Vous êtes sur la page 1sur 10

Abortus Berulang Abortus didefinisikan sebagai terhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu (sejak HPHT) atau berat

badan bayi lahir < 500 gr. Rata-rata 15% dari semua kehamilan antara usai kehamilan 14 20 minggu akan mengalami abortus spontaneous yang dapat dikenali secara klinis. Angka kejadian abortus yang sebenarnya dapat mendekati hampir 50%, hal ini disebabkan karena angka kejadian yang tinggi dari abortus yang tidak terdeteksi yang terjadi pada usia kehamilan 2-4 minggu setelah konsepsi. Penyebab utamanya adalah abnormalitas kromosom pada sperma atau sel telur. Abortus habitualis secara klasik didefinisikan sebagai abortus spontaneous yang terjadi secara berturut-turut 3 kali atau lebih. Pada tahun 1938, Malpas, dengan menggunakan perhitungan secara teoritis mengatakan bahwa perempuan dengan riwayat abortus spontaneous yang terjadi secara berturut-turut selama 3 kali mempunyai 73% kemungkinan untuk mengalami abortus lagi pada kehamilan yang berikutnya. Pada tahun 1946, Eastman dengan menggunakan perhitungan statistik menyatakan bahwa sesudah 3 kali abortus seorang perempuan mempunyai risiko terjadinya abortus lagi sebesar 83,6%. Hal ini menyimpulkan bahwa setelah 3 kali abortus, maka kemungkinan untuk mengalami abortus lagi pada kehamilan berikutnya akan meningkat secara dramatis, dan setelah 3 kali mengalami keguguran, maka kesempatan untuk mencapai suata kehamilan aterm dan hidup pada kehamilan yang berikutnya adalah sangat rendah. Studi klinis menyimpulkan bahwa risiko untuk terjadinya kegagalan kehamilan setelah 3 kali abortus spontaneous pada faktanya adalah sekitar 30-40%. Kesempatan untuk mengalami kelahiran bayi hidup sesudah mengalami 3 kali abortus tanpa kelahiran bayi hidup sebelumnya adalah sekitar 55-60%; dengan setidaknya pernah mengalami satu kali kehamilan yang normal (bayi lahir hidup) sebelumnya, maka kesempatan ini meningkat menjadi kurang lebih 70%. Akan tetapi perlu diingat bahwa angka-angka tersebut di atas didapat dari perempuan-perempuan muda, sedangakan pada perempuan-perempuan yang lebih tua, risiko terjadinya kegagalan kehamilan adalah dua kali lebih sering dari pada perempuan-perempuan muda. Risiko terjadinya abortus berulang pada perempuan muda
Jumlah keguguran sebelumnya Perempuan yang mempunya sedikitnya satu bayi lahir hidup 0 1 2 3 4 6 Permepuan yang sebelumnya tidak pernah memiliki satu bayi lahir hidup 2 atau lebih % Risiko keguguran pada kehamilan berikutnya 12% 24% 26% 32% 26% 53% 40-45%

Diagnosis dan respons terapi pada pasangan yang mengalami abortus tidak ditentukan dari banyaknya jumlah abortus yang sudah dialami. Respon terapi secara bermakna dipengaruhi oleh umur penderita, tingkat kecemasan pasangan tersebut, serta factor-faktor lainnya yang telah teridentifikasi sebelumya dalam keluarga serta riwaya medisnya. Akan sangat

