Vous êtes sur la page 1sur 10

PEMFIGOID

I. DEFINISI Pemfigoid merupakan suatu dermatitis vesikobulosa yang bersifat kronik. Penyakit ini merupakan penyakit yang jarang terjadi dan bersifat autoimun.1 Lokasi lesi yaitu pada daerah subepidermal dimana terbentuk antibodi yaitu IgG yang menyerang komponen dari daerah membrana basalis epidermis.2 Pemfigoid dibagi menjadi 3 jenis yaitu: pemfigoid bullosa, pemfigoid gestasionis, dan pemfigoid sikatrisial.1

II. ETIOLOGI Etiologi pemfigoid ialah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada pemfigoid masih belum diketahui secara pasti.1 Adapun antibody yang berperan pada pemfigoid ini ialah IgG sedangkan IgA, IgE, dan IgM jarang terlibat.2

III. PATOGENESIS Antigen PB merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian basal membrane zone (BMZ) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis. Terdapat 2 jenis antigen PB ialah PB Ag1 atau PB230 (berat molekul 230 kD) dan PBAg2 atau PB180 (berat molekul 180kD).1 PB 180 merupakan komponen BMZ dengam domain kolagen sedangkan PB 230 merupakan protein plak hemidesmosomal intraselular.2 Terbentuk bula akibat ikatan autoantibodi dengan antigen PB180 dan PB 230 yang akan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang teraktivasi tersebut akan menyebabkan degranulasi sel mast, akumulasi neutrofil dan eosinofil yang akan memicu dikeluarkan proteinase (metalloproteinase, elastase, dan lain sebagainya) yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dan dermis.3

Adapun isotipe IgG yang utama ialah IgG1 dan IgG4. Pemfigoid sikatrisial berhubungan dengan HLA-DR4, HLA-DQw7, dan HLA-DQB1*0301 namun patogenesisnya serupa dengan pemfigoid bullosa sedangkan pada pemfigoid gestasionis memiliki faktor pencetus yaitu kehamilan sehingga terjadi pada masa kehamilan dan masa pasca-partus.1

Ikatan autoantibodi dengan PB 180 & PB230

Aktivasi komplemen

Degranulasi sel Mast Interfensi langsung terhadap fungsi PB180 dan PB 230 Induksi sitokin pro-inflamasi Akumulasi neutrofil & eosinofil

Dikeluarkannya proteinase

Bula subepidermal

Diagram 1: Mekanisme terjadinya bula pada pemfigoid, khususnya pemfigoid bullosa, dimana dimulai dari ikatan autoantibodi dengan antigen yang akan mengaktivasi koplemen, interfensi langsung terhadap fungsi PB180 dan PB230, serta menginduksi sitokin proinflamasi.3

IV. DIAGNOSIS Gambaran klinis Pemfigoid memiliki 3 jenis isotipe sehingga memiliki gambaran klinik yang berbeda pula. Adapaun gambaran klinik berdasarkan isotipenya yaitu: a. Pemfigoid bullosa Lesi pada kulit dikarateristikkan dengan adanya bula yang berdinding tebal pada kulit yang normal atau pada kulit yang eritematous. Lesi ini umumnya terdapat pada perut bagian bawah, paha, dan bagian fleksor lengan meskipun dapat pula terjadi dimana saja. Bula biasanya berisi cairan jernih tapi dapat pula hemorragik. Bula tersebut tidak menjadi jaringan sikatriks dan biasanya, walaupun tidak selalu, ditandai dengan pruritus.4 Jika bula pecah terdapat daerah erosi yang luas, tetapi tidak bertambah seperti pada pemfigus vulgaris.1

Gambar 1: Gambaran lesi pada pemfigoid bullosa yang ditandai dengan adanya bula yang berdinding tegang dan makula eritematous pada paha dan daerah betis.4

b. Pemfigoid sikatrisial Penderita pemfigoid sikatrisial memiliki keadaan umum yang baik. Dermatosis ini umumnya ditandai oleh adanya bula yang menjadi sikatriks terutama di mukosa. Kelainan mukosa yang tersering ialah mulut (90%), konjungtiva (66%),
3

dan dapat juga pada mukosa lainnya, misalnya pada mukosa hidung, faring, laring, esofagus, dan genitalia. Lesi di mulut jarang mengganggu penderita saat makan. Terdapat berbagai keluhan sesuai dengan lokasi lesi. Adapun keluhan pada okular meliputi rasa terbakar, lakrimasi, fotofobia, dan sekret mukoid sedangkan keluhan pada hidung berupa obstruksi nasal. Kelainan kulit dapat ditemukan pada 10-30% penderita, berupa bula tegang di daerah inguinal dan ekstremitas, dan dapat pula bersifat generalisata.1

