Vous êtes sur la page 1sur 22

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Tetanus (lock jaw) adalah penyakit yang ditandai dengan kejang paralitik akut atau spasme otot tanpa disertai penurunan kesadaran yang disebabkan eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani yang berefek pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuromuskular junction dan saraf otonom.1,2 2. Etiologi Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang mampu membentuk spora anaerob dan habitat alaminya adalah di tanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai hewan. 2 Pada bagian ujung Clostridium tetani, terdapat spora sehingga secara mikroskopis bakteri ini tampak seperti raket tenis. Spora tetanus dapat bertahan dalam suhu tinggi, desinfektan, atau kekeringan, namun sel-sel vegetatif dapat dibunuh oleh antibiotik, pemanasan, dan disinfektan biasa. 1,2 Tidak seperti Clostridia lainnya, C. tetani tidak menginvasi jaringan dan

menimbulkan penyakit melalui efek racun tunggal, yaitu tetanospasmin atau sering disebut neurotoksin. Tetanospasmin adalah substansi paling beracun kedua yang diketahui, selain toksin botulinum berdasarkan potensinya. Dosis mematikan toksin tetanus pada manusia diperkirakan 10-5 mg / kg. 2,3,4,5 3. Patogenesis Perkembangan tetanus terjadi setelah spora tumbuh, berkembang biak, dan menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah dari tempat yang terinfeksi. Dalam jaringan anaerob ini, terjadi penurunan tekanan oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau adanya benda asing akibat trauma. 1,2 Toksin dilepaskan setelah kematian sel vegetatif bakteri dan sel menjadi lisis. Terdapat dua macam toksin, yaitu tetanospasmin and tetanolysin. Tetanolysin tidak berefek signifikan terhadap klinis tetanus, sedangkan tetanospasmin merupakan
1

neurotoksin dan menimbulkan gejala klinis dari tetanus. Toksin tetanus berikatan pada neuromuskular junction dan memasuki saraf motorik secara endositosis, setelah itu mengalami transportasi aksonal retrograde ke sitoplasma motoneuron. Dalam saraf sciatic, kecepatan transportasi menjadi 3,4 mm/jam. Toksin keluar dari motoneuron di sumsum tulang belakang dan selanjutnya masuk interneuron inhibitor sekitar tulang belakang. Toksin ini mencegah pelepasan neurotransmitter glisin -aminobutyric acid (GABA), sehingga menghambat jalur inhibisi normal otot volunter. Selain itu, melalui mekanisme inhibisi enzim, kolinesterase menjadi tidak aktif sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi di celah sinaps. Oleh karena itu, otot yang terkena mengalami kontraksi maksimal (spastik) dan tidak bisa beristirahat. 1,2,3,4,5 Karena C. tetani bukan kuman invasif, maka tokin yang dihasilkannya akan bertahan pada sumber infeksi dan menimbulkan manifestasi peradangan lokal dan dapat menimbulkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lainnya. 2 4. Manifestasi Klinis Masa inkubasi tetanus biasanya adalah 2-14 hari, tetapi dapat juga baru bermanifestasi setelah 1 bulan infeksi. Dalam tetanus umum, gejala yang muncul pertama kali adalah sakit kepala, trismus (kejang otot masseter, atau kejang mulut) dan diikuti kuduk kaku. Selain itu pada awal juga dapat ditemukan gelisah, dan lekas marah, kemudian diikuti dengan kekakuan, kesulitan mengunyah, disfagia, dan kejang otot leher. Senyum sinis tetanus atau risus sardonicus terjadi akibat kejang pada otot wajah dan bukal. 2,3 Jika kelumpuhan meluas ke perut, pinggul lumbal, dan otot paha, pasien mungkin menunjukkan postur melengkung akibat hiperekstensi dari tubuh (opistotonus). Opistotonus merupakan posisi yang dihasilkan dari kontraksi otot yang berlawanan, yang semuanya menampilkan kekakuan seperti papan yang ditemukaan khas pada tetanus. Kejang otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan sesak napas. 2 Karena toksin tetanus tidak mempengaruhi saraf sensoris atau fungsi kortikal, pasien tetap sadar, dalam rasa sakit yang hebat. Kejang terjadi secara mendadak, kontraksi tonik berat dari otot-otot, dengan mengepalkan tinju, fleksi dan aduksi pada lengan dan hiperekstensi pada kaki. 2

