan manusia secara illegal, kasus narkoba hingga permasalahan korupsi. Pandangan khalayak tentang citra buruk kepolisisan memang belum luntur, namun demikian tetap saja sosok Polri masih sangat dibutuhkan demi stabillitas keamanan negara ini. Konflik antara KPK dan Polri ini bermula dengan munculnya testimoni Antasari Azhar yang menyebutkan ada dua pimpinan KPK (tidak disebutkan namanya) menerima suap dari Anggoro, Direktur PT. Masaro dalam kasus penyelidikan dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Ketika penyelidikan lebih lanjut, dari mulut Anggoro diketahui dua pimpinan KPK tersebut ialah Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Dari bukti itulah dilakukan penangkapan terhadap kedua Wakil Ketua KPK oleh kepolisian. Peristiwa ini mencuat ke media massa hingga muncul persepsi bahwa terjadi pengebirian KPK oleh pihak kepolisian. Setelah sebelumnya,

Ketua KPK nonaktif, Antasari Azhar ditangkap karena diduga melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, kini disusul oleh para Wakilnya yang juga ditahan karena terlibat kasus suap di tubuh KPK. Anggapan pelemahan KPK ini dilatarbelakangi dengan adanya

kekhawatiran kepolisian terkait penyelidikan KPK terhadap Polri. Berdasarkan Indeks Suap, hasil survey Masyarakat Transparansi Indonesia tahun 2008 lalu kepolisian RI menduduki posisi pertama sebagai lembaga yang sangat rentan suap. Pengukuran dilakukan dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang terjadi suap, dibanding total kontak yang terjadi (Ardison Muhammad, 2009:48). Dapat disimpulan sementara bahwa hasil pemaknaan dari media, Anggoro diduga membuat skenario untuk mengkriminalkan pimpinan KPK. Berita mengenai penangkapan dua tokoh KPK, Bibit samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang dilakukan oleh kepolisian telah meramaikan pemberitaan sejumlah media massa. Perseteruan Cicak vs Buaya (KPK dan Polri) mulai merebak di kalangan masyarakat pada pertengahan September 2009, setelah sebelumnya sempat gempar oleh kasus pembunuhan yang dilakukan Antasari Azar yang menjabat ketua KPK kala itu. Kemudian awal Oktober 2009 semakin gencar diberitakan oleh seluruh media di tanah air, khususnya media cetak. Peristiwa ini membuat hubungan dua lembaga hukum yang seharusnya bahu-membahu memberantas tindak kriminal justru saling baku-hantam, saling tuding kesalahan.

2.3. Representasi Media

Istilah

representasi

media dimaksudkan

pada cara media dalam

menampilkan seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu pada pemberitaan. Menurut John Fiske (dalam Eriyanto, 2001:114) tiga proses yang dihadapi wartawan saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan atau kelompok tertentu yakni : realitas. representasi, dan ideologi. Pada proses realitas, yang tampil dalam produk media merupakan hasil konstruksi yang mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media sebagaimana ketika wartawan mengkonstruksi peristiwa sebagai realitas yang didapatnya. Dikaitkan dengan faktor bahasa, struktur realitas yang disajikan kepada seseorang sangat dipengaruhi oleh bahasa yang tersedia untuk mengonseptualkan dunia nyata yang dipersepsi oleh wartawan. Seperti pendapat yang dikatakan Mcluhan, bahasa yang digunakan orang menentukan sifat pikiran manusia (Nimmo, 2005:170). Dalam wujud tertulis realitas ditandakan melalui wawancara, transkrip, dan sebagainya. Proses kedua adalah representasi, penggambaran realitas dengan

menggunakan perangkat teknis yang berupa kata, proposisi atau kalimat, grafik, foto, dan sebagainya. Dari proses kedua inilah dihasilkan karakter, narasi, setting, dialog. Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa (Hall, 1997:17). Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam

mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi

karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Sedangkan pada proses ketiga, hasil representasi diorganisir secara ideologis. Ideologi dipahami sebagai alat yang menunjukkan pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya (Hermawan, 2007). Kode-kode representasi tersebut dihubungkan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Antonio Gramsci (dalam Sobur, 2004:30) memandang media sebagai ruang untuk merepresentasikan berbagai ideologi. Artinya, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Di sisi lain media merupakan alat resistensi kekuasaan. Menurut Eriyanto (2001:116) representasi media merupakan sebuah peristiwa kebahasaan yang tentunya melibatkan bahasa itu sendiri. Media memaknai realitas dengan memilih dan menulis fakta. Dua hal ini melibatkan sudut perspektif dari sang wartawan yang akan menentukan makna dari realitas tersebut. Realitas bisa jadi sama atau bahkan berbeda dari realitas asli. Hal ini terjadi karena adanya penonjolan yang berkibat pada hilangnya bagian tertentu dari realitas. Dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak dipahami sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Andre Yuris, 2008). Bahasa dapat dianggap sebagai sistem kode verbal, yang dijadikan

sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual (Mulyana, 2005:238). Proses kebahasaan dalam representasi media memiliki keterbatasan. Menurut Mulyana (2005:248) pemilihan kata-kata bisa memunculkan ambiguitas karena merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang yang berbeda dengan latar belakang dan sosial budaya yang berbeda-beda pula. Dari pemaparan mengenai representasi yang tercipta melalui proses kebahasaan di atas, jelas nampak peran besar yang dimainkan media. Pendapat John Fiske mengenai realitas. representasi, dan ideologi memperkuat teori Berger bahwa media memang sebagai konstruksi realitas sosial.

2.4. Media Cetak Sebagai Konstruksi Realitas Sosial Media merupakan sebuah konsepsi besar dalam membentuk kebenaran. Menurut Paul Watson kebenaran ditentukan oleh media massa, dalam hal ini yang dikatakan kebenaran oleh media maka masyarakat juga akan menganggap sebagai kebenaran. (Sobur, 2004:87). Sejalan dengan hal itu, maka media mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku pembacanya. Kekuatan media seperti itu dijelaskan Tony Benet (dalam Eriyanto, 2001:36), bahwa media bukanlah sekadar saluran bebas namun subjek yang

mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemaknaannya. Sepaham dengan pendapat Benet, Hall menambahkan bahwa media mendefinisikan realitas sesuai kepentingannya melalui pemakaian kata-kata terpilih. Pendapat-

pendapat ahli tersebut dipahami setelah muncul istilah social custruction of reality yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann pada tahun 1966. Berger menjelaskan proses konstruksi sosial merupakan hasil ciptaan manusia yang dibentuk dari penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural, interaksi sosial yang diinstitusionalisasi, dan individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga sosial yang menaunginya. Dengan demikian maka realitas akan berwujud plural karena setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda, bergantung pada pengalaman, pendidikan, lingkungan sosial masing-masing individu. Rahmawati (2008:17) memandang setiap wartawan memiliki pandangan berbeda atas suatu peristiwa. Hal itu dapat dilihat melalui cara wartawan mengkonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya, karena pada teori konstruksi sosial berita bukan fakta riil melainkan interaksi wartawan dengan fakta. Dalam pandangan paradigma kritis, berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media. Media memiliki kebebasan dalam menentukan realitas melalui kata-kata yang terpilih. Sementara wartawan, dinilai bukanlah robot yang hanya melapor saja, namun sebagai partisipan dari subjektivitas dalam publik. Wartawan menulis berita tidak hanya untuk menjelaskan tetapi juga membentuk realitas sesuai kepentingan kelompoknya. Terkait dengan profesionalisme wartawan, pandangan kritis melihat prinsip profesionalisme sebagai bagian dari kontrol yang merupakan praktik pendisiplinan. Dalam hal ini menjabarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan, benar-salah, dan sebagainya yang sifatnya mengikat kebebasan wartawan.

Bungin

(2008:195-200)

menjelaskan

tahapan

dalam

pembentukan

konstruksi sosial yang dilakukan media massa melalui empat tahapan yakni : 1. tahap menyiapkan materi konstruksi Tahapan awal ini merupakan tugas redaksi media massa. Ada tiga isu penting yang menjadi fokus media massa yaitu kedudukan (kekuasaan), harta, dan perempuan. Fokus pada kedudukan sejatinya mengenai masalah jabatan, pejabat, kinerka birokrasi, dan layanan publik. Yang menyangkut persoalan harta seperti kekayaan, kemewahan materi, termasuk kasus korupsi. Sedangkan masalah perempuan menyangkut aurat, wanita cantik, dan segala macam aktvitas mereka terutama yang terkait kekuasaan dan harta. Dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa turut

mempertimbangkan pula posisi dirinya. Yang dimaksud posisi diri adalah keberpihakan media berdasarkan kepentingannya. 1) keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat. 2) keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk keberpihakan dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujungujungnya untuk menjual berita dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. 3) keberpihakan kepada kepentingan umum. Dalam arti sesungguhnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya meskipun slogan-slogan visi ini tetap terdengar. (Bungin, 2008:196). 2. tahap sebaran konstruksi Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa yang berprinsip real time. Pada media cetak, yang dimaksud real time terdiri dari

beberapa konsep hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau beberapa mingguan atau bulanan. Tahapan sebaran ini sifatnya satu arah, media memberikan informasi sementara konsumen mau tidak mau hanya mengkonsumsi informasi tersebut. Prinsip dasar tahapan ini agar semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Jika media menganggap penting maka menjadi penting pula bagi pembaca. 3. tahap pembentukan konstruksi realitas 1) pembentukan konstruksi realitas Dalam sub-tahap ini terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat yang melalui tiga tahapan yaitu pertama, konstruksi pembenaran dimana masyarakat memberikan otoritas sikap untuk membenarkan apa saja yang disajikan media massa. Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama yang membolehkan pkiran dikonstruksi. Ketiga, menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif dan kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. 2) pembentukan konstruksi citra Terbentuk menjadi dua model good news yang cenderung mengkonstruksi pemberitaan dengan citra baik bahkan lebih baik dari sesungguhnya, bad news cenderung memberi citra buruk terhadap obyek pemberitaan sehingga terkesan lebih buruk lagi. Sebagai contoh dalam penayangan iklan, maka yang sewajarnya terjadi ialah penonjolan keunggulan produk bukan kelemahan produk, dalam hal ini menggunakan model good news. Sementara pada kasus kriminal, akhir yang

diinginkan adalah penggambaran jelek atau buruk terhadap pelaku kriminal (bad news). 4. tahap konfirmasi Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberikan argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi. Bagi media tahapan ini diperlukan untuk memberi alasanalasan pengkonstruksian, namun bagi pembaca tahap ini digunakan untuk menjelaskan alasan keterlibatan dan kesediaannya dalam pengkonstruksian. Dalam membuat liputan politik, media bisa jadi terpengaruh oleh faktor ekternal yang meliputi tekanan pembaca, sistem politik yang berlaku saat itu, dan kekuatan luar lainnya. Dan faktor internal seperti kebijakan redaksi mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik pengelola media, dan relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu (Hamad, 2004:2). 2.5. Pendekatan Isi Media Menjelaskan orientasi media dalam sebuah pemberitaan dapat menggunakan pendekatan tiga isi media yaitu pendekatan ekonomi-politik, pendekatan organisasi, dan pendekatan kultural (Sudibyo, 2001:2-6). Pendekatan ekonomi-politik mengarah pada kekuatan eksternal media yang menentukan wujud isi media. Kekuatan eksternal tersebut seperti pemilik media, pendapatan media, dan politik yang berkuasa saat itu. Dalam pendekatan ini, mekanisme produksi berita dilihat sebagai bagian integral dari relasi ekonomi dalam struktur produksi. Pada pendekatan ini tidak diterima adanya posisi gatekeeper atau penjaga gawang sebagai penyeleksi berita. Pendekatan kedua yaitu pendekatan organisasional,

pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan sebelumnya (ekonomi-politik). Pendekatan organisasional lebih mempercayai adanya kuasa pihak internal media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Mekanisme yang ada pada ruang redaksi, seperti kebijakan redaksional dalam hal ini penentuan nilai-nilai berita, dianggap memberikan pengaruh pada pemberitaan. Motivasi ekonomi politik ditiadakan dalam pendekatan ini karena yang lebih utama adalah mekanisme keredaksian. Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan yang dianggap sesuai dengan penelitian ini ialah pendekatan ketiga, pendekatan kulturalis. Pendekatan yang menggabungkan anggapan ekonomi-politik dan organisasional. Proses produksi berita melibatkan faktor internal dan eksternal media, maksudnya kebijakan redaksional yang berlaku tidak dapat terlepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar media. Pengaruh kekuatan ekonomi-politik dipahami bersifat tidak langsung. Hal tersebut terjadi karena sumber berita tidak hanya sebagai obyek yang diwawancarai, tetapi juga berperan mendefinisikan realitas. Dengan mewawancarai sumber berita tertentu, pada dasarnya media memberi kesempatan sumber tersebut mendefinisikan realitas dengan cara dan konsepsinya sendiri. 2.6 Penelitian Terdahulu Sebagai bukti keaslian penelitian ini maka dicantumkan pula penelitian terdahulu sebanyak dua judul yang juga membahas seputar media kaitannya dengan konteks di luar teks terhadap pemberitaan kasus-kasus seputar politik. Judul penelitian pertama adalah Analisis Framing Berita Calon Presiden Dan

Konflik PKB Pada Surat Kabar Harian Kompas, Jawa Pos Dan Seputar Indonesia (Studi Analisis Framing Model Zhondhang Pan dan Gerald M. Kosicki) . Penelitian tersebut membahas dan membandingkan bagaimana surat kabar Kompas, Jawa pos, Seputar Indonesia membingkai dan menggambarkan berita-berita politik yang ada pada rubrik politik sehingga dari analisis tersebut diketahui pola-pola pembingkaiannya. Dalam penelitian tersebut dijelaskan pula bahwa Jawa Pos memiliki karekteristik yang khas didalam mengangkat sudut pandang pemberitaan. Dengan dasar tersebut maka penelitian ini terus berlangsung dengan menggunakan subyek yang sama pula (Jawa Pos) namun obyek yang diteliti berbeda karena menggunakan pemberitaan Bibit-Chandra sebagai medan analisisnya. Sedangkan penelitian kedua berjudul Jurnalisme Sastra Mbm Tempo Sebagai Praktik Estetik Dan Politik Bahasa Media Pada Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi Yang Melibatkan Pejabat Negara Kabinet Indonesia Bersatu (Studi Analisis Wacana Kritis) , hasil penelitian dari skripsi Priyono Santosa tahun 2008 Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Jakarta. Dengan menggunakan pendekatan yang sama yakni analisis wacana kritis milik Fairclough, Priyono mencoba mengungkap penggunaan kebahasaan majalah Tempo terkait pemberitaan kasus korupsi ditinjau dari level analisis mikro, meso, dan makro. Pada level mikro (teks) penelitian Priyono membedah teks memakai teks eklektif sedangkan penelitian ini dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata dan representasi dalam kalimat.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam memandu tindakannya. Penelitian ini merujuk pada pemikiran paradigma kritis. Secara ontologis yang mempertanyakan hakikat realitas, paradigma kritis mengungkap bahwa kebenaran relitas bersifat relatif sesuai dengan konteksnya karena teori kritis ini meyakini realitas merupakan konstruksi sosial (Guba and Lincoln, 1994, dalam Salim, 2006:77). Dengan demikian realitas media adalah realitas semu yang terbentuk dari proses sejarah dan

kekuatan-kekuatan sosial-budaya dan ekonomi politik. Oleh karena itu dalam paradigma kritis, berita yang menjadi obyek penelitian dipahami sebagai realitas yang dikonstruksi oleh pembuatnya. Secara epistimologis, critical paradigm memandang hubungan antara periset dan realitas yang diteliti dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini peneliti harus menempatkan diri pada sudut pandang si pembentuk realitas. Pada tataran metodologis, paradigma ini menggunakan metode participative yang mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analysis (Salim, 2006:48). Namun karena obyek yang diteliti merupakan berita yang telah jadi maka dilakukan multilevel analysis yang mengacu pada pemikiran Norman fairclough.