membantu apabila kita mempertimbangkan terjadinya abortus berulang berdasarkan kategori-kategori berikut ini : 1. Statistik normal 2. Faktor genetic 3. Faktor lingkungan 4. Faktor endokrin 5. Penyebab anatomi 6. Penyebab infeksi 7. Thrombofilia 8. Masalah imunoilogis Statistik normal Kegagalan reproduksi yang terjadi di antara periode setelah terjadinya konsepsi dan secara klinis diketahui hamil adalah cukup bermakna ; kurang lebih 50% dari ovum yang telah mengalamai fertilisasi tidak akan berkembang menajdi kehamilan yang viable. Dari pemeriksaan dengan HCG diduga bahwa kegagalan kehamilan dapat terjadi sampai dengan 30% diatara saat implantasi dan usia kehamilan 6 minggu. Hal ini sangat bagi dokter dan pasien agar waspada terhadap tingginya angka kegagalan reproduksi, khususnya pada perempuan di usia yang lebih tua, yang mana hal ini disebabkan oleh meningkatnya frekuensi trisomi seiring dengan meningkatnya usia. Sekalipun diketahui bahwa frekuensi terjadinya abortus pada yang euploidi (kromosom normal) dan yang aneuploidi (kromososm abnormal), kedua-duanya meningkat bersama seiring dengan meningkatnya usia. Kurang lebih 80% abortus spontaneous terjadi pada usia kehamilan 12 minggu pertama, dan mendekati 70% dari abortus ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Abortus yang dikenali secara klinis hanya terjadi 12% pada perempuan muda yang usianya kurang dari 20 tahun, namun angka insidensi ini meningkat menjadi 26% pada perempuan yang usianya lebih dari 40 tahun. Secara keseluruhan angka kejadian abortus (yang dikenali maupun yang tidak) pada perempuan yang usianya lebih dari 40 tahun adalah kurang lebih 75%. Apabila sekali terdeteksi embrio hidup dengan USG pada seorang perempuan normal atau pada seorang perempuan dengan riwayat infertilitas, maka angka kegagalan reproduksinya adalah 3-5%. Sekalipun demikian, pada perempuan yang telah mengalami kegagalan kehamilan berulang, setelah terdeteksi adanya aktifitas jantung janin denganUSG, angka kejadian abortus spontaneusnya adalah 4 sampai 5 kali lebih tinggi. Angka kejadian abortus spontaneous pada perempuan dengan riwayat abortus berulang dua kali atau lebih setelah dilakukan USG dan ditemukan adanya aktivitas jantung janin adalah sebesar 22,7%. Perlu selalu diingat bahwa risiko terjadinya abortus spontaneous pada wanita yang lebih tua adalah lebih tinggi; abortus spontaneous terjadi pada 29% perempuan yang usianya 40 tahun atau lebih, yang menjalani fertilisasi invitro, sesudah tampak adanya denyut jantung janin yang terdeteksi dengan USG. Faktor Genetik Salah satu penyebab abortus berulang yang diketahui adalah abnormalitas genetic. Dengan dilakukannya karyotyping pada pasangan, diketahui ada 3 8% memiliki beberapa kelainan kromosom, yang paling sering diantaranya adalah translokasi. Kelainan

kromosom lainnya yang sering terjadi adalah mozaikisme kromosom seks, inversi kromosom dan kromosom-kromosom cincin. Disamping menyebabkan abortus spontaneous, kelainan ini juga berhubungan dengan risiko yang tinggi untuk terjadinya malformasi dan retardasi mental. Jika terdapat kelinan pada kariotype, tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya abortus, akan tetapi pada banyak kelainan ada 50% kesempatan pada kehamilan berikutnya akan terjadi kehamilan yang normal. Amniosintesis atau biopasi vilikorionik sebaiknya dikerjakan pada setiap kehamilan dari pasangan dengan kelainan kariotype oleh karena risiko kelainan yang dapat terjadi pada anaknya. Saat ini pasangan dengan risiko yang tinggi terjadinya kelainan genetic sebaiknya memilih kehamilan dengan donor sperma atau vertilisasi invitro dengan oocyt donor, atau keduanya. Sebagai catatan, kurang lebih 70% dari abortus spontaneous berhubungan dengan kelainan kromosom janin. 30% dari abortus pada trimester kedua dan 3% dari KJDR memiliki kelainan kromosom. Trisomi autosomal merupakan kelainan yang paling sering (kurang lebih 50% dari abortus). Trisomi dari kromosom 13,16,18,21, dan 22 adalah yang paling sering ditemukan. Kelainan berikutnya yang sering terjadi (sekitar 25%) adalah kromosom 45x yang bertanggung jawar terhadap sindroma Turner. Menurut McDonough, pengobatan terhadap factor indoktrin menghasilkan angka kehamilan normal sekitar 90%;koreksi terhadap factor-faktor anatomi menghasilkan angka 60-70%, namun factor genetic diketahui berhubungan dengan angka harapan kelahiran normal sebesar hanya 32%. Masih ada kesempatan pada wanita dengan abortus berulang dengan mengalami kehamilan normal. Jika ditemukan aneuploidi, perlu dipertimbangkan inseminasi yang waktunya tepat untuk pematangan ovum dan sperma;walaupun pilihan tersebut memerlukan donor inseminasi yang baik. Jika terjadi kehamilan sampling vilikorionik harus perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Jika ditemukan euploidi, factor anatomi dan endokrin sebaiknya juga di koreksi. Karyotyping itu mahal. Oleh karena itu salah satu factor yang dapat menolong dalam mengambil keputusan untuk dilakukan karyotiping ini adalah adanya riwayat abortus berulang didalam keluarga. Translokasi dalam keluarga biasanya berhubungan dengan riwayat campuran: beberapa kehamilan normal diselingi dengan abortus berulang. Kariotiping perlu dilakukan jika anggota keluarga yang teridentifikasi memiliki abortus spontaneous multiple atau dalam keluarganya ada yang mengalami malformasi atau anak dengan retardasi mental atau anak yang diketahui dengan kelainan kromosom. Pada setiap kasus, kami menyarankan dilakukannya kariotiping jika ada riwayat 3 x berturut-turut mengalami abortus spontaneous dan tidak pernah melahirkan bayi hidup sebelumnya. Faktor lingkungan Merokok, alcohol dan konsumsi kopi yang terlalu sering, dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya abortus berulang. Peningkatan risiko ini seimbang dengan jumlah atau banyaknya rokok yang dihisap. Pada kasus-kasus ini biasanya kromosom janin normal. Gas-gas anastesi dan tetrakloretilen (yang biasanya digunakan untuk dry clean) telah diduga sebagai salah satunya penyebab terjadinya abortus.Program latihan tidak meningkatkan risiko terjadinya abortus spontaneous dan istirahat juga tidak mempengaruhi risiko terjadinya abortus berulang. Isotretinoin (Acccuttane) diketahui sangat berhubungan

