Vous êtes sur la page 1sur 62

Abortion in Indonesia.

Sedgh G, Ball H.

Abstract
Each year in Indonesia, millions of women become pregnant unintentionally, and many choose to end their pregnancies, despite the fact that abortion is generally illegal. Like their counterparts in many developing countries where abortion is stigmatized and highly restricted, Indonesian women often seek clandestine procedures performed by untrained providers, and resort to methods that include ingesting unsafe substances and undergoing harmful abortive massage. Though reliable evidence does not exist, researchers estimate that about two million induced abortions occur each year in the country and that deaths from unsafe abortion represent 14-16% of all maternal deaths in Southeast Asia. Preventing unsafe abortion is imperative if Indonesia is to achieve the fifth Millennium Development Goal of improving maternal health and reducing maternal mortality. Current Indonesian abortion law is based on a national health bill passed in 1992. Though the language on abortion was vague, it is generally accepted that the law allows abortion only if the woman provides confirmation from a doctor that her pregnancy is lifethreatening, a letter of consent from her husband or a family member, a positive pregnancy test result and a statement guaranteeing that she will practice contraception afterwards. This report presents what is currently known about abortion in Indonesia. The findings are derived primarily from small-scale, urban, clinic-based studies of women's experiences with abortion. Some studies included women in rural areas and those who sought abortions outside of clinics, but none were nationally representative. Although these studies do not give a full picture of who is obtaining abortions in Indonesia or what their experiences are, the evidence suggests that abortion is a common occurrence in the country and that the conditions under which abortion takes place are often unsafe. PMID: 19035004 [PubMed - indexed for MEDLINE]

Aborsi di Indonesia
Oleh redaksi pada Jum, 12/21/2007 - 10:57.

Artikel

Pengertian aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu. Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dimana aborsi terjadi secara alami, tanpa intervensi tindakan medis, dan aborsi yang direncanakan dimana melalui tindakan medis dengan obat-obatan saja

(jamu, dsb) atau tindakan bedah, atau tindakan lain yang menyebabkan pendarahan lewat vagina. Penghentian kehamilan pada usia dimana janin sudah mampu hidup mandiri di luar rahim ibu (lebih dari 21 minggu usia kehamilan), bukan lagi tindakan aborsi tetapi pembunuhan janin atau infantisida. Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat.Indonesia, namun terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan, 2000). Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi seperti Indonesia, banyak perempuan terpaksa mencari pelayanan aborsi tidak aman karena tidak tersedianya pelayanan aborsi aman atau biaya yang ditawarkan terlalu mahal. Pada remaja perempuan kendala terbesar adalah rasa takut dan tidak tahu harus mencari konseling. Hal ini menyebabkan penundaan remaja mencari pertolongan pelayanan aman, dan sering kali terperangkap di praktek aborsi tidak aman. Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau kedua-duanya (Definisi WHO). Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998a; AGI, 1999) WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap Angka kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10 % (Wijono, 2000) Tidak sedikit masyarakat yang menentang aborsi beranggapan bahwa aborsi sering dilakukan oleh perempuan yang tidak menikah karena alasan hamil di luar nikah atau alasan-alasan lain yang berhubungan dengan norma khususnya norma agama. Namun kenyataannya, sebuah studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes 1988) Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan di atas, namun karena adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan praktek aborsi tidak aman meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001). Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu,

1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2. 3.
yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).

Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap menimbulkan kerugian, karena aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion). UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum. Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah. dan akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih Oleh karena itu, hingga kini AKI Indonesia (390 per 100.000 kelahiran. tahun 2000) masih menduduki urutan teratas di Asia Tenggara, walaupun kontribusi aborsi sering tidak dilihat sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap merupakan suatu wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik hukum maupun agama yang mungkin tidak akan habis jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman khususnya yang tegas dan jelas. Sebaiknya jika aborsi bisa dilakukan, ada persayaratan yang mungkin dapat dibuat peraturannya oleh pemerintah, seperti Aborsi sebaiknya dilakukan di RS atau klinik yang memenuhi persyaratan dan mendapatkan izin Batas umur kehamilan trismester pertama sampai kehamilan 23 minggu Perempuan yang berniat melakukan aborsi perlu mendapatkan konseling agar dapat memutuskan sendiri untuk diaborsi atau tidak dan konseling pasca aborsi guna menghindari aborsi berulang Perempuan di bawah usia kawin harus didampingi orangtuanya dalam membuat keputusan aborsi Undang-undang sebaiknya mengizinkan aborsi atas indikasi kesehatan, yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan, dengan batas waktu dua tahun sekali Pelayanan aborsi oleh klinik yang ditunjuk pemerintah, dan dikenakan biaya relatif murah

( disusun oleh Ozzy )

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
1/29/2012 skipsi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh Pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku mapun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi

menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa. Aborsi telah dikenal sejak lama, Aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode termasuk natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Jaman Kontemporer memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda di seluruh negara. Di banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalahmasalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali melibatkan gerakan menentang aborsi prokehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia. Membahas persoalan aborsi sudah bukan

merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun dilakukan secara ilegal. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan aborsi provokatus medikalis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortusi provokatus criminalis. Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia atau (abortuis provokatus) maupun karena sebab-sebab

alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (aborsi spontanus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (aborsi provokatus therapeutics atau bisa disebut aborsi therapeuticus). Di samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortusprovokatus criminalis atau disebut aborsi criminalis). Penguguran kandungan itu sendiri ada 3 macam : 1. ME (menstrual Extraction) : Dilakukan 6 minggu dari menstruasi terakhir dengan penyedotan. Tindakan pengguguran kandungan ini sangat sederhana dan secara psikologis juga tidak terlalu berat karena masih dalam gumpalan darah. 2. Diatas 12 minggu, masih dianggap normal

dan termasuk tindakan pengguguran kandungan yang sederhana. 3. Aborsi (pengguguran Kandungan) diatas 18 minggu, tidak dilakukan di klinik tetapi di rumah sakit. Masalah pengguguran kandungan (aborsi) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya denagn nilai-nilai serta normanorma agama yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait dengan Hukum pidana positif di Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan tersebut terdapat pada Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut, abortus criminalis meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut : 1. Menggugurkan kandungan (Afdrijing van de vrucht atau vrucht afdrijiving) 2. Membunuh kandungan (de dood van de vrucht veroorken atau vrucht doden) Dalam pelaksanaan aborsi, banyak cara yang

digunakan baik itu yang sesuai dengan protokol medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun pihak-pihak yang sebenarnya tidak ahli dalam melakukannya yang mencari keuntungan semata. Padahal seharusnya, aborsi hanya boleh dilakukan untuk tindakan medis dengan maksud menyelamatkan nyawa ibu, contohnya keracunan kehamilan atau pre-eklampsia. Tiap tahunnya, berjuta-juta perempuan Indonesia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian darinya memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan aborsi walaupun telah dengan tegas dalam undang-undang bahwa aborsi adalah tindakan legal kecuali karena adanya indikasi kedaruratan medis. Pada saat ini banyak tenaga medis yang terlibat secara langsung dalam tidakan aborsi. Ada yang terlibat dengan perasaan ragu-ragu dan tetap membatasi pada kasus-kasus sulit yang menyudutkan mereka untuk mendukung

pengguguran, namum ada pula yang melakukanya tanpa perasaan bersalah. Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari tugasnya untuk membela kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu perlu dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang bukan pengguguran langsung. Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan indikasi sosial-ekonomi. Kesulitan sosial-ekonomi semestinya diperhatikan secara sosial-ekonomi, bukan dengan pengguguran secara langsung. Selama puluhan tahun aborsi, telah menjadi permasalahan bagi perempuan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik itu moral, hukum, politik, dan agama. Kemungkinan terbesar timbulnya permasalahan tersebut berakar dari konflik keyakinan bahwa fetus memiliki hak untuk hidup dan para perempuan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini melakukan pengguguran kandungan.

Perkembangan konflik yang tidak kunjung mendapatkan titik temu mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai pilihan untuk menentukan sikap atas tubuhnya dalam hal ini aborsi. Mencuatnya permasalahan aborsi di Indonesia, agaknya perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang memberikan alternatif solusi yang tepat. Pertentangan moral dan agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan dan tetap merupakan masalah besar yang masih, mengancam. Adanya pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan dengan secara agama dan hukum membuat aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung

kontoroversi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia, masih ada perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak asasi manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak. Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Dimana dalam ketentuan UU kesehatan memuat tentang aborsi yang dilakukan atas indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sehinga sulit hidup diluar kandungan. Sebelum terjadinya revisi undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan.

Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namum dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak menbahayakan nyawa sang ibu dan dalam Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas didalam pasalnya. Dengan keluarnya revisi undangundang kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termut dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adapun Ketentuan yang berkaitan degan soal aborsi dan penyebabnya dapat dilihat pada KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349 yang memuat jelas larangan dilakukannya aborsi sedangkan

dalam ketentuan Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur ketentuan aborsi dalam Pasal 76,77,78. Terdapat perbedaan antara KUHP dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi atas indikasi kedaruratan medis maupun karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, misalnya kondisi kehamilan maksimal 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu berdasarkan Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009, tindakan medis (aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.

Hal tersebut menunjukan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Namun keadaan ini bertentangan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia Pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Dalam hal ini dapat dilihat masih banyak perdebatan mengenai legal atau tidaknya aborsi dimata hukum dan masyarakat. Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat bahwa masih terdapat banyak pertentangan mengenai permasalahan aborsi ini, hal ini dapat dilihat dari adanya pihak-pihak yang mendukung dilakukanya legalisasi aborsi karena berkaitan dengan kebebasan wanita terhadap tubuhnya dan hak reproduksinya dan dilain pihak ada pandangan yang kontra terhadap aborsi kareana setiap janin dalam kandungan mempunyai hak untuk hidup dan tumbuh sebagi manusia nantinya. Selain itu dari uraian diatas terdapat suatu celah yang sebenarnya melegalkan aborsi hal ini dapat

dilihat dari berlakunya hukum positif yang memuat dapat dilakukannya aborsi berdasarkan ketentuan, terutama yang termuat dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Untuk itu penulis akan mengangkat permasalahan bagaimana tinjauan aborsi bila dikaitkan dengan Undang-undang kesehatan. Yang berjudul "Tinjauan Yuridis Tentang Aborsi ditinjau Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan". B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut 1. Bagaimanakah tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup ? 2. Bagaimanakah tinjauan yuridis aborsi berdasarkan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan ?

3. Bagaimanakah pendapat umum masyarakat tentang aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan legalisasi terhadap aborsi ? C . Tujuan dan Manfaat penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana tinjaun tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup dan dilindungi. 2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan tentang aborsi provokatus medicalis dan aborsi provokatus criminalis ditinjau dari undang-undang kesehatan dan bagaimana tinjauan tentang legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan dan pandangan agama. 3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi.

Manfaat yang dapat diperoleh dan diketahui dari penulisan skiripsi ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Pembahasan terhadap masalah yang akan dibahas dalam skiripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan masyarakat tentang aborsi dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia. 2. Manfaat praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk : a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan kebijakan dan langkahlangkah bagaimana pandangan masyarakat tentang aborsi untuk memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi. b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap pelarangan tindakan aborsi kriminalis kecuali aborsi criminalis yang

dilakukan oleh korban perkosaan. c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama di bidang hukum pidana. D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skiripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skiripsi ini. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca unutk memahami dan mengerti isi dari skiripsi ini. Keseluruhan skipsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalaahn, tujuan dan manfaat penulisan, tinjaun kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : ABORSI DITINJAU DARI HAK

ASASI MANUSIA DAN HAK JANIN UNTUK HIDUP Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia terutama hak wanita atas tubuhnya dan hak reproduksi wanita dan juga bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak janin untuk hidup. BAB III : TINJAUAN YURIDIS ABORSI BERDASARKAN UNDANG UNDANG KESEHATAN No. 36 TAHUN 2009 DAN LEGALISASI ABORSI TERHADAP KORBAN PERKOSAAN Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan. BAB IV : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KORBAN PERKOSAAN Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan

bagaimana pandangan masyarakat terhadap legalisasi aborsi di Indonesia. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan. WACANA HAK ASASI MANUSIA DALAM PERDEBATAN ABORSI
Posted on June 27, 2011 by ITA MUSARROFA Pengantar Setelah problem pornografi dan pornoaksi, barangkali masalah aborsi menunggu giliran kontroversi berikutnya. Persoalan aborsi yang dilarang dalam Undang-undang Kesehatan No. 23/1992, menurut sebagian kalangan ternyata menyimpan fungsi-fungsi laten yang justru membahayakan bagi hak hidup perempuan dan janin. Pelarangan aborsi yang pada awalnya dimaksudkan melindungi hak hidup janin ternyata menyebabkan terjadinya unsafe abortion (aborsi tidak aman) yang beresiko besar pada kematian ibu dan tentunya janin sekaligus. Adanya realitas kehamilan tidak diinginkan, menurut mereka, barangkali tak terlalu dipertimbangkan oleh undang-undang ini, sehingga muncullah fungsi laten berupa unsafe abortion yang justru mengancam nyawa ibu dan janin sekaligus. Aborsi bukan persoalan baru, ia persoalan lama yang selalu menuai kontroversi. Salah satu kontroversi mengenai aborsi adalah dikedepankannya wacana Hak Asasi Manusia sebagai alasan pro maupun kontra aborsi. Bagi yang pro-aborsi berpandangan bahwa perempuan mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Ia berhak untuk menentukan sendiri mau hamil atau tidak, mau meneruskan kehamilannya atau menghentikannya. Bagi yang kontra aborsi, wacana hak ini dikaitkan dengan janin. Bagi mereka aborsi adalah pembunuhan kejam terhadap janin. Padahal ia juga manusia yang punya hak hidup. Namun akhir-akhir ini, wacana mengenai hak ibu semakin menguat bersamaan dengan isu-isu kesehatan reproduksi. Dikatakan pula bahwa pelayanan aborsi yang aman adalah hak atas kesehatan reproduksi. Di Amerika, perdebatan mengenai hal ini terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-life yang melarang aborsi demi kehidupan janin dan pro-choice yang cenderung menyerahkan pada pilihan perempuan, antara menggugurkan dan meneruskan kehamilan.[1] Polarisasi yang sama