3.2. Jenis Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti maka penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Seperti yang diungkapkan Pawito (2007:35) dalam bukunya Penelitian Komunikasi Kualitatif, penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu realitas komunikasi terjadi. Metode penelitian kualitatif didasarkan pada hal-hal yang bersifat diskursif atau wacana, dalam penelitian ini berupa transkrip dokumen tertulis dan hasil wawancara. Sesuai dengan rumusan Schumacher (2001, dalam Salim, 2006) penelitian kualitatif sebagai inqury in which researchers collect data in face-toface situations by interacting with selected person ini their settings.

Oleh karena itu, metode kualitatif merupakan kerangka kerja yang lebih sensitif dan lebih tepat dalam memahami keterlibatan audiens dalam media dan informasi media (Gunter, 2000 dalam Rahmawati, 2008).

3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Pawito (2007:96) mengelompokkan data penelitian kualitatif menjadi tiga jenis : (1) data dari hasil interview, (b) data observasi, (c) data yang berupa dokumen, teks, atau karya seni yang dinarasikan. Data yang digunakan dalam penelitian ini, berupa teks pemberitaan surat kabar Jawa Pos edisi Oktober hingga November 2009 mengenai kasus penangkapan Bibit-Chandra dan hasil wawancara dengan staf redaksi surat kabar Jawa Pos dalam hal ini wartawan dan redaktur Jawa Pos. Jadi, teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian dokumen dan wawancara mendalam (depth interview). Mengkaji dokumen sangat krusial pada penelitian ini, karena mengarah pada analisis wacana. Proses yang dilakukan tidak hanya mencatat isi yang tersurat dalam dokumen tetapi juga mencari makna yang tersirat (Rahmawati, 2008). Wawancara mendalam atau depth interview adalah cara pengumpulan data atau informasi dengan bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data yang lengkap dan mendalam (Kriyantono, 2008:100). Wawancara ini menurut Patton (1980:98) memiliki sifat yang lentur, terbuka, tidak dalam situasi formal, tidak terstruktur ketat, dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama. Dalam hal ini. informan bebas memberikan jawabannya sehingga diharapkan tidak ada hal-hal

yang disembunyikan dari pewawancara. Pada penelitian ini, wawancara mendalam dengan redaktur Jawa Pos, Agus Muttaqin/agm, telah dilakukan tanggal 5 Juli 2009 dan 17 Juli 2009 di lobbi Jawa Pos Surabaya. Selain itu wawancara juga dilakukan tanggal 22 Juli 2009 dengan wartawan Jawa Pos, Ridlwan Habib/rdl yang merupakan wartawan pusat bertempat di Jakarta. Wawancara dengan wartawan berlangsung via telepon mengingat jarak yang tidak memungkinkan untuk melakukan pertemuan tatap muka secara langsung.

3.4. Teknik Sampling Berdasarkan jenis dan tujuannya penelitian ini mengacu pada sampel nonprobabilitas, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti (Kriyantono, 2008:152). Karena peneliti memilih informan atau sumber data yang dianggap mampu mewakili informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap maka penelitian ini mengambil teknik sampling purposif (Sutopo, 2002:56). Sampling purposif penelitian diterapkan pada penentuan teks berita dan informan. Pada penelitian ini yang dipilih menjadi informan yakni redaktur dan wartawan surat kabar Jawa Pos, melihat peran tersebut memiliki cukup ruang (kuasa) dalam memberikan informasi seputar pembentukan wacana. Lebih lanjut bisa diamati bahwa redaktur secara tidak langsung memiliki peran sebagai gatekeeper. Gatekeeper adalah orang yang memilih, mengubah, dan menolak pesan sehingga dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima. Dalam hal ini redaktur mempunyai wewenang untuk menyeleksi berita

berdasarkan kelayakan berita untuk kemudian dimuat. Moss mengulas tulisan Bittner (1985) dalam bukunya mengenai variabel yang mempengaruhi keputusan penjaga gawang (gatekeeper) dalam memilih dan menolak informasi, yaitu : ekonomi media, pembatasan legal, batas waktu atau deadline, etika pribadi dan profesionalisme gatekeeper, kompetisi, nilai berita, lubang berita, dan reaksi terhadap umpan balik (Moss, 2005:205). Berdasarkan pertimbangan waktu, tenaga, dan dana maka dari dua bulan pemberitaan kasus Bibit-Chandra di Jawa Pos, sampel berita yang dipilih berjumlah 36 berita dari 85 berita. Melalui pertimbangan- pertimbangan peneliti, berita

tersebut dipilih karena dirasa mencukupi kebutuhan analisis. Pertimbangan itu meliputi : pertama, penempatan berita, berita yang akan diteliti yaitu berita yang menjadi headline di halaman depan surat kabar Jawa Pos; kedua, judul, kata-kata yang dipergunakan untuk penulisan judul terdengar provokatif; ketiga, isi berita, yang dimaksud disini adalah topik yang dibahas dalam berita tersebut dan kesesuaian keseluruhan isi berita dengan judul.

3.5. Teknik Analisis data 3.5.1. Analisis Wacana (Discourse Analysis) Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana. Menurut Samsuri, wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulisan (Samsuri, dalam Alex Sobur, 2004:10).

Secara harafiah kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang dapat diartikan : 1. komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan. 2. komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subyek studi atau pokok telaah. 3. risalat tulis; disertai disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah. (Webster, 1983 dalam Alex Sobur, 2004:9) Konsep keutuhan dan hubungan antar kalimat dikuatkan juga dengan pendapat Tarigan (1987:27) yang mengatakan bahwa wacana memiliki koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Wacana ternyata dibentuk oleh unsur-unsur segmental dan nonsegmental yang membuatnya menjadi satu rangkaian ujar atau rangkaian tutur. Unsur nonsegmental dalam sebuah wacana berhubungan dengan situasi, waktu, gambaran, tujuan, makna, intonasi, tekanan dalam pemakaian bahasa, dan rasa bahasa atau konteks (Aliah Darma, 2009:3). Menilik pendapat Guy Cook, terdapat tiga hal sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks, dan wacana (Eriyanto, 2001:9). Teks diartikan sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembaran kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi meliputi ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana disini, dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara

bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Pada teks tertulis, analisis wacana yang dilakukan bertujuan untuk mengekspilisitkan norma-norma dan aturan-aturan bahasa yang implisit. Selain itu analisis wacana juga betujuan untuk menemukan unit-unit hierarkis yang membentuk suatu struktur diskursif (Musrifah, 2006). Analisis wacana hadir karena kebutuhan akan hadirnya kajian, ketika kebahasaan dirasa tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan linguistik saja. Dalam ranah politik, analisis wacana menurut Eriyanto (2001:3) merupakan praktik pemakaian bahasa terutama politik bahasa. Analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mengungkapkan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan. Dalam konteks wacana terjadi penciptaan makna yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Karena berada dalam pandangan kritis yang menjelaskan adanya pengaruh diluar teks terhadap sebuah wacana maka analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini akan mengacu pada pandangan Norman Fairclough. Pada model Fairclough (2004), analisis wacana terbagi menjadi tiga level : teks, discourse practice, dan socioculture practice. Level teks digunakan untuk menganalisis pemberitaan Bibit-Chandra terkait representasi yang dihasilkan Jawa Pos terhadap dua tokoh politik tersebut. Pada tahap ini teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat (Rahmawati, 2008:56). Model Fairclough juga menjelaskan hubungan antarkata atau kalimat yang bisa membentuk pengertian, disebut koherensi dan kohesivitas. Elemen yang dipakai untuk melihat tiga masalah berikut : 1. Ideasional

Menunjukkan representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, dimana pada representasi tersebut membawa muatan ideologis tertentu. Level ideasional ini terbagi menjadi tiga wujud representasi yakni representasi dalam anak kalimat, representasi dalam gabungan anak kalimat, dan representasi dalam rangkaian anak kalimat. Representasi dalam anak kalimat dapat diamati dari pemilihan kosakata, pemakaian tata bahasa, dan metafora. (1) Kosakata yang dipilih, bisa menimbulkan realitas yang berbeda atau sebaliknya, realitas yang sama dibahasakan berbeda. (2) Pada tataran tata bahasa dapat dilihat apakah ditampilkan dalam bentuk proses atau partisipan. Jika dalam bentuk proses apakah orang, kelompok, kegiatan tersebut dimaknai sebagai tindakan, peristiwa, keadaan, ataukah sebuah proses mental. Bentuk tindakan menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan dalam kalimat, obyek atau subyeknya saja. Bentuk keadaan menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi tanpa harus menyebut pelaku tindakan. Sedangkan bentuk proses mental, menampilkan sesuatu sebagai fenomena, gejala umum yang membentuk kesadaran khalayak tanpa menunjuk pelaku/korban secara spesifik. Dalam tataran bahasa berbentuk partisipan, melihat bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Apakah pada teks tersebut aktor dijelaskan sebagai pelaku ataukah korban. Jika sebagai pelaku maka aktor dikenai tindakan yang menyebabkan sesuatu pada seseorang, jika korban maka menunjuk pada sesuatu yang disebabkan oleh orang lain. (3) Metafora merujuk pada bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lalin dan apakah dalam teks terkandung penilaian positif atau negatif terhadap suatu realitas.

Representasi dalam gabungan anak kalimat berhubungan dengan dua anak kalimat yang digabung, aspek ini dapat diamati dari kata sambung yang dipakai. Dari kata sambung yang dipakai dapat diamati apakah berbentuk penjelas, perpanjangan, atau mempertinggi. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibanding bagian lain.

2. Relasi Relasi berkaitan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Secara lebih jelas, menjelaskan konstruksi hubungan wartawan dengan khalayak media, dan partisipan publik. Apakah teks pemberitaan kasus Bibit-Chandra disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. 3. Identitas Melihat bagaimana identitas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan. Lebih jauh akan diketahui bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat. Level discourse practice, analisis pada level ini berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Proses produksi teks dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti (1) individu wartawan meliputi latar belakang pendidikan, budaya, sisi religius, orientasi politik, profesionalisme; (2) struktur organisasi meliputi bentuk organisasi dan bagaimana proses pengambilan keputusan dibuat; (3) pola

dan rutinitas media meliputi pembentukan berita hingga sampai ke meja redaksi atau cara mendapatkan berita. Kemudian tahap terakhir adalah dimensi sociokultural practice. Dimensi ini mengasumsikan bahwa konteks sosial diluar teks maupun diluar perusahaan dapat mempengaruhi produksi wacana. Konteks-konteks tersebut bisa berkaitan dengan praktik sosial-politik media, budaya disekitar media, politik yang berkuasa dan sebagainya dimana berada pada tiga level yaitu level situasional, institusional, dan sosial.

Gambar 1 : Kerangka Analisis Wacana Fairclough

Pada tahap analisis, ketiga tahapan tersebut dilakukan secara bersama-sama. Analisis teks berusaha mengungkapkan makana secara linguistik. Discourse

practice menjembatani teks dengan konteks sosial budaya (sociocultural practice) karena teks dan dengan dimensi sosiocultural bersifat tidak langsung. Ketiga level analisis tersebut jika digambarkan maka sebagai berikut :

Tabel 1. Level analisis dan Metode Penelitian No 1. 2. 3. Tingkatan Masalah Teks Discourse practice sociocultural practice Tingkat Analisis Mikro Meso Makro Metode Penelitian Critical linguistic Wawancara mendalam dengan pengelola media Studi pustaka, penelusuran

3.6. Validitas Data Menurut Edi Subroto (1992, dalam Mulyono, 2009) data harus memenuhi syarat kesahihan (validitas) agar dapat dipertanggungjawabkan dan digunakan sebagai titik tolak penerikan simpulan. Validitas adalah derajat ketepatan antara data yang terdapat di lapangan dan data yang dilaporkan oleh peneliti. Tingkat ketepatan tersebut ditentukan dengan metode triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Rahmawati, 2008:60). Dalam penelitian ini untuk mencapai keabsahan informasi, digunakan tiga triangulasi yang umum dipakai pada penelitian kualitatif yaitu data atau sumber,

metode, dan teori (Patton, 2002:555-563; Kriyantono, 2008:70-71). Triangulasi sumber atau data, mengarahkan peneliti untuk menggunakan data yang bervariasi agar dapat diperoleh data yang berbeda dari persoalan yang sama. Untuk menggali data mengenai representasi Bibit-Chandra dan proses konstruksi berita

penangkapan Bibit-Chandra, digunakan data dari informan terpilih yaitu pimpinan redaksi dan editor surat kabar Jawa Pos serta teks berita terkait edisi Oktober hingga November 2009. Triangulasi metode, karena penelitian kualitatif bersifat multiplemethods maka triangulasi metode sangat penting untuk mendapatkan data sejenis dengan pengumpulan data yang berbeda. Dengan langkah tersebut dapat dibandingkan temuan data satu dengan yang lainnya. Teknik triangulasi metode pada penelitian ini dengan cara wawancara mendalam (Depth interview) dan analisis wacana model Farirclough. Triangulasi teori, penelitian ini memadukan lebih dari satu teori yaitu teori konstruksi realitas media dan pendekatan isi media.

BAB IV TINJAUAN UMUM OBYEK PENELITIAN

4.1.