Gambar 2: Pemfigoid sikatrisial yang mengenai mukosa mata. Tampak adanya jaringan sikatriks pada palpebra inferior disertai tanda-tanda konjungtivitis berupa injeksi konjungtiva, lakrimasi, dan sekret mukoid pada mata.5

c. Pemfigoid gestasionis Pemfigoid gestasionis timbul pada masa kehamilan dan masa pasca-partus. Waktu timbulnya serangan umumnya pada trimester II. Pada pemfigoid gestasionis, dapat diawali dengan gejala-gejala prodromal berupa demam, malaise, mual, nyeri kepala, dan rasa panas dingin yang silih berganti. Beberapa hari sebelum timbul erupsi dapat didahului perasaan sangat gatal seperti terbakar. Biasanya terlihat banyak papulovesikel yang sangat gatal dan berkelompok. 1 Lesinya polimorf terdiri atas eritema, edema, papul, dan bula yang tegang. Tempat predileksinya pada abdomen dan ekstremitas dan dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak simetrik. Adapun mukosa jarang sekali terlibat. Jika lesi sembuh akan meninggalkan hiperpigmentasi namun jika ekskoriasi lesinya dalam maka akan meninggalkan jaringan parut.1

Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan histopatologi Pada gambaran histopatologi didapatkan adanya celah di perbatasan dermal-epidermal sehingga terbentuk bula subepidermal. Didapatkan pula infiltrasi sel-se radang terutamal eosinofil. Gambaran histopatologi pada ketiga jenis pemfigoid ialah serupa namun pada pemfigoid gestasionis, dapat pula ditemukan infiltrasi sel-sel radang pada bagian dalam dermis, terdiri atas histiosit, limfosit, dan eosinofil.1

Gambar 3: Gambaran histopatologi bula sub-epidermal yang disertai infiltrasi sel-sel radang terutama eosinofil pada dermis bagian superfisial.4

b. Pemeriksaan imunologi (imunofluoresensi) Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan komplemen pada BMZ.1 C3 umumnya terdeteksi pada hampir semua penderita. Pemeriksaan imunofluoresensi menunjukkan bahwa sekitar 70-80% penderita pemfigoid bullosa memiliki ikatan IgG dengan membran basalis epidermis. Jika substrat

imunofluoresensi diinkubasi pertama kali pada M NaCl untuk memisahkan epidermis dan dermis pada lamina lusida maka akan memberikan presentasi antibodi yang terdeteksi lebih tinggi dibandingkan tanpa inkubasi.4

Gambar 4: Metode imunofluoresensi dengan pembesaran 340 kali menunjukkan adanya ikatan IgG pada membran basalis epidermis yang berbentuk linear.4
5

V. DIAGNOSIS BANDING a. Impetigo bulosa Impetigo bullosa merupakan piodermi yang umumnya disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Bula terletak di intraepidermal yaitu di daerah sub-korneal sehingga mudah pecah. Vesikel atau bula yang pecah dapat menjadi koleret. Tempat predileksinya yaitu di ketiak, dada, dan punggung. Impetigo bullosa dapat menyerang segala usia.1

Gambar 5 : Vesikel-vesikel pada impetigo bulosa yang berisi cairan jernih dan mudah pecah menjadi koleret.4

b. Pemfigus vulgaris Pemfigus merupakan penyakit autoimun dimana terjadi proses akantolisis yaitu hilangnya kohesi antara sel-sel epidermis. Pemfigus vulgaris merupakan pemfigus tersering (80%) yang didapatkan. Kesadaran umum penderita biasanya buruk. Selain menyerang kulit dan semua mukosa dengan epitel skuamosa dapat diserang. Adapun bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah, dan meninggalkan kulit yang terkelupas diikuti dengan pembentukan krusta yang lama.1 Tanda Nikolskiy positif oleh karena adanya akantolisis. Tanda ini dapat diperiksa dengan menekan dan menggeser kulit diantara 2 bula dan kulit tersebut akan terkelupas atau dengan cara menekan bula maka bula akan meluas.1