Tanpa perawatan, kejang berkisar dari beberapa detik hingga beberapa menit dengan periode istirahat, tetapi pada tahap lanjut kejang dapat menjadi terus menerus. Rangsangan minimal pada penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dapat memicu kejang tetanus. Disuria dan retensi urin dapat terjadi akibat spasme sfingter vesika urinaria. Demam dapat mencapai 40C, akibat tingkat metabolisme yang tinggi terutama pada otot-otot yang kejang. 2 Efek otonom yaitu takikardia, disritmia, hipertermia, keringat berlebihan, hipotensi, hipertensi dan vasokonstriksi pada kulit. Kelumpuhan akibat tetanus dapat menjadi lebih parah dalam 1 minggu setelah onset, stabil di minggu ke-2, dan berkurang secara bertahap dalam 1-4 minggu berikutnya. 1,2 Tetanus neonatal (tetanus neonatorum) merupakan bentuk infantil dari tetanus generalisata, biasanya bermanifestasi dalam 3-12 hari setelah kelahiran. Infeksi disebabkan oleh kontaminasi baketri C. tetani pada tali pusat selama persalinan yang tidak steril atau pada ibu yang tidak mendapat imunisasi TT selama kehamilannya. Karakteristik tetanus tipe ini berupa kelumpuhan atau berkurangnya gerakan, mulut seperti mencucu sehingga tidak dapat menyusu, kekakuan pada sentuhan, dan spasme, dengan atau tanpa opistotonus. Pada pusar dapat ditemukan sisa-sisa kotoran, darah beku atau serum, atau mungkin tampak tenang. 2,3,4 Tetanus terlokalisasi bermanifestasi sebagai kejang otot-otot yang nyeri disekitar lokasi luka dan dapat mendahului tetanus generalisata. Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus terlokalisasi melibatkan otot-otot bulbar yang terjadi dengan luka atau benda asing di kepala, lubang hidung, atau wajah. Hal ini terjadi terkait dengan otitis media kronis atau trauma pada kepala. Cephalic tetanus ditandai dengan kelumpuhan saraf cranial, kelopak mata ditarik ke belakang, trismus, risus sardonicus, dan kelumpuhan spastik pada lidah dan otot-otot faring. 2,3 5. Diagnosis Diagnosis tetanus ditegakkan secara klinis. Khas pada pasien adalah tidak ada riwayat imunisasi disertai trismus, otot kaku lainnya, dan sensorium jelas. Perlu ditanyakan adanya riwayat infeksi telinga, adanya luka tusuk, patah tulang terbuka, atau gigitan binatang, riwayat imunisasi dasar lengkap dan selang waktu antara gejala klinis pertama dengan kejang pertama. 1,2

Dari pemeriksaan perlu dicari adanya gigi berlubang dan pemeriksaan teliti pada telinga. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin biasanya normal. Leukositosis perifer dapat disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder dari luka. C. tetani tidak selalu terlihat pada pewarnaan gram. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal normal, walaupun pada kontraksi otot yang berat dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Gambaran EEG atau EMG menunjukkan pola yang khas. 1,2 6. Diagnosis Banding Trismus dapat diakibatkan dari abses parafaringeal, retrofaringeal, gigi, atau jarang ditemukan pada ensefalitis akut yang melibatkan batang otak. Baik rabies atau tetanus dapat terjadi setelah gigitan hewan, dan rabies dapat hadir sebagai trismus dengan kejang. Namun, rabies dapat dibedakan dari tetanus akibat gigitan dengan gejala disfagia, kejang terutama klonik, dan pleositosis. 2 Meskipun keracunan strychnine dapat mengakibatkan kejang otot tonik dan aktivitas kejang umum, tetapi gejala trismus tidak ditemukan dan berbeda dari tetanus, relaksasi umum biasanya terjadi antara kejang. Hipokalsemia dapat menghasilkan tetani yang ditandai dengan kejang laring dan carpopedal, tapi tidak ditemukan trismus. 2 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan mencakup : 2
1)

