Vous êtes sur la page 1sur 27

Pengantar Teori Kritis

Telaah Operasionalisasi Ideologi Iklan dalam Bentuk Komodifikasi Hubungan Psikologis Ayah dan Anak
(Iklan Coca Cola Live Positively dan Iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam versi Ayah Adi dan Dika)

Oleh: Nurul Utami

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia 2011

1. Pendahuluan Mengutip dari apa yang dikemukakan oleh filsuf Prancis beraliran Marx-strukturalis, Louis Pierre Althusser, tentang ideologi; tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek, membuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, di seluruh aktivitas yang kita jalani, selalu terdapat ideologi yang beroperasinalisasi. Operasionalisasi baik oleh ideologi institusi/ untuk tersebut lembaga, menjaga dilegitimasi oleh dimana subjek kekuasaan dominan, tersebut akan selalu

kelompok, individu, dan sebagainya. Ideologi mengikat para subjeknya, dikondisikan kelangsungan reproduksi proses produksi yang sejalan dengan tujuan ideologi yang menjadi landasan aktivitas dan misi yang diembankan kepada subjek. Sebagai contoh; peraturan yang berlaku di lingkungan kampus dibuat dengan berdasarkan nilai-nilai yang diterapkan oleh pimpinan dan para stakeholder kampus yang bersangkutan, dimana seluruh civitas academica melalui tata pengaturan yang telah ditetapkan, diharapkan mampu menjaga keberlangsungan nilai-nilai yang telah disepakati bersama demi kebaikan bersama pula. Adapun kesepakan dan kebaikan tersebut merupakan sesuatu yang diputuskan dan ditetapkan oleh para petinggi kampus, yang dibuat berdasarkan nilai-nilai (ideologi) yang mereka miliki dan produk regulasi yang mereka hasilkan merupakan instrumen legitimasi kekuasaan untuk melanggengkan status quo selaku pemimpin tertinggi di kampus. Althusser mengatakan bahwa legitimasi tertinggi dilanggengkan oleh institusi tertinggi, yaitu negara, maka dari itu lahirlah konsep Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Adalah media massa dan program serta produk yang dimuat di dalamnya yang merupakan salah satu contoh dari ISA ini. Iklan, yang merupakan produk media massa yang cukup mendominasi tayangan di media massa elektronik, yang salah satunya televisi, adalah instrumen operasionalisasi ideologi produsen produk tertentu demi pencapaian tujuannya yang disetir oleh logika kapitalisme, yakni perolehan profit dengan jalan menarik konsumen yang sebanyak-banyaknya melalui iklan yang dipaparkan kepada khalayak.

Robert Goldman memakai paradigma Marxis Althusser memandang bahwa iklan merupakan kunci sosial dan institusi ekonomi dalam produksi dan reproduksi material dan supremasi ideologis dari hubungan komoditas, dimana sistem memproduksi reproduksi dengan sendirinya, yang berkaitan erat dengan periklanan dan sekuat apa keterikatannya di dalam iklan. Semua sistem itu berjalan secara alami dan sejalan dengan status quo, dimana iklan menjadi bentuk manifestasi dari hubungan imajiner dari orangorang ke dalam hubungan yang nyata. Dengan melihat posisi iklan dan ideologi yang dibawanya tersebut, maka penulis dalam makalah ini mengangkat pembahasan dengan judul Analisis Kritis terhadap Operasionalisasi Ideologi Iklan dalam Bentuk Komodofikasi Hubungan Psikologis Ayah dan Anak (Iklan Coca Cola live positively dan Iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam versi Ayah Adi dan Dika). 2. Kerangka Konseptual I. Ideologi Althusser yang merupakan seorang filsuf Marxis, yang

mengemukakan pemikiran tentang ideologi, berusaha melangkah lebih jauh dari Marx dan memodifikasi secara baru pemikiran Marxis. Ia membawa pemikiran Marx menjadi lebih sosiologis sekaligus psikologis, menempatkan individu dibawah pengaruh sosial, lebih tepatnya menempatkan manusia di bawah pengaruh struktur, sembari menggali jauh ketidaksadaran dalam kepribadian. Kajian sosial makro dari Marx diperluas sampai ke kajian sosial mikro dengan meletakkan kesadaran dan ketidaksadaran dalam diri individu di bawah mikroskop kerangka toritis strukturalisme yang diwarnai psikoanalisis Lacanian. Ideologi bagi Althusser bukanlah kesadaran palsu seperti yang ditegaskan oleh Marx, melainkan sesuatu yang profoundly unconscious; hal-hal yang secara mendalam tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk- sejarah yang seolah menjelma menjadi sesuatu yang alamiah. Sejak buaian hingga kuburan, manusia hidup dengan ideologi. Ideologi menjadi bagian dari mekanisme pengaturan diri, pengelolaan tubuh dan jiwa. Penjelasan akhir tentang pengaturan tersebut adalah kepercayaan atau ungkapan tentang sesuatu yang sudah dari

sananya yang tidak dapat ditemukan dasar epistimologisnya. Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi dalam pengertian Althusser. Kepercayaan yang dipoles sedemikian rupa sehingga tidak terlihat seperti kepercayaan. Citra ideal yang dikemas seperti fakta dan dipahami sebagai realitas konkrit. Harapan yang kemudian menjadi penanda bagi pertanda konkrit di masa depan. Yang dirujuk oleh idologi dalam konsepsi dan pemikiran Althusser dapat dijelaskan melalui apa yang disampaikannya: ideologi bertindak atau berfungsi dengan suatu cara yang merekrut subjek-subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua), atau mengubah individu-individu menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang sangat presisi, yang disebut sebagai interpelasi atau memanggil: hei Anda yang ada di sana!. Ideologi menempatkan individu, manusia yang lahir dari alam, sebagai subjek, sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab, sebab manusia juga memiliki kebebasan, karena ia memiliki identitas yang berbeda dari yang lain, sebagai suatu otonom tersendiri yang seolah-olah lepas dari yang lain. Namun, di sisi lain, sang subjek diletakkan dalam rangkaian struktur yang mengandung relasi antar unsur-unsurnya. Sang subjek adalah salah satu unsur dari struktur yang hanya akan menjadi berarti ketika menjalin relasi dengan unsur lainnya. Gerak-gerik subjek yang seolah-0lah bebas ternyata dibatasi oleh relasi dalam struktur. Kebebasan subjek pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan ideologi agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong dirinya melakukan serangkaian tindakan yang menghidupkan struktur yang ada, bahkan sejak sebelum ia lahir. Sejak semula ia telah dipersiapkan untuk mengabdi kepada jaringan struktur. Ideologi yang membentang sebagai jalinan struktur telah memetakan subjek-subjek dalam peranannya masing-masing, bekerja melanggengkan struktur melalui reproduksi dari produksi dan relasi produksi. Subjek yang bertanggung menjalankan jawab peran atas serta kebebasannya mengikuti dan merasa relasi berkewajiban yang pola struktur

membentuknya pada praktiknya adalah subjek yang taat terhadap aturanaturan yang dikembangkan oleh Subjek (dengan S bukan s), yang lebih besar darinya. Individu yang menjadi subjek hanyalah perpanjangan dari Subjek. Dalam penjelasan Althusser dikatakan,...... individu diinterpelasi sebagai suatu subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-