juga terjadi di Indonesia. Meskipun tidak seekstrim pertentangan antar kubu seperti di Amerika, wacana tentang hak sangatlah kuat. Hal itu terjadi karena undang-undang yang mengatur aborsi menimbulkan efek-efek yang dilematis. Karena itulah, muncul inisiatif untuk mengamandemen UU No. 23/1992 dengan RUU kesehatan tahun 2005. Usulan amandemen ini tentu saja menimbulkan kemarahan pihak-pihak yang anti aborsi. Oleh karena itu makalah ini bermaksud melihat bagaimana wacana Hak Asasi Manusia itu dikedepankan dalam perdebatan mengenai aborsi serta bagaimana persoalan-persoalan lain menyertai persoalan legalisasi aborsi, sehingga dengan begitu, problem yang sebenarnya dapat diidentifikasi dan dapat ditarik satu solusi yang tidak hitam-putih, mungkin solusi yang dapat dikatakan lebih kompromis. Apa itu aborsi dan bagaimana prosesnya? Aborsi atau menggugurkan kandungan, dalam istilah kedokterannya dikenal dengan abortus yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Aborsi merupakan proses mengakhiri hidup janin sebelum diberi kesempatan untuk tumbuh. Dalam dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi, yaitu aborsi spontan (alamiah), aborsi buatan (sengaja) dan aborsi terapeutik (medis). Aborsi spontan (alamiah) berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Sedangkan aborsi buatan (sengaja) adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan sengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan, atau dukun beranak). Aborsi Terapeutik (medis) adalah aborsi buatan yang dilakukan atas indikasi medis.[2] Dalam prosesnya, tindakan aborsi ada yang dilakukan sendiri, ada pula yang menggunakan bantuan orang lain. Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.[3] Sedangkan bila dengan bantuan orang lain, aborsi dapat dilakukan dengan bantuan dokter, bidan atau dukun beranak. Bila menggunakan bantuan dokter, cara yang ditempuh berbeda-beda sesuai usia janin. Pada kehamilan muda (di bawah 1 bulan), aborsi dilakukan dengan menggunakan alat penghisap (suction), janin yang masih lembut langsung terhisap dan hancur berantakan. Pada kehamilan lebih lanjut (1-3 bulan), bagian tubuh janin sudah mulai terbentuk, aborsi dilakukan dengan cara menusuk anak tersebut kemudian bagian-bagian tubuhnya dipotong-potong menggunakan tang khusus aborsi (Cunam Abortus). Pada kehamilan 3-6 bulan, bayi sudah semakin besar dan bagian-bagian tubuhnya sudah terlihat jelas, jantungnya sudah berdetak dan tangannya sudah bisa menggenggam, tubuhnya pun sudah bisa merasakan sakit karena jaringan syarafnya sudah terbentuk dengan baik. Pada tahap ini, aborsi dilakukan dengan terlebih dahulu membunuh bayi sebelum dikeluarkan. Bayi dibunuh dengan menyuntikkan cairan tertentu yang dimasukkan ke dalam ketuban bayi. Cairan ini kemudian membakar kulit bayi secara perlahan-lahan, menyesakkan nafasnya, beberapa jambahkan sampai 1 hari, bayi itupun meninggal. Sedangkan pada kehamilan 6-9 bulan, bayi sudah sangat jelas bentuknya, wajahnya, mata,

hidung, bibir, telinganya sudah terlihat, otaknya juga sudah berfungsi baik. Pada kasus seperti ini, aborsi dilakukan dengan cara mengeluarkan bayi tersebut hidup-hidup lalu dibunuh dengan ditenggelamkan dalam air atau dipukul kepalanya hingga pecah.[4] Aborsi seperti di atas dilakukan tanpa rasa sakit pada perempuan, seperti peristiwa biasa, mereka tak lama dapat pulang. Meskipun demikian, aborsi yang dilakukan pihak medis sekalipun, tetap menyimpan resiko yang tidak ringan seperti resiko kesehatan dan keselamatan fisik dan resiko gangguan psikologis. Perempuan yang melakukan aborsi, menurut Brian Clowes sebagaimana dikutip oleh http://www.aborsi.org, menghadapi resiko kematian mendadak karena pendarahan hebat, kematian karena pembiusan yang gagal, kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan, rahim sobek (Uterine Perforation), kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang menyebabkan cacat pada anak berikutnya, kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita), kanker indung telur (Ovarian Cancer), kanker leher rahim (Cervical Cancer), kanker hati (Liver Cancer), kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya, menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy), Infeksi rongga pinggul (Pelvic Inflammatory Disease), Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).[5] Selain resiko fisik di atas, ancaman gangguan psikologis juga akan membayang-bayangi kehidupan perempuan pasca aborsi. Dalam dunia psikologi, gangguan ini disebut Pasca Abortion Syndrom (sindrom paska aborsi). Menurut Dr. Stephen Edmonson, gejala ini dimulai dengan depresi disertai dengan rasa gelisah dan marah-marah. Terkadang dihantui rasa bersalah dan penyesalan serta mimpi-mimpi buruk tentang bayi dan klinik aborsi. Dalam kondisi seperti ini perempuan tidak dapat menikmati hidupnya bahkan mungkin terjadi rusaknya hubungan perkawinan atau hubungan dengan kekasihnya, menarik diri dari hubungan intim dan hilangnya gairah hubungan intim. Mungkin juga kesulitan konsentrasi, inefisiensi kerja dan pikiran yang buntu.[6] Gangguan psikologis seperti ini muncul lama setelah aborsi dilakukan. Hal ini terjadi, menurut Dr. Edmonson karena setelah aborsi, wanita melupakan peristiwa tersebut dan menjadikannya sebagai rahasia pribadi. Untuk sementara waktu wanita dapat menyangkal perasaan tertekannya, tetapi semakin pandai seorang wanita menekan perasaannya, menurut Dr. Edmonsons, semakin lama PAS mengganggu jiwanya dan semakin tertekan ia.[7] Realitas Aborsi di Indonesia Dalam menyikapi masalah aborsi, Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelagalan aborsi. Dalam hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin dikategorikan sebagai kejahatan yang dikenal dengan istilah Abortus Provocatus Criminalis. Dalam KUHP misalnya, larangan aborsi ditegaskan dengan ancaman pidana bagi ibu yang melakukan aborsi, dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi serta orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi.[8] Sementara itu, dalam Undangundang Kesehatan No. 23/1992 pasal 15 (1), ditegaskan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Namun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud tindakan medis tertentu. Sementara dalam penjelasannya dinyatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma

hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Dari sini terlihat bahwa undangundang ini masih memberi pengertian yang membingungkan soal aborsi. Tidak ada penjelasan tegas bahwa yang dimaksud tindakan medis tertentu itu adalah aborsi. Dari kedua Undangundang ini dapat disimpulkan bahwa aborsi tak berpeluang diperbolehkan sedikitpun dalam hukum Indonesia. Terlepas dari pelarangan aborsi dalam undang-undang, khalayak dikejutkan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia yang menempati rangking pertama di antara negaranegara ASEAN yaitu mencapai 373 per seratus ribu kelahiran hidup (Survey Kesehatan Rumah Tangga 2005). Dan saat ini mencapai angka 375 per seratus ribu kelahiran hidup. Inipun angka nasional, jika dirunut lebih lanjut di beberapa wilayah seperti Irian Jaya dan Lombok, angka kematian ibu diperkirakan 800-1000 lebih per seratus ribu kelahiran hidup.[9] Dari sekian angka kematian ibu, WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan abortus. Bila angka kematian ibu mencapai 373 per seratus ribu kelahiran hidup berarti setiap seratus ribu kelahiran hidup sekitar 37-186 orang diantaranya mati karena aborsi dan 187 orang diantaranya mati karena berbagai sebab lain. Selain faktor aborsi, angka kematian ibu melahirkan diduga kuat juga karena kekerasan dalam rumah tangga.[10] Faktor lainnya yang disebut-sebut sebagai panyebab kematian terbesar ibu (58,1%) adalah pendarahan dan eklamsia. Fakta mengenai tindakan aborsi memang mengejutkan. Meskipun undang-undang melarang praktek aborsi dengan ancaman pidana, angka aborsi tetap saja tinggi. Menurut Dr. Azrul, angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta pertahun (Kompas, 26 Agustus 2000). Angka ini dikuatkan pula oleh Buku Fakta yang dikeluarkan UNFPA dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan terbitan tahun 2000.[11] Mengenai status perempuan yang melakukan aborsi, berdasarkan survey yang dilakukan di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bali, 89% tindakan aborsi dilakukan oleh perempuan yang telah menikah dan 11% sisanya dilakukan perempuan yang tidak menikah.[12] Di Surabaya sendiri, setiap hari rata-rata ada 100 kasus aborsi yang pelakunya 60% ibu rumah tangga dan 40% ABG (Republika, 24 Oktober 2000). Data tersebut menunjukkan adanya berbagai motif di balik tindakan aborsi, karena terbukti aborsi tidak hanya dilakukan oleh perempuan tidak menikah tetapi juga oleh perempuan dalam status istri. Alasan-alasan yang sering diutarakan adalah karena kegagalan kontrasepsi, terlalu banyak anak, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja dan ketidakmampuan secara ekonomi dan psikologis.[13] Kompleksitas alasan aborsi tersebut tak lepas dari norma-norma yang ada di masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi. KB misalnya, kebijakan pemerintah mengkampanyekan norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera mengubah pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan mempunyai anak. Norma keluarga besar kemudian berubah. Masyarakat lantas malu mempunyai anak banyak. Sayangnya mengkampanyekan norma keluarga kecil tidak diikuti dengan kualitas pelayanan KB dan penyuluhan yang benar terhadap masyarakat, sehingga berakibat pada kehamilan yang tak direncanakan. Faktor lainnya adalah perubahan gaya hidup akibat kemajuan informasi, serta pergaulan yang tak dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi dan akses memadai terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.

Selain faktor di atas, aborsi yang dilakukan remaja. Di samping karena tekanan orang tua, masyarakat dan lingkungan, menurut Herri Permana, dipicu juga oleh kebijakan yang melarang siswa-siswa yang masih duduk di bangku sekolah untuk menikah. Ketika terjadi kehamilan, maka sekolah akan mengeluarkan siswa tersebut dan melarangnya melanjutkan studi. Kebijakan ini, menurut Herri, membuat aborsi menjadi satu-satunya pilihan bagi remaja yang hamil.[14] Dengan adanya larangan aborsi dan kenyataan tingginya aborsi di masyarakat maka dapat dipastikan aborsi yang dilakukan adalah aborsi illegal dan tidak aman (unsafe abortion), karena dengan ancaman pidana tidak akan ada dokter yang mau melakukan aborsi sebab tindakan tersebut dianggap melanggar hukum yaitu pembunuhan terhadap janin. Kalaupun ada dokter yang mau membantu aborsi secara diam-diam, tarif yang dikenakan sangat mahal, barang yang dibutuhkan tapi tak tersedia secara resmi akan mengakibatkan pasar gelap sehingga tak terjangkau wanita-wanita miskin. Wanita miskinlah korban utama unsafe abortion. Cara yang ditempuh untuk menggugurkan kandungan, kemudian, dilakukan sendiri atau dengan bantuan dukun. Cara-cara tak aman inilah yang turut menyumbang tingginya AKI. Hal ini ditegaskan pula oleh Prof. Dr. Azrul Azwar, Dirjen Yanmen Departemen Kesehatan bahwa sumbangan aborsi illegal di Indonesia mencapai 50% dari angka kematian ibu.[15] Selain itu, WHO juga memperkirakan bahwa 10-50% kematian ibu diakibatkan aborsi tidak aman.[16] Dalam RUU Kesehatan tahun 2005, pasal-pasal yang menyangkut kesehatan reproduksi hanya pasal 60-63 dari 100 pasal dalam draf amandemen UU Kesehatan. Dalam kedua pasal tersebut disebutkan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.[17] Sementara pada pasal 63 disebutkan bahwa pemerintah wajib melindungi perempuan dari praktek penghentian kehamilan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab. Penghentian kehamilan harus atas persetujuan perempuan bersangkutan dan harus dilakukan oleh tenaga yang profesional dan mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku. Tetapi penghentian kehamilan dengan cara yang aman dan bertanggung jawab dilakukan atas indikasi kegawatan medis yang ditentukan tenaga kesehatan yang berwenang dan diatur dalam undangundang tersendiri.[18] Meskipun RUU ini memuat pernyataan perlindungan terhadap penghentian kehamilan yang tidak aman, sementara penghentian kehamilan yang aman hanya diperbolehkan karena indikasi kegawatan medis, belum ada aturan undang-undang yang menjelaskan seperti apakah indikasi kegawatan medis yang dimaksud. Selain itu, Nursyahbani Katjasungkana, anggota Fraksi PKB DPR, menganggap RUU ini belum beranjak dari UU kesehatan 1992, yaitu lebih banyak memuat pernyataan daripada program dan masih mengikuti pendekatan UU Kesehatan yang mewajibkan adanya peraturan pelaksanaan.[19] Wacana HAM dan Perdebatan Mengenai Aborsi Tingginya kematian ibu dan aborsi illegal menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat akan aborsi. Aborsi memang bertentangan dengan moral, dengan norma-norma kemasyarakatan, tetapi bahwa terdapat kenyataan adanya kehamilan tak diinginkan tidak bisa dipungkiri. Masalah ini juga butuh pemecahan yang mendukung dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan reproduksi perempuan. Karena itulah muncul gagasan untuk mengatur kembali masalah aborsi

melalui undang-undang. Undang-undang yang ada mengenai aborsi yaitu UU No. 23/1992 hendak diamandemen dengan RUU tahun 2005. Rencana amandemen undang-undang ini mulai disambut kontroversi. Isu pelegalan praktek aborsi membuat kalangan anti aborsi menegaskan pendirian sebaliknya. Bila kalangan yang cenderung pro-aborsi mengajukan alasan Hak Asasi Manusia kaum perempuan untuk menentukan kehamilannya, maka kalangan anti-aborsi menggunakan isu yang sama dengan menyatakan bahwa janinpun berhak untuk hidup. Berikut ini dibahas argumentasi kedua kelompok tersebut. 1). Hak Perempuan Wacana mengenai hak reproduksi menentukan momentumnya pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo tahun 1994. dalam konferensi ini, aborsi menjadi isu moral yang mengundang perdebatan panjang, tak heran jika ada komentar bahwa konferensi Kairo adalah konferensi aborsi.[20] Perdebatan sengit berpangkal pada pencantuman aborsi sebagai hak individual yang berarti setiap wanita berhak untuk memilih melanjutkan atau menghentikan kehamilannya. Dengan kata lain, aborsi dapat dilaksanakan sebagai hak dalam melakukan KB. Indonesia, dalam konferensi yang diadakan sepuluh tahun sekali tersebut, menolak aborsi sebagai metode KB, karena saat itu, Indonesia merasa sebagai salah satu negara yang berhasil dalam bidang KB tanpa aborsi. Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang dan alot disepakati teks tentang aborsi yang dikenal dengan paragraf 8.25. berikut ini isi paragraf tersebut: Aborsi tidak boleh dipromosikan sebagai salah satu metode KB, apapun alasannya. Setiap negara harus memperkuat komitmen mereka terhadap kesehatan perempuan, untuk mengatasi akibat aborsi tidak aman terhadap kesehatan sebagai masalah kesehatan masyarakat utama, dan untuk mengurangi alternatif aborsi melalui pelayanan KB yang lebih baik. Bagaimanapun juga, pencegahan terhadap kehamilan tidak diinginkan (KTD) harus selalu menjadi prioritas utama dan setiap upaya yang ditempuh harus dibuat untuk menghapuskan kebutuhan akan aborsi. Perempuan yang mengalami KTD harus memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan konseling. Segala tindakan yang berhubungan dengan aborsi dalam sistem kesehatan hanya dapat ditentukan pada tingkat nasional atau lokal berdasarkan proses legislatif nasional. Pada keadaan di mana aborsi tidak merupakan pelanggaran hukum, tindakan aborsi dapat dilakukan. Pada setiap kasus, perempuan harus memiliki akses manajemen pelayanan yang berkualitas untuk komplikasi aborsi. Konseling pasca aborsi, pendidikan dan pelayanan KB harus diberikan secara tepat, sehingga dapat mencegah aborsi berulang.[21]