Pemberantasan C. tetani dan lingkungan luka yang kondusif untuk

perkembangbiakkan anaerobik.
2) 3) 4)

Netralisasi toksin tetanus. Mengendalikan kejang dan respirasi. Pencegahan kekambuhan..

7.1. Terapi umum Luka eksisi bedah dan debridemen sering dibutuhkan untuk menghilangkan benda asing atau jaringan mati yang menciptakan kondisi anaerob. Pembersihan luka harus dilakukan segera setelah pemberian anti tetanus serum dan antibiotik. 2,5 Pada tahap awal, perlu dilakukan pemasangan infus untuk pemberian cairan intravena sekaligus obat-obatan. Jika dalam 3 hari infus belum dapat dilepas, maka
4

perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi parenteral. Saluran napas juga perlu dijaga agar tetap bebas. Tambahan O2 juga perlu diberikan untuk menjaga perfusi ke jaringan. 1 Golongan benzodiazepine merupakan obat paling efektif yang menjadi pilihan utama pada spasme otot karena bekerja dengan meningkatkan fungsi inhibisi GABA. Diazepam merupakan obat pilihan karena efektif mengatasi kejang, menurunkan anxietas, memberikan efek sedasi dan merelaksasi otot secara bersamaan tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai dengan gejala klinis. Untuk usia kurang dari 2 tahun, diberikan dosis 8 mg/kgBB/hari dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam peroral. Untuk bayi, diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB IVuntuk menghilangkan spasme akut diikuti infus kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari, diazepam dapat diturunkan bertahap 5-10 mmg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. 1,4 Magnesium sulfat (75 mg/kgBB dosis awal dan diikuti dosis maintenance 23 gr/hari), benzodiazepin lainnya (midazolam), klorpromazin, dantrolene, dan baclofen juga digunakan. Baclofen intratekal berefek relaksasi otot seluruh tubuh sehingga menimbulkan apnea dan harus digunakan hanya pada pusat kesehatan dengan fasilitas perawatan intensif. 2,4 Jika ditemukan dan dicurigai sumber infeksi bersal dari otitis media atau caries dentis, maka infeksi ini juga harus ditatalaksana hingga tuntas dengan konsultasi dengan dokter THT dan dokter gigi. 1 7.2. Terapi khusus 7.2.1. Antibiotik Lini pertama adalah metronidazol IV/PO dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol aktif untuk mengurangi C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua, dapat digunakan penisilin prokain 50.000100.000 IU/kgBB/hari selama 7-10 hari. Jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin, maka dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (anak > 8 tahun). 1 7.2.2. Anti serum