Profil Jawa Pos

4.1.1. Sejarah dan Perkembangan Jawa Pos Penelitian tentang representasi sosok Bibit-Chandra dan pengkonstruksian berita penangkapannya ini mengambil sasaran penelitian surat kabar Jawa Pos tepatnya pada halaman utama atau halaman depan (Cover). Pemuatan berita seputar kasus Bibit-Chandra yang terletak di wajah depan surat kabar tersebut dimaksudkan sebagai headline atau berita utama. Seperti telah diketahui tiap surat kabar memiliki privacynya untuk mengatur pemberitaan yang akan dimuat, demikian halnya dengan Jawa Pos yang menjadi obyek penelitian. Jawa Pos merupakan grup media terbesar di Indonesia. Memiliki total lebih dari 150 koran, tabloid, majalah, dan televisi yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Jawa Pos bediri pada 1 Juli 1949 oleh The Chung Shen (1904 - 1989) dan Gho Cheng Hok sebagai pemimpin redaksi pertama. Kantor Jawa Pos saat itu bertempat di China Town Surabaya, Jalan Kembang Jepun (dikenal dengan sebutan kya-kya). Tahun 1982 merupakan tahun kritis bagi Jawa Pos, oplah harian hanya sekitar 6000 eksemplar, sementara permasalahan lainnya turut membelit perusahaan. Pertumbuhan yang dicapai Jawa Pos saat itu begitu lamban dan pemiliknya kurang bergairah lagi karena sektor usia

dan para penerusnya tidak satupun yang berada di Indonesia. Keadaan ini memaksa Chung Shen untuk menjual Jawa Pos pada tanggal 16 April 1982 kepada PT Grafiti Pers, penerbit Majalah Tempo. Fondasi awal manajemen baru Jawa Pos ini disusun oleh Direktur Utama PT Grafiti Pers kala itu yakni Eric Samola (1937 - 2000). Dahlan Iskan yang waktu itu menjadi Kepala Biro Tempo di Jawa Timur ditunjuk untuk menjalankan perusahaan atau sebagai CEO/Chairman. Sistem manajemen lama diubah, pembagian tugas lebih nyata dan lebih profesional, tenaga-tenaga baru ditarik namun keberadaan karyawan lama tetap dipertahankan. Untuk meningkatkan produktivitas, karyawan lama justru mendapatkan training sesuai dengan bidangnya. Di tangan Dahlan Iskan, Jawa Pos mulai menunjukkan peningkatan. Hanya dalam waktu lima tahun, oplah Jawa Pos dari 6000 eksemplar naik menjadi 300.000 eksemplar. Selama lima tahun itu pula ia membentuk jaringan berita Jawa Pos. Hingga saat ini Jawa Pos telah menumbuhkan koran-koran dan media cetak lain di berbagai penjuru Indonesia. Tercatat lebih dari 130 koran terbit dibawah bendera Jawa Pos Group. Demi menunjang produksi koran-koran tersebut didirikanlah pabrik kertas atas nama PT Adiprima Suraprinta milik Jawa Pos tepat pada tahun 1995 di kota Gresik. Selain media cetak, Jawa Pos juga menjadi pelopor pertumbuhan televisi lokal. Pada tahun 2001, RTV menjadi stasiun televisi lokal pertama Jawa Pos Group di Pekanbaru. Tidak lama kemudian, pada tahun yang sama, Jawa Pos mendirikan JTV di Surabaya. Koran yang tiap harinya dibaca sekitar 3 juta orang ini memiliki banyak prestasi. Jawa Pos pernah meraih penghargaan The Best Customer Satisfaction

dan brand terbaik. Pada 2005, surat kabar tersebut juga memenangkan Cakram Award sebagai Koran Tahun Ini dan award jurnalisme yang bertanggungjawab yang diberikan oleh asosiasi surat kabar indonesia. Jawa Pos mempunyai gaya manajemen yang dinamis dan inovatif. Secara konsisten bergerak memberikan perubahan terhadap bisnis media di Indonesia. Tahun 1984, Jawa Pos menjadi koran pertama di Indonesia yang menggunakan sistem komputer; 1986, koran pertama yang terbit dengan halaman berwarna; 1988, surat kabar pertama yang menggunakan teknologi cetak jarak jauh; 1992, koran pertama yang terbit pada hari libur; 1998. Koran pertama yang hadir dalam format baru yakni broadsheet muda dengan lebar tujuh kolom (dulu sembilan kolom) seperti format koran luar negeri; dan yang paling menyita antusias anak muda Surabaya ialah hadirnya kolom khusus untuk anak muda, Deteksi, kolom yang dikerjakan sepenuhnya oleh anak muda berusia rata-rata 20 tahun-an mulai penulis, fotografer, hingga redaktur terbit tiga halaman setiap hari. Inovasi Jawa Pos lainnya diwujudkan dalam tampilan halaman atau rubrik menarik yang tidak dimiliki oleh koran lainnya. Terdapat halaman Metropolis, memuat berbagai aspek kehidupan warga kota Surabaya dari masalah politik, kriminal, hingga lifestyle atau gaya hidup. Menyadari bahwa pembaca menyukai liputan seputar olahraga, maka hadir halaman Sportivo yang terbit sebanyak 16 halaman setiap hari. Dan yang terbaru, Jawa Pos juga memuat halaman khusus bagi pembaca berusia di atas 50 tahun dengan kolom Evergreen. Untuk mendekatkan diri dengan pembaca dan sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan beragam kegiatan diadakan oleh Jawa Pos. kegiatan inovatif itu seperti : DetEksi

Basketball League (DBL), kompetisi mading, kampanye safety riding, penghargaan spesial untuk guru, hingga Surabaya Green and Clean yang mendapatkan penghargaan tingkat internasional.

4.1.2

Struktur Organisasi Gambar 2 : Struktur Organisasi Jawa Pos Pemegang Saham

Direktur Utama/CEO

Direktur Produksi

Direktur Pemasaran

Direktur Keuangan

Redaksi

Administrasi

Percetakan

4.1.3

Struktur Redaksi Gambar 3 : Struktur Redaksi Jawa Pos Pemimpin Redaksi

Redaktur Pelaksana

Koordinator Liputan

Redaktur 1

Redaktur 2

Redaktur 3

Redaksi

Administrasi

Percetakan

4.2. Pemberitaan Bibit-Chandra di Jawa Pos Terkait konflik yang membawa nama dua lembaga yaitu KPK dan Polri, surat kabar harian Jawa Pos, sebagai salah satu media cetak yang paling banyak dibaca di Indonesia (berdasarkan Nielsen Media Research, 2006) turut pula menyuguhkan perkembangan kasus bibit-Chandra kepada publik. Tercatat semenjak awal Oktober hingga November 2009, berita yang melibatkan dua tokoh besar KPK tersebut menjadi headline di halaman depan surat kabar Jawa Pos. Jika dijelaskan dalam bentuk tabel maka secara garis besar pemberitaan yang ada pada surat kabar Jawa Pos seperti ini : Tabel 2. Pemberitaan Bibit-Chandra di Jawa Pos

September Penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka dalam dugaan 2009 menyalahgunanan wewenang dan kekuasaan. Bibit-Chandra nonaktif dari jabatan pimpinan KPK. Pencekalan Bibit-Chandra. Pengembalian berkas perkara Oktober 2009 Bibit-Chandra oleh

Kejaksaan Agung karena belum lengkap. Transkrip rekaman pembicaraan tentang dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra beredar. Pihak-pihak yang membantah keterlibatannya dalam rekaman rekayasa. Penahanan Bibit-Chandra oleh pihak kepolisian. Berita seputar dukungan pihak-pihak yang membela November 2009 Bibit-Chandra. Ulasan mengenai Anggodo dan Anggoro. Pembentukan dan kinerja Tim 8 bentukan SBY. Pembebasan Bibit-Chandra. Pandangan negatif terhadap Polri. Berita terkait saksi kunci Yulianto. Reaksi Tim 8. Pembelaan terhadap Anggodo Berkas-berkas Bibit-Chandra dinyatakan lengkap. Bibit-Chandra segera aktif kembali di KPK.

Pemberitaan mengenai kasus Bibit-Chandra dalam penelitian ini diambil dari halaman depan Jawa Pos. Ini dikarenakan pemuatan berita tersebut menjadi headline selama hampir dua bulan sangat menyita perhatian pembaca. Hadir dengan judul headline yang tajam mengingatkan pada tujuan headline yaitu untuk menarik perhatian pembaca dan menambah news of value, Dalam hal ini, Jawa Pos selalu menghadirkan perkembangan terbaru terkait kasus Bibit-Chandra. Sebagai penikmat media, pembaca tentunya tidak secara kentara terkena imbas dari pemberitaan kasus Bibit-Chandra, peran pembaca dalam hal ini hanya sebatas proses konsumsi teks yang disuguhkan Jawa Pos. Dari munculnya beritaberita itu pembaca secara lebih detail dapat memahami konflik yang terjadi antara KPK dengan tubuh Polri. Namun jika diamati teks berita tersebut tidak begitu saja dihadirkan Jawa Pos akan tetapi melalui proses yang panjang hingga secara tidak sadar khalayak mendapatkan sebuah realitas baru yang diciptakan oleh media. Fakta-fakta yang melibatkan sosok tertentu beserta sebab-akibatnya ditampilkan melalui teks-teks yang menggunakan pandangan media, dalam hal ini surat kabar Jawa Pos.

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Analisis Teks Pemberitaan Kasus Bibit-Chandra 5.1.1. Ideasional Pemberitaan kasus Bibit-Chandra memperoleh perhatian lebih dari surat kabar Jawa Pos. Hal ini terbukti dari penempatan berita seputar kasus tersebut di

halaman depan Jawa Pos sebagai headline. Sepanjang bulan Oktober hingga November 2009 terdapat 85 artikel tentang Bibit-Chandra yang dimuat di halaman depan surat kabar Jawa Pos. Dari jumlah tersebut terbagi menjadi dua jenis berita, straight news dan feature. Untuk jenis berita straight news lebih ditekankan pada perkembangan kasus Bibit-Chandra meliputi penonaktifan jabatan setelah resmi menjadi tersangka, terbongkarnya rekaman rekayasa, penahanan Bibit-Chandra oleh kepolisian, dukungan dari pihak yang pro KPK maupun pro polisi, pemeriksaan saksi-saksi terkait, pembentukan Tim 8, hingga pengaktifan kembali Bibit-Chandra ke KPK. Sementara untuk feature, lebih mengutamakan sisi lain kehidupan tokohtokoh di luar konteks kasus tersebut. Misalkan saja kehidupan Bibit Samad Riyanto yang direpresentasikan oleh Jawa Pos sebagai kehidupan sederhana dan jauh dari kemewahan, berbanding terbalik dengan jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK, kehidupan Anggodo dan Anggoro yang digambarkan Jawa Pos sebagai tokoh antagonis dalam kasus tersebut. Dalam satu edisi kedua jenis berita itu hadir secara bersamaan ataupun bergantian.

5.1.1.1 Representasi yang Terlihat dalam Anak Kalimat Representasi yang terlihat dalam anak kalimat dapat dilihat dari tiga hal yakni kosakata, ketata bahasaannya, dan metafora dalam teks. Kosakata merujuk pada pemilihan kata yang dipakai. Pilihan kosakata terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, atau kelompok dikategorikan dalam suatu set tertentu yang menimbulkan asosiasi tertentu pada realitas yang diacu. Dari kosakata yang dipilih nantinya akan muncul realitas bentukan Jawa Pos. Di tingkat tata

bahasa, apakah tata bahasa ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk partisipan. Jika dalam bentuk proses apakah obyek pemberitaan ditampilkan dalam wujud tindakan, peristiwa, keadaaan, atau proses mental. Pada tinjauan metafora, dilihat apakah realitas dimaknai positif atau negatif. Teks pemberitaan kasus Bibit-Chandra selama dua bulan (Oktober 2009 s.d November 2009) yang dimuat oleh Jawa Pos, bila diamati banyak sekali kata-kata yang mengarah pada tanggapan positif terhadap KPK dalam hal ini Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Kedua tokoh tersebut dianggap sebagai pembenaran dalam menghadapi sikap reaktif Polri yang notabene memiliki citra negatif di mata publik. Kosakata kriminalisasi yang melekat pada kata KPK sudah mencetak argumen bahwa polri memang berniat untuk menyudutkan KPK secara sengaja. Hal tersebut justru semakin mengukuhkan persepsi negatif publik terhadap kepolisian, di sisi lain terkandung penilaian positif atas KPK. Sebenarnya penggunaan kata kriminalisasi merupakan hal yang biasa digunakan, namun karena subyek yang dikenai perbuatan adalah KPK, lembaga yang memiliki prestasi hebat dalam memberantas korupsi, maka bisa jadi sikap publik akan semakin antipatif terhadap Polri. Kosakata kriminalisasi KPK oleh kepolisian RI muncul beberapa kali dalam teks pemberitaan Bibit-Chandra yakni pada edisi 1 Oktober 2009, 25 Oktober 2009, dan 1 November 2009. Mengatasnamakan lembaga yang menaunginya (KPK), Jawa Pos memposisikan Bibit-Chandra sebagai pihak yang termarjinalkan. Adanya judul pemberitaan tanggal 29 Oktober 2009 Jaksa Minta KPK Tak Dizalimimemperkuat respon positif untuk KPK. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia kata zalim diartikan sebagai perbuatan tidak adil dan tidak menaruh belas kasihan, bagi pihak yang menzalimi berarti telah melakukan perbuatan menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang kepada seseorang. Berdasarkan penjabaran tersebut posisi KPK dimaknai telah mendapat perlakuan tidak adil dari kepolisian sebab penyidik KPK tidak bisa memenuhi kelengkapan berkas pemeriksaan Bibit-Chandra dan masih bersikeras meneruskan tuntutannya. Sekilas menunjukkan bahwa jaksa memberikan pembelaannya terhadap KPK, namun pada keseluruhan isi berita konteksnya bukanlah pembelaan terhadap KPK. Tapi lebih kepada pengusutan rekaman rekayasa yang tengah beredar hingga memburamkan penyidikan pasal yang menjerat Bibit-Chandra. Dengan kata lain, judul hanya sebatas pengambilan angel berita yang dianggap menarik untuk dijadikan headline. Pada kutipan teks berita tanggal 1 November 2009 :