Berdasarkan paragraf 8.25 tersebut dan dengan pertimbangan tingginya AKI di Indonesia serta tingginya angka aborsi tidak aman, maka undang-undang yang selama ini melarang keras aborsi diminta diamandemen. Selain itu, disebabkan juga oleh beragamnya motif aborsi yang justru 89% dilakukan oleh ibu rumah tangga dan hanya 11% dilakukan remaja belum menikah,

membuat banyak kalangan mengkampanyekan aborsi sebagai hak atas kesehatan reproduksi, hak atas pelayanan aborsi yang aman. Mengangkat hak atas kesehatan reproduksi ini, Gadis Arifia, pimpinan redaksi jurnal Perempuan dan staf pengajar jurusan Filsafat UI meminta agar persoalan aborsi dikembalikan pada perempuan. Selama ini, menurutnya, perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan selalu dimiliki oleh sesuatu di luar diri, entah itu medis, hukum, agama dan lain-lain. Memberi pilihan pada perempuan menyangkut tubuhnya menurut Gadis merupakan bentuk keadilan. Penuntutan perempuan terhadap hak reproduksi adalah refleksi dari penuntutan mereka terhadap hak untuk melakukan kontrol terhadap tubuhnya sendiri.[22] Pernyataan ini dikemukakannya setelah terlebih dahulu mengkritisi isu etika dalam perdebatan mengenai aborsi. Menurut Gadis, prinsip-prinsip etis yang ada hanyalah perspektif laki-laki yang mengatasnamakan keseluruhan. Padahal, lanjut Gadis, perempuan tak pernah dipertimbangkan dalam prinsip-prinsip etis itu. Mengutip Simone de Beauvoir, Gadis mengatakan bahwa perempuan selalu saja menjadi obyek bukan subyek. Perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom. Perempuan tidak pernah dibiarkan memilih kehidupan yang baik untuk dirinya sendiri. Karenanya, dalam persoalan aborsi, Gadis menganggap perlu memasukkan prinsip etika feminis dalam menjawab pertanyaan tentang apakah yang baik untuk perempuan?[23] Untuk mendukung argumentasinya, Gadis mengambil pendapat Judith Thomson yang menyanggah pandangan anti aborsi. Alasan bahwa janin adalah manusia seperti yang dikemukakan kalangan anti aborsi, menurut Thomson sama sekali tidak mengikuti penjelasan medis tentang perkembangan janin yang menunjukkan bahwa saat terkonsepsi janin tersebut masih berupa sel-sel. Dari pendapat tersebut, Gadis menganalogikan bahwa menganggap janin sudah menjadi manusia saat terkonsepsi sama saja dengan mengatakan bahwa biji durian sebelum ditanam sudah menjadi pohon durian.[24] Menanggapi pelarangan aborsi dalam hukum Indonesia, Soe Tjen Marching, staf pengajar di Melbourne University, Australia, berpendapat bahwa seandainya pelarangan itu memang dimaksudkan sebagai perlindungan janin (pro-life), mengapa hukum di Indonesia justru juga tak mengindahkan hak wanita dan anak yang lahir secara illegal. Jangankan untuk mendapat tunjangan sebagaimana di negara-negara lain, untuk hidup normal pun sulit? Hukum di Indonesia mengaku pro-life dengan mengakui hak hidup janin tetapi tak mengindahkan hak hidup sang perempuan atau anak yang lahir, yang memang nyata telah menjadi manusia seutuhnya di lingkungan mereka.[25] Oleh karena itu, lanjut Marching, membela aborsipun dapat disebut pro-life karena hak untuk aborsi adalah hak yang membela kehidupan perempuan. Dan pelarangan aborsi seperti kasus Indonesia tidak bisa disebut Pro-life karena tidak diikuti kebijakan lain yang mendukung kabaikan hidup wanita dan anak yang dilahirkannya. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Maria S. Ratri, orang tua tunggal yang pernah punya pengalaman dengan aborsi, baginya, melarang melakukan aborsi sembari membiarkan perempuan menanggung sendiri akibat yang sudah dibayangkan dan tak diinginkan adalah tindakan tak berperikemanusiaan. Bila perempuan tidak siap menerima anaknya, menurut Ratri, tak sepantasnya ia dipaksa menerima kehamilannya dengan alasan kemanusiaan karena

perempuan juga manusia. Lagipula lanjut Ratri, perempuanlah yang memiliki tubuh, yang pikiran, perasaan dan masa depannya terkait dengan kehamilannya.[26] Sementara itu, Dr. Kartono Muhammad memandang terlalu ekstrim bila menganggap aborsi sebagai penghilangan nyawa sebagaimana dicantumkan dalam UU. Baginya, aborsi merupakan bagian dari hak atas kesehatan reproduksi yang harus disediakan pemerintah. Adanya kehamilan tak diinginkan adalah sesuatu yang riil dan dialami banyak orang dengan berbagai alasan. Karena itu, menurut Dr. Kartono jangan buru-buru menghakimi bahwa mereka itu pendosa. Adanya realitas seperti ini harus dipertimbangkan dalam menetapkan peraturan tentang aborsi.[27] Aborsi sebagai bagian dari hak perempuan atas pelayanan kesehatan bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun juga ditegaskan dalam pasal 12 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan). Selain itu dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo ditegaskan pula bahwa hak reproduksi terkandung di dalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan.[28] 2). Hak Janin dari kubu pro-choice di atas, muncul perspektif terbalik yang menyatakan bahwa kalau aborsi dijadikan sebagai hak, maka wacana yang sama juga dapat dipakai untuk pihak lain, janin dalam kandungan mempunyai hak hidup juga.[29] Melindungi hak hidup janin adalah argumentasi yang biasanya dipakai kalangan pro-life untuk mendukung pendapat mereka. Namun benarkah janin memiliki hak hidup? Pertanyaan ini menggiring pada perdebatan berikutnya mengenai kapan janin dapat dikategorikan sebagai manusia. Membahas hal ini, menarik apa yang dipaparkan oleh CB Kusmaryanto, Dosen Bioetika di Pascasarjana Sanata Dharma Yogakarta. Menurutnya, perdebatan mengenai kapan manusia terbentuk, dahulu adalah perdebatan mengenai ensoulment, masuknya jiwa ke dalam janin. Menurut Embriologi Aristotelian, jiwa masuk badan janin laki-laki pada hari ke-40 dan 90 hari untuk perempuan. Selain itu, ada pula yang berpendapat setelah umur 14, 30, 90 hari, bahkan 120 hari. Saat ini, pemikiran tersebut ditentang keras oleh embriologi modern yang membuktikan bahwa kehidupan manusia langsung dimulai seusai proses pembuahan.[30] Menurutnya, fakta-fakta baru embriologi modern seharusnya mengubah pandangan mengenai aborsi. Mungkin selama ini ada yang menyetujui aborsi karena percaya, hidup manusia baru dimulai 14 hari, atau 40 hari, atau 120 hari. Data ini, lanjutnya, sangat lemah karena tidak didukung data ilmiah embriologi modern. Oleh karena manusia hidup sejak proses pembuahan usai, maka ia mempunyai hak asasi yang harus dilindungi. Hak hidup, lanjutnya, adalah hak yang paling dasar, mendasari semua hak asasi lainnya. Tanpa hidup, manusia tak ada dan tak mempunyai hak asasi.[31] Pernyataan CB. Kusmaryanto ini juga didukung oleh laporan sebuah kelompok yang terdiri dari 220 dokter terkemuka dan para guru besar kepada Dewan Pengadilan Tinggi Amerika Serikat. Laporan yang diserahkan pada bulan Oktober 1971 itu menunjukkan bahwa siklus pembentukan pribadi manusia terjadi saat pembuahan. Laporan ini merupakan penemuan penting embriologi, fetologi, genetika, perinatologi dan biologi tentang terbentuknya kepribadian manusia.[32]

Penemuan di atas, menurut Kardinal Sin menunjukkan bahwa janin bukan hanya seonggok daging yang bisa seenaknya dipotong-potong lalu dicampakkan. Proses aborsi terhadap janin adalah proses pembunuhan kejam dan biadab. Dengan cara-cara seperti dijelaskan di atas janin mengalami penyiksaan dan kesakitan yang luar biasa. Dengan mengutip penjelasan John T. Noonanja, seorang guru besar Fakultas Hukum di Universitas Kalifornia, Kardinal Sin mengatakan bahwa aborsi menyakiti anak yang belum lahir. Dengan metode penyedotan misalnya, proses ini menurutnya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa yang benar-benar mematikan pada sang bayi. Demikian juga dengan pemakaian garam hipertonik (Hypertonic Saline Solution). Larutan ini bekerja menyayat tubuh bayi sekitar 2 jam sehingga jantung janin benar-benar mati. Dari sini, Kardinal Sin menyimpulkan, cara apapun yang digunakan untuk aborsi merupakan penganiayaan yang amat keji.[33] Hal serupa juga diceritakan oleh seorang dokter yang berpengalaman dengan aborsi berikut ini: Mula-mula kami melakukan pengguguran pada janin-janin sehingga detakan-detakan jantung dan geraknya tak begitu nyata. Saya pikir janin berumur 15-16 minggu itu tentu belum bisa merasa apa-apa. Tanpa sadar kami mulai melakukan pengguguran pada janin-janin besar. Tibatiba waktu kami menyuntikkan cairan garam, kami melihat ada gerakan-gerakan dalam rahim, pasti ini adalah janin yang menderita akibat menelan cairan garam, ia menendang-nendang dengan panik dalam keadaan sekarat. Kami menghibur diri dengan mengatakan bahwa itu hanya disebabkan oleh konstraksi otot-otot rahim saja. Tapi sejujurnya, hal ini menekan batin kami, sebab sebagai dokter kami mengerti bahwa bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kami telah melakukan pembunuhan.[34]

Selain argumentasi di atas, Frederica Mattewes-Green, memberikan sanggahan-sanggahan kepada alasan-alasan seputar status kemanusiaan janin yang diajukan kelompok pro-aborsi. Ketakutan dan ketidaksiapan perempuan untuk memiliki anak seringkali menjadi alasan aborsi. Tidak diinginkannya kehadiran anak membuat janin tak dianggap sebagai manusia. Menurut Mattewes, jika manfaat dari keberadaan seseorang bergantung pada seseorang yang lain, maka kita boleh dengan sekehendak hati meniadakan anak-anak, darah daging kita sendiri yang tidak memberikan kebahagiaan bagi kita. Seringkali pula perkiraan bahwa anak akan terlahir cacat menjadi alasan aborsi. Menurut Mattewes, para penyandang cacat mungkin gemetar mendengarnya. Jika diketahui ketidaknormalan mereka sebelum mereka lahir, kita mungkin akan membuat mereka tidak terlahir ke dunia sehingga mereka tidak mengalami kehidupan yang jauh dari bahagia. Alasan aborsi bahwa anak akan mengalami penderitaanseperti anak yang lahir akibat perkosaanjuga disanggah Mattewes. Dengan alasan ini, berarti kita menegaskan kekuatan si penyiksa dan mengesampingkan harapan dari mereka yang percaya bahwa masa lalu dapat dilupakan. Dengan itu semua, Mattewes memandang bahwa mempersepsikan janin sebagai bukan manusia berarti merendahkan martabat janin hanya demi mencari-cari alasan untuk aborsi. Kasus kehamilan di luar nikah, menurut Mattewes, barangkali memang memberatkan wanita karena tanpa bapak yang bertanggung jawab. Namun, bukan berarti si wanita dapat melakukan hal yang samamenghapus tanggung jawab dengan menggugurkan kandungannya. Refleksi