Toksin tetanus tidak dapat dinetralisir oleh Tetanus Imounglobulin (TIG) manusia jika telah terjadi penjalaran aksonal ke sumsum tulang belakang. TIG manusia harus diberikan sesegera mungkin untuk menetralisir racun yang berdifusi dari luka ke dalam sirkulasi sebelum toksin berikatan dengan otot yang jauh. Injeksi tunggal 500 IU TIG manusia IM cukup untuk menetralisir toksin tetanus sistemik, dengan dosis total hingga 3.000 6.000 IU. Infiltrasi TIG manusia ke dalam luka kini dianggap tidak perlu. 2,3,5 Alternatif lain adalah Anti Tetanus Serum (ATS) yang berasal dari kuda. Dosis umum dari ATS adalah 50.000-100.000 IU, dimana setengahnya diberikan secara intramuskuler dan setengahnya lagi secara intravena, tetapi dosis 10.000 IU mungkin sudah cukup. Sebelum menggunakan ATS perlu dilakukan pemeriksaan sensitivitas. 1,2 TIG manusia lebih dipilih karena waktu paruhnya yang lama (30 hari) dan hampir tidak ditemukan reaksi alergi. Pemberian TIG manusia secara intratekal untuk menetralsir toksin tetanus pada sumsum tulang belakang, tidak efektif dan tidak dianjurkan.2 7.3. Supportif Karena kejang tetanus dapat dipicu oleh rangsangan ringan, maka lingkungan yang tenang dan gelap, suara-suara yang tidak perlu harus dihidari, dan sentuhan serta manipulasi terapeutik harus dilakukan hati-hati, terjadwal dan terkoordinasi. Intubasi endotrakeal mungkin tidak diperlukan, tetapi dapat dilakukan untuk mencegah aspirasi sekret sebelum spasme laring berkembang. Intubasi endotrakeal dan suction mudah memprovokasi kejang rangsang tetanus dan kejang umum. 2 Pemantauan kardiorespirasi, suction berkala, dan pemeliharaan elektrolit, dan kebutuhan kalori mendasar juga harus diperhatikan. Perawatan mulut, kulit, kandung kemih, dan fungsi usus penting dilakukan untuk menghindari ulserasi, infeksi, dan sembelit. 2 8. Prognosis

Pemulihan tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medula spinalis sehingga terjadi relaksasi otot. Namun, karena infeksi tetanus tidak memproduksi antibodi penetral racun, imunisasi aktif dengan tetanus toksoid tetap perlu dilakukan. 2 Faktor yang paling penting yang mempengaruhi prognosis adalah kualitas perawatan pendukung. Kematian tertinggi terjadi pada usia sangat muda atau sangat tua. Prognosis baik ditandai dari masa inkubasi yang panjang, tidak adanya demam, dan kelainan lokal. Prognosis kurang baik terkait dengan jarak onset dengan munculnya trismus yang kurang dari 7 hari dan jarak trismus dan timbulnya kejang umum yang kurang dari 3 hari. Tingkat kematian yang dilaporkan pada kasus tetanus generalisata adalah 5-35%, dan untuk tetanus neonatorum berkisar dari < 10% pada perawatan intensif sampai > 75% tanpa perawatan intensif. Cephalic tetanus memiliki prognosis yang buruk karena kesulitan bernapas dan intake yang sulit. 2 9. Pencegahan Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah. Imunisasi aktif harus dimulai pada masa bayi awal dengan vaksin gabungan toksoid difteri pertusis-tetanus toksoidaselular (DTaP) pada usia 2, 4, dan 6 bulan dan booster pada usia 4-6 tahun dan interval 10 tahun sesudahnya. Imunisasi toksoid tetanus pada wanita mencegah tetanus neonatorum, sesuai yang disarankan WHO dengan 2 dosis toksoid tetanus. 2 Untuk anak usia lebih dari 7 tahun yang belum diimunisasi, imunisasi primer terdiri dari 3 dosis toksoid yang diberikan secara intramuskular, dengan jarak pemberian kedua 4-6 minggu setelah pemberian pertama dan pemberian ketiga 6-12 bulan setelah pemberian kedua. Reaksi Arthus (reaksi hipersensitivitas tipe III), berupa vaskulitis ditempat deposisi kompleks imun dan komplemen, dilaporkan jarang terjadi pada vaksinasi tetanus. 2 Manajemen Luka Langkah-langkah pencegahan tetanus setelah trauma terdiri dari induksi kekebalan secara aktif terhadap toksin tetanus dan secara pasif memberikan antibodi profilaks tetanus. Tetanus toksoid harus selalu diberikan setelah gigitan anjing atau gigitan binatang lain, meskipun C. tetani jarang ditemukan di flora mulut anjing. Dalam setiap situasi (misalnya, pasien dengan riwayat imunisasi tidak diketahui atau tidak lengkap, luka tusuk, luka yang terkontaminasi oleh air liur, tanah, atau feses, cedera
7

