Vous êtes sur la page 1sur 10

PENYELESAIAN SENGKETA PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK (Studi Kasus Pada

Putusan-Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat)

I. Pendahuluan Era perdagangan global dan perkembangan industri pada saat ini merupakan salah satu perkembangan yang sangat aktual serta memperoleh perhatian yang seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini, dan apabila dilihat kecenderungannya di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun di bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Perkembangan industry dan perdagangan tersebut secara tidak langsung menyebabkan dunia usaha menjadi arena persaingan bisnis yang ketat dan selektif. dan Keberadaan di bidang teknologi modern yang mampu saling mempersingkat jarak, waktu, membuat negara-negara di dunia seakan menjadi satu, perdagangan menyebabkan ketergantungan serta saling mempengaruhi. Apabila diperhatikan, era perdagangan global tersebut hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Namun amat disayangkan dunia industry dan perdagangan nasional sendiri dewasa ini menunjukkan berbagai gejala persaingan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan.

Keadaan ini sering kali bukan hanya merugikan produsen, tetapi juga merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Disinilah merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memegang peranan yang amat penting di dalam mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya merek juga memegang peranan yang amat penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa, merek berfungsi sebagai tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen. Hal senada juga ditegaskan oleh Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah bahwa suatu merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usul barang (indication of origin). Sedangkan menurut Insan Budi Maulana menegaskan bahwa merek dapat dianggap sebagai roh bagi suatu produk barang atau jasa. Merek sebagai tanda pengenal akan dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Lebih lanjut apabila dilihat di lapangan selain daripada begitu banyaknya perbuatan melawan hukum atau pelanggaran yang dilakukan terhadap merek terdaftar seperti praktek peniruan merek dagang, dan lain sebagainya, salah satu permasalahan yang sering menimbulkan sengketa antara pemegang merek yang satu dengan yang lain adalah menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya antara merek yang satu dengan merek yang lain yang telah sama-sama terdaftar, sehingga mengakibatkan harus adanya suatu pembatalan terhadap salah satu merek yang dipersengketakan tersebut.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang merek yang telah ada sebelumnya, memberikan penegasan bahwa apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga17, sedangkan untuk melaksanakan pembatalan suatu merek kewenangannya berada pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

II. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapatlah dikemukakan permasalaan yang terkandung di dalamnya untuk dikaji selanjutnya adalah :
A.

Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya sengketa gugatan pembatalan atas pendaftaran merek pada Pengadilan Niaga?

B.

Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa dari suatu hak atas merek terdaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek?

III. Pembahasan
A.

Latar Belakang Terjadinya Sengketa Gugatan Pembatalan Atas Pendaftaran Merek Pada Pengadilan Niaga

Seperti yang telah diuraikan bahwa apabila dilihat di lapangan selain daripada begitu banyaknya perbuatan melawan hukum atau pelanggaran yang dilakukan terhadap merek terdaftar seperti praktek peniruan merek dagang, dan lain sebagainya, salah satu permasalahan yang sering menimbulkan sengketa antara pemegang merek yang satu dengan yang lain adalah menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya antara merek yang satu dengan merek yang lain yang telah sama-sama terdaftar, sehingga mengakibatkan harus adanya suatu pembatalan terhadap salah satu merek yang dipersengketakan tersebut. Bila mengacu pada ketentuan yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, maka Undang-Undang Merek tersebut sebenarnya telah memberikan penegasan, bahwa apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga. Sedangkan mengenai pelaksanaan pembatalan suatu merek, sebagaimana juga permohonan pendaftaran suatu merek kewenangannya berada pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Berikut Salah Satu kasus yang digelar pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memperlihatkan tentang praktek pelangaran merek atas dasar persamaan pada pokoknya, sehingga salah satu pihak melakukan gugatan pembatalan merek pada Pengadilan Niaga, adapun garis besar posisi perkaranya dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Perkara Nomor 01/Merek/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana PT. LAUTAN LUAS, Tbk., yang bertindak sebagai Penggugat melawan Tuan Utaya Yososudarmo sebagai Tergugat. Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek SUNSEA BRAND dengan Logo LTL dan lukisan Matahari Terbit dikarenakan Penggugat merasa sebagai pemilik dan pemakai serta pendaftar pertama dari merek dagang dengan kata Lautan Luas dan logo LTL dengan lukisan Matahari Terbit untuk melindunggi jenis barang yang termasuk dalam kelas barang yang sama dengan milik Tergugat, yakni kelas barang 1, 2 dan 3, yang memiliki persamaan pada pokoknya antara merek Penggugat dengan merek Tergugat. Sehingga Penggugat menyakini perolehan hak Merek milik Tergugat dilandasi dengan suatu itikad tidak baik, sehingga dengan demikian Pihak Penggugat menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1), Pasal 4, 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Maka dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa persoalan pembatalan merek terdaftar hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau pemilik merek terdaftar, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, ataupun dengan cara melakukan gugatan kepada Pengadilan Niaga. Sedangkan yang menjadi latar belakang terjadinya suatu sengketa gugatan pembatalan atas pendaftaran merek pada