Masalah aborsi memang sangat dilematis. Meskipun demikian, keamanan dan keselamatan ibu, nampaknya terlalu ekstrem untuk secara diametral diperhadapkan dengan kehidupan janin. Keselamatan dan keamanan ibu memang harus dipikirkan tetapi kenyataan bahwa problem aborsi bukan hanya problem medis dan psikologi perlu juga dipertimbangkan. Mengapa perempuan melakukan aborsi? Secara umum, bisa dijawab karena kehamilannya tidak diinginkan. Mengapa perempuan tidak menginginkan kehamilannya? Jawaban untuk pertanyaan yang terakhir inilah yang melibatkan problem-problem lain yang ada di masyarakat, seperti pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan pelayanan kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang rendah seputar problem reproduksi membuat ketidaktahuan mereka menjadi penyebab aborsi. Kejahatan budaya terhadap perempuan mengancam ketahanan fisik-psikisnya serta membuat aborsi menjadi satu-satunya pilihan. Belum lagi problem kemiskinan dan rendahnya pelayanan kesehatan. Tak terkecuali pula faktor politik yang berusaha menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB. Kekuasaan yang tercermin dalam pembentukan norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera membuat apa yang sebelumnya bukan problemjustru dianggap anugerah, menjadi masalah yang membuat malu. Banyak anak dulu dianggap membawa rizki, saat ini, banyak anak menjadi aib. Akibatnya, aborsipun menjadi pilihan. Persoalan aborsi bukan hanya persoalan perempuan. Meskipun pemilik dan penguasa tubuh adalah perempuan, tetapi fungsi reproduksi tubuh perempuan memiliki efek-efek sosial yang tidak sederhana. Sehingga persoalan aborsi bukan persoalan sederhana. Mengembalikan masalah aborsi pada perempuan menafikan kompleksitas permasalahan yang melatarbelakanginya dan tidak akan mengatasi masalah. Aborsi merupakan problem sosial yang seharusnya menjadi keprihatinan semua pihak sehingga dicari solusi yang tidak parsial. Dalam hal ini, prinsip hormat pada kehidupan haruslah dikedepankan dan menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang diambil. Prinsip ini mendesak untuk segera diwujudkan manakala dihadapkan dengan kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan hidupnya dari ancaman orang lain. Tidakkah kehidupan janin dalam posisi rentan karena ia lemah tak bisa melawan, karena posisinya yang lemah ia bahkan dianggap hanya seonggok daging biasa yang bisa diiris dan dibuang kapan saja. Dalam kehidupan, prinsip ini seringkali diabaikan. Jangankan janin yang lemah, bahkan sesama manusiapun terjadi saling membunuh. Karena itu dalam kasus aborsi prinsip ini perlu kembali ditegaskan. Prinsip hormat pada kehidupan mencakup di dalamnya kehidupan ibu dan kehidupan janin. Bagaimana membuat perempuan menginginkan kehamilannya itulah yang harus dicari solusinya. Tentunya, memecahkan persoalan ini tidak bisa hanya ditempuh melalui jalur hukum, tetapi harus diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain di bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya, karena problem di sekitar aborsi bukan hanya problem struktur tetapi juga kultur. Menegaskan hak masing-masing tanpa melakukan perubahan pada bidang-bidang tersebut sama saja bohong dan tidak akan mengurangi angka aborsi. Saya kurang setuju bila aborsi dilegalkan, dengan pertimbangan, ketentuan tersebut tidak hanya menafikan hak hidup janin tapi juga kelangsungan hidup si ibu. Karena terbukti, aborsi, dengan cara aman sekalipun tetap mengandung resiko-resiko, langsung maupun tidak langsung, bagi perempuan yang melakukannya. Ancaman terhadap keselamatan fisik serta ancaman psikologis berupa sindrom pasca-aborsi (pasca abortion syndrome) menunjukkan bahwa aborsi bukan

solusi terbaik. Meskipun demikian, pintu aborsi tidak harus ditutup rapat-rapat. Ada celah-celah tertentu yang perlu dibuka, misalnya bagi aborsi karena indikasi medis. Dalam kasus inilah aborsi harus dilakukan. Meskipun begitu indikasi medis yang dimaksudkannya harus benarbenar bisa dipastikan secara medis, apakah benar kehamilannya mengancam nyawa ibu. Dalam kasus seperti ini nyawa ibulah yang harus diprioritaskan, karena ibu sudah memiliki tanggung jawab dibanding janin. Dalam RUU Amandemen dinyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi perempuan dari penghentian kehamilan tanpa persetujuan perempuan dan dengan cara yang tidak aman. Sedangkan aborsi yang aman hanya diizinkan untuk kehamilan dengan indikasi medis. Bagaimana bila tidak ada indikasi medis seperti kasus-kasus aborsi yang selama ini terjadi, padahal dalam realitasnya, terjadinya aborsi adalah karena kehamilan tak diinginkan, bisa karena kegagalan KB, korban perkosaan, malu, takut pada keluarga, takut tidak bisa melanjutkan sekolah. Apa langkah-langkah yang akan ditempuh negara padahal melihat tingginya angka aborsi dan besarnya resiko yang harus ditangggung menunjukkan bahwa aborsi sangatlah penting dan dibutuhkan bagi mereka. Semua sebab-sebab aborsi yang ada selama ini memang tidak bisa diakomodasi dalam RUU, karena bila alasan-alasan kehamilan tidak diinginkan dimasukkan maka yang akan terjadi adalah pelegalan mutlak aborsi dan tentunya melanggar prinsip etika yaitu hormat pada kehidupan. Karena itu, aborsi tidak bisa hanya diatur melalui hukum tanpa ada kebijakan lainnya, seperti peningkatan pelayanan KB, reformasi kebijakan pendidikan yang melarang siswa hamil untuk meneruskan sekolah. Dalam bidang budaya harus ada pula gerakan penyadaran masyarakat akan kesetaraan gender dan peningkatan pengetahuan masyarakat akan kesehatan dan fungsi reproduksi, sehingga langkah-langkah ini bisa mengurangi adanya kehamilan tak diinginkan dan mengurangi angka aborsi serta lebih jauh lagi mengurangi angka kematian ibu di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Bukan Sekedar Onggokan Daging, dalam http://www.aborsi.org Contoh Aborsi (Presentasi), http://www.aborsi.org Definisi Aborsi, http://www.aborsi.org Deklarasi ICPD di Kairo tahun 1994 Mengenai Aborsi, http://situs.kesrepro.info Kesehatan Reproduksi Sebagai Hak Asasi, Kompas, Memberi Pilihan Pada Perempuan, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Rabu, 15 Nopember 2000. Resiko Aborsi, http://www.aborsi.org

Abdurrahman Wahid dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender, Implementasi Kesepakatan Konferensi Kependudukan Kairo bagi Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996) Adrina, Kristi Purwandari, NKE Triwijari, Sjarifah Sabaroedin, Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Kajian Wanita UI dan The Ford Foundation, 1998) CB. Kusmaryanto, Aristoteles dan Aborsi, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Sabtu, 27 Agustus 2005. Gadis Arifia, Etika Feminis dan Aborsi, Kompas Cybermedia, senin, 8 Oktober 2005. Herri Permana, Seks Remaja dan Aborsi, http://www.aborsi.org Indraswari, Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Memakai Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999) K. Bertens, Aborsi, ditengah Polarisasi Pro-Life dan Pro-Choice, Kompas 31 Agutus 2003 K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika, (Jakarta: PT. Grasindo, 2002) Kardinal Sin, Apa Itu Aborsi?, http://www.indocel.net Kartono Muhammad, Isu Abortus dalam RUU Kesehatan, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Sabtu 27 Agustus 2005. Maria S. Ratri, Aborsi: Bagaimana dengan Pro-Future?, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Senin, 11 Agustus 2003. Maria Ulfa Ansor, Perlu Fikih Alternatif Untuk Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi, Kompas Cuber Media, Senin, 02 Pebruari 2004. Ninuk Mardiana Pambudy, `Amandemen RUU Kesehatan`. Kompas, 22 Oktober 2005 Soe Tjen Marching, Aborsi: Pro-Life atau Pro-Choice?, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Selasa, 08 Juli 2003.

[1] Perdebatan dua kubu ini juga mempengaruhi dunia politik. Masalah aborsi ini juga menjadi pendirian partai yang juga menjadi pendirian presiden dari partai tersebut. Partai Republikan bersikap pro life, sedangkan demokrat berpendirian pro choice. Pelarangan aborsi di Amerika berlangsung sejak masa pemerintahan Ronald Reagen dan diteruskan pada masa George Bush Sr. pada masa Bill Clinton, aborsi dilegalkan. Kemudian pada masa George Bush Jr, aborsi

dilarang. Pendirian seorang calon presiden terhadap aborsi di Amerika juga menjadi pertimbangan masyarakat. Meskipun demikian, presiden dari partai manapun yang berkuasa tidak berkuasa merubah undang-undang. Di Amerika, pertentangan pro life dan pro choice bahkan mencapai titik ekstrim. Perdebatan terjadi bukan hanya dalam publikasi dan unjuk rasa tetapi mengambil bentuk kekerasan. Sejak tahun 1973, klinik yang sering mempraktekkan aborsi secara legal diserang oleh kelompokkelompok pro life. Antara tahun 1977-1991, di Amerika paling sedikit 110 klinik aborsi dibakar atau dibom. Dokter-dokternya pun dibunuh oleh oknum pro-life yang fanatik. Lihat keterangan dari K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika, (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), hlm. 30-31. [2] Definisi Aborsi, http://www.aborsi.org [3] Menurut hasil penelitian di Sukabumi, tindakan aborsi tanpa bantuan pihak lain dilakukan dengan barbagai cara, misalnya, meminum air tapai ketan hitam, merica giling, jamu-jamu peluntur, air nanas muda, pengurus perut, aspirin campur Sprite atau minuman air rebusan daun sembung. Lihat Adrina, Kristi Purwandari, NKE Triwijari, Sjarifah Sabaroedin, Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Kajian Wanita UI dan The Ford Foundation, 1998), hlm. 128. Lihat pada hasil penelitian Indraswari, Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 156. [4] Contoh Aborsi (Presentasi), http://www.aborsi.org [5] Resiko Aborsi, http://www.aborsi.org [6] Dr. Stephen Edmonson dalam www.aborsi.org. [7] Ibid. [8] Pasal 229 ayat (1) misalnya disebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. Ayat (2): Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. Ayat (3): Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Pasal 341: Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 342: Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian

merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 343: Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana. Pasal 346: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 347 ayat (1): Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 348 ayat (1): Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 349: Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. [9] Memberi Pilihan Pada Perempuan, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Rabu, 15 Nopember 2000. Angka tersebut merupakan angka terendah yang sering digunakan. WHO menyodorkan angka 650 per seratus ribu kelahiran. Angka kematian ibu di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam menempati rangking kedua setelah Afghanistan dengan 1.700 per seratus ribu kelahiran hidup. Kesehatan Reproduksi Sebagai Hak Asasi, Kompas [10] Kompas 15 Desember 2003, hlm. 42. [11] Dikutip oleh Gadis Arifia, Etika Feminis dan Aborsi, Kompas Cybermedia, senin, 8 Oktober 2005. [12] Ibid. [13] Gadis Arifia, Etika. [14] Herri Permana, Seks Remaja dan Aborsi, http://www.aborsi.org [15] Dikutip oleh Kartono Muhammad, Isu Abortus dalam RUU Kesehatan, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Sabtu 27 Agustus 2005. [16] Maria Ulfa Ansor, Perlu Fikih Alternatif Untuk Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Senin, 02 Pebruari 2004.

[17] Ninuk Mardiana Pambudy, `Amandemen RUU Kesehatan`. Kompas, 22 Oktober 2005. [18] Ibid. [19] Ibid. [20] Abdurrahman Wahid dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender, Implementasi Kesepakatan Konferensi Kependudukan Kairo bagi Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. ix. [21] Ibid., hlm. 12 dan Deklarasi ICPD di Kairo tahun 1994 Mengenai Aborsi, http://situs.kesrepro.info [22] Gadis Arivia, Etika Feminis. Pernyataan Gadis ini dikuatkan pula dengan hasil penelitian di beberapa daerah di Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Adrina dkk ini menyimpulkan bahwa semua yang memiliki pengalaman aborsi mengatakan bahwa hal itu bukan menurut pilihannya sendiri, tetapi karena berbagai macam keadaan di luar kehendak mereka. Misalnya permintaan suami, tidak ingin mempermalukan keluarga dan keadaan ekonomi yang memang sangat sulit, bahkan adapula yang karena desakan mertua. Adrina dkk, Hak-Hak Perempuan yang terpasung., hlm. [23] Ibid. [24] Ibid. [25] Soe Tjen Marching, Aborsi: Pro-Life atau Pro-Choice?, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Selasa, 08 Juli 2003. Menurut Marching, di beberapa negara yang melegalkan aborsi seperti Belanda, Jerman, Kanada dan Selandia Baru, pilihan yang tersedia bagi perempuan jauh lebih layak. Selain tersedianya klinik aborsi di mana-mana, jika perempuan memutuskan meneruskan kehamilan, biasanya tersedia dua alternatif: menjadi single mother atau pengaturan adopsi untuk bayi tersebut. Sebagai single mother dia beserta bayinya akan mendapatkan tunjangan material seperti tunjangan makanan, kesehatan, biaya hidup bahkan sekolah bagi anak dari pemerintah. [26] Maria S. Ratri, Aborsi: Bagaimana dengan Pro-Future?, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Senin, 11 Agustus 2003. [27] Kompas, Senin 15 Desember 2005, hlm. 43. [28] Lihat dalam Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, http://www.theceli.com [29] K. Bertens, Aborsi, di tengah Polarisasi Pro-Life dan Pro-Choice, Kompas, 31 Agutus 2003, hlm. 45. [30] Lihat penjelasan mengenai prosesnya dalam CB. Kusmaryanto, Aristoteles dan Aborsi, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), Sabtu, 27 Agustus 2005.