Dalam pertemuan itu, Gus Dur menekankan kepada pimpinan KPK untuk lebih berani bersikap. Saya meminta KPK memperjuangkan kedaulatan hukum dengan tiga prinsip, keberanian, kejujuran, dan keterbukaan, jelasnya. (Jawa Pos, 1 November 2009) Dipilihnya kata menekankan seolah memberikan makna sebuah perintah langsung dari tokoh yang lebih tinggi kedudukannya dari KPK dan kata menekankan terdengar lebih tajam tidak seperti teks aslinya (kutipan Gus Dur). Seandainya ditulis Gusdur meminta kepada pimpinan KPK..... maka maknanya akan lebih rendah karena substansinya berubah dari perintah menjadi permintaan. Realitas bahwa Bibit-Chandra (KPK) dikriminalisasikan oleh Polri juga dijelaskan dengan munculnya asosiasi cicak dilahap buaya. KPK yang menjadi

cicak karena secara usia jauh lebih muda dibanding dengan usia buaya yaitu Polri. Apalagi ditinjau dari kelembagaan, institusi Polri memang lebih besar dari pada KPK. Jika dikaitkan dengan institusi Polri maka posisi KPK dibuat lebih lemah berbeda halnya jika KPK berdiri sendiri dalam konteks berita yang menjurus pada pembelaan terhadap KPK. Teks tersebut hadir dengan menguatkan legitimasi KPK. Susno Terancam Sanksi Etika Profesi (Jawa Pos, 1 Oktober 2009) Sementara pada judul headline di atas, penggunaan kosakata terancam seolah mengasosiasikan Susno Duadji sebagai pihak dari Polri memang bersalah terkait dugaan suap dan penuduhan kepada Bibit-Chandra. Realitas tersebut akan berbeda pemaknaannya jika menggunakan judul Susno Bisa Dikenai Pelanggaran Etika Profesi seperti pada kutipan Komjen Pol Jusuf Manggabarani. Susno nanti bisa dikenakan pelanggaran etika profesi. Jika ada unsur pidana, akan masuk ke Bareskrim, katanya. (Jawa Pos, 1 Oktober 2009). Secara harafiah kosakata terancam berarti diancam oleh-, atau dalam konteks lain menggambarkan seseorang dalam keadaan bahaya. Jika digunakan untuk sebuah judul maka akan menibulkan efek suspense atau ketegangan. Demikian pula dengan digunakannya kata mendidih pada kutipan : Hubungan KPK dan dua lembaga penegak hukum tersebut akhirakhir ini memang mendidih. (Jawa Pos, 10 Oktober 2009) Kutipan tersebut memasukkan tanggapan dari Jawa Pos terhadap kondisi komunikasi yang tidak kondusif antara tiga lembaga penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan) di Indonesia. Tercermin dari penggunaan kata mendidih yang dianggap mampu mewakili panasnya konflik eksternal tiga lembaga, seolah

menegaskan sebelum kasus Bibit-Chandra mencuat hubungan tiga lembaga itu memang tidak harmonis. Pada teks berita yang mengulas kekecewaan pihak-pihak ketika susno dibebaskan dari sanksi maka yang jelas terlihat adalah penonjolan teks pernyataan dari Kombes (pur) Bambang Widodo Umar. Orang luar saja tahu bahwa dalam pemeriksaan pimpinan KPK, dakwaan berubah-ubah, ujarnya. (Jawa Pos, 8 Oktober 2009) Pemilihan pernyataan tersebut sebagai realitas bahwa masyarakat umum sekalipun yang bukan anggota polisi bisa mengetahui bahwa pemeriksaan terhadap KPK sangat berbelit-belit, tapi pada pemeriksaan Susno hanya butuh dua jam untuk dinyatakan tidak bersalah. Susno digambarkan sebagai sosok yang dilindungi dan representasi tersebut secara tersirat muncul pada teks berita pemutasian Kapolda dan sejumlah pejabat strategis Polri dimana Susno tetap menepati jabatannya sebagai Kabareskrim (Jawa Pos, 19 Oktober 2009). Terdapat pula metafor gerbong mutasi sebagai konotasi dari pemindah tugasan (posisi) jabatan. Terkait dengan pembentukan Tim Delapan oleh presiden SBY untuk mencari fakta-fakta seputar dugaan suap Bibit-Chandra sepertinya polisi tidak sejalan dengan kepentingan Tim Delapan. Hal ini terlihat dari teks berikut. Selain membuat keadilan di Indonesia benar-benar tumpang tindih, pembebasan Anggodo itu sekaligus menunjukkan Polri benar-benar tidak peduli pada Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Chandra-Bibit atau yang dikenal dengan Tim Delapan. (Jawa Pos, 5 November 2009) Kosakata tidak peduli menggambarkan sikap polisi yang cuh pada keberadaan Tim Delapan. Tidak peduli bernada tegas seakan tidak ada lagi kesempatan atau alasan untuk peduli. Cermin polisi dalam teks tersebut menjadi

negatif. Dari segi pemilihan judulAnggodo Dilepas Lewat Belakang yang disorot adalah pembbasan Anggodo secara sembunyi-sembunyi oleh aparat kepolisian. Padahal dalam keseluruhan konteks berita yang menjadi topik pembicaraan atau yang disampaikan berita tersebut adalah kekecewaan terhadap sikap polisi yang membebaskan Anggodo. Hal ini terlihat dengan munculnya pendapat-pendapat yang menentang dari empat pihak sekaligus dalam satu teks berita yaitu Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution, Pengacara Bibit-Chandra Bambang Widjojanto dan Luhut M.P Pangaribuan, serta aktivis ICW (Indonesian Corruption Watch) Illian Deta Arta Sari. Jumlah narasumber tersebut mengalahkan pembelaan dari pihak kepolisian yang diwakili oleh Brigjen Pol Raja Eritman yang beralasan pembebasan tersbut karena Anggodo masih berstatus saksi. Dalam pemberitaan seputar kasus Bibit-Chandra Jawa Pos terlihat sering bermain judul. Hal ini biasa dilakukan oleh media-media seperti surat kabar. Alasannya pemilihan judul yang menarik menentukan antusias pembaca. Juduljudul yang dipilih Jawa Pos terbilang cukup tajam dan berani, seperti judul headline Bibit : Kapolri Bohong (JP, 7 November 2009). Dalam teks berita tersebut disebutkan pernyataan Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri yang menegaskan perolehan bukti-bukti konkret yang mengarah pada keterlibatan BibitChandra dalam kasus suap. Namun pernyataan Kapolri tersebut disanggah Bibit Samad Riyanto. Ia mengatakan bahwa pernyataan Polri dalam Raker Komisi III DPR itu adalah kebohongan. Headline yang dipilih tidak lepas dari muatan

ideologi ekonomi yakni meningkatkan pembelian koran yang berimbas pada naiknya oplah. Tapi di sisi lain, langkah tersebut bisa memicu kontroversi di muka

publik bahkan di institusi Polri. Bila diamati lebih jauh, sebagai wujud kontrol sosialnya, Jawa Pos bisa jadi ingin mengkritisi institusi Polri melalui kutipan ucapan Bibit tersebut. Dalam teks berita yang sama juga terdapat kosakata meradang yang digunakan untuk membuat realitas menjadi berbeda. Berikut kutipan teks beritayang dimaksud. Pernyataan Kapolri di Forum yang dianggap terhormat itu membikin Bibit dan Chandra meradang. Kemarin (6/11) mereka membantah keras tudingan itu. (Jawa Pos, 7 November 2009) Seandainya kata meradang diganti dengan angkat pembicara maka beritanya terasa kurang greget. Ketika kata meradang digunakan maka yang dirasakan adalah konflik yang memanas dan memicu emosi pihak tertentu hingga akhirnya ada tindakan balasan. Judul yang tajam juga terdapat pada pemberitaan tanggal 14 November 2009 dengan judul headline Copot Kapolri dan Jaksa agung. Penggunaan kosakata copot pada judul menggambarkan tindakan tegas terhadap seseorang atau pihak tertentu yang dikenai akibat, dalam hal ini yang dimaksud adalah Kapolri dan Jaksa Agung. Dalam teks berita tersebut, Tim 8 merekomendasikan untuk mencopot jabatan Bambang Hendarso Danuri (BHD) sebagai Kapolri dan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Sekali lagi dapat diamati bahwa kepentingan ekonomi menjadi prioritas karena jika keseluruhan teks telah dibaca maka yang perlu digarisbawahi adalah penekanan pada headline tersebut baru bersifat rekomendasi bukan tindakan aktif yang telah terjadi. Demikian halnya pada judul headline edisi 21 November 2009 berbunyi Polisi Lecehkan UU Pers, judul tersebut bersifat judgement atau menuduh. Dalam teks berita tersebut, dijelaskan

bahwa kepolisian RI melakukan pemanggilan kepada dua pimpinan media yakni Kompas dan Seputar Indonesia. Padahal berdasarkan pernyataan dari pihak kepolisian, pemanggilan dilakukan hanya untuk meminta keterangan dari media terkait. Namun karena angel tersebut dirasa lebih menarik dan memiliki unsur aktual maka dipilihlah judul dengan kalimat seperti itu. Pada pemberitaan yang memuat pengakuan Ari Muladi, Ari memberi pernyataan mengagetkan di hadapan media. Sebelumnya ia mengaku menyerahkan uang dari Anggodo langsung kepada pimpinan KPK namun kemudian diralat dengan pernyataan diserahkan melalui perantara Yulianto. Dalam pengakuan kedua tersebut, Ari mengaku sering dirayu polisi. Seperti yang tampak pada kutipan berikut. Ari Muladi, saksi kunci yang disebut polisi sebagai perantara pembawa uang suap dari Anggodo Widjojo kepada pimpinan KPK, kemarin diperiksa tim pencari fakta (Tim 8).....Ari menyanyi sering dirayu penyidik kepolisian agar tetap bersaksi bahwa uang yang diterima dari Anggodo sudah diberikan kepada pimpinan KPK. (Jawa Pos, 8 November 2009) Fakta ini sengaja ditonjolkan dengan menggunakan kata menyanyi, karena sebelumnya Ari Muladi memberikan pengakuan berbeda. Kalimat tersebut sekaligus menjadi sebuah pembenaran atas kecurangan yang dilakukan aparat kepolisian. Dengan pemilihan kata tersebut polisi dirpresentasikan sebagai pihak yang sering melakukan pressure terhadap saksi Ari Muladi, lebih jauh lagi bahkan rayuan tersebut sudah jadi tindakan yang lumrah di kalangan polisi. Secara tata bahasa peristiwa ditetapkannya Bibit-Chandra sebagai tersangka merupakan bentuk proses keadaan yang digambarkan sebagai sesuatu yang telah terjadi. Namun realitas tersebut tidak terlalu ditonjolkan karena pada teks berita 1

November 2009 yang diutamakan adalah posisi Susno sebagai sosok yang menyalahgunakan wewenang padahal dalam teks yang sama KPK juga disidik kepolisian. Tata bahasa berbentuk proses tindakan tampak pada teks berita mengenai pemutasian pejabat Polri (Jawa Pos, 19 Oktober 2009). Dalam teks itu Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri digambarkan sebagai aktor yang melakukan pemindah tugasan terhadap beberapa pejabat Polri. Kemudian pada jenis berita feature, yang diangkat sebagai topik utama adalah kehidupan sang tokoh. Hal tersebut tentunya akan membentuk sebuah proses mental. Teks dimaksudkan untuk menarik empati pembaca dengan menghadirkan kesederhanaan hidup ke dalam ruang baca khalayak seperti yang tampak pada kutipan teks berikut. Bibit Samad Riyanto pensiun sebagai polisi pada tahun 2000 dengan pangkat inspektur jenderal (irjen). Dengan pangkat setinggi itu, mestinya dia bisa tinggal di perumahan elite.....ternyata hifup sederhana di perumahan biasa. .....karena kurangnya penghasilan, Bibit tak hilang akal. Beberapa kali dia minta ijin kepada istrinya untuk jadi sopir angkot setiap lepas dinas. Namun untuk keinginan tersebut tak pernah kesampaian. Untuk menambah pendapatan, dia ikut membantu menjadi petugas keamanan di salah satu hotel..... (Jawa Pos, 21 Oktober 2009). Proses mental yang sama juga terdeteksi di teks berita yang sifatnya editorial, yakni pada tulisan Leak Kustiya (Pemimpin Redaksi) berjudul Gawat Darurat Hukum. Dalam teks tesebut ia menampilkan kondisi hukum dan peradilan di Indonesia yang kacau sebagai suatu fenomena yang tengah terjadi di masyarakat. Hal ini tampak pada teks berikut. Hukum di negeri ini lagi sakit dan sedang parahparahnya.....berbicara hukum dan keadilan, Indonesia inintak ubahnya sbuah rumah sakit raksasa.

.....memang seperti itulah wajah peradilan yang sesungguhnya di negeri kita. Gampang disetir, dibeli, dan asal ada uang, semua bisa direkayasa. (Jawa Pos, 4 November 2009) Tata bahasa bentuk partisipan terlihat dari judul headline edisi 29 Oktober 2009 : Jaksa Minta Chandra dan Bibit Tak dizalimi. Pada teks itu Bibit-Chandra ditampilkan sebagai korban dalam pemberitaan. Penggunaan metafora juga kerap kali dilakukan oleh Jawa Pos. Penggunaan tersebut dapat digunakan untuk melihat realitas dimaknai positif ataukah negatif, jadi tak hanya persoalan keindahan literer saja. Teks pemberitaan kasus BibitChandra memasukkan banyak metafora. Seperti pada status Bibit-Chandra, pada beberapa teks selalu diikuti dengan tersangka kasus penyalahgunaan wewenang. Pemakaian metafor itu digunakan untuk mendeskripsikan posisi Bibit-Chandra sebagai tersangka sekaligus memainkan kesadaran pembaca akan realitas yang ada saat itu. Sementara pemakaian kata mantan yang mengikuti nama dua pimpinan KPK tersebut juga turut menguatkan status Bibit-Chandra. Kata KPK juga sering diikuti dengan metafor lembaga yang ditakuti para koruptor, ini

merepresentasikan keberadaan KPK yang menjadi momok bagi koruptor dan bisa membunuh aksi mereka kapan saja. Realitas yang dibahasakan berbeda dengan masuknya dukungan Nahdatul Ulama direpresentasikan dengan penambahan kata organisasi massa terbesar. Hal itu menunjukkan kuatnya massa NU secara kuantitas dapat memperbesar jumlah pendukung Bibit-Chandra. Metafora mantan yang melekat pada nama Gus Dur juga secara tidak langsung menunjukkan kebesaran legitimasi Gus Dur yang sempat menjabat sebagai presiden RI. Jadi bisa disimpulkan, pemakaian metafora pada

obyek atau tokoh tertentu dapat menampilkan kekuatan dari obyek atau tokoh tersebut.

5.1.1.2 Representasi yang Terlihat dalam Gabungan Anak Kalimat Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat lain jika digabung akan membentuk suatu pengertian atau makna baru. Gabungan antara anak kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain. Koherensi yang dimaksud dapat menunjukkan ideologi dari pemakai bahasa. Koherensi antara anak kalimat ini mempunyai beberapa bentuk. Pertama, elaborasi, anak kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang lain. Anak kalimat kedua berfungsi memperinci anak kalimat pertama. Kata sambung yang dipakai seperti yang, lalu, atau selanjutnya. Dari analisis data yang dilakukan terhadap teks pemberitaan kasus BibitChandra dalam Jawa Pos selama dua bulan (Oktober-November 2009), terlihat koherensi lokal dalam bentuk elaborasi seperti terlihat dalam kutipan berikut. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinonaktifkan karena tudingan kasus penyalahgunaan kewenangan dan pemerasan tersebut ternyata hidup sederhana di perumahan biasa. (Jawa Pos, 21 Oktober 2009) Dalam kutipan di atas terdapat dua fakta yang coba digabungkan oleh Jawa Pos yakni Bibit Chandra yang hidup sederhana di perumahan biasa. Fakta kedua adalah jabatan Bibit yang dulu wakil ketua KPK telah nonaktif karena kasus tersebut. Fakta bahwa Bibit adalah wakil ketua KPK tampaknya dalam kalimat tersebut mendapat penekanan. Dengan digabungkannya bersama kenyataan hidupnya yang sederhana, diyakini feature ini memiliki nilai berita yang tinggi

karena akan kontras jika dihubungkan dengan kehidupan para pejabat yang bergelimang harta. Siapa sangka seorang wakil ketua KPK hidup seperti rakyat biasa. Koherensi kedua, perpanjangan, yaitu anak kalimat satu merupakan perpanjangan anak kalimat yang lain. Kata sambung yang dipakai adalah dan (tambahan); tetapi, meskipun, akan tetapi (kontras); atau (pilihan setara). Koherensi kontras tampak pada kutipan berikut. Meskipun perwira, Bibit dan keluarganya tak sungkan tinggal di kompleks bersama polisi berpangkat tamtama. (Jawa Pos, 21 Oktober 2009) Penggunaan kata sambung meskipun dalam kutipan di atas memperjelas hubungan pertentangan antara anak kalimat satu dan dua. Gabungan anak kalimat tersebut menggambarkan sebuah realitas yang kontras yang pernah dialami Bibit. Koherensi ketiga, mempertinggi, anak kalimat yang satu diposisikan lebih tinggi dari anak kalimat yang lain. Dengan kata lain, anak kalimat satu menjadi penyebab anak kalimat lainnya. Kata sambung yang dipakai adalah karena atau diakibatkan. Koherensi jenis ini pun tampak pada kutipan teks berita berikut. Wanita yang akrab dipanggil Titik itu memang berusaha menahan dalam-dalam kesedihannya sebab dia tak ingin sanak keluarga yang melihatnya ikut bersedih. (Jawa Pos, 1 November 2009) Anak kalimat kedua kedudukannya lebih tinggi dari anak kalimat satu. Kalimat kedua merupakan penyebab sementara kalimat satu adalah akibat. Namun anak kalimat satu dihadirkan lebih dulu, itu untuk menampilkan efek dramatis pada pemberitaan. Ditambah lagi dengan penggunaan kata dalam-dalam. Seolah

menggambarkan perasaan yang sakit mendalam. Kecintaan suami juga terlihat dari pemilihan kata suami tercinta dan belahan jiwa.