avulsi, patah tulang), TIG 250 IU harus diberikan secara intramuskular, dengan pemberian 500 IU untuk luka tetanus berbahaya, yaitu pada kasus yang tidak dilakukan debridement, luka dengan kontaminasi bakteri, atau luka yang lebih dari 24 jam. Jika TIG tidak tersedia, maka 3.000-5.000 IU ATS dapat diberikan intra muskuler setelah uji sensitivitas. 2,5

LAPORAN KASUS

IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Ayah / Ibu :MHE : 5 tahun 4 bulan : Laki-laki : Tn. M / Ny. R

ANAMNESIS Seorang anak laki-laki berumur 5 4/12 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 21/6/2012 dengan : Keluhan utama : Kejang sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Telapak kaki kiri tertusuk kaca 10 hari SMRS saat anak bermain di pantai. Luka

ukuran 3 x 1 x 2 cm, dijahit di praktek bidan dan diberi obat Ciprofloksasin 2x1 tab, Asam Mefenamat 3x1 tab, Dexamethasone 3x1 tab dan Vitamin C 3x1 tab. Anak tidak diberi suntikan anti tetanus.
Kejang sejak 2 hari SMRS, frekuensi 6-8 kali/hari, lama + 30 detik, anak sadar saat

kejang. Saat kejang, tubuh anak kaku dan punggung melengkung. Kejang terutama bila dipegang. Kejang spontan tidak ada.
Mulut tidak bisa membuka sejak 2 hari SMRS. Masih bisa makan nasi dan prekedel

yang dilumatkan sebanyak + 1-2 suap tiap 1-2 jam. Demam tidak ada. Sesak nafas tidak ada. Muntah tidak ada. Batuk pilek tidak ada.
Tidak ada riwayat digigit anjing, kucing atau binatang liar sebelumnya.

Gigi geraham kanan bawah berlubang, tapi anak tidak pernah mengeluhkan sakit gigi. Riwayat telinga berair tidak ada. Riwayat terbentur pada kepala tidak ada
Buang air kecil, jumlah dan warna biasa.

Buang air besar, konsistensi dan warna biasa.


Anak sudah dibawa berobat ke klinik di Indarung dan diberi suntikan anti kejang

dan dibolehkan pulang dengan diberi obat makan (nama obat lupa), karena tidak ada perbaikan, anak dibawa ke RS Bhayangkara Jati diberi obat makan (nama obat lupa) dan dianjurkan untuk dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil, namun pasien menolak karena alasan biaya. Satu hari kemudian, karena masih tetap kejang, anak dibawa ke RST dan diberi O2 2L/ menit dan dipasang infus RL 10 tetes/menit, kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil dengan keterangan tetanus. Di IGD RSUP Dr. M. Djamil, anak sudah di

konsulkan ke Bagian Bedah dan hasil konsul rawat luka secara terbuka dan debridement. Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam sebelumnya.

Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita kejang dengan atau tanpa

demam. Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Ekonomi : Anak adalah anak kedua dari dua bersaudara. Lahir spontan, ditolong bidan, BBL 3500 gram, PBL lupa, langsung menangis kuat.
Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap. Hanya mendapat BCG 1 kali (scar +) dan

Polio 1 kali. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal. Higiene dan sanitasi kurang baik.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Nafas Suhu Kulit KGB Kepala Rambut Mata : sakit berat : sadar : 100/60 : 101x/menit : 41x/ menit : 37,3 oC : teraba hangat : tidak ada pembesaran KGB : normocephal, simetris : hitam, tidak mudah dicabut : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil ukuran 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
10

Tinggi Badan Berat Badan BB/U TB/ U BB/TB Kesan

: 108 cm : 17 kg : 91,89 % : 99,08 % : 91,89 % : gizi baik

Telinga: tidak ditemukan kelainan Hidung: tidak ditemukan kelainan Tenggorokan : tonsil dan faring sukar diperiksa Mulut Leher Thoraks Pulmo : Inspeksi : normochest, simetris saat statis dan dinamis Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan Perkusi : tidak dilakukan Auskultasi : vesikuler di kedua lapangan paru, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada Jantung : Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V Perkusi : tidak dilakukan Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada Abdomen : Inspeksi : distensi tidak ada Palpasi : tegang, hepar dan lien sukar dinilai Perkusi : tidak dilakukan Auskultasi : bising usus (+) normal Punggung Genitalia Ekstremitas : opistotonus (+), + 2 cm : tidak ditemukan kelainan; status pubertas A1P1G1 : akral hangat, perfusi baik. Refleks fisiologis dan patologis tidak diperiksa. regio plantar pedis sinistra : tampak luka bekas dijahit sepanjang 3 cm, hiperemis ada. : trismus (+) 1 cm; mukosa mulut dan bibir basah. : kuduk kaku ada, JVP sukar dinilai.

11

LABORATORIUM Darah : Hb Leukosit Hitung jenis Urin Makroskopik Warna Protein Reduksi Bilirubin Urobilin Feses Makroskopik Warna Konsistensi Darah Lendir Sisa makanan : kuning jernih : lunak : tidak ada : tidak ada : tidak ada Mikroskopik Leukosit Eritrosit Amuba Telur cacing Parasit lain : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : kuning jernih : negatif : negatif : negatif : positif Mikroskopik Leukosit Eritrosit Epitel gepeng Kristal Silinder : tidak ada : tidak ada : 1-2 /LPB : tidak ada : tidak ada : 12,8 gr% : 13.800/mm3 : 0/0/0/80/18/2

DIAGNOSIS KERJA Tetanus DIAGNOSIS BANDING Gangguan elektrolit

TATALAKSANA

O2 2L/ menit IVFD KaEN 1 B 4 tetes/menit (makro) Makanan cair 8 x 125 cc/NGT
12

Metronidazol 250 mg IV, dilanjutkan 4 x 150 mg IV ATS 20.000 IU IM

Diazepam 6 x 1,7 mg IV

RENCANA PEMERIKSAAN

Elektrolit darah

FOLLOW UP (22 Mei 2012). Rawatan hari ke-2 S/ Demam ada, tidak tinggi Kejang ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk. Kejang rangsang masih ada. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada BAK ada, BAB belum ada O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 104 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 38 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus (+) 1 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : tegang, BU (+) N Punggung : opistotonus (+) 2 cm Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering. Kesan/ Masih kejang rangsang Febris Terapi : O2 2 L/menit (nasal) ATS 20.000 IU IM

13

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit MC 8 x 125cc / NGT Metronidazol 4 X 150 mg

Diazepam 6 x 3,4 mg Paracetamol 200 mg (T > 38,5oC)

FOLLOW UP (23 - 24 Mei 2012). Rawatan hari ke-3 dan 4 S/ Demam masih ada Kejang ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk. Kejang rangsang masih ada. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada BAK ada, BAB belum ada O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 106 x/i; Nafas 27 x/i; Suhu 37,8 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus (+) 1 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : tegang, BU (+) N Punggung : opistotonus (+) 2 cm Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering. Kesan/ Masih kejang rangsang Febris Terapi : O2 2 L/menit (nasal) IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit MC 8 x 125cc / NGT Metronidazol 4 x 150 mg IV Diazepam 8 x 3,4 mg IV Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