[31] Ibid. [32] Kardinal Sin, Apa Itu Aborsi?, http://www.indocel.net [33] Ibid. [34] Cerita ini dikutip dari majalah Get Fresh dalam Bukan Sekedar Onggokan Daging, dalam http://www.aborsi.org

Tinjauan Hukum Mengenai Aborsi dan Akibatnya


Posted on November 24, 2010 by Putra

pacaran Dimasa sekarang ini hamil diluar nikah sering terjadi. Hal ini dikarenakan anak-anak mudah jaman sekarang banyak yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para anak muda tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi setelah cukup lama berpacaran mereka melakukan hubungan seksual. Ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan, timbul masalah karena mereka belum menikah dan kebanyakan masih harus meyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan oleh orang tua dan orang lain, maka ditempuh aborsi untuk menghilangkan janin yang tidak dikehendaki tersebut. Namun tidak jarang juga ada yang melakukan pernikahan secepatnya agar janin yang dikandung tersebut mempunyai ayah. Perkawinan ini dalam istilah anak muda dikenal dengan nama MBA (Marieed By Accident) atau nikah setelah hamil dahulu.

abortion is murder Pengguguran kandungan juga sering dilakukan oleh para wanita yang menjadi korban perkosaan. Alasan yang sering diajukan oleh para wanita yang diperkosa itu adalah bahwa mengandung anak hasil perkosaan itu akan menambah derita batinnya karena melihat anak itu akan selalu mengingatkannya akan peristiwa buruk tersebut. Namun demikian tidak selamanya kejadiankejadian pemicu seperti sudah terlalu banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan korban perkosaan tersebut membuat seorang wanita memilih untuk menggugurkan kandungannya. Ada juga yang tetap mempertahankan kandungannya tersebut dengan alasan bahwa menggugurkan kandungan tersebut merupakan perbuatan dosa sehingga dia memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya.

bayi di kandungan

Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu bukan disebabkan alasan medis maka ibu dan orang yang membantu menggugurkan kandungannya akan dihukum pidana. Hal ini dikarenakan hukum positif di Indonesia melarang dilakukannya aborsi. Akan tetapi di lain pihak, jika kandungan itu tidak digugurkan akan menimbulkan masalah baru, yaitu apabila anak tersebut terlahir dari keluarga miskin maka ia tidak akan mendapat penghidupan yang layak, sedangkan apabila anak itu lahir tanpa ayah, ia akan dicemooh masyarakat sehingga seumur hidup menanggung malu. Hal ini dikarenakan dalam budaya timur Indonesia, tidak dapat menerima anak yang lahir di luar nikah. Alasan inilah yang kadang-kadang membuat perempuan yang hamil di luar nikah nekat menggugurkan kandungannya. Berkaitan dengan pilihan menggugurkan atau mempertahankan kehamilan sekarang dikenal istilah yang disebut dengan prochoice dan prolife. Prochoice adalah pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari ibu yang mengandung bayi tersebut. Pandangan ini berawal dari keinginan untuk mengurangi angka kematian ibu akibat aborsi, karena dengan melarang aborsi ternyata ibu yang akan aborsi menggunakan jasa-jasa aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) sehingga banyak ibu yang meninggal ketika menjalani aborsi. Jika pandangan ini diterima oleh masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka aborsi tidak akan dilarang lagi. Lebih lanjut pemerintah wajib untuk menyediakan fasilitas klinik aborsi yang akan melayani ibu-ibu yang rnelakukan aborsi. Klinik aborsi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, karena menggunakan standar prosedur aborsi yang aman (safe abortion). Adanya safe abortion akan mernbuat berkurangnya jumlah kematian ibu akibat aborsi.

bayi aborsi Di lain pihak prolife adalah pandangan yang menentang adanya aborsi. Mereka berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Melakukan aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, dan pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Oleh karena itu para penganut paham prolife ini sangat menentang dilakukannya aborsi. Menurut mereka melegalisasi aborsi bertentangan dengan agama karena memang kelompok prolife ini kebanyakan berasal dari kaum agamawan tetapi banyak pula yang bukan agamawan tetapi memiliki pandangan prolife.

Di dalam sistem hukum Indonesia, perbuatan aborsi dilarang dilakukan. Bahkan perbuatan aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga kepada pelaku dan orang yang membantu melakukannya dikenai hukuman. Akan tetapi walaupun sebagian besar rakyat Indonesia sudah mengetahui ketentuan tersebut, masih banyak juga perempuan yang melakukan aborsi. Hal ini dapat diketahui dari data-data yang diajukan oleh para peneliti tentang jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Population Council mengemukakan jumlah pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia pada tahun 1989 diperkirakan berkisar antara 750.000 dan 1.000.000. Ini berarti terjadi sekitar 18 aborsi per 100 kehamilan, bila diasumsikan ada sekitar 4,5 juta kelahiran hidup di Indonesia. Pada tahun 2000, Koran Kompas edisi 3 Maret 2000 mengungkapkan data bahwa pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar 2,3 juta aborsi. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan dengan data aborsi pada tahun 1989. Adanya peningkatan jumlah aborsi ini sangat memprihatinkan. Adapun penyebab aborsi yang semakin meningkat itu adalah pergaulan yang semakin bebas. Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah aborsi, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) juga semakin meningkat. Hasil penelitian Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) mendapatkan hasil bahwa AKI di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran tahun 2000. Berdasarkan hasil ini, maka AKI di Indonesia menduduki urutan teratas di Asia Tenggara. Adapun penyebab tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah kasus aborsi. Data-data hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kasus aborsi merupakan masalah yang sangat serius dihadapi bangsa Indonesia. Walaupun aborsi dilarang, temyata perbuatan aborsi semakin marak dilakukan. Hal ini membutuhkan penegakan hukum yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum di Indonesia. Penegakan hukum ini harus diintensifkan mengingat buruknya akibat aborsi yang tidak hanya menyebabkan kematian bayi yang diaborsi, tetapi juga ibu yang melakukan aborsi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana aborsi harus dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, karena walaupun dari penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa maupun LSM-LSM menunjukan bahwa daerah-daerah yang banyak terjadi tindak pidana aborsi adalah daerah-daerah atau kota-kota yang disebut dengan daerah pendidikan atau kota besar di Indonesia ( Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Bali, Manado dan Malang). Kota-Kota tersebut adalah kota-kota yang disebut sebagai kota pelajar yang menjadi tujuan menimba ilmu dari sejumlah pelajar dari 32 provinsi juga tidak lepas dari fenomena maraknya aborsi. Hal ini dapat diketahui dari kenyataan yang terjadi di masyarakat, yaitu banyaknya ditemukan kasus aborsi yang dilakukan para remaja yang belum menikah. Ironisnya para remaja tersebut pada umumnya merupakan pelajar dan mahasiswi yang datang dengan tujuan sekolah. Jadi mereka telah menyalahgunakan kesempatan belajar mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar susila sehingga mengakibatkan kehamilan. Selain kenyataan yang langsung dijumpai di dalam masyarakat, banyak pula berita-berita aborsi di surat kabar yang mengungkap kasus-kasus aborsi. Berita-berita tersebut memuat kasus aborsi baik yang tertangkap pelakunya maupun yang hanya mendapatkan bekas aborsinya saja, antara lain janin yang ditinggal begitu saja setelah selesai diaborsi.5 Ada juga janin yang sengaja ditinggal di depan rumah penduduk atau di depan Lembaga sosial (yayasan). Berita-berita ini

cukup meresahkan berbagai kalangan masyarakat, khususnya para orang tua yang mempunyai anak yang sedang bersekolah dikota-kota tersebut, karena berita-berita itu membuat para orang tua khawatir bahwa anaknya juga melakukan hal yang sama, apalagi jika remaja tersebut tidak mendapatkan pengawasan langsung dari orang tuanya. Kalaupun anak yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut, tetapi situasi pergaulan yang bebas di sekitarnya sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir anak. Sejalan dengan keprihatinan masyarakat tentang maraknya aborsi, sekarang ini jasa aborsi juga semakin marak dipromosikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tulisan-tulisan selebaran yang ditempel di dinding-dinding toko, dinding rumah penduduk atau di tiang-tiang lampu merah (traffic light) di perempatan jalan yang ramai lalu lintasnya. Isi dari tulisan itu adalah penawaran jasa aborsi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Tulisan tersebut memang tidak secara terang-terangan menyatakan menuliskan kata aborsi akan tetapi dari bunyi kalimat yang dituliskan sudah cukup menyiratkan bahwa jasa yang ditawarkan adalah jasa aborsi. Bunyi tulisan itu antara lain Jika Anda Terlambat Datang Bulan Hubungi (nomor telepon tertentu). Nomor telepon yang diberikan biasanya adalah nomor HP(Hand Phone) sehingga sulit untuk melacak keberadaan si pemilik nomor tersebut. Banyaknya jumlah aborsi yang terjadi dan banyaknya jasa aborsi yang ditawarkan kepada masyarakat, membuat masyarakat menjadi resah dan mengharapkan adanya tindakan tegas dari para aparat penegak hukum untuk dapat menangkap dan menghukum para pelaku aborsi. Semua fenomena ini menunjukkan dibutuhkannya penegakan hukum. Walaupun fenomena aborsi sudah sangat marak, namun sampai sejauh ini hanya sedikit kasus aborsi yang pernah disidangkan. Hal ini dikarenakan para pelaku biasanya sulit untuk dilacak sehingga mempersulit penjaringan para pelaku.

Aborsi Menurut Hukum di Indonesia Desember 16, 2010


Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN. trackback

Aborsi Menurut Hukum di Indonesia Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id> Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat & menjadi perbincangan di berbagai kalangan masyarakat, di banyak tempat & di berbagai negara, baik itu di dalam forum resmi maupun forum-forum non-formal lainnya. Sebenarnya, masalah ini sudah banyak terjadi sejak zaman dahulu, di mana dalam penanganan aborsi, cara-cara yang digunakan meliputi cara-cara yang sesuai dengan protokol medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-kota besar maupun di daerah terpencil. Pertentangan moral & agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal & tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan & tetap merupakan masalah besar yang masih mengancam perempuan dalam masa reproduksi. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat ini, para dokter kini harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak otonomi ini, pasien berhak menentukan sendiri tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya, maupun

berhak menolaknya. Sedangkan jika tidak puas, maka pasien akan berupaya untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian yang dilakukan dokter tersebut. Timbulnya berbagai pembicaraan & undang-undang soal hak otonomi perempuan membuat hak atas diri sendiri ini memasuki area wacana soal aborsi, atau penentuan dari pihak perempuan yang merasa berhak juga untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap adanya kehamilan yang tidak diinginkannya. Namun, bila dilihat dari sisi para pelaku pelayanan kesehatan ini, seorang dokter pada waktu lulus, sudah bersumpah untuk akan tetap selalu menghormati setiap kehidupan insani mulai dari saat pembuahan sampai saat meninggal. Karenanya, tindakan aborsi ini sangat bertentangan dengan sumpah dokter sebagai pihak yang selalu menjadi pelaku utama (selain para tenaga kesehatan baik formal maupun non-formal lainnya) dalam hal tindakan aborsi ini. Pengguguran atau aborsi dianggap suatu pelanggaran pidana. Sampai saat ini, di banyak negara masih banyak tanggapan yang berbeda-beda tentang aborsi. Para ahli agama, ahli kesehatan, ahli hukum, & ahli sosial-ekonomi memberikan pernyataan yang masing-masing ada yang bersifat menentang, abstain, bahkan mendukung. Para ahli agama memandang bahwa apapun alasannya aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama karena bersifat menghilangkan nyawa janin yang berarti melakukan pembunuhan, walaupun ada yang berpendapat bahwa nyawa janin belum ada sebelum 90 hari. Ahli kesehatan secara mutlak belum memberikan tanggapan yang pasti, secara samar-samar terlihat adanya kesepakatan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan penyebab, masa depan anak serta alasan psikologis keluarga terutama ibu, asal dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kondisi & syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan ahli sosial kemasyarakatan yang mempunyai pandangan yang tidak berbeda jauh dengan ahli kesehatan. Namun pada umumnya, para ahli-ahli tersebut menentang dilakukannya aborsi buatan, meskipun jika berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan nyawa ibu) mereka dapat memahami dapat dilakukannya aborsi buatan. Dilihat dari adanya undang-undang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undang-undang yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak bersifat mutlak. Sampai saat ini praktik aborsi masih terus berlangsung, baik yang legal maupun yang ilegal. Bahkan menurut Azrul Azwar, sumbangan aborsi ilegal di Indonesia mencapai kurang lebih 50 persen dari angka kematian ibu (AKI), sementara angka kematian ibu di Indonesia (AKI) ini adalah yang tertinggi di Asia. Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah: 1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal. 2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik. 3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya. 4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus membangun suatu keluarga yang prematur. 5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi

pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu. 6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, perempuan simpanan, pasangan yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil. Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada adanya pertentangan baik secara moral & kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama & hukum di lain sisi. Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Anak yang dilahirkan dalam kondisi & lingkungan seperti ini nantinya kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial kemasyarakatan yang normal, kurang mendapat perlindungan & kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh anak yang tumbuh & besar dalam lingkungan yang wajar, & tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan dari segi hukum, masih ada perdebatan-perdebatan & pertentangan dari yang pro & yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), & UU hak azasi manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak, yang kemudian menimbulkan komplikasi komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan kematian. Definisi dari aborsi sendiri adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di mana karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur & keluar dari dalam rahim bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar. Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremasremas & perih. Aborsi dibagi lagi menjadi aborsi spontan yang terjadi akibat keadaan kondisi fisik yang turun, ketidakseimbangan hormon didalam tubuh, kecelakaan, maupun sebab lainnya. Aborsi buatan, yang dibagi menjadi aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal). aborsi provokatus terapetikus adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis & cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan nyawa/mengobati ibu. Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten, serta tidak memenuhi syarat & cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan. Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Dari segi medis adapun tahapantahapan aborsi spontan adalah sebagai berikut: Aborsi iminens, yaitu adanya tanda-tanda perdarahan yang mengancam adanya aborsi, di mana janin sendiri belum terlepas dari rahim. Keadaan seperti masih dapat diselamatkan dengan pemberian obat hormonal serta istirahat total. Aborsi insipiens, yaitu aborsi yang sedang berlangsung, di mana terjadi perdarahan yang banyak disertai janin yang terlepas dari rahim. Jenis seperti ini biasanya janin sudah tidak dapat lagi diselamatkan.

Aborsi inkomplitus, yaitu sudah terjadi pembukaan rahim, janin sudah terlepas & keluar dari dalam rahim namun masih ada sisa plasenta yang menempel dalam rahim, & menimbulkan perdahan yang banyak sebelum akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim. Pengobatannya harus dilakukan kuretase untuk mengeluarkan sisa plasenta ini. Aborsi komplitus, yaitu aborsi di mana janin & plasenta sudah keluar secara lengkap dari dalam rahim, walaupun masih ada sisa-sisa perdarahan yang kadang masih memerlukan tindakan kuretase untuk membersihkannya. Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi & penyebabnya dapat dilihat pada: KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349: Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 347: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun. Pasal 348: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun. Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 & 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga & dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. 2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara. 3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara. 4. Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat dicabut. 5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya. UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.