perintah Subjek, yakni agar ia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, agar ia membuat gerak-gerik atau tindak-tanduk dari ketaatannya sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Tidak ada subjek kecuali dengan, dan demi ketaatannya. Itulah sebabnya mereka menjalaninya sendiri. Dengan ketaatan yang diyakini sebagai kehendaknya, subjek menjalankan perannya seolah tanpa paksaan, seolah dengan kuasanya ia bekerja. Dengan begitu, tidak diperlukan pengawasan secara fisik, tidak perlu (S)ubjek ada di dekat subjek-subjek untuk memastikan mereka bekerja seperti yang diharapkan. Para subjek telah mengatur dirinya sendiri sebagai pihak-pihak yang taat dengan ilusi kebebasan dan otonominya. Dalam penjelasan Althusser, semua agen produksi, eksploitasi dan represi, termasuk para profesional dari ideologi, dengan cara sedemikian rupa harus ikut bergerak seirama dalam ideologi yang mendukung produksi agar dapat menjalankan tugasnya dengan teliti dan berguna bagi reproduksi produksi. Berbagai pihak dalam masyarakat terlibat dalam proses reproduksi dan produksi dalam relasi produksi yang terus dipertahankan dan dikembangkan. Semua dengan tugas masing-masing. Tugas pihak yang dieksploitasi (proletar) dipertahankan, begitu juga pihak yang mengeksploitasi (kapitalis), perangkat pengeksploitasi (manajer), atau parapemikir dari ideologi yang sedang beroperasi (ilmuwan, pendeta, guru, konsultan, teknokrat dan sebagainya). Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi produksi dan relasi produksi, negara dikembangkan sebagai struktur tertinggi yang mempersatukan dan memaksa individu untuk tetap rekat dan bergerak menjalankan proses-proses itu. Negara dengan aparatusnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi dan relasi produksi terus berlangsung. Althusser kemudian membedakan dua jenis aparatus negara menjadi: (a) Repressive State Apparatus (RSA) yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi, hukum, penjara, dan pengadilan); dan (b) Ideological State Apparatus (ISA) yang bekerja secara persuasif dan ideologis (agama, pendidikan, keluarga, media massa, dan sebagainya). ISA bekerja secara mujarab menggiring individu menjadi subjek yang dengan kerelaan dan kehendaknya menjadi mahklukmahkluk bentukan yang bekerja melanggengkan proses reproduksi produksi tanpa harus diawasi. Lebih jauh lagi, setiap individu juga berperan sebagai agen ideologi yang ikut serta menyebarkan ideologi melalui berbagai

struktur sesuai dengan perannya, baik sebagai anggota keluarga, pekerja, pemikir, guru, pendeta dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih spesifik, Althusser memaknai ideologi dengan pendekatan Lacan dalam pemahamannya tentang realitas, dimana konstruksi dunia di sekeliling kita diciptakan melalui penerimaan dan pemaknaan kita tentang kumpulan simbol-simbol yang ada (dalam modul Lacan: The Structure of the Psyche). Menurut Althusser, seperti halnya Lacan, merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk mencapai kondisi yang real dari eksistensi disebabkan oleh ketergantungan kita terhadap bahasa; namun, melalui penelitian dan pendekatan sains dalam mengkaji masyarakat, ekonomi, dan sejarah, kita dapat mendekati kondisi real yang dimaksud, paling tidak melalui cara kita dalam memandang ideologi dengan proses rekognisi yang kompleks. Althusser mengemukakan serangkaian hipotesis untuk mengklarifikasi pemahamannya tentang ideologi: 1. Ideologi merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi nyata dari eksistensi mereka; ideologi tidak merefleksikan dunia, tetapi merepresentasikan hubungan imajiner individu dalam dunia nyata, dimana ideologi itu sendiri tidak direpresentasikan dan sudah dihapuskan dari kenyataan. Kita selalu berada dalam ideologi karena ketergantungan kita akan bahasa dalam membentuk realitas; terdapat ideologi yang berbeda-beda, tetapi representasi yang berbeda tentang realitas sosial dan imajiner kita tidak direpresentasikan dalam kenyataan itu sendiri. 2. Ideologi memiliki eksistensi material; Althusser menyatakan bahwa ideologi memiliki eksistensi material karena menurutnya ideologi selalu ada di dalam tiap-tiap aparat dan praktikpraktiknya, sebagai contoh: ritual, perilaku konvensional, dan sebagainya. Perilaku, tradisi, dan nilai-nilai yang selama ini kita terima dan kita jalani, kita terima sebagai sesuatu yang wajar, sudah selayaknya dilakukan (taken for granted), yang merupakan bentuk nyata hubungan kita dengan orang lain dan dengan institusi sosial, secara berkelanjutan menginstansikan individu, menempatkan kita sebagai subjek.

3. Semua ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek konkrit; Menurut Althusser, individu tujuan konkrit utama ideologi subjek. adalah Ideologi untuk dan mewujudkan sebagai

konstitusinya tentang subjek membentuk seluruh realitas kita dan kemudian tampak sebagai sesuatu yang benar dan nyata bagi kita. 4. Individuals are always-already subjects; Althusser menyatakan bahwa becoming-subject (subjek yang terus berkelanjutan) terjadi bahkan sebelum kita lahir. Individu akan selalu menjadi subjek yang sudah jadi, dilihat sebagai subjek dalam sebuah konfigurasi ideologis spesifik institusi sosial tempat ia berada dimana ia dikenakan susunan ekspektasi tertentu.

II. Ideologi dalam Iklan Iklan telah memenuhi kehidupan sosial kita. Setiap hari kita berpartisipasi dengan memahami citra dan pesan yang disampaikan dalam iklan. Iklan merupakan kunci institusi sosial dan ekonomi dalam memproduksi dan mereproduksi supremasi material dan ideologi dari relasi komoditas. Hegemoni kebudayaan merujuk pada cara pandang yang dikonstruksi secara sosial. Pada dasarnya, Iklan dapat dibalik dan dibaca kembali secara kritis untuk memetakan reproduksi kebudayaan dan hegemoni komoditas. Dalam sebuah masyarakat yang terstruktur secara fundamental oleh relasi komoditas, iklan menawarkan cara pandang yang unik untuk mengamati bagaimana kepentingan komoditas mengkonseptualisasi relasi sosial. Penelitian yang dilakukan Goldman sepanjang tahun 1977 hingga 1990 di Amerika Serikat dengan memperhatikan iklan selama beberapa decade, membuat Goldman mampu melacak dialektika interpretasi dan reinkorporasi ideologis dalam membuka kebudayaan komoditasdialektika hegemoni, alienasi dan resistensi memainkan peran dalam media massa. Ketika penelitian ini dimulai pada 1970-an, Goldman menemukan fakta bahwa iklan distrukturisasi dalam rumusan kerangka yang kaku untuk memastikan efisiensi media massa dalam memediasi semiotika makna. Kebanyakan diantaranya hanya terdiri dari satu dimensi. Sejak tahun 1984,

tahapan baru dalam periklanan mengalami perkembangan dalam merespon alienasi pemirsa. Iklan biasanya memposisikan pemirsa untuk berpartisipasi dalam proses interpretasi berdasarkan asumsi palsu, menempatkan mereka untuk mengasumsikan ekuivalensi antara produk dan model yang glamour. Namun, industri periklanan menolak pertukaran ekuivalensi simbolik ini dengan mengkarikaturkan logika identitas diantara pemirsa dan gagasan komoditas. Melalui penelitian ini, Goldman melakukan teoritisasi iklan sebagai ekonomi politik dari nilai tanda, dan periklanan sebagai sarana untuk memproduksi Organisasi tanda-tanda dalam komoditas. iklan ditata Sebagai dengan sistem sejumlah penandaan, kerangka. periklanan menyusun hubungan antara makna produk dan citra (image). makna Mempelajari iklan adalah juga mempelajari kerangka makna. Semua makna dan aktivitas ada dalam konteks sosial, sebab makna selalu bersifat relasional dan kontekstual. Dengan kata lain, semua citra yang muncul dalam iklan telah dikerangka sedemikian rupa untuk kepentingan korporasi. Sebagai bagian dari industri kebudayaan, iklan memainkan peran sebagai apparatus untuk mengkerangkakan makna dalam memasukkan nilai pada sebuah produk. Iklan mengatur, mengorganisir dan mengendalikan makna kedalam tanda-tanda yang dapat dimasukkan kedalam produk. Dengan cara ini, iklan terdiri dari sistem produksi tandatanda komoditas yang didesain untuk meningkatkan nilai tukar sebuah komoditas, dengan melakukan diferensiasi makna yang sesuai dengan masing-masing komoditas. Sebuah tanda komoditas merupakan citra yang disertakan pada sebuah produk, misalnya nilai fungsional suatu produk sekaligus sebagai simbol kekayaan, dan memiliki signifikansi sosial. Sebagai proses rasionalisasi secara institusional dalam mencocokkan makna pada komoditas, iklan mengurai makna pada unit-unit yang paling fundamental, penanda dan petanda dalam mencapai tujuan membuat diferensiasi tanda-tanda komoditas. Struktur internal tanda dibuat untuk beroperasi sebagaimana ekonomi politik dalam proses menyatukan penanda pada petanda yang dikendalikan oleh logika bentuk komoditas, yakni tujuan keuntungan.