5.1.1.3 Representasi yang Terlihat dalam Rangkaian Antarkalimat Representasi dalam rangkaian antar kalimat merujuk pada bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai sehingga akan terlihat bagian mana yang akan ditonjolkan dalam kalimat. Selanjutnya dapat diketahui apakah pernyataanpernyataan yang terangkai, saling mendukung atau saling bertentangan. Dalam teks pemberitaan kasus Bibit-Chandra, representasi dalam rangkaian antarkalimat terlihat seperti dalam kutipan berikut. Sebelumnya, sumber di internal KPK menyebutkan bukti rekayasa kasus tersebut di tangan Plt pimpinan KPK pilihan presiden, Tumpak Hatorangan Panggabean. Namun, hingga sekarang pimpinan KPK belum menunjukkan komitmen apa pun terhadap kasus kriminalisasi tersebut. Sampai saat ini inisiatif pimpinan KPK pilihan presiden itu juga belum tampak. (Jawa Pos, 20 Oktober 2009) Bibit samad Riyanto pensiun sebagai polisi pada 2000 dengan pangkat irjen. Dengan pangkat setinggi itu, mestinya dia bisa tinggal di perumahan elite. Tapi, tidak demikian Bibit..... ternyata hidup sederhana di perumahan biasa. (Jawa Pos, 21 Oktober 2009) Dalam rangkaian antarkalimat di atas terlihat pernyataan yang saling bertentangan. Pada kutipan pertama, di awal paragraf disebutkan bahwa bukti rekayasa kasus ada di tangan Plt pimpinan KPK. Namun diakhir paragraf dijelaskan bahwa pimpinan KPK yang ditunjuk itu sama sekali belum mengambil tindakan. Seharusnya jika bukti tersebut sudah ada di tangan Tumpak Hatorangan maka sudah seharusnya bertindak cepat. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pimpinan KPK, Tumpak Hatorangan, direpresentasikan tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Kutipan kedua juga sama, jabatan yang pernah disandang Bibit membuat realitas pada teks menjadi kontras. Bibit bukanlah sosok pejabat pada umumnya yang hidup dalam kemewahan. Untuk menciptakan efek dramatis, tempat tinggal Bibit dituliskan dengan menggunakan kata perkampungan padat penduduk, padahal bisa saja digunakan kata pengganti kawasan. Namun karena yang ingin ditonjolkan adalah sisi kesederhanaan keluarga Bibit maka kata-kata yang digunakan adalah yang tingkatannya rendah. Pada teks lain, pernyataan yang saling bertentangan juga tampak pada kutipan teks yang muncul dari komitmen KPK untuk membela Bibit-Chandra. Komisi menjajikan habis-habisan membantu keduanya untuk keluar dari tudingan kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan tersebut.... Sikap tersebut menunjukkan kemajuan dalam penanganan kasus yang melibatkan dua pimpinan itu. Sebab, para pimpinan KPK sama sekali tak bersuara soal desakan publik untuk membongkar rekaman rekayasa kasus itu ke publik. (Jawa Pos, 25 Oktober 2009) Teks tersebut menggambarkan kemajuan sikap KPK dalam menangani kasus pimpinannya. KPK yang semula diam tanpa bertindak akhirnya membuat komitmen untuk membantu dua pimpinannya bebas dari jeratan hukum dan tuduhan. Komitmen KPK ditampilkan sebagai suatu tindakan yang benar dan sudah sepatutnya dilakukan. Di bagian lain rangkaian antarkalimat yang saling mendukung terlihat dalam kutipan teks berikut. Kesederhanaan itu pula yang melambungkan namanya hingga dinominasikan sebagai calon Kapolri di era presiden Gus Dur. Demikian juga setelah pensiun dari dinas kepolisian, Bibit tak ingin aktivitasnya berhenti begitu saja. Menurut Sugiharti, Bibit mengajar di sejumlah kampus. Diantaranya Universitas Bina Nusantara,

Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia. Dia mengajar maajemen, mulai jenjang S-1 hingga S-3. Aktivitas Bibit makin banyak saat menjabat wakil ketua KPK. Sampai di rumah setelah beraktivitas seharian penuh, dia masih betah berlama-lama di depan komputer. Dia langsung menulis buku, papar dia. Demikian halnya setelah kini nonaktif. Dia masih menyempatkan menulis buku, yakni Anatomi Korupsi di Indonesia. (Jawa Pos, 21 Oktober 2009) Dari kutipan di atas, rangkaian antarkalimatnya menunjukkan pernyataan yang saling mendukung. Antara kalimat satu dengan yang lain intinya mengarah pada realitas sama yaitu sosok Bibit yang dilukiskan sebagai pekerja keras dan bersahaja. Rangkaian kalimat bukan hanya berhubungan dengan teknis penulisan, karena rangkaian disini bisa mempengaruhi makna yang ditampilkan kepada pembaca. Menempatkan susunan kalimat secara implisit menunjukkan praktik yang ingin disampaikan oleh media. Pengutipan pendapat narasumber dapat dideteksi apakah pendapat tersebut ditampilkan sebagai ide yang dominan ataukah untuk dikomentari dan dibuat menjadi tidak legitimate, seperti pada teks berikut. Ketua Plt KPK Tumpak Hatorangan Pangabean mengaku amat prihatin dengan langkah penahanan itu.....Apa yang telah anda dengar tentu kami pimpinan KPK merasakan suatu keprihatinan atas dikenakannya upoaya paksa itu..... Larangan mengeluarkan pendapat hanya dilakukan negara-negara fasis. Negara demokrasi menjamin orang mengeluarkan pendapat. Kalau polisi menahan mereka dengan alasan itu, berarti mereka fasis, tegas Hakim MK Akil Mochtar. Irjen Dikdik Mulyana membantah keras ada rekayasa dalam penanganan kasus keduanya.... (Jawa Pos, 30 Oktober 2009) Dalam teks diatas, pendapat Tumpak ditampilkan di awal paragraf disusul kemudian pendapat Hakim MK dimana keduanya memberikan respon negatif kepada tindakan Polri. Sementara pendapat dari pihak Polri yang diwakilkan Irjen

Dikdik ditampilkan di akhir paragraf. Peletakkan pendapat di awal paragraf dimaksudkan sebagai pendapat yang dominan sementara pendapat Polri sebagai reaksi. Dalam hal ini posisi Polri berada dibawah KPK karena MK sebagai lembaga yang lebih tinggi pun tidak menyetujui tindakan Polri menahan Bibit-Chandra. Secara kuantitas narasumber pro KPK lebih banyak daripada pihak Polri. Banyaknya narasumber yang disebutkan mendukung Bibit-Chandra mengalahkan pendapat Irjen Pol Dikdik Mulyana yang dalam teks tersebut berdiri seorang diri membela langkah Polri. Meskipun demikian, teks tersebut masih menggambarkan Polri sebagai pihak yang melegitimate (berkuasa). Kuantitas pemuatan pendapat narasumber juga terjadi di teks berita tanggal 21 November 2009 mengenai pelecehan UU Pers oleh Polri. Hadirnya empat narasumber yang kontradiktif dengan sikap Polri makin memanaskan teks tersebut. Penjelasan dari Polri terkait pemanggilan dua pimpinan media diletakkan di akhir paragraf. Bisa jadi dianggap tidak terlalu penting karena yang diutamakan atau ditonjolkan dalam teks tersebut adalah kriminalisasi pers oleh Polri. Didukung dengan kutipan teks : Gejala kriminalisasi pers semacam itu sebenarnya beberapa kali ditunjukkan polisi. Salah satu diantaranya..... Pers seakan menjadi pihak yang ditindas Polri. Dalam kutipan tersebut digambarkan penderitaan pers atas suatu kondisi ketidakadilan yang disengaja atau dilakukan secara terencana. Demikian pula pada edisi 16 November berjudul Abolisi Stop kasus BibitChandra. Dalam rangkaian antarkalimat, pendapat Mahfud M.D, ketua Mahkamah Konstitusi dihadirkan sebagai pendapat yang penting. Ini terlihat dari peletakannya di awal paragraf. Kemudian ditampilkannya pernyataan para pakar hukum Tata

Negara setelah pendapat Mahfud seolah memberikan reaksi terhadap usul Mahfud. Disini yang terjadi adalah penggabungan dua fakta dari sumber berbeda yang dibuat seloah-olah saling mendukung, karena pada kenyataannya Mahfud dan Saldi Isra tidak berjumpa.tetapi dengan mensejajarkan pendapat mereka dalam satu kohesi, seakan mereka saling menanggapi. Berdasarkan pemaparan diatas, maka pemilihan narasumber menjadi sangat krusial dalam mendukung representasi yang diinginkan media. Pada teks berita edidi 31 Oktober 2009 berjudul Dukungan 1 Juta Facebookers tampak harapanharapan besar yang ditujukan kepada KPK. Harapan tersebut tertuang dalam hujatan kepada Polri dan dukungan kepada KPK yang diambil dari beberapa komentar facebookers. Secara substansi, komentar yang dipilih itu dianggap mampu mewakili suara rakyat yang pro KPK. Pada komentar Dewie, substansi itu dilekatkan dengan keberadaan Tuhan, dorongan secara agamis yang dimaksudkan Jawa Pos. Angka 1 juta facebookers dimasukkan ke dalam judul juga bermaksud untuk menggambarkan betapa banyaknya pendukung KPK.

5.1.2. Relasi Relasi berhubungan dengan konstruksi hubungan antara partisipan dalam media yang ditampilkan melalui teks. Dengan kata lain bagaimana teks bisa membangun hubungan antara audiens dengan partisipan sosisal yang dibangun. Menurut Fairclough, ada tiga kategori partisipan dalam media cetak : pembuat teks (wartawan, redaktur, dan redaksional), khalayak media, dan partisipan publik

diantaranya adalah politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, arrtis, ulama, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:300). Dalam kategori partisipan, pembuat teks pada pemberitaan kasus BibitChandra ialah wartawan beserta institusi medianya yaitu Jawa Pos. Khalayak media disini adalah pembaca Jawa Pos. Sedangkan partisipan publik memasukkan pihakpihak yang disebutkan dalam pemberitaan seperti aparat kepolisian, aktivis, pejabat KPK, pengacara, kejaksaan, dan sebagainya. Terkait dengan gaya penulisan, analisis hubungan juga mengamati penyampaian teks berita, apakah secara informal atau formal, terbuka atau tertutup (Rahmawati, 2008:85). Pemberitaan kasus Bibit-Chandra selama Oktober hingga November 2009 ditulis secara lugas, apa adanya, dan terbuka. Jawa Pos menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh semua kalangan. Relasi yang terlihat antara pembuat berita (redaksi Jawa Pos) dengan pembaca dalam pemberitaan kasus Bibit-Chandra terasa begitu jauh, khususnya pada jenis berita straight news. Hal ini dikarenakan posisi media memang hanya sebagai penyampai informasi saja. Namun pada beberapa berita feature seperti edisi 21 Oktober 2009 yang mengulas mengenai kehidupan Bibit sehari-hari, kedekatan penulis dengan pembaca terasa dalam teks berikut. Kediaman Bibit terletak di kampung Pedurenan, belakang Perumahan Griya Kencana I, Ciledug, Tangerang.....Untuk mencapainya, harus nebeng pintu masuk perumahan, kemudian melewati jalan sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil. Setelah itu, baru samapi di perkampungan padat penduduk, tempat keluarga Bibit tinggal. Di depan rumah Bibit yang menghadap ke barat tersebut terdapat tanah kosong yang biasa dipakai warga untk membakar sampah. Jadilah asap dan bau bakaran sampah familiar dengan keluarga Bibit. (Jawa Pos, 21 Oktober 2009)

Kutipan diatas secara tidak langsung ditampilkan untuk mengajak pembaca merasakan apa yang dialami penulis (wartawan) selama di lapangan. Dalam teks itu kondisi lingkungan tempat tinggal Bibit dan keluarganya dijelaskan secara detail. Pemilihan realitas yang ditampilkan turut memberi gambaran bahwa kondisi tersebut juga sama seperti yang dialami pembaca. Sementara itu, hubungan pembuat berita diposisikan lebih tinggi dalam kaitannya dengan Polri, seperti pada kutipan teks berikut. Penyidik Mabes Polri harus kembali bekerja keras agar berkas perkara Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M. Hamzah bisa dilimpahkan ke tahap penuntutan. Itu dilakukan setelah Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara tersebut ke penyidik karena dinyatakan belum lengkap. (Jawa Pos, 10 Oktober 2009) Disini pembuat berita memberikan tanggapannya kepada pihak Polri. Terlihat dari kalimat harus kembali bekerja keras, si pembuat berita memberikan penekanan atas upaya-upaya Polri untuk meneruskan tuntutan terhadap BibitChandra. Pada teks berita lain juga mengukuhkan kedudukan media yang lebih tinggi dari Polri, seperti kutipan berikut. Banyak hal yang selama ini menjadi bola liar yang menyudutkan Polri bisa dijelaskan secara gamblang. Namun kalau saja apa yang disampaikan Kapolri tadi malam itu dibeberkan tiga-empat hari lalu, saya pastikan opini publik terhadap Polri tidak akan sejelek sekarang ini. (Jawa Pos, 6 November 2009) Kutipan tersebut diambil dari teks berita yang sifatnya editorial, ditulis oleh Dahlan Iskan. Pada teks tersebut Dahlan memposisikan diri sebagai pihak yang mempunyai kuasa untuk mengkritisi sikap Polri.