14

FOLLOW UP (25 - 26 Mei 2012). Rawatan hari ke-5 dan 6 S/ Demam masih ada Kejang rangsang masih ada, frekuensi 6-7 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada BAK jumlah dan warna biasa O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 106 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37,8 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus (+) 1,5 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering. Kesan/ Masih kejang rangsang, bertambah. Febris Terapi : O2 2 L/menit (nasal) IVFD KaEN 1B 6 tetes / menit MC 8 x 75cc / NGT Metronidazol 4 x 150 mg IV Diazepam 8 x 5 mg IV Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

FOLLOW UP (27 28 Mei 2012). Rawatan hari ke-7 dan 8 S/ Demam masih ada Kejang rangsang masih ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada Bekas infus bengkak di tangan kiri
15

BAK jumlah dan warna biasa O/ Sakit sedang; Sadar; TD 90/60 mmHg; Nadi 98 x/i; Nafas 26 x/i; Suhu 37,7 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus (+) 2 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Punggung : laserasi (+) Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. tangan kiri, flebitis (+) Kesan/ Masih kejang rangsang Febris Flebitis manus sinistra Terapi : O2 2 L/menit (nasal) IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit MC 8 x 100 cc / NGT Metronidazol 4 x 150 mg IV Amoxicillin 3x500 mg IV Diazepam 8 x 5 mg Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC) Fusilex cream

FOLLOW UP (29 30 Mei 2012). Rawatan hari ke-9 dan 10 S/ Demam masih ada Kejang rangsang masih ada, frekuensi 2 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada Terdapat luka lecet di punggung dan panggul BAK jumlah dan warna biasa
16

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 96 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37,6 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus (+) 2,5 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Punggung : laserasi (+) Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Kesan/ Masih kejang rangsang Febris Decubitus Terapi : O2 2 L/menit (nasal) IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit MC 8 x 100 cc / NGT Metronidazol 4 x 150 mg IV Amoxicillin 3x500 mg IV Diazepam 6 x 4,5 mg IV Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC) Fusilex cream

FOLLOW UP (1 3 Mei 2012). Rawatan hari ke-11 sampai 13 S/ Demam masih ada Kejang rangsang tidak ada. Kejang spontan tidak ada. Intake masuk perNGT Muntah tidak ada Kedua kaki masih kaku BAK jumlah dan warna biasa O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 102 x/i; Nafas 28 x/i; Suhu 38,6 oC Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
17

Mulut Thoraks

: trismus (+) 3 cm : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Kesan/ Febris Terapi : O2 1 L/menit (nasal) IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit MC 8 x 100 cc / NGT Metronidazol di stop Amoxicillin 3x500 mg IV Diazepam 6 x 3,5 mg Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC) Fusilex cream

FOLLOW UP (4 6 Mei 2012). Rawatan hari ke-14 sampai 16 S/ Demam tidak ada Kejang tidak ada. Kejang spontan tidak ada. Muntah tidak ada Intake masuk per oral Kedua kaki masih kaku BAK jumlah dan warna biasa O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 82 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 36,9 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus tidak ada : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

18

Kesan/ Hemodinamik stabil Terapi : ML 500 kkal Diazepam 6 x 3,5 mg diturunkan 6 x 2,5 mg po MC 6 x 150 cc / NGT Fusilex cream

FOLLOW UP (7 11 Mei 2012). Rawatan hari ke-17 sampai 21 S/ Demam tidak ada Kejang tidak ada Muntah tidak ada Intake masuk per oral Kaki kiri masih kaku, anak bisa berdiri dengan bantuan tapi belum bisa berdiri sendiri. BAK jumlah dan warna biasa O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 92 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37 oC Mata Mulut Thoraks : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : trismus tidak ada : cor : irama teratur, bising tidak ada pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Kesan/ Hemodinamik stabil Terapi : ML 1400 kkal Fusilex cream Diazepam 6 x 2,2 mg, diturunkan 3 x 2,2 mg