UU Kesehatan: Pasal 75 (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 77 dinyatakan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis. Namun sayangnya didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial. (3) Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk. UU Penghapusan KDRT, pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Di sini dicoba disimpulkan sesuatu & mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan: 1. Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak. 2. Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:

a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual d. Penelantaran rumah tangga 3. Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis pada pasal 10, namun apabila dikaitkan dengan kekerasan seksual yang berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban diasumsikan dapat meminta hak atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya, karena secara medis, korban akan mengalami stres ataupun depresi, & bukan tidak mungkin akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan. Dari uraian penyebab inilah mungkin didapatkan gambaran mengenai penggolongan aborsi yang akan dilakukan. Pada butir ke-5 sudah jelas dapat digolongkan pada aborsi terapetikus, sesuai dengan UU Kesehatan tentang tindakan medis tertentu yang harus diambil terhadap ibu hamil demi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli kesehatan & ahli hukum dapat memahami alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, dimana pada butir ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan ini bertetangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan & bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik & mental. Pada butir ke 3, kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat. Sedangkan pada butir 1, 4, & 6, jelas terlihat adalah kehamilan diakibatkan oleh terjadinya hubungan seks bebas, yang apabila dilakukan tindakan aborsi, dapat digolongkan pada aborsi provokatus kriminalis bertentangan dengan KUHP Pasal 346-349 & UU Kesehatan pasal 133 tentang perlindungan anak. Dari penjelasan tersebut, didapatkan gambaran mengenai aborsi legal & ilegal. aborsi provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, yaitu memenuhi syarat sebagai berikut: a. Berdasarkan indikasi medis yang kuat yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami ataupun keluarganya; d. Pada sarana kesehatan tertentu. Setiap dokter pada waktu baru lulus bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat pembuahan, karena itu hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan & kode etik profesi dalam melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari, banyak faktor-faktor yang berperan, seperti rasa kasihan pada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak

diinginkan, faktor kemudahan mendapatkan uang dari praktik aborsi yang memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya. Sejak abad 5 SM, Hipokrates sudah bersumpah antara lain bahwa ia tidak akan memberikan obat kepada seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya. Sumpah itu kemudian kemudian menjadi dasar bagi sumpah dokter sampai sekarang. Pernyataan Geneva yang dirumuskan pada tahun 1984 & memuat sumpah dokter antara lain menyatakan bahwa para dokter akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Pernyataan itu juga termuat dalam sumpah dokter Indonesia yang dirumuskan dalam PP no.26/1960. Sikap para dokter se-dunia terhadap pengguguran terutama dirumuskan dalam Pernyataan Oslo pada tahun 1970, yang terutama menyoroti hal pengguguran berdasarkan indikasi medis. Rumusan itu berbunyi sebagai berikut: 1. Prinsip moral dasar yang menjiwai seorang dokter ialah rasa hormat terhadap kehidupan manusia sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pasal Pernyataan Geneva: Saya akan menjujung tinggi rasa hormat terhadap hidup insani sejak saat pembuahan. 2. Keadaan yang menimbulkan pertentangan antara kepentingan vital seorang ibu & kepentingan vital anaknya yang belum dilahirkan ini menciptakan suatu dilema & menimbulkan pertanyaan: Apakah kehamilan ini harusnya diakhiri dengan sengaja atau tidak? 3. Perbedaan jawaban atas keadaan ini dikarenakan adanya perbedaan sikap terhadap hidup bayi yang belum dilahirkan. Perbedaan sikap ini adalah soal keyakinan pribadi & hati nurani yang harus dihormati. 4. Bukanlah tugas profesi kedokteran untuk menentukan sikap & peraturan negara atau masyarakat manapun dalam hal ini, tetapi justru adalah kewajiban semua pihak mengusahakan perlindungan bagi pasien-pasien & melindungi hak dokter di tengah masyarakat. 5. Oleh sebab itu di mana hukum memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, atau pembuatan UU ke arah itu sedang dipikirkan, & hal ini tidak bertentangan dengan kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, serta dimana dewan pembuat undang-undang itu ingin atau mau mendengarkan petunjuk dari profesi medis, maka prinsip-prinsip berikut ini diakui: a. Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis. b. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka. c. Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-instalasi yang disetujui oleh suatu otoritas yang sah. d. Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan dirinya menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri & menyerahkan kelangsungan pengurusan medis kepada koleganya yang kompeten. 6. Meskipun pernyataan ini didukung oleh General Assembly of The World Medical Association, namun tidak perlu dipandang sebagai mengikat ikatan-ikatan yang menjadi anggota, kecuali kalau hal itu diterima oleh ikatan itu. Karenanya dihimbau bagi para dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya agar: 1. Tindakan aborsi hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik. 2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh minimal dua orang dokter yang kompeten & berwenang. 3. Prosedur tersebut hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instansi kesehatan tertententu yang diakui oleh suatu otoritas yang sah. 4. Jika dokter tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak sanggup melakukan tindakan pengguguran, maka hendaknya ia mengundurkan diri serta menyerahkan pelaksanaan tindakan

medis ini pada teman sejawat lainnya yang juga kompeten . 5. Selain memahami & menghayati sumpah profesi & kode etik, para dokter & tenaga kesehatan juga perlu meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya. Pada beberapa negara seperti Singapura, Cina, & Tunisia, aborsi dilegalkan oleh pemerintahnya masing-masing dengan tujuan untuk membatasi pertumbuhan guna meningkatkan kesejahteraan. Negara Swedia, Inggris, & Italia atas dasar sosiomedik, sedangkan di Jepang atas dasar sosial. Untuk masyarakat agar dihimbau untuk: 1. Sedapat mungkin menghindari hubungan suami isteri pada pasangan yang tidak/belum menikah. 2. Bagi para suami isteri yang tidak merencanakan untuk menambah jumlah anak, agar mengikuti program KB. 3. Bagi para pekerja seks komersial agar selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan intim dengan pelanggannya. 4. Meningkatkan pengetahuan agama agar selalu terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agamanya. 5. Menuntut pada pemerintah agar memberikan tindakan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pemerkosa ataupun pelaku tindakan pelecehan/kekerasan seksual lainnya, agar para kriminal maupun calon pelaku kriminal ini berpikir panjang untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kiranya ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. aborsi secara umum dibagi atas aborsi spontan & aborsi provokatus (buatan). Aborsi provokatus (buatan) secara aspek hukum dapat golongkan menjadi dua, yaitu aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal). 2. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undangundang yaitu KUHP & UU Kesehatan. 3. Dalam KUHP & UU Kesehatan diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran kandungan, tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus atau medisinalis), diatur dalam UU Kesehatan. 4. Penghayatan & pengamalan sumpah profesi & kode etik masing-masing tenaga kesehatan, secara tidak langsung dapat mengurangi terjadinya aborsi buatan ilegal, lebih lagi jika diikuti dengan pendalaman & pemahaman ajaran agama masing-masing. (c)Hukum-Kesehatan.web.id Dampak Buruk Aborsi Untuk Kesehatan Aborsi adalah salah satu tindakan yang bisa menimbulkan banyak dampak buruk bagi kesehatan. Kini bertambah lagi efek buruk dari aborsi yaitu meningkatkan risiko terkena gangguan mental. Aborsi bukanlah suatu prosedur medis yang sederhana. Jika dilakukan secara sembarangan dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Bahkan bagi beberapa perempuan hal ini dapat mempengaruhi fisik, emosional dan spiritualnya. Namun tidak semua orang tahu tentang risiko yang bisa dialami jika melakukan aborsi.

Studi menemukan perempuan yang melakukan aborsi berisiko dua kali lipat atau lebih berat mengalami masalah pada kesehatan mentalnya dibanding dengan perempuan yang tidak melakukan aborsi. "Hasil studi menunjukkan bahwa aborsi cukup konsisten dikaitkan dengan risiko yang sangat moderat untuk meningkatkan masalah psikologis setelah prosedur dilakukan," ujar Profesor Coleman, seperti dikutip dari Dailymail, Jumat (2/9/2011). Prof Coleman menuturkan aborsi meningkatkan 34 persen kemungkinan mengalami gangguan kecemasan, 37 persen lebih mungkin mengalami depresi, dua kali lipat mengalami penyalahgunaan alkohol, 3 kali lipat lebih mungkin mengalami penyalahgunaan ganja serta 1,5-2 kali lipat lebih mungkin mencoba melakukan bunuh diri. "Sangat penting untuk menyadarkan para perempuan akan risiko yang nyata dari tindakan aborsi termasuk dalam hal kesehatan mental," ujar Philippa Taylor dari Christian Medical Foundation. Studi ini didukung oleh Royal College of Psychiatrists dan telah dipublikasikan oleh British Journal of Psychiatry. Penelitian ini didasarkan pada analisis 22 studi terpisah yang melibatkan 877.000 perempuan. Selain itu ada juga risiko komplikasi seperti pendarahan, infeksi dan kerusakan organ. Sementara komplikasi serius yang bisa timbul adalah: 1. Pendarahan hebat. Jika leher rahim robek atau terbuka lebar akan menimbukan pendarahan yang dapat berbahaya bagi keselamatan ibu. Terkadang dibutuhkan pembedahan untuk menghentikan pendarahan tersebut. 2. Infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh alat medis tidak steril yang dimasukkan ke dalam rahim atau sisa janin yang tidak dibersihkan dengan benar. 3. Aborsi tidak sempurna. Adanya bagian dari janin yang tersisa di dalam rahim sehingga dapat menimbulkan perdarahan atau infeksi. 4. Sepsis. Biasanya terjadi jika aborsi menyebabkan infeksi tubuh secara total yang kemungkinan terburuknya menyebabkan kematian. 5. Kerusakan leher rahim. Kerusakan ini terjadi akibat leher rahim yang terpotong, robek atau rusak akibat alat-alat aborsi yang digunakan. 6. Kerusakan organ lain. Saat alat dimasukkan ke dalam rahim, maka ada kemungkinan alat tersebut menyebabkan kerusakan pada organ terdekat seperti usus atau kandung kemih. 7. Kematian. Meskipun komplikasi ini jarang terjadi, tapi kematian bisa terjadi jika aborsi menyebabkan perdarahan yang berlebihan, infeksi, kerusakan organ serta reaksi dari anestesi yang dapat menyebabkan kematian.

Kumpulan Artikel dari Website Indonesia Just another WordPress site


Search Key

ABORSI Penghilangan Nyawa Janin antara Kesehatan dan Kejahatan


January 8, 1970 | Author: admin | Posted in Uncategorized

ABORSI Penghilangan Nyawa Janin antara Kesehatan dan Kejahatan Kehamilan merupakan impian bagi sebagian besar wanita. Memiliki keturunan serta dapat melahirkannya merupakan satu kebanggaan tersendiri. Memiliki anak bisa juga membawa dampak psikologis bagi wanita. Secara naluri wanita akan menjadi lebih dewasa dan sisi keibuan yang memang secara naluri sudah dimiliki oleh wanita menjadi lebih terasah. Fenomena lain pun kemudian muncul. Kehamilan yang seharusnya membahagiakan berubah menjadi satu hal yang justru tidak diinginkan. Munculnya fenomena tersebut akibat pengaruh dari zaman yang katanya sudah semakin berkembang. Kehamilan yang tidak dikehendaki itupun berakhir dengan tindakan aborsi. Pergaulan bebas yang konon katanya mengikuti perkembangan zaman merupakan faktor yang tidak asing lagi jika berbicara mengenai aborsi. Melakukan hubungan sex sebelum menikah sudah dianggap menjadi hal biasa bagi sebagian besar kaum muda sekarang ini. Pengaruh buruk memang lebih cepat diserap daripada pengaruh baik. Menerima ajakan bermain lebih menggiurkan daripada duduk manis mengerjakan tugas sekolah atau kuliah yang menumpuk. Analogi seperti itu cukup untuk menggambarkan betapa hal buruk lebih menggiurkan dan sangat mudah memengaruhi. Aborsi dan Remaja Kenyataan di lapangan sangat miris. Angka penunjuk jumlah pelaku aborsi pun tidak sedikit. Menurut beberapa penelitian sebanyak 30% remaja Indonesia telah melakukan tindakan aborsi. Menurut beberapa ahli sosial, hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan yang sebagian besar tidak berpihak pada kaum remaja. Remaja adalah fase saat manusia merasa ingin tahu segalanya. Fase yang oleh sebagian orang digunakan untuk mencari jati diri atau bahkan menciptakan jati diri. Mereka akan menerima semua pengaruh dari lingkungan yang masuk, baik itu yang positif maunpun negatif. Sebagai pribadi yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, mereka akhirnya mencoba berbagai pengaruh tersebut. Pada saat-saat itulah peranan orang tua lebih dibutuhkan dari biasanya. Pada posisi seperti ini, idealnya para orang tua memainkan peran sebagai pengawas, pemerhati dan penasihat. Jika keadaannya demikian, kenakalan remaja seperti sex bebas diharapkan tidak akan terjadi. Tindakan aborsi pun akan semakin langka dilakukan oleh para remaja. Aborsi dikalangan remaja sangat jauh dari sentuhan medis. Aborsi yang dilakukan biasanya bersifat tradisional. Para remaja yang hendak menggugurkan kandungannya mengunjungi tempat-tempat penguguran yang biasanya terselubung. Tindakan mematikan janin pun dilakukan dengan sangat ekstrem dan jauh dari standar kesehatan. Perut yang berisi janin tersebut konon diperas-peras. Setelah itu, berbagai ramuan tradisional yang tergolong jahat pada janin pun diberikan. Entahlah terbuat dari apa, yang jelas setelah meminum ramuan tersebut, janin akan mati dan keluar dalam bentuk gumpalan-gumpalan darah. Dampak buruk terhadap kesehatan sama sekali bukan jadi prioritas penting. Hal yang paling penting adalah bagaimana janin tersebut dapat keluar dan harga diri terselamatkan. Pergeseran norma sosial yang mengerikan. Aborsi dan Ilmu Kedokteran Aborsi atau dalam bahasa Indonesia pengertiannya sama dengan pengguguran kandungan adalah proses penghentian proses kehamilan. Penghentian proses kehamilan dilakukan pada saat janin

masih berusia sangat dini. Pengguguran kandungan biasanya terjadi saat janin berusia kurang dari 20 minggu. Dalam ilmu kedokteran sendiri, aborsi sebenarnya dibedakan dalam dua kategori, yaitu keguguran yang disengaja atau Induced abortion dan aborsi karena kecelakaan atau Spontaneous abortion. Aborsi yang dilakukan secara sengaja berdasarkan motifnya dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yaitu: Therapeutic abortion. Tindakan aborsi ini dilakukan ketika keberadaan janin justru mengancam keselamatan sang ibu. Eugenic abortion. Tindakan ini dilakukan karena janin dalam keadaan abnormal. Janin yang cacat justru akan membawa pengaruh bagi kesehatan sang ibu. Elective abortion. Tindakan aborsi ini dilakukan karena alasan-alasan lain. Sebagian besar alasannya adalah di luar medis. Contohnya adalah aborsi yang dilakukan pada kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Aborsi, Sebuah Potret Buram Pelayanan Kesehatan bagi Perempuan Maret 15, 2008, 7:51 pm Filed under: Gender Awal bulan Februari tahun lalu, warga Denpasar, Bali dihebohkan penangkapan sarjana kedokteran gigi yang melakukan praktik aborsi ilegal. Tersangka Arik Widiantara mengaku menerima empat sampai lima pasien per hari selama empat tahun dengan tarif bervariasi, Rp 600 ribu hingga Rp 4 juta/orang. Jika dihitung rata-rata empat pasien/hari, Arik telah melakukan aborsi terhadap 5.840 pasien! Dengan peralatan seadanya dan jauh dari standar, empat di antara pasien Arik meninggal dunia dan enam orang dikabarkan harus berobat ulang ke rumah sakit karena menderita infeksi rahim. Arik pun menerima ganjarannya. Ia diseret ke meja hijau. Sayang, Arik hanya dinyatakan sebagai tersangka pembantu dalam kasus tersebut. Sedangkan tersangka utama ditujukan kepada para perempuan pelaku aborsi. Arik tak sendiri. Tanpa data yang jelas, praktik aborsi tumbuh subur di Indonesia. Selain itu, biaya yang cukup besar tak memberi jaminan keamanan dan keselamatan akibat tindakan aborsi bagi pasien, yang notabene adalah perempuan. Menurut Dirjen Binkesmas Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Azrul Anwar, aborsi menyumbang hingga 50% pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Prof. DR. Gulardi Wiknyosastro dalam Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2000 mengemukakan, AKI di Indonesia mencapai 396/100.000 kelahiran (www.rahima.or.id/Sr/09-03/opini2.htm). Dibandingkan data UNFPA, AKI di Indonesia mencapai 650/100.000 kelahiran, menduduki peringkat kedua dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam setelah Afganistan dengan AKI sebesar 1.700/100.000 kelahiran

(www.rahima.or.id/Sr/09-03/Info.htm).