Secara inheren, pada dasarnya iklan memperlakukan aktivitas yang penuh makna sebagai bahan mentah untuk dikelola menjadi simbol untuk kepentingan memaksimalkan penjualan komoditas yang ditawarkannya. Hal inilah yang menempatkan para pengiklan pada wilayah ideologi. Dalam konteks menjual sistem, iklan berkembang lebih meresap pada tahun 1920-an dan mengkonstruksi ideologi politik baru atas konsumerisme. Iklan yang dibuat oleh para pengiklan korporasi menawarkan penyelesaian krisis kehidupan keluarga dengan membangkitkan gagasan tradisional kehidupan keluarga sebagai gambaran ideologis, sembari terus melakukan advokasi keluarga untuk mampu mengakses lembaga pada pasar. Para pengiklan korporasi beralih pada citra fotografis kebahagiaan dan relasi keluarga dalam tanda komoditas. Sebuah citra luhur kehidupan rumah tangga dipisahkan dari konteks total relasi keluarga dan menggabungkan dengan produk sehingga citra itu muncul melalui pemesanan dan konsumsi, misal; pasta gigi, minuman ringan, video games, atau perangkat listrik. Pertanda menjadi harmonis, relasi keluarga yang penuh cintatelah dipisahkan dari relasi sesungguhnya. Dalam memproduksi tanda-komoditas, rujukan tanda itu sendiri ditransformasi kedalam sebuah komoditas. Tanda-komoditas menyampaikan premis bahwa konsumsi sebuah produk membawa pada apa yang direpresentasikan oleh tanda. Pasar dan pengiklan kemudian menerjemahkan tampilan relasi sosial kebebasan ini, individualitas, status, persahabatan dan kehidupan keluarga ke dalam format komoditas. Pengemasan relasi sosial sebagai komoditas terdapat di dalam inti kompetisi pasar dewasa ini. Dengan melepaskan citra dari konteks dan meletakkannya kembali dalam konteks iklan, memungkinkan para pengiklan untuk memodifikasi dan mengarahkan kembali makna citra. Gouldner menjelaskan paleosymbolic sebagai serangkaian keyakinan dan simbol kemampuan komunikasi yang terbatas untuk dibicarakan dalam seting privat, dan kemudian dibedakan dari bahasa publik yang membentuk ideologi. Hal ini mungkin benar, tetapi, iklan citra kebudayaan dan korporasi yang dimediasi secara massal telah mengacaukan bahasa privat dari paleosymbolisme kepada bahasa publik ideologis. Ideologi pseudo-individualisme melekat ketika bergabung dengan kerangka komoditas ini. Adegan paleosymbolic di iklan televisi

mengilustrasikan untuk dengan kehidupan

persilangan pribadi. dan

antara

logika

reifikasi,

formasi

tandauntuk Dengan

komodifikasi, sebuah ideologi pseudo-individualisme dan agenda korporasi Adegan merawat paleosymbolic hubungan dikerangka kita. menghasilkan tanda-komoditas yang diasumsikan melalui logo korporasi melindungi personal dukungan teknologi dan perangkat teknisnya, para pengiklan menciptakan tradisi artifisial makna historis. Sejarah kemudian menjadi salah satu unsur penting dalam paleosymbolic. Dapat dikatakan bahwa iklan secara naratif memberikan gelar kepada pemirsa, You, youre the one: this is your family and our history. (Anda, Andalah orangnya: inilah keluarga Anda dan sejarah kita). Di bawah kapitalisme, ruang kehidupan keluarga dihilangkan dari alam fungsi produksi, melupakan keluarga secara esensial sebagai lokus kedekatan dan kehidupan pribadi. Penggambaran secara batiniah tentang keluarga telah membuat ruang pribadi dimana dukungan emosional mungkin diberikan, dan peluang untuk perkembangan individu dan interpersonal dapat dicapai. Namun sebagai tanggung jawab untuk mengatasi kemiskinan subjektivitas dalam kehidupan publik dan kerja difokuskan dalam keluarga, sehingga menjadi terlalu membebani untuk pemenuhan kebutuhan pribadi. Dalam zaman kapitalistik, unit keluarga memiliki makna penting atas reproduksi kekuatan buruh dan pada saat yang sama memiliki relasi produksi. Secara struktural kedua ruang ini diintegrasikan, sambil dipisahkan secara ideologis. Level Eksplanasi Teori Periklanan: Kognitif, Sosial dan Kultural 1. Eksplanasi Level Kognitif Periklanan bekerja dimana hal tersebut mempengaruhi fungsi kognitif, persepsi dan memori individu. Teori yang berfokus pada level eksplanasi koginitif juga menekankan pemikiran rasional dan kesadaran konsumen. Skup eksplanasi dari teori ini mencakup keadaan mental internal individu dan asumsi hubungan di antara keadaan-keadaan internal tersebut serta perilaku konsumen yang dapat diamati. Hal yang terpenting adalah level eksplanasi kognitif menempatkan pengalaman dalam dunia asosial tentang apa yang terjadi di dalam pikiran kita. Tidak seperti komputer, manusia bergantung pada interaksi sosial dalam memaknai. Manusia belajar

untuk mampu melihat. Individu yang tumbuh dalam isolasi sosial tidak dapat secara alami untuk berbicara, dan individu yang hidup dalam suatu konteks kebudayaan tanpa adanya komunikasi yang termediasi tidak dapat membaca iklan. Cara kita memahami iklan sangat dipengaruhi oleh pemahaman kebudayaan yang hanya dapat kita peroleh melalui interaksi sosial. 2. Eksplanasi Level Sosial Eksplanasi level sosial menjelaskan tentang iklan yang memiliki fungsi untuk mengakomodasi karakter sosial. Iklan tidak berada di dalam suatu kevakuman sosial, tetapi dalam suatu konteks sosial yang telah ada dan ia terdapat di dalam diskursus publik. Bagaimana kita berpikir tentang suatu iklan sangat dipengaruhi oleh apa yang kita dengar dari orang lain tentang iklan tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Berger dan Luckman (1966), iklan menjadi bagian dari diskursus sosial karena mereka mengasumsikan karakteristik konstrusi sosial. Sikap seseorang dalam memaknai suatu iklan tidak ditemukan dalam suatu isoloasi namun terkonstruksi dalam suatu konteks sosial. Konstruksionisme sosial (Burr, 1995; Hackey, 2001) membantah validitas mental internal individu sebagai suatu konstruksi tunggal, dimana terdapat pengaruh dan sumbangan yang besar dari diskursus sosial. Oleh karena itulah, para pengiklan selalu berusaha untuk melakukan penelitian dan identifikasi terhadap pemikiran konsumen dan perilakunya dalam konteks norma sosial dan interaksinya. 3. Eksplanasi Level Kultural Iklan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk teks budaya dimana di dalamnya terdapat simbol-simbol makna dan praktik-praktik budaya non-konsumen. nilai-nilai Simbol brand dan dan praktik-praktik untuk tersebut diciptakan kembali dalam penjajaran dengan brand pasar dan menyusun suatu menggambarkan personalitas brand tersebut. Pihak pengiklan harus memahami bahwa penafsiran aspek simbol yang mereka tampilkan haendaknya sejalan dengan nilai dan makna secara kultural yang dimiliki oleh konsumen, yang juga akan berpengaruh dalam interpretasi mereka dalam memaknai iklan. Kita harus memahami bahwa dalam mentransfer