19

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang anak laki-laki umur 5 tahun 4 bulan, dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 25 hari dengan keluhan kejang sejak 2 hari SMRS. Dari anamnesa diketahui kaki anak luka karena terinjak pecahan kaca di pantai 10 hari SMRS dan tidak diberi suntikan anti tetanus.setelah 8 hari anak mengalami kejang terutama bila disentuh tanpa adanya penurunan kesadaran. Kejang bersifat spastik dan disertai punggung melengkung serta mulut kaku tidak dapat membuka. Dari pemeriksaan fisik, ditemukan trismus 1 cm, opistotonus 2 cm dan luka pada plantar pedis sinistra panjang 3 cm dan telah dijahit. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini anak didiagnosa kerja dengan tetanus. Selain tetanus, kejang spastic dapat ditemukan pada tetani (hipokalsemia), keracunan strihnin abses peritonsilar dan rabies. Pada hipokalsemia, tidak ditemukan trismus dengan riwayat intake yang kurang. Pada keracunan strihnin, terdapat riwayat minum tonikum berlebihan, tidak ditemukan adanya strismus dan diantara kejang, terdapat relaksasi umum otot. Pada abses peritonsilar, ditemukan spasme otot wajah, namun cenderung asimetris dan unilateral. Pada rabies, terdapat riwayat gigitan binatang dan ditemukan gejala hidrofobia, aerofobia, dan fotofobia.
20

Pada anak dipasang infus untuk mencukupi kebutuhan cairan dan sebagai jalan masuk obat-obatan intravena. Infus yang dipilih adalah KaEN 1B untuk mencukupi kebutuhan nutrisi secara parenteral, diberikan 4 tetes/menit (makro) ditambah makanan cair 8 x 125 cc/NGT sebagai nutrisi enteral untuk mencegah atrofi fili usus. Anti kejang yang dipilih adalah diazepam karena efektif mengatasi kejang, menurunkan anxietas, memberikan efek sedasi dan merelaksasi otot secara bersamaan tanpa menekan pusat kortikal. Untuk mencegah penyebaran toksin lebih lanjut, diberikan ATS 20.000 IU IM selama 2 hari dan eradikasi kuman Clostridium tetani dipilih metronidazole karena efektif terhadap kuman anaerob dan belum ditemukan resistensi terhadap Clostridium tetani. Kepada pasien diberikan edukasi tentang kondisi penyakit anak sekarang dan pentingnya kontrol penyakit dan pengobatan secara teratur ke pusat kesehatan hingga anak dinyatakan sembuh. Selama proses penyembuhan, ibu diajarkan cara melatih pergerakan persendian anak hingga sendi kembali lemas seperti biasa, kemudian anak dilatih untuk berdiri dan berjalan agar fungsi motorik dapat kembali lebih cepat dan mencegah komplikasi kontraktur. Juga diberikan edukasi tentang penggunaan alas kaki terutama saat berada diluar rumah, penangan luka secara steril dan pemberian anti tetanus serum jika terjadi luka kotor dan dalam. Setelah kondisi membaik, ibu disarankan untuk membawa anak ke pusat kesehatan untuk mendapat imunisasi DT.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo PS, Garna H, Hadinegoro SR, dkk. Buku ajar infeksi & pediatri tropis.

Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 322-9.


2. Kliegman R, Behrman R, Jenson HB, et al. Nelson textbook of pediatrics 18th ed.

Elsevier Saunders 2007;16.


3. Tetanus. Diakses dari www.emedicine.medscape.com/article/786414; tanggal 12

Juni 2012.
4. Tetanus. Diakses dari www.emedicine.medscape.com/article/229594; tanggal 12

Juni 2012.
5. Tetanus vaccine. Diakses dari www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/

tetanus.pdf 2008; tanggal 12 Juni 2012.

22

Vous aimerez peut-être aussi