Banyak ahli berpendapat, AKI ini hampir pasti terlalu rendah mengingat besarnya jumlah aborsi yang tidak tercatat. Nurfaizi dari Polri mengatakan, kasus aborsi hanya terungkap jika perempuan yang melakukan aborsi menderita sakit atau meninggal dunia. Keputusan yang menimbulkan pro dan kontra itu makin pelik mengingat banyak hal yang harus dipikirkan saat memutuskan tindakan aborsi. Dalam dunia kesehatan, abortus berarti berakhirnya kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Batasan yang dipakai adalah kehamilan kurang dari dua minggu dan berat badan janin kurang dari 500 gram. Ada dua jenis abortus, yaitu abortus spontan dan abortus provocatus (dengan kesengajaan). Abortus spontan dalam masyarakat awam kerap disebut keguguran. Sedangkan abortus provocatus dibagi lagi menjadi dua, yaitu abortus provicatus

therapeuticus/medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus therapeuticus dilakukan secara sengaja dengan indikasi medis. Abortus provocatus criminalis dilakukan secara sengaja tanpa indikasi medis. Pemerintah Indonesia selama ini tak berani bersikap tegas. Dalam UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 dikatakan, abortus atas alasan apa pun juga dilarang dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Hal itu ditegaskan dalam UU KUHP pasal 346 349 tentang aborsi yang mengancam pelaku dan perempuan yang meminta aborsi dengan ancaman hukuman antara satu sampai 15 tahun. Namun, Mahkamah Agung memberi kebijaksanaan dengan pernyataan, abortus untuk keselamatan jiwa ibu diperbolehkan (www.geocities.com/Vienna/Strasse/2994/aborsi.html). Penelitian Penghentian Kehamilan tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling yang dilakukan Zumrotin K. Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan di sembilan kota di Indonesia pada Juni sampai Desember 2002 menunjukkan, terdapat 1.289 pasien melakukan aborsi dari 1.446 orang yang menginginkannya. 58% klien berusia lebih dari 30 tahun. 87% klien berstatus menikah dan 12% belum menikah. Dari seluruh klien, 48% adalah Ibu Rumah Tangga, 43% klien yang bekerja di sektor nondomestik, 7% pelajar dan lainnya 2%. Dewi dalam Population Council (1998) mengatakan, lebih dari 80% aborsi dilakukan perempuan menikah yang hidup harmonis dan telah punya beberapa anak. Mengapa bisa begitu? 1.343 klien datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan mengalami gagal KB, begitu temuan Zumrotin. Yogyakarta menempati urutan pertama dengan 89 klien, disusul Denpasar 70 klien dan Medan dengan 60 orang. Karena kegagalan tesebut, mereka pun memutuskan untuk

menghentikan kehamilan dengan berbagai alasan. Alasan psikososial yang menambah risiko psikis menjadi alasan terbanyak yang diungkapkan, sebesar 54%. Gagal KB juga dijadikan 40% klien sebagai alasan melakukan aborsi. Sisanya, 6% menyatakan karena indikasi medis. Di sisi lain, upaya klien menghentikan kehamilannya sebelum ke fasilitas kesehatan berbedabeda. 41,7% klien mencoba menggugurkannya dengan minum ramuan tradisional atau jamu, 41,7% minum pil, 13,9% dengan ginekosid/cytotex dan 1,4% lompat-lompat. Saat pengambilan keputusan, 90% klien tetap berniat menghentikan kehamilannya dan hanya 6% yang melanjutkannya. Keputusan akhir ini 82% diambil klien bersama pasangan, 8% ditetapkan sendiri dan lainnya 2%. Dari data tersebut, dapat ditarik beberapa hal yang merugikan perempuan sebagai kaum marjinal. Pertama, kurangnya akses mendorong perempuan melakukan unsafe abortion. Kasus aborsi yang dilakukan Arik Widiantara menjadi sebuah potret buram pelayanan kesehatan bagi perempuan. Perempuan dengan kondisi terjepit tak bisa mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri. Hal ini menunjukkan, dominasi laki-laki yang kerap menekan perempuan. Sudah menjadi pengetahuan publik, budaya dalam masyarakat Indonesia, istri dididik untuk mematuhi suami. Dengan alasan demi kepentingan bersama, mereka melupakan risiko buruk jika unsafe abortion dilakukan. Sarana dan prasarana kesehatan yang tak mendukung memaksa mereka menerima saja tindakan yang dilakukan terhadap dirinya. Padahal, unsafe abortion menjadi salah satu tingginya AKI di Indonesia. Belum lagi risiko lain seperti cacat yang bisa ditanggung perempuan. Kedua, kurangnya pengetahun perempuan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi. Penelitian Pemahaman Perempuan tentang Saluran Reproduksinya di dua Puskesmas di DKI Jakarta yang dilakukan Sapariah Sadli, Ninuk Widiantoro dan Anita Rahman pada tahun 1994 menunjukkan, dokter dan bidan di dua Puskesmas tersebut tidak pernah menjelaskan mengenai keputihan yang kerap ditanyakan pasien dan menganggap keputihan adalah hal yang wajar bagi perempuan. Pemerintah juga kurang memperhatikan pentingnya pengetahuan itu bagi perempuan. Ini terlihat dari RAPBN tahun 2000 yang menentukan biaya kesehatan hanya 3,5% dan program kesehatan produksi menjadi bagian kecil dari 10 program Indonesia Sehat 2010. Hal itu diperparah dengan faktor kemiskinan, ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, mitos-mitos budaya yang berkaitan dengan kesehatan, pemahaman ajaran agama yang sempit dan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam UU (Kumpulan Tulisan Aborsi dan Kesehatan Reproduksi,

Yayasan Jurnal Perempuan). BKKBN sampai sekarang bahkan tetap memakai UU tentang Tata Cara Menyusui untuk Menjarangkan Anak tahun 1970. Selain itu, perempuan menjadi korban dalam perundang-undangan pidana. Pasalnya, mereka yang tidak memutuskan sendiri tindakan aborsi itu menjadi tersangka utama dalam tiap kasus abortus provocatus criminalis. Padahal, tak sedikit perempuan yang merasa bersalah karena tindakan pengguguran tersebut. Penelitian di dua provinsi di Canada selama lima tahun tentang dampak psikologis aborsi pada perempuan mengungkapkan, setelah delapan minggu, 44% perempuan mengalami kecemasannya, 36% mengalami gangguan tidur, 31% menyesali keputusannya dan 11% memerlukan obat penenang dari psikiater. Juga ditemukan 60% memiliki ide bunuh diri setelah aborsi, 28% diantaranya pernah mencoba bunuh diri (Panduan Workshop Peliputan dan Penulisan Berita Aborsi yang Komprehensif untuk Wartawan dan Polisi, Info Kespro). Bagaimana dengan Indonesia? Perempuan di belahan dunia mana pun pasti memiliki perasaan yang sama. Kini, sudah waktunya pemerintah melakukan berbagai perbaikan. Pertama, merevisi UU dan kebijakan nasional. Adanya UU dan peraturan yang jelas mengenai aborsi yang aman sangat diperlukan untuk menurunkan tingkat kesakitan dan AKI. Kedua, memberikan pendidikan mengenai isu aborsi kepada masyarakat untuk mengimplementasikan pelayanan aborsi yang aman dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan (Pengetahuan, Sikap dan Praktik Aborsi di Indonesia). Ketiga, memberikan porsi yang lebih besar dalam anggaran kesehatan bagi perempuan, termasuk program kesehatan reproduksi. Pemerintah juga selayaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas saran dan prasarana kesehatan bagi masyarakat, melakukan advokasi kepada tenaga kesehatan, tokoh agama dan komponen masyarakat lainnya serta merevisi kurikulum kedokteran agar pengetahuan aborsi yang rendah pada mahasiswa kedokteran dapat ditingkatkan dengan harapan mereka mampu menerapkan pendekatan yang berorientasi pasien. Bali Sruti 2006

MAKALAH ETIKA KEPERAWATAN ABORSI DALAM PANDANGAN ISLAM


BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG Dunia tidak hanya telah diporak - porandakan oleh peperangan politis, keberingasan kriminal ataupun ketergantungan akan obat bius, tetapi juga datang dari jutaan ibu yang mengakhiri hidup janinnya. Aborsi telah menjadi penghancur kehidupan umat manusia terbesar sepanjang sejarah dunia. Hasil riset Allan Guttmacher Institute ( 1989 ) melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 55 juta bayi digugurkan. Angka ini memberikan bukti bahwa setiap hari 150.658 bayi dibunuh, atau setiap menit 105 nyawa bayi direnggut sewaktu masih dalam kandungan. Janin : ( Manusia dalam Rahim ) Pengguguran kandungan alias aborsi ( abortus, bahasa Latin ) secara umum dapat dipilah dalam dua kategori, yakni aborsi alami ( abortus natural ) dan aborsi buatan ( abortus provocatus ), yang termasuk didalamnya abortus provocatus criminalis, yang merupakan tindak kejahatan dan dilarang di Indonesia ( diatur dalam pasal 15 ayat 2 Undang undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 ).A.Aborsi tidak hanya dilakukan oleh para wanita berstatus istri yang bermaksud menghentikan kelangsungan kandungannya, tetapi juga banyak penyandang hamil pra-nikah melakukannya. Kecenderungan melakukan aborsi ini tak lepas dari pandangan terhadap hakikat kapan kehidupan anak manusia dimulai. Aborsi merupakan masalah yang kompleks, mencakup nilai-nilai religius, etika, moral dan ilmiah serta secara spesifik sebagai masalah biologi. B.TUJUAN 1.Tujuan Umum a.Agar mahasiswa dapat menjelaskan tentang Aborsi b.Ager mahasiswa dapat mengantisipasi hal tersebut agar tidak melanggar Etika Keperawatan 2.Tujuan Khusus a.Agar mahasiswa dapat mampu memahami Aborsi b.Agar mahasiswa mampu dan mengetahui hal - hal yang mengakibatkan Aborsi c.Agar mahasiswa dapat menjelaskan tentang Aborsi d.Agar Mahasiswa mengetahui bagaimana Islam memandang Aborsi

BAB II PEMBAHASAN A.DEFINISI ABORSI Secara sederhana kata aborsi adalah mati ( gugurnya ) hasil konsepsi. Artinya aborsi itu dapat dimulai dari sejak benih wanita (ovum ) dengan benih pria ( sperma ) mengadakan konsepsi. Kehidupan yang utuh dimulai dari dua benih menjadi satu ( TWO IS ONE ). PEMBAGIAN ABORSI 1.Pembagian Aborsi

a.Aborsi spontan b.Aborsi Provocatus 2.Kejadain aborsi a.Aborsi dalam pernikahan b.Aborsi dalam pra nikah Ada 3 hal yang terjadi sebelum aborsi : 1.Adanya hubungan seks pria dan wanita 2.Hubungan seks dengan komitmen ( seks dalam pernikahan ) 3.Hubungan seks tanpa komitmen ( seks di luar pernikahan ) Aborsi adalah dampak dari hubungan seks, artinya aborsi baru terjadi apabila ada hubungan seks ( termasuk perkosaan / kekerasan seks ) dan konsepsi kedua benih. Konsepsi dapat terjadi pada wanita yang sudah menstruasi dengan laki - laki yang spermanya telah dewasa : dimulai dari kelompok remaja sampai tua, kecuali pada wanita sampai menopause. A.ABORSI Aborsi adalah : Berakhirnya suatu kehamilan ( oleh akibat akibat tertentu ) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan / kehamilan yang tidak dikehendaki atau diinginkan. Aborsi itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya upaya - upaya dari luar ( buatan ) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yang terjadi akibat adanya upaya - upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan. Aborsi tetap saja menjadi masalah kontroversial, tidak saja dari sudut pandang kesehatan, tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi biasanya dilakukan atas indikasi medis yang berkaitan dengan ancaman keselamatan jiwa atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada diri si ibu, misalnya tuberkulosis paru berat, asma, diabetes, gagal ginjal, hipertensi, bahkan biasanya terdapat dikalangan pecandu ( ibu yang terinfeksi virus ). Aborsi dikalangan remaja masih merupakan hal yang tabu, jangankan untuk dibicarakan apalagi untuk dilakukan. Aborsi itu sendiri ada 3 macam : 1.ME ( Menstrual Extraction ) : Dilakukan 6 minggu dari menstruasi terakhir dengan penyedotan. Tindakan aborsi ini sangat sederhana dan secara psikologis juga tidak terlalu " berat " karena masih dalam bentuk gumpalan darah, belum berbentuk janin. 2.Diatas 12 minggu, masih dianggap normal dan termasuk tindakan aborsi yang sederhana. 3.Aborsi diatas 18 minggu, tidak dilakukan di klinik tetapi di rumah sakit besar. Tetapi bagi kalangan pecandu atau pekerja seks aborsi seringkali terjadi saat usia kehamilan sudah diatas 18 minggu. Biasanya mereka akan mendatangi klinik - klinik yang mereka ketahui dan mereka seringkali tidak memikirkan efek samping bagi tubuh mereka sendiri. Mereka melakukan aborsi ini karena mereka tidak menginginkan kehamilan tersebut dan terkadang mereka melakukan ini karena tidak ingin menularkan virus pada bayi mereka, dikarenakan sebagian dari mereka mengetahui bahwa mereka telah terinfeksi virus, tetapi bagaimana jika mereka tidak mengetahui jika mereka terinfeksi virus dan menginginkan bayi tersebut lahir ? Ada juga dari mereka yang memilih cara - cara alternatif, seperti melakukannya sendiri dengan meminum jamu peluntur, loncat - loncat, mengurut perut, sampai memasukan benda - benda tertentu kedalam rahim dan ada juga meminta bantuan orang yang mampu mengatasi hal tersebut seperti mendatangi dukun dan sebagainya. Di Indonesia sendiri pengguguran kandungan tidak asing lagi. Semakin banyaknya pecandu yang ada dan banyaknya juga pekerja seks maka tingkat pengguguran kandungan pun semakin

