Vous êtes sur la page 1sur 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TINDAKAN HEMODIALISA DI RUANG PERAWATAN HEMODIALISA RSUD ULIN BANJARMASIN

Tanggal 27 29 September 2012

Oleh : SYAMSU RIZALI NIM I1B108626

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2012

LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tindakan Hemodialisa di Ruang Perawatan Hemodialisa RSU Ulin Banjarmasin

Disusun oleh : Syamsu Rizali NIM. I 1B108626

Dengan ini telah disetujui pembuatannya oleh Pembimbing Lahan dan Pembimbing Akademik sebagai penugasan individu dalam Stase Keperawatan Medikal Bedah Program Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Tahun 2012 Banjarmasin, Menyetujui Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan 2012

_______________________

______________________

ASUHAN KEPERAWATAN TINDAKAN HEMODIALISA I. KONSEP DASAR A. Pengertian Hemodialisa adalah menggerakkan cairan dari partikel-pertikel lewat membran semi permiabel yang mempunyai pengobatan yang bisa membantu mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal, mengendalikan asam dan basa, dan membuang zat-zat toksis dari tubuh. ( Long, C.B. : 381). Hemodialise adlah pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semi permiable ( alat dialysis) ke dalam dialisat. ( Tisher, C. C, dkk .1997) Hemodialisa adalah difusi pertikel larut dari satu kempartemen cairan ke kompatemen lain melewatai membran semipermeabel ( Hudak, M. C. 1996 : 39). Dialisa adalah suatu proses pembuangan zat terlarut dan cairan dari darah melewati membran semipermiabel, berdasarkan prinsip difusi osmosis dan aultrafiltrasi ( engram, B. 1998 : 164). Hemodialisa adlah lintasan darah melalui sel;ang dari luar tubuh ke ginjal buatan dimana pembuangan kelebihan zat terlarut can cairan terjadi ( Engram. B. 1998 : 164) B. Tujuan Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialysis. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Peritoneal dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk dialysis yang lain. C. Proses Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut. Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran). 1

Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya. Sistem ginjal buatan: 1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat. 2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi). 3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh. 4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

D. Indikasi 1. Penyakit dalam (Medikal) ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal mempertahankan RFT normal. CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup Snake bite Keracunan Malaria falciparum fulminant Leptospirosis

2. Ginekologi APH PPH Septic abortion

3. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari Serum kreatinin > 2 mg%/hari Hiperkalemia Overload cairan yang parah Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis

Pada CRF: BUN > 200 mg% Creatinin > 8 mg% Hiperkalemia 3

Asidosis metabolik yang parah Uremic encepalopati Overload cairan Hb: < 8 gr% 9 gr% siap-siap tranfusi

E. Prinsip Hemodialisa Prinsip mayor/proses hemodialisa 1. Akses Vaskuler : Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth. 2. Membran semi permeable Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi. 3. Difusi Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan

pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan. 4. Konveksi Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut. 5. Ultrafiltrasi Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane : a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip mendorong cairan menyeberangi membrane. b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane olehpompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative menarik cairan keluar darah. 4

c.

Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.

F. Peralatan 1. Dialiser atau Ginjal Buatan Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens). 2. Dialisat atau Cairan dialysis Dialisat atau bath adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu. 3. Sistem Pemberian Dialisat Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air. 4. Asesori Peralatan Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.

G. Prosedur Hemodialisa Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran arterial, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum arterial diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan. Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan. Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui venosa atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

H.

Prosedur Tnidakan 1. Perawatan sebelum hemodialisa Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa Kran air dibuka Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran pembuangan Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak Hidupkan mesin Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit Matikan mesin hemodialisis Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

2. Menyiapkan sirkulasi darah Bukalah alat-alat dialysis dari set nya

Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi inset (tanda merah) diatas dan posisi outset (tanda biru) di bawah. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung insetdari dializer. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung out set dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.. Set infus ke botol NaCl 0,9% 500 cc Hubungkan set infus ke slang arteri Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem. Memutarkan letak dializer dengan posisi inset di bawah dan out set di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.

Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin Buka klem dari infus set ABL, VBL Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.

Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai cairan Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).

Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.

Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.

Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana inlet di atas dan outlet di bawah.

Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.

3. Persiapan pasien Menimbang berat badan Mengatur posisi pasien Observasi keadaan umum Observasi tanda-tanda vital 9

Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini: Dengan interval A-V shunt / fistula simino Dengan external A-V shunt / schungula Tanpa 1 2 (vena pulmonalis)

I.

Interpretasi Hasil Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

J.