dengan peningkatan insidensi abortus spontaneous. Tidak ditemukan adanya risiko terjadinya abortus spontaneous diantara perempuan-perempuan yang bekerja sebagai tenaga laboratorium dan di industri farmasi. Penggunaan jaket elektik dan kasur air yang panas juga tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya abortus spontaneous. Faktor Endokrin Penyakit endokrin ringan atau yang sub klinis bukan merupakan penyebab abortus berulang. Penderita dengan panyakit tiroid atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat mengalami abortus spontaneous. Peningkatan kadar luteinizing hormone (LH) diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya abortus pada perempuan dengan polikistik ovarium yang kemudian menjadi hamil. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa ini adalah factor dalam wanita yang mengalami ovulasi dengan abortus berulang. Sekalipun pada perempuan dengan polikistik ovarium dengan riwayat abortus berulang berturut-turut 3 kali atau lebih, penekanan dari sekresi LH dengan agonist GnRH sebelum induksi ovulasi tidaka memberikan perbedaan yang bermakna dalam luarannya. Kelainan endokrin yang dapat menyebabkan keguguran berulang adalah fase luteal yang inadekuat. Penelitian tentang peran dari defisiensi hormon sebagai penyebab abortus berulang memiliki focus yang besar pada defisiensi progesterone atau metabolitnya. Usaha mencoba untuk memberikan progesterone eksogenous atau progestin sebagai implikasi dari dugaan bahwa kadar progesterone atau preganediol yang rendah sebagai penyebab abortus telah dilakukan namun tidak berhasil. Pendekatan lainnya yaitu telah dicoba dengan diagnosa fase luteal yang inadekuat saat statusnya belum hamil dan dicoba dengan pemberian progesterone beberapa hari setelah ovulasi. Jones dan Delfs mengklaim bahwa 30% perempuan dengan kegagalan kehamilan memiliki fase luteal yang inadekuat, yang mana penelitian akhir-akhir ini menemukan bahwa 20 25% perempuan dengan abortus berulang memiliki fase luteal yang inadekuat. Suatu penelitian meta analisis yang dilakukan secara acak terhadap wanita hamil yang diterapi dengan progestational agent gagala untuk membuktikan efek positifnya untuk memelihara kehamilan. Sekalipun demikian, para klinisi terus melaporkan sesuai dengan apa yang kami tekankan tadi, yaitu abortus berulang insidensinya cukup bermakna terjadi pada pasien-pasien dengan fase luteal yang inadekuat. Ketidakpastian yang dihubungkan antara fase luteal yang inadekuat pada infertilitas juga tampaknya menjadi pertimbangan dokter bahwa hal ini juga terjadi pada abortus berulang. Jika dari biopsy endometrium berulang menunjukkan adanya perbedaan perkembangan histologis yang lebih dari dua hari atau jika grafik suhu basal tubuh menunjukkan bahwa fase luteal terjadi kselama kurang dari 11 hari, maka ada alasan untuk melakukan pengobatan dengan memberikan clomifen atau progesteron dan dengan memberikan dopamine agonist jika ada galaktore atau hiperprolaktinemia. Jika tida terdapat galaktore atau hiperprolaktiemia, kami sendiri cenderung memilih clomifen oleh karena ini akan menghindari terjadinya fase luteal yang memanjang yang disebabkan oleh pengobatan dengan progesterone. Apakah clomharus diberikan secara empiris (selama 6 siklus) jika tidak ada penyebab abortus berulang lainnya yang dapat diidentifikasi?. Pengobatan dengan plasebo mungkin