makna simbolik, iklan akan menyejajarkan diri dengan pengalaman kultural kita untuk memasukkan dan memperkuat nilai-nilai brand yang diiklankan (Belk, 1998; Mick dan Buhl, 1992). Pada level analisis ini, kekuatan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari sebuah gambar. Korporasi pemasaran brand memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk menentukan makna yang diterima dalam praktik kebudayaan. Brand iklan, secara pintar didesain, dan dengan mahal diproduksi dan dipaparkan, dapat bekerja untuk menormalisasi praktik-praktik sosial tertentu (seperti kebiasaan merokok, minum alkohol bagi perempuan, konsumsi makanan cepat saji oleh anakanak) dan menanamkan praktik-praktik seperti ini dengan nilai-nilai simbolik, seperti kemandirian personal, kekuatan, dan hal-hal yang dianggap keren. Dalam hal ini, iklan berfungsi sebagai sebuah ideologi (Eagleton, 1991), atau lebih dari itu, menjadi super-ideologi bagi kita (Elliott dan Ritson, 1997). Oleh karena itu, seringkali disebutkan bahwa tidak komplit rasanya memahami bagaimana sebuah iklan bekerja tanpa pemahaman tentang kekuatan ideologis iklan untuk menerjemahkan praktik-praktik normal dan keseharian konsumen dalam berbagai varietas yang tak terbatas yang dikemas dengan potret dan penggambaran yang menarik, untuk menanamkan praktik-praktik ini dengan signifikansi kultural yang kaya, dan untuk menempatkan ketertarikan terhadap brand pasar di jajaran terdepan kehidupan sosial.

3. Pembahasan 3.1. Analisis Kritis terhadap Operasionalisasi Ideologi dalam Iklan

Coca Cola versi Live Positively Untuk menarik konsumen menggunakan produknya, iklan Coca cola versi Live Positively menggunakan kalimat perintah dalam produknya yang dikemas dengan mengedepankan citra positif. Alur cerita iklan ini adalah; pada suatu kesempatan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas di sebuah Sekolah Dasar, seorang ibu guru menugaskan murid-muridnya untuk menceritakan sebuah karangan yang sebelumnya telah ditulis oleh masing-masing murid dengan tema Ayahku dan pekerjaannya. Begitu tiba

giliran salah seorang murid laki-laki yang dipanggil ke depan kelas, ia menceritakan tentang ayahnya yang bekerja sebagai penyetir truk merah besar Coca Cola dengan segala dinamika pekerjaan yang dialami sang ayah. Selama si anak bercerita, ditampilkan ilustrasi ayahnya yang tengah menggeluti pekerjaannya sehari-hari, berikut kebaikan-kebaikan yang ditebar sang ayah kepada orang-orang di sekelilingnya di sepanjang rute perjalanan yang dilaluinya. Pada bagian akhir iklan, si anak menutup ceritanya dengan kalimat: Jika ditanya ayahku bekerja apa, aku selalu menjawab: ayahku mengantarkan kegembiraan, sembari si anak mengakhiri cerita dengan raut wajah yang manis dan menunjukkan kekaguman serta kecintaannya kepada sang ayah dan profesinya yang mulia. Iklan ini ditutup dengan adegan dimana sang ayah hadir di tengahtengah kelas dan membawa satu paket besar produk Coca Cola seraya membagi-bagikannya kepada seluruh isi kelas, yang disambut dengan tawa canda dan kegemberiaan dari anak-anak dan ibu guru yang menerima paket Coca Cola tersebut. JIka dianalisis, Iklan ini cukup kuat mengemas pencitraan mengenai produk Coca Cola dan jasa-jasa yang diberikan oleh produk minuman ringan ini. Dimulai dari awal iklan, sang anak mulai bercerita tentang ayahnya yang bekerja dipagi hari, disana memperlihatkan sosok ayah yang bekerja keras yang merepresentasikan produk Coca Cola yang selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada konsumen. Di setiap awal tampilan aktivitas sang ayah dalam pekerjaannya menyetir truk merah besar Coca Cola, terdapat catatan kecil mengenai Coca Cola; yang pertama bertuliskan: Tiap hari jutaan minuman berkarbonasi, jus, isotonik kami antarkan untuk menyegarkan harimu. Melalui catatan kecil ini, pengiklan berusaha untuk menyatakan kepada khalayak bahwa tiada hari tanpa Coca Cola karena di setiap harinya Coca Cola selalu menghadirkan kesegaran bagi setiap orang dimanapun. Hal ini memperkuat gambaran produk yang melampaui realitas objek yang diiklankan, sehingga objek tersebut (Coca Cola) tampak mengontrol subjek (yaitu khalayak selaku target pasar, calon konsumen, atau konsumen yang memang sudah menjadi penikmat Coca Cola), dan bukan subjek yang mengontrol objek. Catatan kecil tersebut menjadi medium bagi pengiklan untuk membentuk persepsi khalayak bahwa Coca Cola merupakan lambang personalitas individu, citra, dan gaya hidup modern. Pada bagian selanjutnya catatan

kecil yang ditampilkan bertuliskan: Sejak tahun 2000, jutaan anak menambah ilmu di rumah belajar dengan dukungan Coca Cola di seluruh Indonesia. Catatan ini dapat diartikan bahwa dengan mengkonsumsi Coca Cola, maka khalayak telah berpartisipasi dalam membangun Indonesia, yang diwujudkan dengan bakti pendidikan yang dilakukan. Catatan kecil yang ketiga berusaha menjelaskan bahwa produk Coca Cola bersifat ramah lingkungan: terbukti sejak tahun 2008 perusahaan minuman ringan ini telah menerapkan teknologi hemat energi pada lemari pendingin Coca Cola yang merupakan bagian dari program Energy Management and Climate Production Coca Cola. Selain itu, program ramah lingkungan juga diterapkan di daerah-daerah pesisir pantai, dimana hal ini juga dikemukakan dalam catatan kecil selanjutnya yang berbunyi: sejak tahun 2008 program pembersihan pantai oleh sistem Coca Cola di Indonesia telah menyingkirkan 3.362 ton sampah. Adapun melalui muatan informasi serangkaian program ramah lingkungan yang telah diselenggarakan oleh perusahaan Coca Cola, mereka berupaya untuk menyampaikan pesan bahwa sistem produksi yang dijalankan oleh pihak perusahaan Coca Cola dirancang untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan akibat adanya pemanasan global yang semakin marak terjadi, yang salah satunya merupakan dampak dari sistem produksi industri makanan dan minuman yang tidak ramah lingkungan. Perusahaan Coca Cola melalui catatan kecil ini juga menyampaikan bahwa industri produksi Coca Cola menaruh fokus yang cukup besar untuk meminimalisasi kontribusi terhadap pengrusakan lingkungan alam dengan pengadaan program pembersihan pantai oleh perusahaan Coca Cola Indonesia. Pesan yang hendak disampaikan melalui catatan kecil yang berikutnya terkait dengan kontribusi Coca Cola dalam bidang olahraga: telah 5 kali Coca Cola menjadi ajang sportifitas dan semangat positif 200.000 lebih siswa-siswa Indonesia. Iklan ini diakhiri dengan jargon: Live Positively, bersama kita bisa membawa perubahan positif. Jargon ini menggambarkan mekanisme interpelasi terhadap khalayak yang merupakan target konsumen produk Coca Cola karena kalimat bersama kita bisa membawa perubahan positif ditujukan kepada khalayak yang menyaksikan iklan tersebut. Dalam hal ini praktik interpelasi

