Vous êtes sur la page 1sur 6

Askep Post Craniotomi

Oct A. Konsep Dasar Trauma Kepala 1. Pengertian a. Pengertian trauma kepala Menurut Satya Negara (1998: 148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis. b. Pengertian Trauma Kepala Sedang Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran lethargi, obtunded atau stupor. c. Pengertian craniotomy Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642) mengemukakan bahwa kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak, sedangkan Ahmad Ramali (1996: 62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap pembedahan pada tulang tengkorak. Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak. d. Pengertian Dekompresi Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau mengevakuasi bekuan darah dari tulang tengkorak. e. Pengertian Subdural Hematoma Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228) hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah pengumulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid yang bersumber dari robeknya vena. Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah fronto temporo parietal dextra. 2. Anatomi dan Fisiologi Otak Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12) Otak dibagi dalam beberapa bagian: a. Serebrum (otak besar) Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis media. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu: 1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998: 15) 2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17) 3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori 4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara

19

umum, fungsi serebrum terdiri dari: a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan memori c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil b. Batang otak (trunkus serebri) Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari: 1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon: a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah b) respiratori, membantu proses persyarafan c) mengontrol kegiatan reflek d) membantu pekerjaan jantung Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20) 2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya terdiri dari: a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata b) memutar mata dan pusat pergerakan mata 3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi dari pons varoli terdiri dari: a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan serebelum b) pusat syaraf nervus trigeminus 4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari: a) mengontrol pekerjaan jantung b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor) c) pusat pernafasan (respiratory centre) d) mengontrol kegiatan reflek Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan: a. Duramater (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak. b. Arakhnoid (lapisan tengah) Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal. c. Piamater (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124) 3. Etiologi (Satyanegara,1998:148) Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:

a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan 4. Klasifikasi cedera kepala a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut: (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226) adalah sebagai berikut: 1) Cedera kepala ringan (mild HI) Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala 2) Cedera kepala sedang (moderat HI) Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang. 3) Cedera kepala berat (severe HI) Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial. b. Klasifikasi perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut: 1) Hematoma epidural Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus. 2) Hematoma subdural Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. a) Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. b) Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. c) Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif. 3) Hematoma intraserebral Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang

menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan. 5. Patofisiologi Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut: Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik. Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial. Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena gantung (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontrakup. Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi. 6. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk ,1996:57; Arif Mansjoer, dkk, 2000: 4) a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin. b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan) c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu. d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam) e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton. f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen. g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10% i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi k. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan

dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N 7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut: a. Sistem kardiovaskuler Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. b. Sistem pernafasan Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif. Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada saluran pernapasan. c. Sistem pencernaan Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil. d. Sistem endokrin dan perkemihan Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi. Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna. e. Sistem muskuloskeletal Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.

f. Sistem integumen Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor, kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat. 8. Komplikasi dari trauma kepala (Mansjoer, Arif, 2000: 7) a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya meningitis (biasanya pneumokok). b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen. c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. d. Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.

Vous aimerez peut-être aussi