Komplikasi Komplikasi Teknis 1. Pemulihan cairan tidak sempurna Cairan yang keluar harus berbanding /lebih banyak dari gairan yang dimasukkan kemasan preparat dialysis komersial berisi 1000 2000 lm cairan bila sete;ah beberapa kali pertukaran volume yang dikeluarkan kurang ( sampai 500 ml lebih ) dari jumlah yang dimasukkan,harus evaluasi tanda tanda retensi cairan meliputi distensi abdomen / keluhan begah. Indikasi yang paling akurat tentang jumlah cairan yang terkumpul kembali adalah berat badan,bila cairan keluar dengan lambat,ujung kateter mungkin terbenam dalam omentum / tersumbat fibrin. 2. Kebocoran disekitar kateter Kebocoran superficial setelah operasi dapat dikontrol dengan penjahitan ekstra dan mengurangi jumlah dialisat yang dimasukkan dalam peritoneal.Peningkatan tekanan intra abdomen juga menyebabkan kebocoran dialisat,oleh karena itu harus dihindari terjadinya muntah kontinyu, batuk, dan gerakan selama periode awal pasca operasi. 3. Cairan peritoneal bersemu darah Warna ini ditemukan pada awal aliran keluar tetapi harus bersih setelah beberapa waktu.Perdarahan banyak setiap waktu merupakan indikasi masalah yang serius dan harus diselidiki dengan cepat.

10

Komplikasi Fisiologis 1. Hipotensi Penyebab : terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan, obat-obatan anti hipertensi. 2. Mual dan muntah Penyebab : gangguan GI, ketakutan, reaksi obat, hipotensi. 3. Sakit kepala Penyebab : tekanan darah tinggi, ketakutan. 4. Demam disertai menggigil. Penyebab : reaksi fibrogen, reaksi transfuse, kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah. 5. Nyeri dada. Penyebab : minum obat jantung tidak teratur, program HD yang terlalu cepat. 6. Gatal-gatal Penyebab : jadwal dialysis yang tidak teratur, sedang.sesudah transfuse kulit kering. 7. Perdarahan amino setelah dialysis. Penyebab : tempat tusukan membesar, masa pembekuan darah lama, dosis heparin berlebihan, tekanan darah tinggi, penekanan, tekanan tidak tepat. 8. Kram otot Penyebab : penarikan cairan dibawah BB standar. Penarikan cairan terlalu cepat (UFR meningkat) cairan dialisat dengan Na rendah BB naik > 1kg. Posisi tidur berubah terlalu cepat.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Sebelum dialisa a. Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alas an perawatan di rumah sakit. Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan. Fistula tersumbat bekuan. Pembuatan fistula.

11

b. Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang diijinkan, obat-obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa, jumlah haluaran urin. c. Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi dan bunyi desiran menandakan fistulatersumbat. d. Kaji terhadap manifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan tentang dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan pada tindakan dialisa terakhir. Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas

dengan kerja fisik maksimal. Kelelahan dan kelemahan menetap. Hipertensi berat Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium. Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.

2. Sesudah dialisa Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan cairan selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan menggunakan anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada resiko perdarahan dari sisi akses dan terhadap perdarahan internal.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis Intervensi : a. b. c. d. e. Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis. Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis. Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan. Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi. Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.

2. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis Intervensi : a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan alas an dialysis. 12

b. c.

Kaji kesiapan untuk belajar. Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar termasuk alas an pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang b.d kehilangan fungsi ginjal.

d.

Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.

3. Ketidakberdayaan b.d perassan kurang kontrol,ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit. Intervensi : a. Mendiskusikan perasaan pasien,meyakinkan bahwa perasaan tersebut normal. b. c. Beri dukungan pasien dan keluarga. Bantu pasien untuk tetap terorientasi terhadap realitas,untuk tetap optimis bahwa fungsi ginjal akan pulih normal bila keadaannya memungkinkan.

4. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat. Intervensi : a. b. c. Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter. Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia. Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat, dan periksa bunyi nafas bilateral. d. e. Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit. Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama dialisis.

13

DAFTAR PUSTAKA Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan), Bandung. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta. Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III, BP FKUI Jakarta. Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC. Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and Treatment, first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los Angeles Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available on:www.Us.Elsevierhealth.com IIOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, Mosby Year Book, USA. McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year Book. USA Soeparman & Waspadji, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi 3, FKUI, Jakarta http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_hemodial_art.htm

14

LAPORAN PEDAHULUAN SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

A. Definisi Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh. (Price A. Sylvia, 2006) Lupus Eritematos Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. (Mansjoer Arif, 2001) Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kandung pada bagian tubuh lainnya. (www.medicastrore.com) Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Systemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai system tubuh dengan manifestasi klinis yang bervarisi.

B. Etiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. reproduktif) dan lingkungan (cahaya

15

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin) Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Faktor Resiko terjadinya SLE 1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut 2. Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 3. Sinar UV 16

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah 4. Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T 5. Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : a) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid b) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin c) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin 6. Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi 7. Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

C. Patosisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

17

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. (Smeltzer and Suzane, 2001)

D. Manifestasi Klinis Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

18

Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

E. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan. 1. Pemeriksaan Autoantibodi Antibody Antinuclear antibodies (ANA) Anti-dsDNA 70 DNA (double- Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis. Anti-Sm 25 Kompleks Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi Prevalen si % 98 Antigen yang Dikenali Multiple nuclear Clinical Utility Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE

stranded)

protein pada 6 klinis; kebanyakan pasien juga memiliki jenis U1 RNA RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia. Anti-RNP 40 Kompleks Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar

protein pada U1 berkaitan dengan gejala yang overlap RNA Anti-Ro A) (SS30 Kompleks dengan gejala rematik termasuk SLE. Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan subcutaneous lupus 19

Protein pada hY sindrom Sicca,

Antibody

Prevalen si %

Antigen yang Dikenali

Clinical Utility

RNA, terutama subakut, dan lupus neonatus disertai 60 kDa dan 52 blok kDa Anti-La B) (SS10 jantung congenital; berkaitan

dengan penurunan resiko nephritis. terkait dengan anti-Ro;

47-kDa protein Biasanya pada hY RNA

berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone

70

Histones terkait Lebih sering pada lupus akibat obat dengan (pada nucleosome, chromatin) Phospholipids,2 Tiga glycoprotein cofactor, prothrombin ELISA 2G1, time predisposisi DNA daripada SLE.

Antiphospholi pid

50

tes

tersedia dan

untuk

1 cardiolipin prothrombin merupakan

sensitive (DRVVT); pembekuan,

kematian janin, dan trombositopenia. Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antierythrocyt e Antiplatelet

60

Membran eritrosit

30

Permukaan dan Terkait dengan trombositopenia namun perubahan antigen sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk

sitoplasmik pada SLE platelet. Antineuronal (termasuk antiglutamate receptor) Antiribosomal P 20 Protein ribosome pada Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS 20 60 Neuronal permukaan antigen limfosit dan Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay. Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis 2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE a) Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. b) Ruam kulit atau lesi yang khas c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein 21

f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah g) Biopsi ginjal h) Pemeriksaan saraf.

F. Penatalaksanaan Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi: 1. Kelompok Ringan Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan, dan sakit kepala Penatalaksanaan untuk SLE derajat Ringan; a) Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan. b) Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid c) Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.

d) Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine) e) f) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan

g) Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata 2. Kelompok Berat Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,

trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan paru. Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat; a) Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya b) Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena. c) Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan

22

d) Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi. 3. Penatalaksanaan Umum : a) Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup b) Hindari Merokok c) Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi d) Hindari stres dan trauma fisik e) Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia f) Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00 g) Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen 4. Pengobatan Pada Keadaan Khusus a) Anemia Hemolitik Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan b) Trombositopenia autoimun Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut c) Perikarditis Ringan Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari d) Perkarditis Berat Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari e) Miokarditis Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan siklofosfamid f) Efusi Pleura Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase 23

g) Lupus Pneunomitis Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu h) Lupus serebral Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turut

G. Nursing Care Plan DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI KEPERAWATAN Nyeri berhubungan 1. Melaporkan adanya 1. Kaji lokasi dan tingkat nyeri klien dengan proses penurunan tingkat untuk menentukan rencana tindakan inflamasi dan nyeri yang tepat kerusakan jaringan 2. Melakukan 2. Berikan analgesic sesuai indikasi dan aktivitas sehari-hari pantau efek obat tanpa merasa nyeri 3. Gunakan intervensi untuk menurunkan nyeri non parmakologi seperti tekhnik relaksasi napas dalam Kelemahan berhubungan dengan proses penyakit 1. Mampu 1. Kaji tingkat energy klien untuk melaksanakan merencanakan kegiatan harian klien aktivitas utama 2. Bantu klien dalam melakukan 2. Mengungkapkan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan adanya peningkatan aktivitas sehari-hari energi 3. Jelaskan tentang pentingnya pengalihan energy yang digunakan untuk meminimalkan jumlah energy yang dikelauarkan saat beraktivitas 4. Libatkan keluarga dalam menyusun rencana kegiatan untuk meningkatkan kesadaran pasien terhadap dukungan dan pengertian keluarga terhadap penyakit pasien 5. Ajarkan pasien teknik meditasi seperti yoga untuk menurunkan tingkat stress 6. Dorong pasien untuk istirahat teratur dan sesuai kebutuhan. 1. Meningkatkan perhatian dan partisipasi dalam perawatan diri 2. Mengungkapkan pernyataan positif tentang diri 1. Diskusikan dengan pasien harapan yang realistis tentang perubahan fisik untuk membantu pasien membuat rencana dalam memaksimalkan potensi fisik dan meminimalkan masalah yang mungkin muncul 24