juga secara spesifik menyasar anak-anak karena pensuasanaan (ambience) yang ditampilkan dalam iklan merupakan suasana kelas dalam suatu sekolah, dan model-model yang berperan juga merupakan anak-anak beserta gurunya yang turut melegitimasi kegembiraan yang didapatkan oleh mereka tatkala menerima paket Coca Cola dari sang ayah yang berprofesi sebagai penyetir truk merah besar Coca Cola. Ketika pada akhirnya anak-anak di kelas tersebut, guru, dan sang ayah berkumpul bersama dan menikmati Coca Cola, terlihat bahwa tercipta kehangatan dan kegembiraan bersama, dimana hal inilah yang merepresentasikan jargon iklan positif. Melalui iklan ini, pihak pengiklan bermain di ranah kognisi, sosial dan kultural khalayak selaku target konsumen. Dalam level kognisi, pengiklan berusaha untuk menanamkan suatu kepercayaan kepada khalayak dengan medium pesan-pesan dalam catatan-catatan kecil seperti yang telah penulis kemukakan di atas, penggunaan image dan penggambaran hubungan emosional yang erat antara ayah dan anak, dimana dalam hal ini sang anak begitu mengagumi ayahnya dengan segenap pengabdian dan loyalitasnya terhadap profesi yang digelutinya. Pengiklan memanfaatakan hubungan emosional tersebut, khususnya antara ayah dan anak laki-laki. Hal ini memiliki latar belakang yang kuat karena secara psikologis, anak laki-laki pada umumnya menjadikan ayahnya sebagai sosok seorang pahlawan dalam hidupnya sekaligus role model pihak pengiklan karena hubungan untuk dijadikan panutan hidup. emosional yang merefleksikan Kedekatan emosional ayah-anak inilah yang berusaha dipaparkan oleh kehangatan, kebersamaan dan kasih sayang antara orang tua dan anak, sekaligus kehangatan kolektif (seperti yang ditemukan dalam adegan murid-murid, guru dan ayah di kelas pada bagian akhir iklan) merupakan bagian dari aspek kultural masyarakat Indonesia yang menghargai kebersamaan dan budaya kolektif. Budaya kolektif dan keeratan hubungan emosional itu sendiri bukan merupakan praktik budaya konsumen, namun justru hal itulah yang berusaha untuk dijual kepada khalayak. Kedekatan hubungan ayah-anak dalam iklan ini dikomodifikasikan untuk tujuan penyampaian pesan, melanggengkan mekanisme interpelasi, menanamkan ideologi kepada khalayak yang semuanya bermuara pada motif perolehan ini yang mengatakan bahwa dengan bersama-sama menjadi konsumen dan penikmat Coca Cola, maka kita bisa membawa perubahan

profit oleh perusahaan Coca Cola dan pengiklan. Ranah kognitif yang digambarkan melalui hubungan anak dan ayah penyetir truk merah besar Coca Cola, level sosial yang tampak pada kebersamaan dan kehangatan para model yang berperan dalam iklan ini, yang juga merepresentasikan budaya kolektif yang merupakan karakterisitik sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang cukup kental, turut dikomodifikasikan pula untuk menyampaikan pesan-pesan bermuatan komersil, namun diharapkan sukses menyentuh level kognisi dan psikologis khalayak sehingga tergiring menjadi konsumen dan penikmat Coca Cola. Adapun bagi para penikmat Coca Cola yang sudah loyal, iklan ini akan semakin meningkatkan loyalitas terhadap brand produk Coca Cola. Berikut merupakan lirik lagu yang mengiringi iklan Coca Cola live positively; Lirik indahnya dunia- sore- ost. iklan coca cola live positively Saat kemuning fajar Membuka tirai yang menderai embun Kurasakan buaian yang sempurna melenakan Kesyahduan yang pasti merajut senyum Langkahku menuaikan serangkai impian Ku menjamah arti hidup Menanti cakrawala di penghujung hariku Andai rasa ini melambung menggapai rembulan Indahnya.. dunia... Jika ditelaah, kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu tersebut berupaya menyentuh ranah kognisi individu karena nilai rasa dari kata-kata yang dipergunakan bersifat emosional dan mengandung nilai estetika perasaan. Secara psikologis, penggunaan kata-kata yang mengedepankan aspek emosionalitas akan lebih diterima dan mendukung penyerapan informasi sekaligus proses interpretasi dan pemaknaan atas simbol-simbol yang ditampilkan dengan lebih baik dan melibatkan perasaan. Kesadaran akan hal inilah yang dimanfaatkan oleh pembuat iklan Coca Cola live positively, karena ketika individu telah terbujuk dan terinterpelasi secara kognitif melalui komponen-komponen yang direpresentasikan melalui

tayangan iklan, akan lebih mudah baginya untuk tertarik dan membuka diri untuk menjadi konsumen produk yang diiklankan tersebut. Iklan ini menanamkan kepercayaan yang hidup dalam ranah kognisi tanpa disadari, yang merupakan bentuk hegemoni dalam transfer nilai dan kepercayaan khalayak. Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari inilah yang merupakan ideologi yang mendasari proses produksi iklan dalam format komodifikatif dan reproduksi makna yang melibatkan level kognisi, sosial dan nilai-nilai kultural khalayak. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan yang dipoles sedemikian rupa sehingga tidak terlihat seperti kepercayaan. Iklan Coca Cola versi Live Positively menampilkan citra ideal yang dikemas seperti fakta dan dipahami sebagai realitas konkrit; idealnya, hidup adalah memberikan pengabdian kontribusi terbaik kebaikan loyalitas, bagi agar sesama, dapat mengedepankan dan

mendapatkan tempat di hati orang-orang terdekat, sebagaimana halnya citra yang lekat dan berusaha dibangun oleh produk Coca Cola. Harapan yang kemudian menjadi penanda bagi pertanda konkrit di masa depan, dimana digambarkan bahwa dengan mengkonsumsi Coca Cola, perubahan positif di masa yang akan datang dapat diraih bersama. Sementara itu, rujukan ideologi iklan ini dalam konsepsi dan pemikiran Althusser sebagaimana yang disampaikannya: ideologi bertindak atau berfungsi dengan suatu cara yang merekrut subjeksubjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua), atau mengubah individu-individu menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang sangat presisi, tercermin dalam simbol dan yang memuat implisitas makna namun dikemas apik melalui hubungan emosional antar pemeran dalam iklan, khususnya aktivitas yang dilakukan oleh ayah dalam menjalani profesinya yang sekaligus menebar kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Logika kapitalisme yang dilandasi oleh ideologi pengiklan produk ini membuat mereka merekrut dan menempatkan individu selaku khalayak untuk menerima pesan dan nilainilai yang disampaikan melalui iklan yang dipaparkan. Asumsi diinterpelasi sederhananya adalah individu selaku subjek yang melalui perekrutan sebagai mekanisme operasionalisasi

ideologi pengiklan ini akan tergugah, turut merasakan, dan membenarkan perbuatan baik yang dilakukan sang ayah sembari menjalani profesinya sebagai penyetir truk merah besar Coca Cola, individu diingatkan dengan