akan bermanfaat dalam hal menjaga hubungan dokter dan pasien, dimana pasien membutuhkan ketenangan secara psikologis. Lebih lanjut, tidak ada bukti bahwa pengobatan dengan clomifen dapat memberikan konsekuensi mayor yang merugikan. Dalam hal sulitnya menegakkan diagnosis fase luteal yang inadekuat dan ketidak pastian disekitar diagnosis ini, kami percaya bahwa masih ada tempat untuk terapi empiris. Namun harus diingat bahwa sekalipun ada abortus berulang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, namun tetap masih ada yang berhasil sekalipun tanpa penanganan apa-apa. Penyebab anatomis Kelainan uterus dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi selama kehamilan dan akan membatasi ruangan bagi janin sehubungan dengan distorsi dari cavum uteri tersebut. Kurang lebih 12 15% perempuan dengan abortus berulang memiliki malformasi uterus, dan hal ini akan sangat baik untuk diagnosisnya jika dilakukan dengan USG (terutama dengan cara instilasi saline), serta dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan hysterosalpingography (HSG) secara relatif tidak memberikan hasil yang cukup adekuat pada diagnosis, oleh karena itu keputusan yang sekiranya akan diambil sebaiknya tidak didasari hanya pada hasil HSG itu saja. Bermacam-macam kelainan uterus, termasuk didalamnya yaitu leiomioma dan paparan terhadap diethylstilbestrol (DES), didiskusikan secara ditail pada bab 4. Koreksi secara pembedahan pada defek ini, seringkali dengan histeroskopi, memberikan keberhasilan angka persalinan sekitar 70 80%, namun hasil angka yang sangat baik ini juga masih harus diingat bahwa ini bukan didapat dari penelitian clinical trial yang acak. Uterus septum merupakan kelainan anatomis yang tersering yang berhubungan dengan abortus spontaneous berulang, dimana hasil perbaikan dengan cara histeroskopi memberikan hasil yang cukup mengggembirakan. Prosedur ulangan biasanya diperlukan; hasil pembedahan seharusnya dievaluasi beberapa minggu postoperative dengan hysterosalpingography atau histeroskopi. Penggunaan cervical cerclage untuk tujuan profilaksis tidak didukung oleh hasil penelitian randomized trials. Namun demikian jika tidak ada pilihan lain, cervical cerclage masih dapat dilakukan; misalnya pada pasien dengan late loses dan anomaly dari duktus mulerian seperti uterus bikornu dan unikornu dan pada pasien yang terpapar dengan DES dengan hipoplasia serviks. Sebagai tambahan pada kelainan duktus mulerian, sebagai penyebab anatomis lain adri abortus berulang, walaupun tidak sering terjadi yaitu synekia intra uterin (Ashermans syndrome). Jika factor predisposisi yang tepat, seperti kuretasi uterus atau infeksi uterus yang berat, jika dapat diidentifikasi, maka diagnostik dengan hysterosalpingography atau hysteroscopy sebaiknya dilakukan. Penyebab infeksi Walaupun beberapa laporan penelitian secara periodic telah mengimplikasikan bahwa agen infeksi spesifik merupakan salah satu penyebab abortus berulang, namun hingga saat ini belum ada bukti yang kuat bahwa infeksi bakteri atau virus dapat menjadi penyebab abortus berulang. Pernah dilaporkan suatu kejadian adanya antibody antiklamidia pada perempuan-perempuan dengan riwayat abortus spontaneous sebanyak 3 kali atau lebih, namun ini belum dapat dipastikan apakan ini berhubungan dengan Chlamydia trachomatis atau apakah ini merupakan suatu penanda respon imun lainnya. Dalam suatu penelitian

