Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TUGAS POLITIK HUKUM PROF. DR. KOESPARMONO IRSAN, SIK.,S.H.,M.M.,MBA. DIBUAT OLEH : NURUL SYAFUAN, S.H.,S.E.,M.M. NIM : 10720005
KASUS MARSINAH
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Sebelum diketemukan mayatnya tanggal 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekanrekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002.
Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai issue yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah". Kasus Pembunuhan Marsinah sampai saat ini belum pernah tuntas penyelidikannya, pelakunya masih bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukuman terhadap pelakunya memang tidak mungkin menghidupkan kembali Marsinah, tetapi dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum.
ANALISA STUDI KASUS MARSINAH ANALISA HASIL PUTUSAN PENGADILAN PADA KASUS PEMBUNUHAN MARSINAH
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga
A. Fakta Konkret Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan fakta konkret adalah fakta yang melatar belakangi putusan Pengadilan terhadap terdakwa Mtr sampai dengan dikeluarkannya Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung tanggal 29 April 1995 Regno.1147 K/Pid/1994. a) Pada tanggal 3 Mei 1993, karyawan/wati harian pabrik PT. CPS Porong, termasuk Marsinah melakukan unjuk rasa dan mogok kerja. Mereka berkerumun di halaman pabrik. Ya, manager PT. CPS memerintahkan Mtr, kepala personalia, untuk meneliti dan mencatat siapa diantara para karyawan/wati yang menjadi
A. Penyidikan Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS (Ys, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Ya, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Su, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Spt, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bw, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Wd, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Ap, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Kw, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mtr, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Spt (pekerja di bagian kontrol CPS)
Melalui beragam analisa pada kasus pembunuhan Marsinah dengan terdakwa Mtr, penulis mencoba menarik beberapa point kesimpulan yang juga sekaligus sebagai wujud atau titik kelemahan atau mungkin juga kegagalan dalam sebuah skenario/rekayasa kasus dalam suatu bingkai konspirasi yang telah terjadi dalam penanganan kasus pembunuhan Marsinah pada Mei 1993, yaitu : a) Kelemahan Penyidikan 1) Masih adanya pemaksaan dalam penyidikan baik fisik maupun non fisik untuk mengejar pengakuan, sehingga tersangka mencabut keterangannya dengan alasan keterangan yang dia berikan tersebut tidak benar karena pada saat pemeriksaan berada dalam tekanan fisik / psikis. 2) Kurangnya pemahaman penyidik dalam melakukan penyidikan sehingga asasasas dalam penyidikan tersebut dilanggar (dua asas: praduga tak bersalah & pemberitahuan untuk didampingi penasehat hukum). 3) Tidak melakukan penyidikan secara cermat guna mengidentifikasi peran terdakwa, apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan, membantu melakukan, atau hanya sebagai saksi (pasal 55-56 KUHP). 4) Tidak berupaya mendapatkan alat bukti yang kuat didahului pemeriksaan yang cermat. Dalam hal ini penyidik menggunakan keterangaan saksi yang saksi tersebut juga merupakan tersangka. Sehingga saksi-saksi tersebut mencabut keterangannya dalam sidang pengadilan. 5) Tidak mengusahakan penyusunan resume yang baik dan pemberkasan. Kecenderungan penyidik melakukan pemisahan KUHP berkas perkara (Splitzing) bagi masing masing tersangka, atau saksi-saksi, mereka-reka yang menjadi tersangka pada berkas perkara lain yang di kenal dengan saksi mahkota. b) Kelemahan Penuntutan 1) Menerima berkas tanpa meneliti berkas tersebut dan tidak mempelajari dengan cermat sehingga tidak mengetahui kekurangannya. 2) Kurang cermat dalam menyusun surat dakwaan. c) Kelemahan Peradilan 1) Tidak mengindahkan penasehat hukum terdakwa guna dimintai keterangan ulang, yang mana sehubungan dengan saksi-saksi telah mencabut keterangannya