kedekatan hubungan, kekaguman dan penghargaan anak akan kerja keras orangtuanya, sebagaimana yang digambarkan dalam iklan tersebut. Sementara pihak pengiklan melalui catatan-catatan kecil serta pensuasanaan yang kental dengan image Coca-Cola mengintegrasikan simbol-simbol tersebut dengan aspek psikologis dan praktik budaya nonkonsumen yang tidak memuat pesan komersil. Dari sini, kita dapat melihat bahwa terdapat dialektika dalam operasionalisasi ideologi dan transfer nilai oleh iklan kepada individu, dimana individu di samping menjadi subjek interpelatif, ia juga diberi kebebasan dalam bentuk ruang-ruang pemenuhan asupan aspek-aspek psikologis, mental internal dan kognisinya, sehingga ketika ia memutuskan untuk terbujuk dan menjadi konsumen serta penikmat produk Coca Cola, ia tidak merasa serta merta karena digiring oleh pesan-pesan komersial frontal yang secara langsung dipaparkan di muka khalayak, yang secara gamblang dimaksudkan untuk menarik individu untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Sebagai contoh, secara redaksional, tidak mungkin pihak pengiklan Coca Cola ini menggunakan kalimat: belilah Coca Cola karena produk ini dapat mengantarkan perubahan positif bagi kita bersama. Hal ini menjelaskan bahwa dalam mengantarkan pesan yang dimaksudkan, yang berakhir pada tujuan perolehan profit, pengiklan akan mengoperasionalisasikan ideologinya dalam format kemasan yang strategis, memanfaatkan perangkat dan kecanggihan teknologi dari segi teknis, serta mengobservasi dan mendalami dengan tujuan untuk mengusik dan menyentuh ranah kognisi, sosial dan kultural individu guna menempatkannya menjadi subjek dan mengkonfirmasi reproduksi makna yang terdapat dalam medium pesan iklan, hingga akhirnya mereka secara tidak sadar menerima atau bersikap taken for granted atas pembujukan oleh iklan tersebut dan menjadi konsumen produk Coca Cola ini.

3.2.

Analisis Kritis terhadap Operasionalisasi Ideologi dalam Iklan

Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam Ayah Adi dan Dika Sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bagian awal tentang ideologi Althusser, kajian sosial makro dari Marx oleh Althusser diperluas sampai ke kajian sosial mikro dengan meletakkan kesadaran dan ketidaksadaran dalam diri individu di bawah mikroskop kerangka teoritis

strukturalisme yang diwarnai psikoanalisis Lacanian. Ideologi bagi Althusser bukanlah kesadaran palsu seperti yang ditegaskan oleh Marx, melainkan sesuatu yang profoundly unconscious; hal-hal yang secara mendalam tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk- sejarah yang seolah menjelma menjadi sesuatu yang alamiah. Dalam menganalisis iklan Pepsodent versi Ayah Adi dan Dika ini, penulis beranjak dari operasionalisasi ideologi yang disetir oleh logika kapitalisme pihak pengiklan produk ini, yang tujuannya adalah perolehan profit dengan menarik konsumen sebanyak-banyaknya melalui tayangan iklan yang ditampilkan. Tidak jauh berbeda dengan pembahasan mengenai iklan yang sebelumnya di atas, penulis akan mengkritisi praktik komodifikasi hubungan emosional ayahanak dalam iklan ini, untuk menyampaikan pesan-pesan yang dimaksudkan oleh perusahaan Pepsodent melalui iklan ini. Iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi & Malam versi Ayah Adi & Dika

diperankan oleh dua tokoh utama, yaitu Ayah Adi dan Dika. Iklan ini bercerita tentang ayah dan anak laki-lakinya yang berbagi tips dan trik untuk menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi melalui cara-cara yang menyenangkan, terlebih bagi anak-anak yang seringkali sulit untuk diajak membiasakan diri sikat gigi di pagi dan malam hari secara teratur. Iklan ini terdiri dari beberapa versi yang menampilkan adegan kedekatan ayah Adi dan Dika, khususnya sang ayah yang berusaha untuk menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi secara teratur kepada Dika, sekaligus mengingatkan pentingnya kebiasaan tersebut dengan cara-cara yang lucu, menyenangkan dan khas merepresentasikan kedekatan ayah dan anak lakilaki yang hangat dan bersahabat. Hal ini membuat Dika merasa senang untuk menyikat gigi bersama ayahnya. Adapun tiga versi iklan ini yang menjadi subjek pengamatan dan analisis penulis dalam makalah ini adalah; Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam Ayah Adi dan Dika versi Gantian, dong!, versi Ksatria Malam, dan versi Buaya. Dalam versi Gantian, dong! diceritakan bahwa pada suatu malam, ayah Adi dengan nada bercandanya mengatakan bahwa ia bosan terus mengingatkan Dika untuk menyikat gigi, ia meminta sesekali anaknya tersebut untuk menghimbau ayahnya untuk menyikat gigi. Lantas Dika menuruti permintaan ayah Adi dengan mempraktikkan cara ayahnya seperti biasa tatkala menyuruhnya untuk menyikat gigi, namun dalam hal ini, peran

ayah dan anak ditukar; ayah Adi menjadi Dika dan Dika menjadi ayah Adi yang dengan gaya khasnya meniru cara seorang ayah mengingatkan anaknya tentang pentingnya menyikat gigi. Sewaktu ayah Adi berpura-pura ngambek seraya berkata, ayah nggak mau sikat gigi ah, kemudian Dika menjelaskan dengan ekspresi khas anak yang sangat menggemaskan namun sok bijak; ayah kan abis makan ayam tuh, nanti kalo nggak sikat gigi ayamnya bakal nginep di mulut ayah, sambil memperagakan ayam yang sedang mengepak-ngepakkan sayapnya, lengkap dengan bunyinya: bheg, bheg, bheg. Kemudian ayah Adi menunjukkan ekspresi ketakutan namun lucu, seakan apa yang dikatakan Dika benar terjadi, ayam sisa makan malam akan menginap di mulut ayah Adi. Selanjutnya ayah Adi pun terbujuk dan dia bertanya bagaimana cara menyikat gigi yang baik, lalu Dika menjelaskan sembari dipraktikkan langsung oleh ayah Adi: ambil odolnya (Pepsodent), sikat giginya, muter-muter (arah sikat giginya), lalu Dika berkata sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya dengan bijak, anak pinteeer, yang dibalas dengan ekspresi geli sang ayah karena dianggap anak oleh Dika. Sementara itu, versi Ksatria Malam menceritakan pada suatu malam Dika hendak menyikat gigi seperti biasa dengan ditemani oleh ayah Adi. Pada malam itu, Dika mengenakan kostum layaknya Ksatria, lengkap dengan topeng hitam seperti Zorro. Ketika itu ayah Adi berkata kepada Dika bahwa ksatria malam tidak bisa mengalahkan monster yang menggerogoti gigi ksatria di malam hari, tetapi Dika bisa membantu sang ksatria dengan menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi Pepsodent. Lalu Dika berkata, oke, kalo gitu, aku kalahin semua monsternya ! sambil memeragakan posisi badan siap tempur. Lalu ayah Adi tak kalah seru menyemangati Dika yang akan mengalahkan monster kuman di giginya, dan ikut menyikat gigi bersama-sama Dika dengan gaya yang seru, seolah siap tempur juga. Kemudian ayah Adi membuat efek dramatis pertempuran antara Dika dengan monster-monster kuman, ia mengibas-ngibaskan bagian sayap kostum ksatria yang dikenakan Dika kemudian menggendong Dika dalam posisi seolah-olah Dika sedang terbang seperti superhero Superman. Dika menyambut ulah ayahnya itu dengan tertawa girang. Pada bagian akhir iklan ini ditutup dengan adegan dimana Dika bertanya kepada ayahnya mengapa ia tidak mengenakan topeng seperti Dika. Lalu Dika meminjamkan topeng Zorro yang dipakainya untuk digunakan ayah Adi