Ada teks-teks tertentu yang memperlihatkan secara jelas posisi pembuat berita lebih tinggi dari posisi pemerintah. Kondisi hubungan seperti itu muncul dalam teks editorial berikut. Skandal BLBI belum tuntas sudah disusul skandal bank Century..... Dalam keadaan darurat sebenarnya kita tetap harus tenang. Tidak gugup, tidak ngawur. Ketenangan akan membuat kita jauh dari kepanikan. Ketidakpanikan akan menjaga kejernihan dalam melihat inti persoalan. (Jawa Pos, 4 November 2009) Penulis berita yang juga pemimpin redaksi, Leak Kustiya, menampilkan teks berupa realitas yang dipadukan dengan pendapat redaksi secara personal. Ia memberi solusi bagi pemerintah dan pejabat-pejabatnya agar tidak gegabah dalam menanggapi dan menangani suatu masalah. Pada teks yang sama, posisi penulis bisa berubah menjadi lebih rendah ketimbang narasumbernya. Hal ini terlihat ketika sang narasumber adalah seseorang yang mempunyai status sosial tinggi di masyarakat seperti Gus Dur. Hal ini bisa terlihat pada teks berikut. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa penting support yang sebenarnya lagi diupayakan Gus Dur, orang yang mestinya beristirahat karena juga harus dirawat kesehatannya. (Jawa Pos, 4 November 2009) Penulis berita memposisikan Gus Dur lebih tinggi darinya. Tindakan Gus Dur dinilai sangat penting dalam memacu semangat KPK. Ia mengamati tindakan Gus Dur dan dikaitkan dengan kondisi peradilan di Indonesia yang dirasa sudah buruk. Dalam konteks hubungan dengan pelaku, pembuat berita tetap berada di kedudukan yang tinggi. Disini hubungan itu tampak melalui kalimat kembali lolos

dari jerat hukum. Kata kembali berarti menegaskan untuk kesekian kalinya Anggodo tidak bisa dijerat oleh hukum. Kutipan teks selengkapnya seperti berikut. Anggodo Widjojo, aktor dalam rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kembali lolos dari jerat hukum. Lebih dari dua minggu setelah suaranya diputar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi Kamis lalu (3/11), status pria bernama Tionghoa Ang Tju Nek itu tetap menjadi saksi. Bahkan, rekomendasi Tim Delapan pun tidak cukup kuat untuk membuat Anggodo berubah status. (Jawa Pos, 19 November 2009) 5.1.3. Identitas Identitas akan merujuk pada konstruksi tertentu dari pembuat berita, khalayak, dan partisipan publik yang ditampilkan dalam teks pemberitaan. Identitas mengidentifikasi bagaimana media tertentu tanpa disadari berpihak pada kelompok tertentu dan memarjinalkan kelompok lain. Secara umum, pemberitaan Bibit-Chandra di Jawa Pos mengidentitaskan beberapa pihak utama yakni KPK, kepolisian RI, dan Anggodo. Pembuat berita (redaksi Jawa Pos) dalam teks pemberitaan kasus Bibit-Chandra diidentitaskan sebagai pihak luar yang menceritakan peristiwa perkembangan kasus BibitChandra. Redaksi Jawa Pos melalui wartawannya berusaha menyuguhkan berita sesuai apa yang terjadi di lapangan. Info apapun yang berkaitan dengan BibitChandra ditulis untuk memberikan informasi kepada pembaca. Dalam teks berita Bibit-Chandra, awalnya KPK digambarkan sebagai lembaga yang garang dan ditakuti para koruptor. Tapi kemudian, KPK dijustifikasi kuasanya. Diawali dengan teks yang dikutip dari pernyataan Ketua ICW, Emerson Yuntho. Gebrakan pimpinan KPK jangan hanya seputar silaturrahmi sanasini. keberanian mereka itu ukuran kinerja dari masyarakat.

Apabila tak berani mengambil keputusan bidang penindakan, lebih baik mereka mengundurkan diri dari jabatan Plt KPK. Dengan pimpinan baru, publik sebenarnya sangat berharap agar KPK lebih maju di bidang penindakan korupsi. (Jawa Pos, 10 Oktober 2009) Penulis berita mengkritik greget KPK yang tidak menunjukkan langkah yang berarti semenjak tiga pimpinan baru KPK (Tumpak Hatorangan, Mas Achmad Santosa) dilantik. KPK dirasa kurang menunjukkan kegarangannya jika hanya kampanye-kampanye saja. Identitas senada juga muncul pada teks berikut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menyikapi kriminalisasi yang menimpa dua pimpinan KPK (nonaktif) Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Komisi menjanjikan habishabisan membantu keduanya untuk keluar dari tudingan kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan tersebut..... Sikap tersebut menunjukkan kemajuan dalam penanganan kasus yang melibatkan dua pimpinan itu..... Komitmen para pimpinan KPK tersebut dinilai tim pengacara KPK Achmad Rivai belum melegakan..... (Jawa Pos, 25 Oktober 2009) Penulis berita menilai positif sikap reaktif KPK itu, namun hadirnya pernyataan salah satu tim pengacara KPK secara tidak sadar memberikan label ragu akan tindakan pimpinan KPK itudan lagi-lagi KPK ditasbihkan sebagai lembaga yang mulai renta semenjak dipimpin oleh pimpinan baru. Sementara itu, Anggodo, diidentitaskan sebagai aktor atau pelaku dari semua permasalahan yang menjerat Bibit-Chandra. Hadirnya teks yang memberi informasi seputar profil Anggodo mengarah pada sisi buruk Anggodo dan Anggoro (kakak Anggodo). Anggodo digambarkan sebagai sosok pengusaha asal Surabaya yang berkecimpung di bisnis ilegal. Selama menjadi pengusaha, Anggodo kerap melanggar hukum dan suka sekali bersenang-senang menghamburkan uangnya terlebih untuk urusan wanita. Pemaparan itu terekam jelas pada kutipan berikut.

Di mata para pengusaha papan atas Surabaya, Anggodo dan Anggoro adalah pengusaha yang banyak berkecimpung di bisnis ilegal. Bahkan seorang pengusaha yang cukup dekat dengan keduanya sejak kecil, mengatakan, mereka dikenal bengal sejak kecil dan remaja. .....lahan bisnis baru yang dipilih sering menyerempet hal yang melanggar hukum. .....bahkan, di kalangan penikmat dunia malam di Jakarta dan Surabaya, Anggoro dikenal senagai pengusaha yang suka berfoyafoya. pernah dia mem-booking 30 cewek sekaligus dan masingmasing dikasih Rp 3 juta..... (Jawa Pos, 4 November 2009) Terhadap kepolisian RI, pemberitaan selama dua bulan terkait kasus BibitChandra cenderung mengidentitaskan sebagai pihak yang paling sering melakukan kesalahan dan kecurangan. Polri disikapi telah melakukan ketidakadilan terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif, Bibit-Chandra. Tak hanya Bibit, Polri diyakini juga mengintimidasi saksi Ari Muladi. Dijelaskan melalui teks berikut. ..... Ari kerap diminta penyidik ke berita acara pemeriksaan sebelumnya.... Bahkan, dia dijanjikan dibebaskan kalau mau kembali ke (BAP) yang pertama. Pengacara Ari muladi, Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan akan meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi kliennya itu..... Sugeng juga meminta Tim Delapan mengikuti pemeriksaan Ari Muladi di Mabes Polri. (Jawa Pos, 8 November 2009) Di sisi lain, Kinerja polisi dalam menangani kasus-kasus korupsi dinilai kurang maksimal. Sudut pandang ini ditemukan ketika di awal paragraf, penulis menceritakan tentang keinginan Polri untuk turut menuntaskan masalah korupsi bersama kejaksaan dan KPK yang terdapat dalam kalimat satu langkah, satu misi, satu tekad. Antara ketiganya diharapkan dapat saling mensuport. Namun hadirnya pendapat dari Neta Sanusi Pane seolah menegaskan tipisnya kemungkinan tersebut. Pernyataan Neta itu justru mengungkap kesinisan terhadap Polri.

Komitmen kepolisian itu diragukan Indonesian Police Watch (IPW). Mereka menilai, korps baju merah itu masih setengah hati mengusut kasus-kasus korupsi. Ketua presidium IPW Neta Sanusi Pane mengatakan, selama ini kinerja kepolisian menuntaskan kasus korupsi belum maksimal. .....kasus korupsi yang menjerat pejabat Polri yang berani ditangani baru yang melibatkan mantan Kabareskrim Suyitno Landung. Setelah itu tidak ada lagi kasus korupsi yang berhasil diselesaikan Polri. (Jawa Pos, 25 Oktober 2009) Tidak berhenti sampai disitu, identitas Polri yang semena-mena dan semaunya sendiri ditampilkan dalam teks pemberitaan pelecehan peran pers. Sekali lagi, polisi menempati gelar yang buruk di mata pembaca, teks tersebut mengkritisi ketidak profesionalan polisi dalam menghargai pers. Dari pemaparan identitas di atas, tampak ada wacana yang secara tidak langsung teramati oleh pembaca. Sebuah wacana tentang kinerja kinerja KPK dan kepolisian RI yang semakin merosot dalam menangani masalah hukum di Indonesia. Identitas yang melekat pada masing-masing pihak dalam pemberitaan memberikan pilihan bagi pembaca untuk menentukan sikap. 5.2. Analisis Discourse Practice Pada tahap analisis ini akan diteliti bagaimana praktik diskursus yang dilakukan surat kabar Jawa Pos dalam memproduksi berita dan pengkonsumsian berita oleh khalayak. Dalam analisis wacana model Fairclough, praktik diskursus diyakini sangat berperan dalam membentuk teks berita yang akan diproduksi. Tentunya sebuah praktik wacana seperti itu akan melibatkan aspek penting yang mempunyai hubungan keterikatan. Mengacu pada pendapat Eriyanto (2005:317), keterkaitan aspek-aspek dalam media merupakan keseluruhan dari praktik wacana yang dimainkan oleh media. Aspek itu antara lain berkaitan dengan latar belakang

wartawan hubungannya dengan struktur organisasi media serta pola rutinitas kerja di surat kabar Jawa Pos dalam membentuk wacana (diskursus). Dari penjelasan sebelumnya maka analisis praktik wacana didasarkan pada hasil wawancara dengan Ridlwan, salah seorang wartawan Jawa Pos dan salah satu redaktur halaman depan yaitu Agus Muttaqien. 1. Hubungan Latar Belakang Wartawan dengan Struktur Organisasi Media Ridlwan Habib adalah salah satu wartawan Jawa Pos yang berpusat di Jakarta. Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 5 Oktober 1979. Gelar sarjana yang dimiliki diperolehnya dari studi sebagai mahasiswa S1 jurusan Hubungan Internasional, yang bernaung dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada. Profesinya di dunia wartawan berawal dari sebuah pengumuman di koran Jawa Pos, yang saat itu tengah membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan. Bisa dikatakan faktor kondisional yang membawanya masuk ke bisnis media. Sekitar tahun 2006, Ridlwan resmi bergabung dengan grup Jawa Pos. Namun prosesnya tidak semudah itu, ia harus melalui serangkaian tes seleksi yang diadakan Jawa Pos. Tes seleksi tersebut meliputi wawancara kerja, tes kesehatan, dan tes psikologi. Tidak semua orang bisa menjadi wartawan, ini terbukti dari banyaknya peserta tes yang gagal ketika menjalani tes psikologi. Kondisi psikologis seseorang akan menentukan cocok tidaknya ia menjalani profesi sebagai wartawan. Jam kerja wartawan yang unlimited (tanpa batas) atau tidak kenal waktu membuat profesi ini menjadi unik. Tampaknya semua kriteria yang harus dimiliki seorang

wartawan telah dimiliki Ridlwan hingga akhirnya ia lolos keseluruhan tes seleksi oleh Jawa Pos. Setelah melewati tahap seleksi, setiap wartawan baru termasuk Ridlwan diwajibkan mengikuti masa training yaitu masa pelatihan selama tiga bulan yang dihandle koordinator liputan. Sebulan pertama adalah pemberian materi kelas oleh senior-senior di Jawa Pos. Di tahap itu wartawan diarahkan dan diajarkan untuk membuat berita ala Jawa Pos sesuai rukun iman Jawa Pos. Rukun iman Jawa Pos adalah panduan menulis berita, di dalamnya ada sepuluh poin yang wajib dihafalkan wartawan. Pada bulan kedua dan ketiga, wartawan baru diperkenankan melakukan praktek peliputan berita di lapangan. Seusai praktek lapangan, selanjutnya adalah tahap evaluasi, apakah berita yang dihasilkan sesuai dengan rukun iman atau tidak, apakah ada poin rukun iman yang kurang dan sebagainya. Dibuktikan dari kutipan wawancara berikut. Peneliti : Latar belakang kehidupan mas Ridlwan mempengaruhi cara penulisan berita ya? Wartawan : Ya enggak lah... awal-awal jadi wartawan kan kita udah dijejali rukun iman Jawa Pos. itu selama training tiga bulan, jadi secara tidak sadar akan membentuk pola penulisan wartawan. Kebiasaan seperti itulah yang nantinya secara tidak sadar akan membentuk pola penulisan wartawannya sehingga gaya penulisan wartawan satu dengan yang lain menjadi seragam seperti pemberitaan di Jawa Pos saat ini. Pola seperti itu pada akhirnya meniadakan masuknya ideologi wartawan dalam berita yang ditulisnya. Berdasarkan pemaparan itulah maka idealisme wartawan dalam menulis berita dihapuskan dan diganti dengan idealisme media.

Masa training juga dikatakan sebagai masa penempatan (placement) wartawan. Selama training akan diamati kecenderungan penulisan wartawan, misalnya kemampuan menulis wartawan mengarah pada berita politik, olahraga, kriminal, ataukah hiburan. Dari situlah diketahui minat wartawan untuk kemudian ditentukan pos penempatannya. Di awal masa kerjanya, Ridlwan ditempatkan di Jawa Timur bagian politik selama lima bulan. Setelah itu langsung dipindah tugaskan ke Jakarta (hingga sekarang) bagian politik dan keamanan. Ia bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di institusi seperti Departemen

Pertahanan, TNI, Departemen Dalam Negeri. Awal 2008, tugasnya menjadi lebih fokus yakni seputar Mabes Polri dan Departemen Ketahanan. Kejadian apapun yang terjadi di Mabes Polri dan Departemen Ketahanan wajib diberitakan. Ketika kasus Bibit-Chandra marak dibicarakan, Ridlwan harus rela begadang di Mabes Polri untuk terus mengikuti perkmbangan kasus tersebut. Pemindahan pos-pos pemberitaan merupakan wewenang manajemen dan merupakan hal yang wajar dalam sebuah lingkup redaksi. Tidak ada alasan spesifik yang mendasari hanya untuk penyegaran saja. Namun hal itu tentu saja kontras dengan penempatan pos saat masa training yang mengacu pada minat wartawan. Dari hasil wawancara dengan Ridlwan diketahui bahwa penempatan pos sesuai minat wartawan adalah strategi manajemen dalam memotivasi wartawannya agar bekerja secara maksimal. Terbukti dari pernyataan wartawan dalam kutipan berikut. Wartawan : Awalnya memang disesuaikan sama minat wartawan supaya konsep mereka matang dalam menulis berita. Kalau pertama sudah ditaruh di pos yang gak disuka, wartawan bisa malas-malasan. Kalau seperti itu kan jadi semangat kerjanya.

