Vous êtes sur la page 1sur 16

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1794 K/Pdt/2004 (KASUS MANDALAWANGI)

MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

DELI INDRA WAHYUDI 10/307370/PHK/6474

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional

mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen1 disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subyek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundangundangan lingkungan hidup. Penggunaan instrument dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana hukum
1

Takdir Rahmadi, Hukum lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 207

administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan. Sengketa lingkungan hidup (environmental disputes) sebenarnya tidak terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa yang terjadi karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil hutan, kegiatan penebangan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik, rencana pembangunan waduk dan sebagainya. Sebagai contoh dalam tulisan ini adalah kasus terjadinya tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut yang telah menimbulkan kerugian berupa hilangnya harta benda, nyawa, rusaknya lahan pertanian dan ladang dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. II. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dirumuskan permasalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara mandalawangi? 2. Bagaimana konsep reformasi penegakan hukum yang efektif dan menimbulkan efek jera? BAB II PEMBAHASAN

I. Tinjauan Pustaka A. 1. Hukum Lingkungan Adminsitrasi Pengawasan Ketentuan-ketentuan tentang pengawasan ditemukan dalam sejumlah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam UULH 1997 ketentuan pengawasan ditemukan dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24. Dari ketentuan Pasal 22 UULH 1997 dapat diketahui bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup berwenang melakukan pengawasan terhadap penataan kegiatan usaha atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Sebagai tindak lanjut dari kewenangan itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menunjuk pejabat yang melakukan pengawasan. Fungsi pengawasan juga dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah dapat menunjuk pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Di dalam UUPLH (32 Tahun 2009), pengawasan diatur dalam Pasal 71 hingga Pasal 74. Selain terdapat persamaan, juga ditemukan perbedaan-perbedaan tentang pengawasan antara UULH 1997 dan UUPLH 2009. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan pengawasan ada pada Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah daerah, baik Menteri maupun Pemerintah daerah berwenang menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dari segi perbedaan, terdapat dua perbedaan penting. Pertama, jika dalam UULH 1997 terdapat Pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL untuk melakukan pengawasan, dalam UUPLH ketentuan tentang lembaga (BAPEDAL) yang berwenang di tingkat pusat melakukan pengawasan di bidang lingkungan hidup tidak lagi ditemukan karena Kementerian Lingkungan Hidup sepenuhnya berwenang melakukan pengawasan setelah BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua, dalam UUPLH memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, sedangkan UULH 1997 hanya satu jalur. Yang dimaksud

dengan mekanisme pengawas dua jalur adalah bahwa prinsipnya Gubernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan pengawasanlingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha/kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah daerah. 2. Sanksi-sanksi hukum lingkungan administrasi Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. UULH 1997 memuat tiga jenis sanksi hukum administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27, yaitu paksaan pemerintah, pembayaran sejumlah uang dan pencabutan izin usaha atau kegiatan. UUPLH 2009 memuat empat jenis sanksi hukum administrasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, pencabutan izin lingkungan. Akan tetapi dalam Pasal 81 UUPLH juga memuat ketentuan tentang yang menjadi dasar hukum bagi pejabat pemberi izin lingkungan atau penegak hukum lingkungan administrasi untuk menerapkan sanksi denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Dengan demikian UUPLH menyediakan lima jenis sanksi hukum administrasi yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. B. Hukum lingkungan pidana Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan

sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini delik lingkungan hidup tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. Rumusan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 (UUPLH) merupakan pengembangan dan revisi terhadap ketentuan rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982. Jika UULH hanya memuat rumusan ketentuan pidana yang bersifat delik materiil, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materiil dan juga delik formiil. Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat. Delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat perbuatan. UUPLH juga memuat dua jenis delik yaitu delik materiil dan delik formil, bahkan dibandingkan dengan UULH 1997, UUPLH memuat jenis delik formil lebih banyak. Tidak saja yang ditujukan kepada para pelaku usaha, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan orang-orang yang menjadi tenaga penyusun AMDAL. Rumusan delik materiil UUPLH dapat ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1), sedangkan delik formil ditemukan mulai Pasal 100 hingga pasal 111 kemudian Pasal 113 hingga Pasal 115. Jika dihitung terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil dalam UUPLH. Dari uraian keenam belas delik formil tersebut dapat diketahui bahwa pembuat Undang-Undang menciptakan delik-delik formil dalam UUPLH terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi. Selain itu, dalam rumusan delik-delik formil tersebut, kecuali

delik formil keenam belas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 115, tidak mencantumkan unsur kesalahan.
C.

Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan perdata Menurut Koeman2 hukum perdata khususnya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) dan hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi yang relevan yaitu: 1. Penegakan hukum melalui hukum perdata. 2. Penetapan norma tambahan. 3. Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian. 4. Perlindungan hukum tambahan. Dari pernyataan Koeman tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah untuk penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma tambahan, perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum tambahan. Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1402 BW lama yang mirip dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, sedangkan dalam BW baru dirumuskan dalam Pasal 6:162. Namun, pengajuan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilamana penegak hukum administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataannya pendayagunaan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan oleh badan pemerintah di Belanda sangat jarang terjadi. Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan sebagai sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum publik, seperti pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum perdata. Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari normanorma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan dibedakan atas tiga bidang, yaitu: penegakan ketentuan bersifat larangan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, penegakan ketentuan2

Ibid hlm. 260

ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam izin, penegakan terhadap sanksi-sanksi. Di Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 BW, selain dilakukan oleh warga atau Lembaga Swadaya Masyarakat juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan gugatan perdata diatur dalam Pasal 37 ayat (2), sedangkan dalam UUPLH kewenangan itu dirumuskan dalam Pasal 90 ayat (1). Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan sumber daya alam disamping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain, atau setidaknya meletakan risiko kerugian kepada kelompok lain. Sering kali manfaat dari suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dilihat secara makro, sementara risiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan oleh sekelompok kecil orang. Sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH dirumuskan dalam pasal 1 butir 25 sebagai perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. Sebagain besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH diatur dalam Pasal 87 hingga Pasal 93. Menurut UUPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan mekanisme yaitu, mekanisme proses pengadilan dan mekanisme proses diluar pengadilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika

mekanisme diluar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak. II. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794 K/Pdt/2004 Gugatan ini diajukan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan Negeri Bandung. Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan

lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang kurangnya ilmu pengetahuan yang diperlihatkan dengan keteranganketerangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil

kelompok masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagaiannya.
2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III

Jawa Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah

Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten Garut.
3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V

tersebut untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTSII/2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini. Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel yang

dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota. Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara

terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad). 5. Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004

Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
III. Konsep Reformasi penegakan hukum yang efektif dan menimbulkan efek

jera Membaca Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, penulis sangat setuju dengan hasil putusan yang telah ditetapkan oleh Hakim, dimana didalam Putusan tersebut diutamakan prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah walaupun ada beberapa yang diubah oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Kasasi nomor 1794 K/Pdt/2004. Penulis berpendapat untuk dalam rangka penegakan hukum yang efektif dan dapat menimbulkan efek jera akan lebih baik jika mengedepankan model pidana administratif. Latar belakang kebijakan hukum pidana yang demikian didasarkan pada kenyataan sulitnya pembuktian tindak pidana lingkungan hidup seperti yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, dibuatlah peraturan yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan administrasi yang dianggap melanggar hukum. Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana administrasi ini memiliki banyak keuntungan, Antara lain: a. akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan pembuktian perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang dibuat pada umumnya adalah delik formil; b. pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka persiapan untuk melakukan perbuatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dikriminalisasi menjadi suatu perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka kita telah selangkah lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup;

c. dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis untuk melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan sanksisanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdayaguna dalam mematikan motif ekonomi ini; d. dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut, maka kita dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; Harus kita sadari bahwa salah satu kunci dari penegakan hukum lingkungan ada pada pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keluarnya perijinan yang merupakan kewenangan dari pemerintah. Selain itu, para penegak hukum jangan hanya mengedepankan prinsip hukum normatif akan tetapi lebih kepada hukum progresif.

BAB III PENUTUP I. Kesimpulan Dari uraian Bab-Bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim menggunakan pertimbangan normatif dan mulai muncul pertimbangan progresif . hal ini dapat dilihat dimana didalam Putusan tersebut diutamakan prinsip keberhatihatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah dan perbaikan serta denda. 2. Reformasi penegak hukum yang digunakan adalah Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana administrasi.

DAFTAR PUSTAKA Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Tata Lingkungan edisi VIII cetakan kedua puluh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 F.gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai dampak Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang UUPLH

Vous aimerez peut-être aussi