agar terlihat seperti ksatria juga, sambil menyikat gigi untuk mengalahkan monster-monster kuman. Versi Buaya bercerita tentang Dika yang akan menyikat gigi di pagi hari dengan ditemani ayahnya. Namun, dengan mengejutkan ayah Adi mengeluarkan boneka tangan berbentuk kepala buaya yang dimainkannya dan ayah Adi sendiri menjadi pengisi suara boneka tersebut. Boneka berseru bahwa masih banyak kuman yang tersisa di sela-sela gigi bagian belakang Dika jika menyikat gigi dengan sikat gigi biasa. Kemudian ayah Adi mengambil sikat gigi Pepsodent seraya menggosokkannya di gigi-gigi boneka tangan buaya sambil menjelaskan bahwa hanya sikat gigi Pepsodent dengan leher sikat tiga sudut yang terinspirasi dari peralatan dokter gigi yang mampu membersihkan dengan sempurna, mengangkat kuman hingga ke sela-sela gigi. Lalu dengan senang hati Dika mengambil sikat gigi yang dimaksudkan ayahnya tersebut dan menyikat giginya dengan riang gembira, sementara si ayah memerankan adegan lucu dengan berpura-pura digigit oleh boneka buaya dan terjatuh tak berdaya ke lantai. Pesan yang ingin disampaikan melalui iklan ini adalah menjadikan kebiasaan sikat gigi di pagi dan malam hari secara teratur sebagai kebiasaan yang mengasyikkan, yang bisa dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya (dalam hal ini adalah ayah dan anak laki-lakinya). Iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi & Malam versi Ayah Adi dan Dika secara tidak langsung juga menghimbau para orangtua untuk mengajarkan anak mereka tentang pentingnya sikat gigi di pagi dan malam hari sejak dini dan melakukannya dengan berbagai cara kreatif, menarik, dan tidak menimbulkan kejenuhan bagi anak sehingga mereka mau melakukannya dengan senang hati, tanpa terpaksa dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai kebiasaan. Serangkaian versi iklan televisi Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam Ayah Adi dan Dika yang disiarkan mulai Oktober tahun 2009 ini, mengajak penonton mengikuti kisah menarik Ayah Adi yang menggunakan berbagai cara yang lucu untuk mendidik anak laki-lakinya yang bernama Dika, untuk menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi secara teratur khususnya di malam hari. Iklan ini juga dibarengi dengan serangkaian program yang akan diadakan di sekolah-sekolah yang berisi materi dan praktik sosialisasi menyikat gigi dengan baik dan benar, dan dilakukan secara teratur setiap hari di pagi dan malam hari. Selanjutnya, akan diselenggarakan pula

kampanye yang ditujukan bagi ahli kesehatan gigi dan mulut, dengan materi sosialisasi dan pendidikan yang menarik yang bisa mereka terapkan kepada pasien mereka. Rangkaian kampanye penunjang dengan proyek utamanya berupa iklan televisi Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam Ayah Adi dan Dika ini diharapkan dapat menjadi kampanye yang komprehensif yang akan meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia. Operasionalisasi ideologi dalam iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam Ayah Adi dan Dika ini begitu jelas memaparkan kedekatan ayah dan anak laki-laki yang dikomodifikasikan untuk kepentingan komersil perusahaan Pepsodent sebagai produsen pasta gigi dengan tingkat penjualan yang paling tinggi dan persebaran pasar yang paling luas di Indonesia (www.sikatgigipagidanmalam.com). Terkait dengan penjelasan pada level eksplanasi kognitif, diketahui bahwa manusia bergantung pada interaksi sosial dalam melakukan pemaknaan. Manusia belajar untuk mampu melihat. Individu yang tumbuh dalam isolasi sosial tidak dapat secara alami untuk berbicara, dan individu yang hidup dalam suatu konteks kebudayaan tanpa adanya komunikasi yang termediasi tidak dapat membaca iklan. Cara individu memahami iklan sangat dipengaruhi oleh pemahaman kebudayaan yang hanya dapat diperoleh melalui interaksi sosial. Karena target iklan ini adalah anak-anak yang akan disosialisasikan dan diedukasi tentang pentingnya menyikat gigi di pagi dan malam hari secara teratur, dan dengan menggunakan produk Pepsodent; pasta gigi dan sikat gigi Pepsodent, maka pihak pengiklan mentransfer pesan komersilnya melalui kemasan iklan yang memuat aspek kognitif kedekatan ayah dan anak laki-laki, dimana dalam hal interaksi sosial orangtua dan anak, anak laki-laki memiliki kedekatan yang lebih kuat dengan ayahnya yang dipandang sebagai sahabat dan role model bagi dirinya. Dengan bekal fakta psikologis seperti ini, pihak pengiklan menyadari bahwa penetrasi nilai-nilai yang hendak disampaikan melalui iklan dapat memanfaatkan kondisi kecenderungan psikologis anak laki-laki yang dekat dengan ayahnya, mengalami hal-hal seru apabila membiasakan diri menyikat gigi dengan ditemani ayahnya, sehingga bukan tidak mungkin begitu dipaparkan iklan ini, anak akan dengan serta merta tergiring persepsinya dan memutuskan untuk menjadi konsumen pasta gigi dan sikat

gigi Pepsodent agar bisa melakukan hal yang sama seperti yang ia lihat pada image ayah Adi dan Dika dalam iklan tersebut. Jamieson dan Campbell (2001) mengatakan bahwa kebanyakan iklan mendasarkan pada prinsip identifikasi, diferensiasi, dan asosiasi khalayak. Hal ini yang dimanfaatkan oleh pengiklan produk Pepsodent ini, dimana anak-anak diarahkan untuk melakukan identifikasi terhadap tokoh Dika dalam iklan tersebut. Mereka akan memiliki kecenderungan untuk mengasosiasikan diri dengan tokoh anak yang membiasakan diri menyikat gigi secara teratur di pagi dan malam hari seperti halnya yang dilakukan tokoh Dika, yang salah satunya juga dipengaruhi oleh faktor perhatian, kasih sayang, kedekatan dan kebersamaan yang akan mereka dapatkan dengan ayah dan atau kedua orangtuanya apabila menjadi anak baik, yang menuruti himbauan ayahnya menyikat gigi secara teratur di pagi dan malam hari. Jamieson dan Campbell juga berbicara bagaimana iklan menggunakan anak-anak sebagai salah satu elemen untuk mempersuasi khalayak. Bukan saja digunakan dalam iklan produk untuk anak-anak, tetapi juga digunakan dalam iklan dengan sasaran orang dewasa. Dipercaya bahwa saat ini, anak-anak memiliki peran yang penting untuk mempersuasi orang dewasa atau orang tuanya untuk membeli suatu produk. Para pengiklan berusaha untuk memasuki pikiran khalayak agar dapat membingkai kepercayaan mereka sehingga sesuai dengan keinginan para produsen yang menjadi klien mereka (dalam hal ini adalah perusahaan Pepsodent). Agar dapat memasuki dan mempengaruhi pikiran khalayak, pengiklan seringkali memainkan fantasi kita terhadap produk yang mereka jual. Fantasi merupakan sebuah bentuk idealisasi dan myth-making yang cukup efektif dalam dunia periklanan, seperti iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam ayah Adi dan Dika ini, yang diperankan oleh Dika yang merepresentasikan sosok seorang anak laki-laki yang menggemaskan dan populis di kalangan anak-anak, serta ayah Adi yang diperankan oleh Irgi Fahrezy, yang lekat dengan image pemuda yang dekat dan bersahabat dengan anak-anak, terbukti dengan perannya di beberapa program televisi seperti; pembawa acara program Pemilihan Dai Cilik (Pildacil) di stasiun televisi TPI, dan ia juga menjadi pembawa acara Dongeng Siang di Trans7 yang berperan sebagai pendongeng di tengah anak-anak yang mengelilinginya.