Bentuk motivasi tidak hanya berupa penempatan pos pemberitaan, tetapi juga dalam hal kesejahteraan wartawan. Kehidupan wartawan Jawa Pos bisa dikatakan sangat terjamin. Selain gaji pokok, wartawan Jawa Pos juga mendapat tunjangan profesi, tunjangan kemahalan karena biaya hidup di Jakarta serba mahal dan bonus sebanyak 8 kali. Jika dihitung dengan gaji pokok yang diterima tiap bulan berarti seorang wartawan Jawa Pos menerima gaji sebanyak 20 kali per tahunnya. Jika memasuki masa pensiun (50 tahun), perhitungan gajinya ialah gaji terakhir dikali lama masa kerja. Dalam hubungannya dengan narasumber, Ridlwan selalu berusaha menjaga hubungan itu agar tetap baik. Itu dilakukan agar tercipta kedekatan dengan narasumber, karena dari situ hubungan yang saling menguntungkan bisa terjadi. Pendekatan itu bisa berupa memahami karakter narasumber, memberikan perhatian kecil terkait kehidupan dan karir narasumber, dan tetap menjaga komunikasi antara keduanya. Berkaitan dengan hubungan wartawan dalam struktur organisasi Jawa Pos, perannya dalam struktur tersebut hanyalah sebagai pencari berita. Ia bertugas mencari berita, menuliskannya kemudian menyerahkan kepada redaktur.

Pemahaman ini juga sebagai wujud penerapan rukun iman Jawa Pos yang telah dijelaskan sebelumnya. Rukun iman tersebut yang menjadi standard baku peliputan sebuah berita oleh wartawan. Hal ini terlihat dari kutipan wawancara berikut. Peneliti : Sebenarnya tugas wartawan di Jawa Pos itu seperti apa ? Apakah hanya sebatas mencari berita saja ? Wartawan : Ya dong... Cuma cari berita. Itu kan prinsip dasar jurnalisme untuk mencari berita. Ditambah alur penulisan berita dari wartawan sampai ke cetak

Kutipan di atas menguatkan dugaan bahwa kedudukan wartawan di kalangan redaksional tidak memiliki kuasa dalam pengambilan keputusan. Wartawan seolah berada dalam konteks diluar kebijakan redaksi. Pernyataan senada juga sempat terungkap ketika mewawancarai redaktur Jawa Pos, Agus Muttaqien. Ia menyatakan tanggungjawab wartawan dalam sebuah surat kabar seperti Jawa Pos hanya sebatas menulis berita. Dengan kata lain, media secara langsung membatasi adanya kepentingan-kepentingan pribadi dari sang wartawan dalam menulis berita. Dalam hal ini yang berperan adalah kepentingan media semata yang dituangkan dalam kebijakan redaksional. Pengambilan keputusan dilakukan oleh jajaran redaksi tanpa melibatkan wartawan. Seperti pada proses pra cetak, Redaktur pada susunan redaksi Jawa Pos bertanggungjawab pada keseluruhan isi berita termasuk didalamnya memperhatikan dampak dari pemberitaan tersebut, keaktualan berita, pengembangan berita apakah nantinya bisa dikembangkan menjadi berita yang menarik lagi atau tidak, dan memberikan keputusan dimuat atau tidaknya berita yang telah ditulis wartawan.

2. Pola Rutinitas Kerja Di Surat Kabar Jawa Pos Dalam Membentuk Wacana Pola rutinitas kerja di Jawa Pos dimulai dengan pencarian berita oleh wartawan. Wartawan yang bertugas di Jakarta saat ini sekitar 15 orang. Dalam pembagian pos liputan, koordinator liputan yang mengatur tugas peliputan untuk wartawan. Tiap departemen pemerintahan menjadi sasaran wartawan untuk mencari isu yang bisa diangkat menjadi berita. Misalnya bagi wartawan di pos hukum maka area liputannya adalah lembaga hukum seperti Mahkamah Agung, Mahkamah

Konstitusi, KPK, dan sebagainya. Berita-berita yang telah ditulis wartawan akan dikirim langsung ke redaktur Biro Surabaya untuk kemudian diproses. Pengiriman berita menggunakan STP (Self Transfer Protocol), prinsipnya seperti penyimpanan di folder biasa namun ada server yang menghubungkan langsung dengan komputer di kantor Jawa Pos Surabaya. Proses berikutnya beralih ke meja redaksi, tempat berita-berita yang dikirimkan wartawan mengalami proses pengeditan hingga layak muat. Semua berita yang masuk ke meja redaksi harus diseleksi terlebih dahulu oleh redaktur masing-masing halaman, sebab proses pengeditan oleh redaksi adalah standard baku perusahaan media. Setiap redaktur mempunyai hak yang sama dalam menentukan berita yang dimuat maupun foto yang akan ditampilkan. Proses editing di meja redaksi bukan pada edit bahasa melainkan penentuan kelayakan berita hingga realitas yang akan ditonjolkan atau disamarkan dari pemberitaan. Kelayakan sebuah berita dilihat dari dua sisi. Secara teknis, apakah berita memenuhi kelengkapan unsur pembentuk berita (5W + 1H), apakah berita sudah berimbang atau cover both side, sudah sesuaikah dengan gaya penulisan Jawa Pos. Kemudian secara nonteknis, menjadi tugas editor bahasa untuk menyempurnakan penulisan berita tersebut, bukan dalam substansinya hanya pada ketepatan penulisan. Setelah berita dinyatakan layak muat oleh redaktur maka berita siap dicetak menjadi koran. Secara umum alur berjalannya berita di Jawa Pos digambarkan seperti dibawah ini. Gambar 4 : Alur Berita

Wartawan

Redaktur

Editor Bahasa

Percetakan

Rutinitas kerja pembuatan berita di Jawa Pos memang sangat menentukan pembentukan wacana. Jika dijabarkan lebih rinci, keputusan terbesar dalam pembentukan wacana terletak pada rapat redaksi yang membahas keseluruhan isi koran. Rapat redaksi disini bukanlah proses pengeditan berita oleh masing-masing redaktur seperti yang dijelaskan sebelumnya, melainkan lebih mengarah pada pemilihan dan penentuan berita yang akan dimuat. Seluruh redaktur dari masingmasing kolom pemberitaan (Halaman utama, olahraga, metropolis, deteksi) berkumpul dan mendata (listing) berita-berita yang ditulis wartawan. Tiap wartawan paling tidak sudah harus menyetorkan judul-judul beritanya. Proses listing tersebut diadakan setiap hari pukul 17.00 WIB, bertempat di sebuah ruangan yang dikhususkan untuk rapat redaksi. Dari list itu akan, redaksi akan menentukan peletakan berita, apakah akan menjadi berita utama yang diletakkan di halaman depan, apakah dijadikan headline, atau justru tidak dimuat sama sekali. Lebih jauh rapat redaksi juga membahas iklan-lklan yang akan dimuat. Dengan kata lain, rutinitas rapat redaksi merupakan bagian dari praktik pengkonstruksian wacana yang berdasarkan ideologi tertentu media. Ideologi media bergantung pada tujuan media itu sendiri, dan tentunya akan berbeda dengan media lain. Sebuah majalah dengan latar belakang islam akan lebih mengedepankan motif idealisme religinya, masalah oplah bukan menjadi persoalan utama. Profit yang dihasilkan dinilai tidak sepadan dengan idealisme media yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Hal tersebut tentu berbeda dengan Jawa Pos yang merupakan koran umum. Yang dimaksud umum adalah koran yang dibaca

semua orang dari berbagai kalangan, mulai level bawah, menengah, hingga level atas. Dengan sasaran yang multisegmen itu, bisa diamati bahwa Jawa Pos bermaksud untuk meraih pembaca dari berbagai lapisan. Tentunya prinsip itu memperlihatkan kuatnya ideologi ekonomi Jawa Pos sebagai acuan utama dalam proses produksi surat kabar. Maka wajar saja jika Jawa Pos mengembangkan usahanya dengan mendirikan anak perusahaan yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sebenarnya dari banyaknya anak perusahaan sudah bisa dilihat jika Jawa Pos menjadikan media sebagai komoditas bisnis. Dengan latar belakang Dahlan Iskan sebagai pebisnis media, Jawa Pos secara sadar ataupun tidak sadar telah berfikir seperti pemikiran pemimpinnya. Pada proses produksi berita yang berlangsung di jajaran redaksi juga memperlihatkan kuatnya pengaruh ekonomi media. Hal yang sederhana tapi bernilai adalah pemilihan judul. Pada analisis teks yang dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa pemberitaan dengan judul provokatif tidak mencakup keseluruhan isi berita. Namun pada berita dengan judul biasa saja justru memiliki nilai penting yang bisa mewakili isi dari berita itu. Sepadan dengan prinsip penulisan judul di Jawa Pos, judul pemberitaan kasus Bibit-Chandra khususnya untuk

headline ditentukan dari angel yang dianggap menarik di dalam berita tersebut. Seperti pada headline edisi 21 November 2009 berbunyi Polisi Lecehkan UU Pers. Ketika membaca judul tersebut timbul perasaan penasaran dan ketertarikan untuk membaca beritanya secara lebih lanjut. Namun setelah diamati, tidak ada dari kalimat dalam teks berita yang menggunakan kata lecehkan. Yang hadir dalam

teks hanya sebatas kekecewaan para insan pers yang terwujud dalam kutipan teks berikut. Langkah polisi memanggil dua pimpinan media ke badan reserse kriminal mabes polri dikritik keras berbagai kalangan. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menilai, pemanggilan itu berlebihan. Seharusnya polisi mencermati seksama UU pers, ujar Leo. (Jawa Pos, 21 November 2009) Jawa Pos dalam hal ini mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadi sebuah realitas baru. Dengan adanya judul itu, pembentukan opini tentang Polri di mata pembaca menjadi negatif sepadan dengan citra polisi yang selama ini dipandang buruk. Dari hasil wawancara dengan redaktur diperoleh prinsip penulisan judul di Jawa Pos. Peneliti : Untuk Pemilihan judul itu ditentukan oleh siapa mas ? Redaktur : iya itu mutlak kewenangan redaktur. Peneliti : Lalu bagaimana dengan wartawan, tentunya mereka juga mengusulkan judul...seperti apa penentuannya ? Redaktur : iya, tapi judul itu sama seperti nama. Nama itu kan mewakili seseorang. Dan nama itu akan dipilih yang terbaik dari yang ada. Sama halnya dengan di koran,. Judul HL (headline) itu judul yang terbaik dari semua berita yang ada di koran. Berita yang terbaik itu disimpulkan dari judul. Judul bisa mewakili keseluruhan dari berita yang ada. Dari berita yang ada dicari sisi mana yang paling menarik. Sisi menarik dari sebuah berita dijadikan alasan utama redaksi dalam menentukan judul. Judul menarik mempunyai nilai jual yang bagus. Namun sayangnya, judul yang menarik juga belum tentu mewakili seluruh isi berita. Kebijakan redaksional itu kontras dengan hasil wawancara diatas yang sempat menyinggung bahwa judul harus bisa mewakili isi berita secara keseluruhan. Di sisi lain dari hasil wawancara dengan wartawan diperoleh fakta bahwa judul yang

diajukannya jarang ditolak redaktur karena menurutnya, di mata redaktur judul berita sudah menarik. karena judul yang diusulkan sering diterima, ini sekaligus membuktikan iklim kerja wartawan Jawa Pos, khususnya Ridlwan. Lamanya masa kerja membuat ia paham terhadap apa yang diinginkan Jawa Pos dalam tiap pemberitaannya. Apalagi sedari awal kerja sudah diberikan pemahaman tentang rukun iman Jawa Pos. Rukun iman Jawa Pos secara praktis telah membentuk gaya penulisan berita wartawan, dan akhirnya dikenal dengan style penulisan Jawa Pos. Dari pengamatan teks berita kasus Bibit-Chandra, gaya penulisan beritanya sederhana dan lugas karena disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembaca dalam menyerap berita. Dari segi pendidikan target pembaca Jawa Pos mencakup semua masyarakat umum. Ditinjau dari segi usia, Jawa Pos merangkul pembaca di usia 25-35 tahun dari level menengah sebab pada level itu kuantitas pembaca berada dalam jumlah besar. Gaya penulisan itulah yang secara tidak sadar memunculkan kedekatan antara pembaca dengan Jawa Pos. Meraih pembaca melalui gaya penulisan Jawa Pos mampu mendongkrak angka penjualan koran. Inilah yang berusaha dilakukan Jawa Pos dalam mengadapi persaingan. Memposisikan diri sebagai koran umum memberikan kekuatan ekonomi dalam keberlangsungan hidup perusahaan. Dengan tidak dilatarbelakangi dan ditunggangi kekuatan politik tertentu, Jawa Pos yakin pembacanya tidak akan lari meskipun dihadapkan dengan media massa online yang kian marak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Jawa Pos adalah sebuah bisnis media oleh karena itu profit menjadi orientasi utama dalam pengembangan bisnis. Profit yang mengarah pada

kapitalisme dimana PT. Jawa Pos melakukan pengembangan usaha dengan beragam jenis media cetak tampaknya sangat menentukan keberadaan sebuah berita. Hal itu dapat dilihat dari kutipan wawancara dengan redaktur Jawa Pos berikut ini. Peneliti : Sebenarnya gaya penulisan di Jawa Pos seperti apa mas ? Redaktur : Yang paling sederhana, di Jawa Pos itu gaya penulisannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembaca untuk menyerap sebuah berita. Jawa pos ini kan bukan koran yang khusus tapi koran yang dibaca oleh semua orang mulai dari tukang becak dari level bawah, anak kecil (SD), sampai level menengah sarjana, pekerja kantoran, hingga level atas seperti guru besar dan pejabat tinggi presiden. Dengan tingkat pembaca yang baru bisa membaca sampai orang yang sudah punya kemampuan untuk menganalisis berita, diperlukan gaya penulisan yang sifatnya umum. Tulisan berita di Jawa Pos harus di bikin semudah orang membaca. Penggunaan kata-kata ilmiah yang perlu pemahaman lebih harus dihindari, jadi kita pakai bahasa populer. Peneliti : Setelah saya amati, teks pemberitaan kasus BibitChandra (KPK) cenderung mendapat pembelaan, sementara dari sisi Polri lebih dinegatifkan. Mengapa seperti itu ? apa yang menjadi pertimbangannya ? Redaktur : Ini konsekuensi koran umum. Koran umum itu kan disesuaikan dengan selera pasar di masyarakat yang berkembang. Selera masyarakat itu kadang bergantung pada nuraninya. Untuk kasus Bibit-Chandra, yang berkembang di masyarakat yang dianggap salah bukan KPK tapi polisi, si buayanya. Ya kita mau gak mau harus mengikuti itu. Karena kita menjual koran, kalau terlalu membela polisi bisa-bisa koran gak laku. Semua yang berkembang di masyarakat yang dijadikan kuantitas berita. Jadi pertimbangan itu semuanya ke pasar. Tren yang terjadi masyarakat dijadikan berita utama, dan tren itu bisa menjadi materi berita yang paling suka dibaca sama masyarakat. Jadi untuk menentukan berita apa yang disukai masyarakat yang sedang berkembang saat itu. Peneliti : Berarti juga mempertimbangkan aspek sosial ya mas ?