Gambar 6 : Bula pada pemfigus vulgaris yang kendur dan mudah pecah.4

c. Dermatitis herpetiformis Dermatitis herpetiformis ialah penyakit menahun yang residif dengan etiologi yang masih belum diketahui.1 Umumnya terjadi pada usia muda (dekade ketiga sampai keempat) dan 2 kali lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Pada gambaran klinis, terdapat vesikel atau bula yang gatal pada permukaan ekstensor tubuh. Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat gambaran granular IgA pada papil dermis.6

Gambar 7 : Vesikel yang gatal pada siku penderita dermatitis herpetiformis.6

VI. PENATALAKSANAAN Penatalaksaaan pada pemfigus ditujukan untuk mengontrol penyakit serta untuk mengurangi keluhan yang ada. Adapun pengobatan yang dapat diberikan berupa3 : a. Kortikosteroid o Sistemik Korikosteroid sistemik merupakan pengobatan terbaik pada pemfigus. Kortikosteroid yang paling sering digunakan ialah prednisolon dan prednison. Dosis yang umumnya digunakan ialah 1 mg/kgBB/hari yang diteruskan sampai
7

berkurangnya formasi bula baru kemudian diturunkan pelan-pelan. Adapun dosis awal prednisolon yang direkomendasikan yaitu 20-30mg/kgBB/hari untuk lesi lokal atau derajat ringan, 40-60mg/kgBB/hari untuk derajat sedang, dan 5070mg/kgBB/hari pada derajat berat. Disamping pemantauan dosis yang ketat, diperlukan pula pemantauan terhadap efek samping yang ada. o Topikal Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan yang sangat bermanfaat pada pemfigoid terlokalisasi dengan derajat ringan hingga sedang. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan efek samping yang ringan berupa infeksi kutaneus dan atrofi kulit. Pengobatan ini sangat bermanfaat jika dikombinasi dengan terapi sistemik. b. Antibiotik dan nikotinamid Suatu laporan kasus dan penelitian menyatakan bahwa pengobatan ini merupakan lini pertama dalam pengobatan pemfigoid derajat ringan hingga sedang. Adapun pengobatan yang sering digunakan dan memberi hasil yang baik yaitu kombinasi tetrasiklin (500-2000 mg/hari) atau eritromisin dengan nikotinamid (500-2500 mg) dan kadang-kadang dikombinasi pula dengan kortikosteroid oral atau topikal. Hasil pengobatan ini mulai tampak 1-3 minggu setelah pengobatan dimulai. Selain itu, dapson dan sulfonamid juga dapat digunakan. c. Azathioprin Setelah kortikosteroid sistemik, azathioprin yang umum digunakan dengan dosis 2,5 mg/kgBB/hari. Azathioptrin ini digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada penderita yang tidak memiliki respon adekuat terhadap kortikosteroid dan juga untuk menghindari efek samping kortikosteroid pada penderita tertentu. Pemakaian azathioptrin memerlukan pengukuran thiopurine methyltransferase (TMPT) yang teratur oleh karena salah satu efek samping obat ini ialah myelosuppresi. d. Terapi imunomodulator lainnya Pada kasus-kasus tertentu, dimana penderita resisten dengan pengobatan diatas maka dapat diberikan terapi imunomodulator lainnya berupa: siklofosfamid,

methotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil, immunoglobulin intravena, klorambusil, dan dapat pula dilakukan plasmafaresis.
8

VII.

PROGNOSIS Kematian pada pemfigoid jarang terjadi dibandingkan dengan pemfigus vulgaris,

selain itu dapat pula terjadi remisi spontan. Pada pemfigoid gestasionis, komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan infeksi sekunder. Kelahiran mati dan kurang bulan pada janin akan meningkat. Jika penyakit timbul pada masa akhir kehamilan maka akan lama sembuh dan seringkali timbul pada kehamilan berikutnya.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiryadi BE, Dermatosis Vesikobulosa Kronik, in: Djuanda A, et al, editors. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. p.204-17. 2. Wojnarowska F, et al. Guidelines for The Management of Bullous Pemphigoid. Oxford: British Ass Dermatol 2002. p.214-21. 3. Kasperkiewicz M, Zillikens D. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid. Lubeck: Clinic Rev Allerg Immunol 2007. p.67-77. 4. Stanley JR, Bullous Pemphigoid, in: Wolff K, et al. editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th edition. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p.475-80. 5. Foster CS. Ocular Cicatricial Pemphigoid. Boston: American Uveitis Society; 2003. p.1-3. 6. Gawkrodger DJ, editor. Dermatology: An Illustrated Colour Text, 3rd edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2003. p.74-5.

10

Vous aimerez peut-être aussi