Anak merupakan kelompok khalayak media yang memiliki keunikan tersendiri. Dalam menyaksikan iklan media, anak memiliki ketertarikan tertentu terhadap suatu produk sehingga mereka seringkali diperlakukan sebagai khalayak dewasa yang dapat menentukan preferensinya terhadap suatu produk secara mandiri. Dari segi ekonomis, kebanyakan anak sebenarnya tidak memiliki daya beli terhadap suatu produk tetapi mereka merupakan decision-maker bagi para orang tua dalam memilih produk tertentu. Hal ini membuat para pengiklan menjadikan anak-anak sebagai target audience yang setara dengan audience dari kelompok usia lainnya. Hal ini cukup menjelaskan bahwa efek iklan di televisi telah mempengaruhi pengetahuan, sikap, perilaku dan nilai yang ada di dalam diri seorang anak. Dilihat dari iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam ayah Adi dan Dika, anak-anak selaku target audience yang menyaksikan iklan ini dan terinterpelasi olehnya, memiliki kecenderungan yang besar untuk membujuk orangtuanya membeli produk Pepsodent seperti yang ia lihat di iklan televisi. Hal ini memperlihatkan bahwa ideologi kapitalisme dalam periklanan dioperasionalisasikan melalui kehendak anak yang dipersuasi secara psikologis melalui tayangan iklan dan direalisasikan oleh orangtua atas permintaan sang anak, atau dapat pula orangtua terinterpelasi dan dipengaruhi secara langsung oleh pesan dan perintah produsen yang dimuat dalam iklan tersebut. Jika hal demikian telah terjadi, maka iklan yang merupakan produk media massa dan menjadi instrumen pengukuh Ideological State Apparatus (ISA), bekerja secara mujarab menggiring individu menjadi subjek yang dengan kerelaan dan kehendaknya menjadi mahkluk-mahkluk bentukan yang bekerja melanggengkan proses reproduksi produksi tanpa perlu diawasi. Lebih jauh lagi, setiap individu juga berperan sebagai agen ideologi yang ikut serta menyebarkan ideologi melalui berbagai struktur sesuai dengan perannya, misalkan dalam konteks iklan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam ayah Adi dan Dika ini, anggota keluargalah, baik itu orangtua, ataupun anak yang menjadi penyebar ideologi tersebut. Ideologi kapitalisme yang dikemas dalam komodifikasi hubungan ayah-anak dalam iklan ini juga terdapat dalam rangkaian kegiatan kampanye dan sosialisasi mengenai pentingnya menyikat gigi secara teratur dan cara menyikat gigi dengan baik dan benar yang akan disosialisasikan kepada anak-anak di sekolah-sekolah, dan pemberian

materi kampanye kepada para kalangan profesional kesehatan gigi untuk dibagikan kepada pasien mereka. Strategi perluasan pangsa pasar produk Pepsodent dilakukan dengan penyelenggaraan rangkaian kampanye tersebut; karena yang ditawarkan kepada para khalayak terkait dengan kesehatan gigi dan mulut sehingga hendaknya membiasakan menyikat gigi secara teratur, adalah produk-produk Pepsodent; mulai dari pasta gigi hingga sikat gigi dengan teknologi leher sikat tiga sudut yang terinspirasi oleh peralatan dokter gigi. Dari sini, logika kapitalisme yang menjadi ideologi produsen dan pengikalan produk Pepsodent direalisasikan, namun dengan mengelola insight kognisi target konsumen akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut yang dapat diwujudkan dengan menggunakan produk Pepsodent untuk memperoleh hasil yang optimal. 4. Kesimpulan dan Refleksi Althusser berkeyakinan bahwa setiap orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Baginya, tidak mungkin ada masyarakat yang terbebas dari ideologi. Ideologi merupakan semacam perekat demi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Inilah sisi positif dari ideologi, meskipun kewaspadaan terhadap perekat itu harus terus dijaga. Dengan pemahaman seperti itu, Althusser tidak berniat untuk membebaskan manusia dari ideologi karena ideologi sesungguhnya memiliki sisi baik. Ideologi merupakan reaksi terhadap suatu dominasi. Setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat yang penting dan dibutuhkan dalam upaya pembebasan ini adalah ideologi; yang merupakan suatu kepercayaan yang dibangun untuk menggerakkan kelompok si tertindas (semacam ideologi kelas dalam pemikiran Leninisme). Terkait dengan konteks pemikiran Althusser ini, maka sebagai khalayak yang kerap menjadi target konsumen berbagai macam produk yang diiklankan, kita perlu untuk membangun sebuah ideologi untuk meng-counter hegemoni ideologi kapitalisme para produsen dan pihak pengiklan yang notabene selalu memiliki kecenderungan untuk menggiring khalayak menjadi individu yang konsumtif kapitalistik. dan turut melanggengkan reproduksi produksi struktur

Iklan, yang dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan pengaruh pada level kognisi, sosial dan kultural individu, seperti halnya iklan Coca Cola live positively dan Pepsodent Sikat Gigi Pagi dan Malam ayah Adi dan Dika, yang mengkomodifikasikan hubungan emosional ayah-anak ini menggambarkan operasionalisasi ideologi dalam iklan untuk menggiring khalayak yang menyaksikannya menjadi konsumen dan meningkatkan loyalitas terhadap produk tersebut. Logika kapitalisme menyetir praktikpraktik teknis pembuatan iklan tersebut, yang dioperasionalisasikan melalui ideologi demi perolehan profit, sehingga hegemoni ideologi pun dilegitimasikan melalui transfer nilai moral yang dimuat dalam iklan. Dengan merujuk pada pemikiran dan konsepsi Althusser tentang ideologi, hendaknya kita dapat belajar bahwa dengan kesadaran akan danau ideologi yang selalu menggenangi dan merendam kita, maka kita perlu belajar untuk sering berganti danau, melompat dari satu genangan ideologi ke genangan ideologi yang lain. Diharapkan pula kita menjadi individu yang terbuka pada banyak hal yang berbeda dengan kita, dan selalu siap merombak ruang-ruang dalam diri yang mungkin terlalu yakin dan terpaku dengan kepercayaan-kepercayaan usang. Lalu kita pun dapat berharap bahwa di masa yang akan datang kita akan bertemu dengan realitas yang lebih segar dan berwarna sebagai buah dari keterbukaan kita pada keragaman cara manusia memaknai dunia dan menempatkan diri di dalamnya.

Daftar Referensi

Althusser,

Louis.

2010.

Tentang

Ideologi:

Strukturalisme

Marxis,

Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana Burton, Graeme. 2005. Media and Society: Critical Perspective. New Delhi: Rawat Publications Hackley, Chris. 2005. Advertising and Promotion. London: Sage Publications Papalia, Diane E, dkk. 2009. Human Development. Eleventh edition. New York: McGraw Hill Rakhmat, Jalaludin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya http://dgi-indonesia.com/louis-althusser-sekilas/, http://plato.stanford.edu/entries/althusser/, http://www.cla.purdue.edu/english/theory/marxism/modules/althusserISAs.h tml www.youtube.com.watch?v=rCk2ca69GfU www. youtube.com/watch?v=i-1I2ubPB0M www. youtube.com/watch?v=aWYT9kuaQ9o www.youtube.com/watch?v=iG5ehXyO3gk

Vous aimerez peut-être aussi