Pengadilan Niaga bila disimpulkan secara garis besar dari uraian beberapa kasus yang terjadi Pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah terdapatnya suatu merek yang didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, lalu kemudian juga terdapatnya suatu merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, sehingga dengan demikian pihak yang telah mendaftarkan mereknya terlebih dahulu merasa hak atas merek yang dimilikinya atau hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepadanya yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu telah dilanggar dengan suatu itikad yang tidak baik dengan bentuk peniruan atau menjiplak, yang tentunya akan membingungkan dan mengacaukan serta memperdaya/menyesatkan masyarakat atau khalayak ramai dalam hal ini konsumen, tentang asal usul dan kualitas barang, dan akhirnya tentu berimbas pada suatu kerugian. Bila mengacu pada apa yang telah ditegaskan oleh Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek di atas, maka dapat dipahami bahwa Undang-Undang merek ini sebenarnya telah berusaha secara maksimal agar sengketa antara pemegang merek yang satu dengan yang lain tidak terjadi, khususnya menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhan, antara merek yang satu dengan merek yang lain, hal ini

dikarenakan Undang-Undang Merek telah memberikan penegasan agar Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DITJEN HAKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai institusi yang mempunyai kewenangan di dalam menerima permohonan pendaftaran merek harus menolak permohonan atas suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek lain yang telah terdaftar terlebih dahulu. Sehingga bila hal ini berjalan secara maksimal tentu suatu persengketaan berupa gugatan pembatalan suatu merek pada Pengadilan Niaga tidak akan terjadi. Namun amat disayangkan dalam prakteknya dilapangan masih sering terjadi sengketa antara pemegang merek, menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya tersebut. B. Penyelesaian Sengketa Merek Melalui Gugatan Pada Pengadilan Niaga Bila dilihat era globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan computer dan internet. 110 Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini seperti yang diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), yang menegaskan bahwa : Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.

Dampak

dari

globalisasi

menyebabkan

banyak

negara

khususnya Negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, pendorong berkembang, pertengahan yakni perbaikan termasuk tahun masuknya instrumen di perusahaan-perusahaan badan peradilan Gejolak kesulitan di besar asing negara pada bagi (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor Indonesia. menimbulkan moneter

1997

perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 (dua puluh dua) April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 (dua puluh empat) Juli1998. Bila dilihat Undang-Undang Kepailitan sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 Nomor 384. Undang-Undang ini diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utangpiutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum.113 Jadi dapat dipahami bahwa pembentukan Pengadilan Niaga di Indonesia didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang -Undang Nomor 1 tahun 1998, dalam Undangundang ini disebutkan hanya Pengadilan Niaga sebagai pemeriksa dan pemutus permohonan pailit, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa niaga lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya bila dilihat Penjelasan Umum Atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dikatakan bahwa mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha, maka penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam masing-masing Undang-Undang tersebut masih belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga. pada Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement / Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG). Memang apabila dilihat dalam hal-hal tertentu digunakan hukum acara khusus, sepeti dalam masalah sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Untuk kedepan sebaiknya penyelesaian suatu perkara di Pengadilan seyogyanya harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Untuk itu, perluasan pengembangan Pengadilan Niaga akan mendasarkan pada ketiga point tersebut dengan melihat dari eksistensi Pengadilan Niaga saat ini dalam kaitannya sebagai pengadilan yang memutus perkara-perkara kepailitan/Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan HaKI.

Vous aimerez peut-être aussi