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan fisik

DIAGNOSA KEPERAWATAN

TUJUAN

INTERVENSI 2. Dorong pasien untuk meningkatkan minat terhadap kebersihan dan ajarka cara penggunaan kosmetik secara kreatif karena aktivitas ini dapat memperbaiki citra tubuh dan rasa percaya diri pasien 3. Dorong pasien untuk mendiskusikan perasaan dan hal positif pada diri pasien untuk menurunkan rasa isolasi dan gangguan citra tubuh

Kerusakan integritas kulit berhubungan sensitivitas cahaya, ruam kulit, dan alopecia

1. Membatasi paparan langsung sinar matahari 2. Tidak membuka luka kulit 3. Strategi untuk melindungi dari alopecia

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dan kelelahan

1. Mengungkapkan kepuasan akan pola aktivitas 2. Mengukur tingkat toleransi terhadap aktivitas

1. Kaji dan monitor lokasi dan kemajuan dari ruam untuk merencakan tindakan yang sesuai 2. Berikan terapi medikasi sesuai indikasi untuk mengontrol maifestasi kulit 3. Pertahankan kulit bersih dan kering untuk mencegah infeksi sekunder 4. Diskusikan kebutuhan untuk membatasi paparan sinar matahari langsung dan gunakan krim atau pakaian pelindung dari cahaya matahari langsung saat berada di luar ruangan 1. Monitor tanda-tanda vital saat ambulasi karena peningkatan nadi dan pernafasan mengindikasikan kebutuhan pasien untuk istirahat 2. Ukur tingkat aktivitas dan berikan waktu istirahat diantara aktivitas 3. Dorong pasien untuk mengkaji jadwal kegiatan untuk meningkatkan rasa control dan kerjasama dalam menentukan rencana kegiatan 4. Berikan istirahat bedrest menjelang eksaserbasi untuk mengumpulkan energy pada saat aktivitas 5. Berikan latihan ROM setiap 4 jam untuk mencegah kontraktur otot 6. Dorong pasien untuk mengguakan alat bantu untuk menghemat energy. 1. Kaji makanan yang disukai pasien da masukan kedalam rencana makan pasien apabila memungkinkan untuk mempertahan intake yang adekuat 2. Tawarkan makan sedikit tapi sering 25

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, kelemahan,

1. Mempertahankan berat badan normal 2. Mempertahankan jumlah dan kualitas asupan makanan

DIAGNOSA KEPERAWATAN dan efek medikasi

TUJUAN untuk memenuhi kebutuhan seharihari

INTERVENSI 3. Berikan perawatan oral hygiene sebelum dan setelah makan untuk meningkatkan kenyamanan dan mencegah terjadinya perlukaan pada oral 4. Pantau hasil laboratorium seperti Hb, elektrolit, dan kadar protein karena nilai yang rendah dapat mengindikasikan intake yang tidak adekuat 5. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan favorit pasien untuk meningkatkan asupan makanan dan sebagai wujud perhatian dan kasih sayang terhadap pasien

26

REFERENSI

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Agung Waluyo. Jakarta : EGC Price, Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih bahasa brahm. Jakarta : EGC Lewis, Sharon Mantik. 2000. Medical Surgical Nursing 5th Edition 2nd Volume. United States of America : Mosby, Inc. Isbagio Hary, dkk. 2006. Lupus Eritematosus Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. FKUI : Jakarta. 1214-1221 Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI A. Charter, Michael. 2005. Lupus Eritematosus Sistemik. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit volume 2,edisi 6. EGC : Jakarta. 1392-1395. 1-6 American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines.Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96. Van Vollenhoven RF, Engleman EG, McGuire JL. Dehydroepiandrosterone in systemic lupuserythematosus:result of a double blind,placebo-controlled,randomized clinical trial. Arthritis Rheum 1995;38:1826-31 Sidabutar, R.P. 1995. Lupus Eritematosus Sistemik dan Nefritis Lupus. Simposium Nasional LES. Jakarta www.medicastore.com

27

Vous aimerez peut-être aussi