meningkat. Dan ini yang harus kita waspadai dan perhatikan. Sebaiknya jika ingin melakukan aborsi diperhatikan dahulu apa memang perlu adanya tindakan aborsi tersebut. Remaja hamil, baik yang menempuh a borsi maupun yang meneruskan kehamilannya, membutuhkan banyak biaya untuk pelaksaan aborsi atau untuk perawatan kehamilan dan melahirkan. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan aborsi bekisar antara Rp 300.000 sampai Rp 1.100.000, dengan rata - rata biaya aborsi Rp. 415.000. Jumlah biaya terkecil dipakai oleh responden dari bidan di Puskesmas atau Dokter. Remaja yang meneruskan kehamilan membutuhkan biaya perawatan kehamilan dan kelahiran anaknya. Berbeda dengan remaja yang melakukan aborsi, remaja yang melahirkan anak umumnya mendapatkan bantuan dari orang tua . Dari responden yang melahirkan, sekitar 15% biaya ditanggung bersama dengan pasangan dan 11% ditanggung oleh pasangan. Sebagian besar mereka tidak memeriksa kandungannya secara rutin karena merasa malu keluar rumah dengan perut besar tidak lama setelah menikah atau tanpa menikah. Mereka rata - rata baru memeriksa kandungannya setelah berusia lebih dari 4 bulan. Empat bulan pertama kehamilan adalah periode yang berusaha disembunyikan dan bahkan digugurkan.

B.KASUS - KASUS ABORSI Seorang pecandu yang sudah clean memiliki pengalaman pernah melakukan aborsi karena ia dulu memakai narkoba. Karena untuk mendapatkan drugs ia memerlukan uang banyak untuk memenuhi kebutuhannya itu dan ia pun rela sampai menjual dirinya agar mendapatkan drugs. Karena pekerjaan yang menurutnya sangat menyiksa dirinya itu ia pun tidak menggunakan kondom dan ia sampai ke tahap hamil, tanpa mengetahui siapa ayah dari bayinya tersebut. Ia terus berusaha mencari uang lebih untuk kebutuhan drugsnya dan juga untuk membiayai pengguguran kandungan yang tidak ia kehendaki tersebut. Sampai pada usia kandungannya mencapai 3 bulan ia harus penggugurkan kandungannya dan itu memerlukan uang yang sangat banyak, karena usia kandungannya sudah cukup besar. Dan ini pun bukan pertama kalinya ia melakukan aborsi tersebut.

BAB III ABORSI DALAM PANDANGAN ISLAM A.ABORSI DALAM PANDANGAN ISLAM Bagaimana Islam memandang Aborsi ? Soal : Bagaimana hukum dalam pandangan Islam ?

Jawab : Sebelum membahas hukum aborsi, ada dua fakta yang dibedakan oleh para fuqaha dalam masalah ini. Pertama : apa yang disebut imlash ( aborsi, pengguguran kandungan ). Kedua, isqth ( penghentian kehamilan ). Imlash adalah menggugurkan janin dalam rahim wanita hamil yang dilakukan dengan sengaja untuk menyerang atau membunuhnya. Dalam hal ini, tindakan imlash ( aborsi ) tersebut jelas termasuk kategori dosa besar; merupakan tindak kriminal. Pelakunya dikenai diyat ghurrah budak pria atau wanita, yang nilainya sama dengan 10 diyat manusia sempurna. Dalam kitab Ash - Shahhayn, telah diriwayatkan bahwa Umar telah meminta masukan para sahabat tentang aktivitas imlsh yang dilakukan oleh seorang wanita, dengan cara memukuli perutnya, lalu janinnya pun gugur. Al-Mughirah bin Syubah berkata: '' Rasulullah saw. telah memutuskan dalam kasus seperti itu dengan diyat ghurrah 1 budak pria atau wanita ''. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Muhammad bin Maslamah, yang pernah menjadi wakil Nabi saw. di Madinah. Karena itu, pada dasarnya hukum aborsi tersebut haram. Ini berbeda dengan isqth al - haml ( penghentian kehamilan ), atau upaya menghentikan kehamilan yang dilakukan secara sadar, bukan karena keterpaksaan, baik dengan cara mengkonsumsi obat, melalui gerakan, atau aktivitas medis tertentu. Penghentian kehamilan dalam pengertian ini tidak identik dengan penyerangan atau pembunuhan, tetapi bisa juga diartikan dengan mengeluarkan kandungan baik setelah berbentuk janin ataupun belum dengan paksa. Dalam hal ini, penghentian kehamilan ( al - ijhdh ) tersebut kadang dilakukan sebelum ditiupkannya ruh di dalam janin, atau setelahnya. Tentang status hukum penghentian kehamilan terhadap janin, setelah ruh ditiupkan kepadanya, maka para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, baik dilakukan oleh si ibu, bapak, atau dokter. Sebab, tindakan tersebut merupakan bentuk penyerangan terhadap jiwa manusia, yang darahnya wajib dipertahankan. Tindakan ini juga merupakan dosa besar.

B.HUKUM ABORSI MENURUT UUD Menurut hukum - hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah Abortus Provocatus Criminalis Yang menerima hukuman adalah: 1.Ibu yang melakukan aborsi 2.Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi 3.Orang - orang yang mendukung terlaksananya aborsi Beberapa pasal yang terkait adalah: Pasal 229 1.Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. 2.Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan

tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. 3.Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Pasal 314 Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 342 Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 343 Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 347 1.Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 348 1.Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. 2.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 349 Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

BAB IV PENUTUP Mengenai penghentian kehamilan sebelum ditiupkannya ruh, para fuqaha telah berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Menurut kami, jika penghentian kehamilan itu dilakukan setelah empat puluh hari usia kehamilan, saat telah terbentuknya janin ( ada bentuknya sebagai manusia ), maka hukumnya haram. Karenanya, berlaku hukum penghentian kehamilan setelah ruhnya ditiupkan, dan padanya berlaku diyat

ghurrah tersebut. Karena itu, tema pembahasan penghentian kehamilan dalam konteks ini meliputi beberapa hal: A.KESIMPULAN 1.Jika seorang wanita yang tengah mengandung mengalami kesulitan saat melahirkan, ketika janinnya telah berusia enam bulan lebih, lalu wanita tersebut melakukan operasi sesar. Penghentian kehamilan seperti ini hukumnya boleh, karena operasi tersebut merupakan proses kelahiran secara tidak alami. Tujuannya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan janinnya sekaligus. Hanya saja, minimal usia kandungannya enam bulan. Aktivitas medis seperti ini tidak masuk dalam kategori aborsi; lebih tepat disebut proses pengeluaran janin ( melahirkan ) yang tidak alami. 2.Jika janinnya belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka kesehatan ibunya bisa terganggu. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya tidak boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya. Sebab, sama dengan membunuh jiwa. Alasannya, karena hadis - hadis yang ada telah melarang dilakukannya pengguguran, serta ditetapkannya diyat untuk tindakan seperti ini. 3.Jika janin tersebut meninggal didalam kandungan. Dalam kondisi seperti ini, boleh dilakukan penghentian kehamilan. Sebab, dengan dilakukannya tindakan tersebut akan bisa menyelamatkan nyawa ibu, dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya; sementara janin tersebut berstatus mayit, yang karenanya harus dikeluarkan. Janin yang di bunuh dan wajib atasnya ghurrah adalah bayi yang suadh berbentuk ciptaan ( janin ), misalnya mempunyai jantung, tangan, kaki, kuku, mata, atau lainnya. Mengenai peghentian kehamilan sebelum ditiupkannya ruh, para fuqojia telah berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Menurut kami, jika penghentian kehamilan itij dilakukan setelah empat puluh hari usia kehamilan, saat telah terbentuknya janin ( ada bentuknya sebagai manusia ), maka hukumnya haram. Karenanya, berlaku hukum penghentian kehamilan setelah ruhnya ditiupkan, dan padanya berlaku diyat ghurrah tertentu. 4.Jika janin tersebut belum berusia enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka nyawa ibunya akan terancam. Dokter pun sepakat, kalau janin tersebut tetap dipertahankan menurut dugaan kuat atau hampir bisa dipastikan nyawa ibunya tidak akan selamat, atau mati. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya, yang dilakukan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya, karena Rasulullah saw. memerintahkan berobat dan mencari kesembuhan. Di samping itu, jika janin tersebut tidak digugurkan, ibunya akan meninggal, janinnya pun sama, padahal dengan janin tersebut digugurkan, nyawa ibunya akan tertolong, sementara menyelamatkan nyawa ( kehidupan ) tersebut diperintahkan oleh Islam. B.SARAN Dengan demikian, dalil - dalil tentang kebolehan menghentikan kehamilan, khususnya untuk menyelamatkan nyawa ibu, juga dalil - dalil berobat dan mencari kesembuhan, pada dasarnya merupakan dalil mukhashshish bagi hadis - hadis yang mengharamkan tindakan pengguguran janin. Secara umum dalil haramnya pengguguran kandungan tersebut dinyatakan dalam konteks pembunuhan, atau penyerangan terhadap janin. Karena itu, penghentian kehamilan dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu tidak termasuk dalam kategori penyerangan, dan karenanya diperbolehkan. Wallhu alam bi ash - shawb DAFTAR PUSTAKA

http://azmikoe.multiplay.co id. Answer.yahoo.com/questioan/indeks http://forum.kotasantri.com/viewtopic.php?t=1267 http://118.98.213.22/aridata_web/how/k/kesehatan/18_ABORSI.pdf

30 Tahun, Dokter RD Praktek Aborsi


Besar Kecil Normal TEMPO.CO, Cilacap Seorang dokter berinisial RD mengaku lupa sudah berapa janin yang sudah digugurkannya. Dokter RD sendiri sudah menjalani prakteknya sebagai dokter kandungan selama 30 tahun. Dalam pemeriksaan, RD mengaku sudah melakukan praktek aborsi berulang-ulang. Dia tidak ingat jumlahnya, kata Kepala Satuan Resor Kriminal Kepolisian Resor Cilacap, Ajun Komisaris Polisi Guntur Saputra, Jumat, 16 Maret 2012 petang. Guntur mengatakan RD sudah menjalani praktek kandungan selama 30 tahun. Menurut pengakuan RD ke penyidik, proses aborsi dilakukan atas analisis dokter itu seorang diri. Polisi menangkap RD pada Kamis, 15 Maret 2012, dan langsung melanjutkan penyelidikan dengan membongkar septic tank yang diduga sebagai tempat pembuangan janin hasil aborsi. Guntur menambahkan, dalam pembongkaran septic tank yang dilakukan tim forensik, mereka menemukan potongan organ tubuh yang tertanam dalam septic tank. Kami menemukan sedikitnya 14 potongan organ tubuh," kata dia. Selain menemukan potongan tubuh janin, tim forensik juga menemukan tiga buah botol. Botol tersebut masing-masing berisi potongan tangan, tulang belakang, dan sisa kuretase janin. Potongan organ tubuh itu akan dikirim ke laboratorium forensik di Jakarta untuk dilakukan tes DNA. Polisi juga akan meminta pendapat Dinas Kesehatan setempat, apakah tindakan aborsi yang dilakukan RD merupakan praktek legal atau ilegal. Masih menurut Guntur, pihaknya akan terus mengembangkan kasus tersebut. Diduga dokter tersebut tidak hanya melakukan praktek aborsi di rumahnya saat ini di Jalan Gatot Subroto, Cilacap. Selain RD, polisi juga menetapkan lima tersangka lainnya. Seorang tersangka lainnya merupakan pasien RD yang melakukan aborsi, DH, 19 tahun, asal Pemalang; HRK; SM; AK; dan NK yang membiayai aborsi. Dari pengungkapan kasus ini, polisi mendapati barang bukti sejumlah alat medis yang digunakan untuk praktek aborsi yang dilakukan RD. RD dikenai Pasal 194 UU Nomor 36 Tahun 200c tentang Kesehatan subsider Pasal 348 KUHP. Para tersangka diancam hukuman 10 tahun dengan

denda Rp 1 miliar. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dr Bambang Setyono mengatakan pihaknya akan mengedepankan asas praduga tak bersalah sebelum menjatuhkan sanksi. Kata dia, RD merupakan dokter senior di Cilacap dan sudah lama membuka praktek. "Kita akan menunggu proses persidangan untuk menjatuhkan sanksi," katanya. Ketua RT 01 RW 01 Kelurahan Gunung Simping, Kecamatan Cilacap Tengah, T. Kadi, mengatakan ia tidak tahu-menahu bahwa RD selama ini melakukan praktek aborsi. Justru saya baru tahu dari Anda, kata dia kepada wartawan. Kadi mengatakan, selama ini, rumah RD yang digunakan sebagai tempat praktek khusus kandungan memang terkenal tertutup. RD merupakan dokter yang sering membantu warga yang ingin berobat tapi tak mempunyai uang.

Vous aimerez peut-être aussi