prospektif tidak ditemukan adanya hubungan antara antibody antiklamidia dengan abortus spontaneous. Dari beberapa penelitian yang dilakukan secara acak dikatakan bahwa pengobatan dengan antibiotik tampaknya efektif daalam hal ini. Kemungkinan hal ini berhubungan dengan infeksi Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang diimplikasikan sebagai penyebab dari abortus berulang sekalipun tidak substantial, termasuk di dalamnya adalah toksoplasmagondii,listeria monocytopgenes, mycoplasma hominis, virus herpes dan cytomegalo virus. Akan lebih murah dan efektif serta efisien secara waktu jika kita memberikan terapi pada kedua pasangan dengan doxycycline (100mg 2x perhari untuk 14 hari) atau erythromycin (250mg 4x perhari selama 14 hari), hal ini akan lebih baik daripada harus melakukan kultur yang berulang dan berkali-kali. Thrombophilia Penyebab utama dari trombosis dalam kehamilan adalah suatu factor redeposisi yang berkaitan dengan pembekuan, khususnya mutasi dari factor V leiden. Defisiensi anti trombin III, protein C dan protein S berkaitan dengan suatu pola autosomaldominan, merupakan 10-15% dari suatu trombosis familial. Mutasi didalam gen prothrombin dan factor V leiden merupakan penyebab tersering yang berhubungan dengan tromboemboli vena. Resistensi yang berhubungan dengan activated protein C telah teridentifikasi sebagai dasar dari kurang lebih 50% kasus venatrombosis familial, dimana hampir semua kasus ini disebabkan oleh perubahan gen yang dikenali sebagai mutasi factor V leiden. Mutasi factor V Leiden ditemukan kurang lebih 30% dari orang-orang yang mengalami tromboemboli vena. Activated protein C menghambat koagulasi dengan cara menghancurkan factor V dan VIII. Salah satu dari tiga sisi pembelahan dalam factor V, merupakan tempat terjadinya mutasi (yang diketahui sebagai mutasi factor V leiden), dimana digantikan oleh glutamin yang seharusnya adalah arginin (adenin menggantikan guainin pada nukleotida 1691 didalam gen. Mutasi ini menyebabkan factor V menjadi tahan terhadap degradasi (dan aktivasi dalam fibrinolisis). Keseluruhan proses pembekuan kemudian menjadi resisten terhadap kerja dari sistem protein C. Heterozigot untuk mutasi factor V leiden memiliki 8 kali risiko lebih tinggi terjadinya trombosis vena, dan yang homozigot meningkatkan risiko ini menjadi 80 kali, risiko ini juga tampaknya lebih jauh dapat ditingkatkan lagi oleh penggunaan kontrasepsi oral. Trevalensi tertinggi (3-4% dari populasi secara umum) dari factor V leiden ini ditemukan di Eropa, dan kejadiannya pada populasi orang-orang yang bukan keturunan Eropa sangat jarang, hal ini menjelaskan mengapa frekuensi tromboemboli ternyata rendah, pada orangorang Afrika, Asia dan orang-orang Amerika asli. Mutasi ini dipercaya terjadi pada nenek moyang di sekitar 21.000-34.000 tahun yang lalu. Diduga hal ini merupakan suatu adaptasi yang berguna yang terjadi secara heterozigot sebagai respon terhadap ancaman kematian terhadap pendarahan, seperti misalnya proses melahirkan. Gangguan berikutnya yang paling sering (sesudah mutasi factor V leiden) adalah suatu mutasi yang berupa perubahan dari guanin menjadi adenin pada gen yang mengkode prothrombin. Prevalensi dari kelainan ini pada orang-orang kulit putih diperkirakan berkisar antara 0,7%-4%. Pada sekelompok 39 perempuan dengan riwayat abortus berulang, mutasi factor V leiden teridentifikasi pada hampir setengah dari jumlah kasus, dan 5 perempuan yang diobaqti dengan anti koagulan dapat mengalami persalinan cukup bulan.Beberapa peneliti lain menemukan adanya peningkatan insidensi mutasi factor V leiden pada perempuan-

perempuan yang mengalami keguguran pada trimester kedua, namun yang lainnya hanya menemukan sedikit peningkatan pada perempuan-perempuan yang mengalami keguguran pada trimester I. Dalam suatu survei terhadap 500 perempuan dengan abortus berulang yang penyebabnya belum dapat dijelaskan, von Willebrands disease, defisiensi fibrinogen, difisiensi anti trombin, protein C dan protein S, dan resistensi activated protein C, semuanya ini tidak lebih sering didapatkan dibandingkan dengan penyebab sebelumnya yang sudah dijelaskan tadi. Pada suatu penelitian kohort prospektif, defisiensi dari factorfaktor pembekuan ditemukan berhubungan dengan peningkatan risiko keguguran pada usia kehamilan yang lanjut, bukan pada usia kehamilan yang dini. Peningkatan kadar homosistein merupakan factor risiko terjadinya trombosis vena, dan kondisi ini juga telah diduga menjadi salah satu factor terjadinya abortus berulang. Dalam hal pemahaman tentang kepentingan klinis dari gangguan-gangguan yang berhubungan dengan factor predisposisi terhadap trombosis vena, kami yakin bahwa perempuan-perempuan dengan riwayat aborus berulang dimana penyebabnya belum dapat diidentifikasi secara jelas, maka sebaiknya perlu dipertimbangkan untuk dilakukan skrining hematologic, hal ini sangat penting pada perempuan yang mempunyai riwayat trombo emboli sebelumnya, atau keluarga dekatnya riwayat tromboemboli sebelumnya. Pemeriksaan tes laboratorium ini sangat banyak, dan olah karena bidang ini sangat dinamis dan sering berubah maka, advis yang terbaik adalah dengan melakukan konsultasi dengan seorang ahli hematology. Jika hasilnya positif perlu diterapi dengan heparin molekul rendah sesudah terdiagnosa hamil.
Keadaan hiperkoagulasi Defisiensi antithrombin III Defisiensi protein C Defisiensi protein S Mutasi factor V Leiden . Mutasi gen prothrombin Sindroma anti pospolipid Skrining trombofilia Antithrombin III Protein C Protein S Rasio resistensi activated protein C Activated partial thromboplastin time Hexagonal activated partial thromboplastin time Antibodi antikardiolipin Lupus antikoagualan Fibrinogen Mutasi prothrombin G Thrombin Time Kadar homocysteine Hitung darah lengkap

Masalah imunologis Auto imunitas (self Antigen) Pada auto imunitas, respon humoral atau seluler secara langsung ditujukan terhadap komponen spesifik dari host. Lupus antikoagulan dan antibody antikardiolipin adalah merupakan antibody antipospolipid, yang mana ini muncul sebagai akibat dari suatu penyakit auto imun. Lupus antikoagulan bisa muncul dalam berbagai macam kondisi klinis, tidak hanya dalam bentuk lupus eritematosus. Antibodi antipospolipid ditujukan langsung terhadap platelet dan endotel vascular sehingga menyebabkan trombosis, abortus spontan dan kematian janin. Antibodi ini menghambat pembentukan porstasiklin yang mana ini menyebabkan ketidakseimbangan aktivitas tromboksan yang pada akhirnya menyebabkan vasokonstriksi dan trombosis. Pada beberapa penelitian, 10-16% perempuan dengan abortus berulang ternyata memiliki antibody antipospolipid. Antibodi ini juga berhubungan

dengan gangguan pertumbuhan dan kematian janin disamping abortus berulang. Mekanisme terjadinya kegagalan kehamilan ini kemungkinan berhubungan dengan insufiensi desidua dan plasenta yang disebabkan oleh kecenderungan trombosis. AnnexinV adalah merupakan suatu phospholipid yang berikatan dengan protein yang dapat menghambat koagulasi; kadar annexin-V pda throphoblas dan sel-sel endothelial akan berkurang jika ada antibody antiphospholipid. Disamping aktivasi trombosis, antibody antiphospholipid juga menyebabkan pemanjangan protrombin time dan partial thromboplastin time. Activated Partial thromboplastin time (APTT) relatif merupakan suatu alat skrining yang sensitive, namun kami juga mengikutsertakan kaolin clotting time. Antibodi anticardiolipin dan lupus antikoagulan dapat diidentifikasi secara titrasi dengan immunoessay khusus; ada juga antibody antiphospholipid pada orang lain yang tidak berhubungan dengan abortus berulang. Antibodi antiphospholipid semuanya memberikan dampak klinis yang sama dan mempunyai efek yang identik pada tes-tes pembekuan.Walaupun prevalensinya belum pasti, namun pasien dengan abortus berulang seharusnya dilakukan skrining pemeriksaan sebagai berikut: activated partial thromboplastin time (APTT), kaolin clotting time, lupus antikoagulan dan antibody antikardiolipin. Secara klinis tidak akan banyak berguna untuk mengukur antibody antinuclear, antibody IGA atau antibody lekosit. Pengobatan yang kami anjurkan jika terdapat titer antibody yang bermakna dari antibody antiphospholipid yaitu terdiri dari dosis rendah aspirin (80 mg perhari), heparin dosis rendah yang segera diberikan setelah terdiaknosis hamil. Pengobatan ini tidak selalu berhasil dengan baik. Penelitian tentang pemberian aspirin dosis rendah tidak memberikan hasil yang memuaskan terhadap luaran kehamilan baik pada wanita yang mengalami abortus berulang yang unexplain maupun pada wanita dengan antibody antikardiolipin. Sementara peneliti lain menganjurkan ditambahkan glokokortikoid dalam satu dosis tertentu sehingga dapat memperbaiki system pembekuan sehingga menjadi normal. Sekalipun demikian penambahan glukokortikoid ini tidak terlalu efektif dalam hal mengeliminasi antibody antikardiolipin dan pada penelitian lain pemberian kombinasi prednison dan aspirin (100mg perhari) ternyata tidak lebih baik dari pasien yang diberikan plasebo. Banyak dari pasien-pasien ini berkembang menjadi preeklampsia, kadang-kadang menjadi sangat berat, namun kurang lebih 75% dari pasien-pasien dengan antibody antipospolipid akan melahirkan bayi yang fiable setelah mengalami suatu pengobatan selama kehamilan. Oleh karena risiko yang berhubungan dengan antikoagulasi, maka pengobatan dengan aspirin dan heparin seharusnya hanya diberikan pada wanita dengan riwayat abortus berulang yang memiliki antibody antipospolipid. Alloimunitas (antigen dari luar) Alloimunitas berhubungan dengan semua penyebab kegagalan kehamilan yang terkait dengan respon imun maternal yang abnormal terhadap antigen pada jaringan plasenta atau janin. Normalnya supaya kehamilan dapat berlangsung diperlukan suatu pembentukan factor penghambat (kemungkinan kompleks antibody antigen) yang akan mencegah reaksi penolakan dari ibu terhadap antigen janin. Saat ini telah diteliti bahwa keguguran yang berulang ada kaitannya dengan peningkatan human leukocyte antigens (HLA), sehingga tercipta suatu kondisi dimana ibu tidak mampu membuat antibody penghambat. Imunoterapi untuk merangsang pembentukan antibody sudah pernah dihasilkan dan memberikan respon imun maternal yang memuaskan dalam rangka melindungi

pertumbuhan janin. Perempuan dengan riwayat abortus berulang pernah diobati dengan pemberian infus limfosit yang berasal dari partnernya. Pada suatu penelitian 77% dari perempuan yang menerima sel dari suaminya dapat melahirkan dengan selamat, sedangkan pada yang menerima selnya sendiri hanya 37% yang berhasil melahirkan. Beberapa peneliti mengklaim bahwa mereka telah berhasil melakukan transfusi darah yang kaya keukosit dan eritrosit (3 transfusi setiap 4-8 minggu) atau dengan imunoglubolin intravena atau plasmaseminal secara vaginal supositoria. Perempuan yang telah diseleksi untuk mendapatkan imunoterapi dengan HLA telah dicoba untuk dilakukan, tetapi penggunaannya ini saat ini tidak mendapat dukungan lagi. Banyak ahli gagal untuk mengkonfirmasi bahwa sharing dari anti HLA akan bermanfaat bagi pasangan dengan riwayat abortus berulang. Penelitian pada binatang juga mendapatkan hasil yang sama. Juga ada satu pemikiran bahwa imunisasi pada ibu dapat memberikan efek terhadap bayi dan janin. Tidak ada tes imunologi yang khusus atau metode klinik tertentu yang dapat memprediksi kebutuhan akan pengobatan dengan imunoterapi ini. Imunoterapi masih tetap bersifat eksperimental dengan risiko yang berpotensi dapat menyebabkan gangguan pada system imun ibu maupun anak. Paling tidak ada 5 percobaan yang gagal untuk menunjukkan efek yang menguntungkan dari imunoterapi. Dalam suatu penelitian dengan terhadap wanita dengan 5 kali atau lebih mengalami keguguran, imunisasi dengan leukosit ayah tampaknya memiliki efek yang menguntungkan; hal ini memberikan dugaan bahwa 25% dari ibu yang mengalami abortus berulang (tanpa kelahiran hidup sebelumnya) akan mendapatkan keuntungan dari imunoterapi ini. Kami merekomendasikan pada perempuan-perempuan jumlah angka keguguran berulangnya sangat tinggi sebaiknya dirujuk ke tempat yang memiliki protocol imunoterapi. Kesimpulan dari penyebab imunologis Perempuan yang mengalami abortus berulang dimana penyebabnya dapat dikatakan cendrung kearah factor imunologis maka karakteristiknya adalah sebagai berikut: 1.Riwayat keguguran spontan sebelumnya jumlahnya banyak. 2.Kehamilan yang terakhir tidak mencapai umur kehamilan aterm 3.Umurnya kurang dari 35 tahun. 4.Hasil konseptus yang keluar hasil kariotypingnya normal 5.Biasanya paling tidak ada satu kegagalan kehamilan yang terjadi setelah trimester pertama.

Ringkasan evaluasi laboratorium dan penanganan terhadap abortus berulang


Kategori Statistik normal Faktor genetic Faktor lingkungan Faktor endokrin Penyebab anatomis Penyebab infeksi Evaluasi Evaluasi terhadap angka-angka Tidak ada pemeriksan lab Karyotiping dari kedua orangtua Tidak ada pemeriksaan lab TSH, prolaktin, penilaian terhadap fase luteal USG vaginal dengan instilasi saline, dikonfirmasi dengan MRI Kultur, jika ada indikasi secara klinis Penanganan Penjelasan dan dukungan Konseling, donor gamet yang tepat Konseling Klomifen secara empiris Pembedahan Doxycycline atau erythromycin

Trombofilia Imunologis

Skrining terhadap factor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan trombosis APTT Kaolin clotting time Antibodi antikardiolipin Lupus antikoagulan

secara empiris Antikoagulan heparin dengan berat molekul yang rendah Aspirin dosis rendah dan heparin

Kesimpulan Pasien dengan abortus biasanya datang dalam keadaan cemas dan frustasi terhadap apa yang mereka alami. Evaluasi sebaiknya dilakukan setelah beberapa kali kunjungan, sehingga dapat tercipta suatu komunikasi yang baik antara dokter dan penderita. Komunikasi yang sering antara dokter dan pasien selama trimester pertama dari kehamilan yang berikutnya adalah sangat penting. Dukungan emosional dari dokter dapat diberikan saat berinteraksi dengan pasien, ini akan sangat berguna dan pada beberapa kasus ini bahkan berfungsi sebagai terapi. Semua kehamilan yang berikutnya harus dimonitor secara ketat oleh karena angka kejadian untuk terjadinya kehamilan ektopik sangat tinggi pada perempuan dengan riwayat abortus berulang. Manajemen yang diharapkan dari abortus adalah dengan menyediakan outcome (medis maupun psikologis) yang sesuai dengan evakuasi pembedahan dari uterus, dimana tidak ada efek yang buruk terhadap fertilitas yang akan datang. Untuk pasien-pasien tertentu pendekatan ini dengan dukungan yang efektif akan lebih mudah. Akhirnya luaran dari teknologi reproduksi dengan alat bantu belum dapat dipastikan hasilnya pada perempuan-perempuan dengan jumlah keguguran yang jumlahnya sangat banyak. Pada suatu penelitian terhadap 12 perempuan, 8 perempuan mengalami persalinan aterm sesudah fertilisasi invitro. Sebagai tambahan luaran dari fertilisasi invitro tidak akan menurun pada perempuan dengan antibody antipospolipid. Namun, pada pengalaman fertilisasi invitro lainnya, walaupun angka kehamilannya baik, angka kejadian abortus spontannya tinggi (50%) yang mana ini terjadi pada perempuan dengan riwayat keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih sebelumnya. Pernah dilaporkan hasil yang memuaskan dari perempuan dengan riwayat keguguran berulang yang menerima donasi oocyt. Keputusan yang diambil oleh pasien maupun dokter sangat dipengaruhi oleh factor psikologis dan kemampuan finansial.

Vous aimerez peut-être aussi