Redaktur : iya..kondisi sosiologis masyarakat itu jadi pertimbangan utama arah berita. Gak mungkin kita bikin berita yang bertolak belakang dengan masyarakat. Dalam kutipan wawancara diatas, tren yang tengah berkembang di masyarakat ini bisa dengan mudah dibaca pihak media. Kebiasaan redaktur yang selalu berhubungan dengan berita setiap hari setiap waktu, membuat ia tahu selera masyarakat. Kutipan diatas juga menunjukkan keberpihakan Jawa Pos terhadap KPK didasari dengan perkembangan isu di masyarakat. Jawa Pos melabeli KPK sebagai pihak yang tidak bersalah, sementara Polri dicitrakan sebagai sosok terhormat yang penuh intrik. Keberpihakan media ini mengacu pada keberpihakan semu yang diutarakan Bungin (2008:196), yang berasumsi bahwa wujud empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat berujung pada menjual berita dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Demikian pula dengan misi yang diemban Jawa Pos untuk memberikan informasi dan mendidik masyarakat. Misi tersebut tampaknya sudah tertutupi oleh kepentingan politik dan ekonomi media, hingga tak bisa dipisahkan antara peranan media terhadap masyarakat dan kepentingan dibalik pemberitaan tersebut. Sementara itu kepentingan politik media tercermin dalam prinsip-prisip yang berlaku dalam keredaksian Jawa Pos, penguasaan pangsa pasarnya dan pengembangan bisnis media di berbagai penjuru di Indonesia. Jawa Pos secara perlahan memasuki dunia kapitalisme dimana persaingan media membentuk pemonopolian kepemilikan media.

5.3. Analisis Sosiocultural Practice

Pada analisis sociocultural practice, konteks sosial di luar media dipercaya memberikan pengaruh produksi wacana di media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang yang kosong, tetapi sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sociocultural practice tidak memiliki hubungan langsung dengan penentuan teks, namun dijembatani oleh discourse Practice. Sociocultural practice menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membagi analisis sociocultural ini menjadi tiga level yakni situasional, institusional, dan sosial.

5.3.1. Situasional Di level ini diamati aspek situasional yang mendukung ketika teks tersebut diproduksi. Kondisi atau suasana dalam memproduksi teks akan menghasilkan wacana yang berbeda-beda. Dari hasil pengamatan, berita di Jawa Pos terbagi menjadi dua jenis situasi yakni berita yang terencana (news by design) dan berita alami. Berita yang terencana adalah berita yang dari jauh hari didesain atau direncanakan redaksi untuk dimuat. Biasanya berita seperti itu tidak berdasarkan peristiwa, dan nantinya akan dibahas dalam rapat perencanaan. Rapat perencanaan menentukan hal-hal apa saja yang akan dilakukan redaksi selama satu minggu ke depan, termasuk membuat cover story yang dimuat tiap hari Senin dan Rabu. Berita alami mengikuti perkembangan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Sifatnya spontan dan tidak terencana. Berita seperti ini biasanya ada pada jenis straight news. Berita-berita Jawa Pos yang dibentuk dalam situasi alami antara lain berita penangkapan Bibit-Chandra, demonstrasi insan pers atas pemanggilan dua

pimpinan media oleh polisi, dan unjuk rasa pembelaan terhadap KPK. Berita-berita itu muncul tanpa diduga sebelumnya. Berbeda dengan berita yang terkondisi seperti pemberitaan tentang kehidupan Bibit di luar konteksnya sebagai Wakil Ketua KPK. Situasi Bibit yang sangat tidak menguntungkan dalam status tersangka penyalahgunaan wewenang dan kasus suap melahirkan teks yang disusun dengan membawa emosi pembaca. Teks itu hadir ditengah anggapan masyarakat bahwa memang ada upaya pelemahan KPK. Pelemahan tersebut diduga dilakukan secara sistemik. Misalnya saja Rancangan Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tak kunjung disahkan, terseretnya pimpinan KPK dalam dugaan kasus pidana serta wacana pembatasan bagi kewenangan, seperti penuntutan dan penyadapan. Sejumlah penggiat antikorupsi pun protes keras terhadap upaya pelemahan tersebut. Ada tokoh pahlawan pasti ada tokoh penjahat. Bibit-Chandra (KPK), karena dianggap oleh masyarakat sebagai lembaga yang bersih korupsi dan berani mengusut koruptor, maka yang muncul adalah teks ysng mendukung pendapat masyarakat. Lain halnya dengan Susno (Polri) dan Anggodo. Banyaknya masyarakat yang mengecam tindakan salah mereka bedua, megharuskan Jaa Pos mengkonstruksi berita yang kontra Polri. Dengan kondisi seperti itu, maka Jawa Pos mengambil suara terbanyak untuk sisi pengambilan beritanya. Dampaknya secara tidak langsung muncul ketidakpercayaan yang besar dari masyarakat terhadap Polri dan Kejaksaan Agung sehingga masalah ini kemudian masuk ke ranah sosial dan kehidupan masyarakat. Pelan tapi pasti dengan memanfaatkan situasi pembelaan terhadap KPK, teks

pemberitaan cicak-buaya menjadi berita yang bernilai suspence yaitu

perkembangannya ditunggu-tunggu masyarakat.

5.3.2. Institusional Level ini melihat tentang pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. produksi berita di media tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang bisa mempengaruhi wacana yang muncul dalam pemberitaan. Setiap institusi media, khususnya surat kabar, keuntungan menjadi kepentingan utama dalam perkembangan media. Membuat berita yang menarik dan dibaca banyak orang adalah salah satu cara menaikkan oplah. Semakin banyak pembacanya, semakin besar pula oplah yang dihasilkan Jawa Pos. Tingginya oplah tentu akan memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan. Dan karena perpretensi untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya , wartawan atau media bersangkutan yang memproduksi berita harus menciptakan berita yang baik yang dibaca dan disukai oleh banyak orang. Pemilihan judul dan sudut berita pun disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Judul headline yang bernada provokatif akan lebih baik ketimbang judul dengan nada biasa saja. Seperti judul pada headline Pejabat KPK Ancam Mundur , di dalamnya mengandung unsur ketegangan yang menjadikan berita lebih menarik untuk dibaca. Kutipan berikut bisa menjadi landasan penguat. Peneliti : Apa yang menjadi pertimbangan redaktur terhadap sebuah berita ? Redaktur : Semua yang berkembang di masyarakat yang dijadikan kuantitas berita. Jadi pertimbangan itu semuanya ke

pasar. Tren yang terjadi masyarakat dijadikan berita utama, dan tren itu bisa menjadi materi berita yang paling suka dibaca sama masyarakat. Jadi untuk menentukan berita apa yang disukai masyarakat yang sedang berkembang saat itu. Peneliti : Berarti juga mempertimbangkan aspek sosial ya mas ? Redaktur : Iya..kondisi sosiologis masyarakat itu jadi pertimbangan utama arah berita. Gak mungkin kita bikin berita yang bertolak belakang dengan masyarakat. Dari kutipan wawancara diatas sudah menunjukkan pengaruh ekonomi media terhadap pemilihan berita. Pemilihan realitas berawal dari pasar dan dikonstruksi untuk keuntungan media. Mengadapi persaingan dengan media lain juga sedikit banyak turut menggambarkan peperangan ekonomi media dalam pasar. Akhirnya dalam proses produksi berita, Jawa Pos memberikan tampilan berita yang berbeda dengan gaya pemberitaan media lain. Demi menguasai pasar dengan cerdiknya Jawa Pos menggunakan bahasa-bahasa lugas yang sering digunakan masyarakat di kesehariannya. Yang terbaru, untuk menyiasati serangan media online, Jawa Pos meningkatkan oplahnya melalui virtual paper (koran online). Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Tingkat kemampun membaca masyarakat tentunya tidak sama, bergantung pula pada tingkat pendidikannya. Maka dengan gaya berita khas Jawa Pos yang mengandalkan bahasa populer itu akan mempermudah orang untuk membaca setiap berita di Jawa Pos. Dengan modal itulah tampaknya mampu membawa Jawa Pos sebagai surat kabar yang paling banyak dibaca orang. Hal itu terlihat pada kutipan berikut. Peneliti : Sebenarnya gaya penulisan di Jawa Pos seperti apa mas ? Redaktur : Yang paling sederhana, di Jawa Pos itu gaya penulisannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembaca untuk menyerap sebuah berita. Jawa pos ini

kan bukan koran yang khusus tapi koran yang dibaca oleh semua orang mulai dari tukang becak dari level bawah, anak kecil (SD), sampai level menengah sarjana, pekerja kantoran, hingga level atas seperti guru besar dan pejabat tinggi presiden. Dengan tingkat pembaca yang baru bisa membaca sampai orang yang sudah punya kemampuan untuk menganalisis berita, diperlukan gaya penulisan yang sifatnya umum. Tulisan berita di Jawa Pos harus di bikin semudah orang membaca. Penggunaan kata-kata ilmiah yang perlu pemahaman lebih harus dihindari, jadi kita pakai bahasa populer. 5.3.3. Sosial Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Budaya masyarakat yang ada turut menentukan perkembangan wacana media. Lebiih jauh aspek sosial mengarah pada sistem politik dan sistem ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Nilai-nilai budaya di masyarakat menunjukkan tingginya animo masyarakat untuk membaca surat kabar dan majalah saat ini, baik di instansi pemerintah, pelajar, maupun di perpustakaan tidak bisa dijadikan patokan bahwa minat baca sudah meningkat. Rendahnya minat baca generasi muda menjadi ancaman yang potensial bagi perkembangan media media dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang. Menyadari hal ini, maka Jawa Pos mempunyai secara tidak langsung juga harus memperbaiki situasi seperti ini. Dengan visi Jawa Pos, berita-berita yang dihasilkan harusnya bersifat informatif dan bisa membina masyarakat ke situasi yang lebih baik. Dan lebih lanjut situasi seperti itu turut memberi pengaruh terhadap pemberitaan Jawa Pos. Untuk menciptakan semangat baca pada diri masyarakat, dibentuklah berbagai rubrik atau kolom pemberitaan dengan sasaran pembaca yang berbeda-beda.

Dengan berlandaskan mendidik masyarakat, media saat ini terangterangan mengembangkan bisnisnya dan melakukan monopoli media. Banyak media yang muncul namun dikuasai pihak itu-itu saja. Sekarang ini masyarakat disuguhi bermacam-macam surat kabar, mereka diajak untuk memilih. Tapi sebenarnya itu hanya strategi pemasaran media saja. Jawa Pos dengan radarradarnya dan masih bayak lagi mencoba memecah perhatian pembaca, sejalan dengan itu Jawa Pos sebagai induk menjadi lebih kuat. Kapitalisme media sudah merasuki bisnis-bisnis media di Indonesia. Penguasaan bisnis media tidak pernah lepas dari adanya persaingan media. Sehubungan dengan kasus Bibit-Chandra, pemahaman pembaca juga tak lepas dari ketidakpercayaan publik terhadap institusi Polri. Jauh sebelum kasus Bibit-Chandra mencuat, wacana-wacana mengenai keburukan di tubuh Polri sudah menjadi konsumsi publik. Jadi munculnya teks pemberitaan yang lebih membela Bibit-Chandra bisa dimaknai sebagai perpanjangan ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi. Tren masyarakat menjadi prioritas JP.

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini ditemukan data-data yang mampu membuktikan tujuan penelitian yang telah dirumuskan peneliti. Berdasarkan temuan data dan hasil analisis bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pemberitaan kasus Bibit-Chandra dalam surat kabar Jawa Pos menjelaskan perkembangan kasus kedua tokoh KPK tersebut terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan tuduhan penyuapan. Dalam pemberitaan tersebut, Jawa Pos juga menhadirkan teks berita yang sifatnya feature. Terdapat berita mengenai Bibit Samad Riyanto, Kehidupan Anggodo, sosok misterius Yulianto yang diduga menjadi perantara Ari Muladi dan KPK. Dari hasil analisis representasi teks, teks-teks berita yang hadir ternyata mengarah pada pembelaan terhadap KPK, sementara Polri cenderung ke arah negatif. Polri memang berniat untuk menyudutkan KPK secara sengaja. Hal tersebut justru semakin mengukuhkan persepsi negatif publik terhadap kepolisian, di sisi lain terkandung penilaian positif atas KPK. Hasil analisis relasi dalam kategori partisipan, pembuat teks pada pemberitaan kasus Bibit-Chandra ialah wartawan beserta institusi medianya yaitu Jawa Pos. Khalayak media disini adalah pembaca Jawa Pos. Sedangkan partisipan publik memasukkan pihak-pihak yang disebutkan dalam pemberitaan seperti aparat kepolisian, aktivis, pejabat KPK, pengacara, kejaksaan, dan sebagainya. Relasi yang terlihat antara pembuat berita (redaksi Jawa Pos) dengan pembaca dalam pemberitaan kasus Bibit-Chandra terasa begitu jauh, khususnya pada jenis berita straight news. Namun pada feature

kedekatan lebih terasa. Kemudian relasi juga terlihat dalam posisi hubungan : pembuat berita lebih tinggi dari Polri, pembuat berita lebih tinggi dari pelaku. Kemudian dari hasil analisis discourse praktis, redaksional Jawa Pos memiliki peran besar dalam menentukan suatu pemberitaan. Posisi wartawan dalam hal ini hanyalah sebagai pencari beita, selanjutnya merupakan wewenang redaktur terkait isi berita. Media secara langsung membatasi adanya kepentingan-kepentingan pribadi dari sang wartawan dalam menulis berita .Penentuan berita-berita yang akan dimuat didasarkan pada pertimbangan redaksi terhadap tren masyarakat yang sedang berkembang saat itu. Karena pendapat masyarakat dominan membela KPK, maka media mengkosntruksi realitas tersebut menjadi prinsip pemberitaannya dalam kasus BIBIt-Chandra. Dengan kata lain, terkait kasus Bibit-Chandra, orientasinya adalah berbasis pada opini masyarakat. Dalam hal ini praktik wacana yang dilakukan Jawa Pos sangat berpengaruh pada pemberitaan di surat kabar tersebut. Tak hanya praktik wacana yang terjadi di dalam internal media saja, tetapi kondisi sosial di luar perusahaan juga turut menentukan proses produksi dan pembentukan teks. Diantaranya ialah situasi dimana teks dibuat, pengaruh politik ekonomi media, dan ideologi media.

6.2. Saran 1. Saran Bagi Praktisi Media

Sebagai sebuah media nasional yang memiliki misi mulia dalam mendidik masyarakat, hendaknya para pengelola media tidak terpengaruh terlalu jauh oleh paham kapitalis, yang terutama adalah kembali pada misi mulia tersebut. Dalam pemberitaan yang cover both side (berimbang), dibutuhkan kesimbangan menyeluruh agar tidak ada pihak yang dikorbankan. Bagaimanapun juga, media memberi pengaruh besar terhadap perkembangan masyarakatnya. Jadi sebisa mungkin benar-benar mengutamakan masyarakat sebagai pihak yang biasanya termarjinal ketimbang kepentingan ekonomi semata. 2. Saran Bagi Pembaca Media Dalam menyikapi pemberitaan di media, pembaca seharusnya bersikap kritis. Dengan sikap itu, pembaca diharapkan tidak mudah terpengaruh semua opini yang dibentuk oleh pemberitaan di media. Sekaligus menjadi pengamat akan peran media, khususnya dalam menggunakan hak jawab dan hak koreksi. 3. Saran Bagi Peneliti Lain Perlu diadakan penelitian selanjutnya untuk mendapatkan data lain yang belum diteliti dalam penelitian ini. Model analisis framing bisa digunakan untuk mengetahui lebih lanjut bingkai pemberitaan Jawa Pos dengan membandingkan pada bingkai pemberitaan media cetak lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi