Vous êtes sur la page 1sur 19

BAGIAN 20. APAKAH TINDAKAN TERBAIK MENCEGAH DISFUNGSI GINJAL PERIOPERATIF ?

Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang bisa disebabkan oleh sejumlah kerusakan yang berakibat pada ginjal. Hal tersebut ditandai dengan gangguan dan penurunan fungsi yang menetap pada ginjal yang menyebabkan ganguan glomerulus (LFG) dan akumulasi sekunder urea dan zat lain laju filtrasi

dalam darah. Derajat

kerusakan ginjal mungkin masih subklinis atau mungkin pada kondisi ekstrem, berkembang menjadi gagal ginjal, memerlukan terapi pengganti ginjal. Sebagai suatu istilah, GGA merupakan suatu definisi yang janggal, dengan suatu kebutuhan besar akan konsensus untuk menggambarkan lebih lanjut epidemiologi dan menunjukkan penelitian yang berdasarkan outcome. Diantara definisi resmi, serum kreatini 2-3 mg/dl (200-500 mol/L), peningkatan lebih besar dari 0,5 mg/dl (45 mol/L), diatas garis normal kreatinin <2mg/dl (170 mol/L), atau peningkatan 25-100 % dari kreatinin normal yang telah ditentukan. GGA parah didefinisikan sebagai serum kreatinin lebih besar daripada 5,5 mg/dl (500 mol/L) atau membutuhkan terapi penggantian ginjal. Ada suatu dorongan untuk meningkatkan kriteria yang konsisten berdasarkan GGA untuk menjelaskan baik kehadirannya maupun keparahannya, dan juga komponen waktu. Ukuran keluaran urin dipengaruhi oleh cairan masuk dan diuretik. Baik urea plasma dan serum kreatinin dipengaruhi oleh faktor non renal dan frekuensi dari pengungukurannya mungkin mempengaruhi secara signifikan level puncak yang tercatat. Namun, seperti sepsis dan sindrom akut pernapasan beberapa tahun lalu, konsensus definisi dari GGA sangat

dibutuhkan untuk mengetahui dan menginvestigasi secara lebih jauh keuntungan dari terapi intervensi yang potensial. Kriteria anjuran yang mewakili derajat yang berbeda dari ganngguan dan gagal ginjal dijelaskan dalam tabel 29-1. GGA, meskipun jarang pada komunitas, mungkin terjadi pada lebih dari 5% pada pasien rawatan. GGA perioperatif, meskipun secara umum jarang, sering menyulitkan bebrapa

prosedur bedah tertentu. Secara khusus, prosedur yang melibatkan manipulasi arteri mayor (khususnya aorta), obstruksi jaundis, zat radiokontras, dan nefrotoxin memiliki hubungan yang sangat erat dengan peningkatan serum kreatinin postoperatif. GGA perioperatif pada pasien bedah vaskular, bahkan dengan berbagai variabel, memiliki insiden diantara 10-25 %. Lebih jauh lebih dari 12 tahun, suatu suatu menunjukkan insidensi yang relatif sama. GGA postoperatif memberi dampak lama rawatan yang lebih lama meningkatkan tingkat mortalitas, mengganggu kualitas hidup. Namun untuk membuktikan variabel yang merusak ginjal yang berkontribusi terhadap GGA postoperatif. Dengan insidensi gagal ginjal posoperatif tetap sama selama 2 dekade

terakhir, strategi ini tampaknya hanya memiliki keuntungan yang terbatas. Namun, suatu penelitian penting telah dilakukan untuk meneliti perlindungan ginjal selama periode resiko tinggi perioperatif. Selama perioperatif, ginjal pada posisi beresiko melalui gangguan gangguan yang telah ada, nefrotoksin, iskemik renal intraoperatif, dan proses inflamasi. Karena GGA, tidak adanya konsensus insufisiensi ginjal, membuat hubungan antara insufisiensi ginjal preoperatif dan GGA postoperatif sulit untuk dinilai secara akurat. Namun, tidak ada keraguan bahwa hubungannya sangat kuat. Menariknya, tampak ada suatu hubungan kompleks antara apolipoprotein E (ApoE) dan poseperatif ARF. ApoE polimorfik, meskipun hubungan dengan penyakit aterosklerosis dapat memperberat derajat perlindungan ginjal. Sebagai kesimpulan, kejadian tersebut, sendiri atau dengan kombinasi, hemodinamik yang terganggu, pembedahan (khususnya pembedahan aorta), nefrotoxic perioperatif, atau proses inflamasi dapat menyebabkan GGA perioperatif, khususnya pada pasien yang telah memiliki predisposisi berupa insufisiensi ginjal bawaan atau faktor genetik.,

Faktor yang menginduksi GGA


Perfusi Ginjal abnormal Meskipun medula ginjal menerima aliran darah yang sedikit, proses medular dari

konsentasi urin memiliki kebutuhan metabolik yang tinggi. Setiap gangguan aliran darah ginjal (ADG) meningkatkan ketidakseimbangan perfusi regional dan kecenderungan

iskemik medula. Ini dapat disebabkan karena oklusi aorta, emboli ateroma, keadaan aliran darah rendah, hipotensi, dan hipovolemia. imbalansi aorta suprarenal dapat secara langsung mengganggu aliran darah ginjal dengan oklusi dan emboli ateroma, bahkan imbalansi intrarenal dapat menyebabkan suatu efek yang signifikan, menginduksi

terlepasnya proinflamator sitokin, meneruskan keruskan ginjal. Angiotensin converting enzim inhibitor (ACEi), meskipun bermanfaat pada beberapa pasein dalam mencegah progresifitas penyakit ginjal kronik, menginduksi GGA dengan menghambat kemampuan glomerula eferen kapiler untuk vasokonstriksi untuk menjaga LFG. Efek ini secara khusus tampak pada pasien yang sedang menjalani operasi vaskular. Pentingya tekanan perfusi ginjal ditunjukkan oleh perbaikan fungsi ginjal pada pasien hipertensi namun

bagaimanapun, jika pada pasien hipertensi ini terjadi hipotensi maka fungsi ginjal akan terganggu. Pada pasien septik, menjaga MAP memiliki pengaruh yang signifikan pada parameter fungsi ginjal. Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) menimbulkan efek multipel pada ginjal, suatu bagian yang signifikan dari kerjanya yang mengganggu perfusi ginjal. NSAID menghambat vasodilatasi arterior aferenyang dimediasi prostaglandin pada glomerulus. Kemudian, NSAID berdampak pada nefritis intersisial dan membranosa. Pada dewasa dengan fungsi ginjal, suatu review dari Cochrane melihat kliren kreatinin dalam 2 hari postoperatif menyimpulkan bahwa NSAID menyebabkan reduksi transient yang tidak penting pada fungsi ginjal. NSAID dapat berbahaya pada pasien yuang bergantung pada vasodilator pre kapiler ( sirosis, gangguan ginjal, gagal jantung kongestif). Vasokonstriksi kapiler glomerulus aferen diinduksi zat kalsineurin (siklosporin dan tacrolimus) dapat juga menyebabkan gangguan perfusi ginjal.

Nefrotoksin Beberapa pasien perioperatif mendpatkan berbagai nefrotoksin selama masa perioperatif. Pada pasien dengan masalah vaskular, khususnya, yang secara rutin mendapatkan radiokontras selama sebelum dna selama prosedur pembedahan. Hal ini tidak hanya menyebabkan vasokonstriksi akut yang mengganggu perfusi ginjal (khususnya pada medula), namun juga pengisian osmotik meningkatkan konsumsi oksigen. Ada juga transi tubular lambat dari filatrasi material kontras sehingga menginduksi dan melepaskan radikal oksigen bebas dalam tubulus. Berbagai zat lain yang diberikan selama perioperatif dapat secara langsung berefek

nefrotoksik. Seringkali nefrotoksin ini juga mengganggu perfusi ginjal. Iskemia usus dan endoksemia portal sering kali mengganggu pembedahan aorta mayor. Ini tampaknya lebih sering pada pasien yang menjalani pendekatan aneurisma aortik abdominal intraperioneal (AAA) saat dibandingkan dengan pendekatan endovaskular. Endotoksin dan sitokin lain yang terlepas menyebabkan konstriksi arteriol afferen, dan cedera tubular dengan efek mengganggu aliran darah ginjal, GFR, eksresi natrium, dan aliran urin. Teknik endovaskular cenderung memiliki waktu oklusi aorta yanglebih singkat dan berhubungan dengan respon fase akut yang lebih sedikit dan timbulya proinflamtor saat dibandingkan dengan repair aorta terbuka.

PILIHAN/TERAPI
1. Optimalkan fungsi ginjal preoperatif dan minimalkan zat nefrotoksik properatitif. 2. Minimalkan gangguan hemodinamik pada ginjal Cegah pemanjangan penutupan aorta seberang Jaga dan optimalkan perfusi ginjal volum intravaskular, aliran darah ginjal, dan tekanan

Cegah zat farmakologi yang dapat mengganggu aliran darah ginjal atau kebutuhan metabolik yang dibutuhkan ginjal.

3. Pertimbangakan strategi farmakologi renoprotektif.

BUKTI
Secara keseluruhan hanya ada studi terapetik terbatas pada pasien yang beresiko tinggi untuk berkembangnya GGA perioperatif. Mayoritas studi memusatkan pada GGA yang diinduksi radiokontras sehingga mungkin tidak dapat diaplikasikan secara langsung pada GGA perioperatif. Variasi definisi GGA antara studi menyebabkan kebingungan interpretasi pada intervensi terapetik. Tabel 29-2 dan 29-3 menyimpulkan dan menderajatkan bukti dengan menggunakan kriteria yang telah ada.

Cairan
Tidak ada percobaan kontrol acak membandingkan cairan dengan placebo pada pencegahan GGA perioperatif. Pada nefropati rdiokontras, suatu regimen pengobatan dari hidrasi prekontras dikombinasikan dengan pengobatan aktif ( manitol, furosemid) menurunkan insidensi cedera ginjal. Namun percobaan tersbut terbatas pada sedikitnya jumlah sampel dan tidak dikontrol untuk penggunaan ACEi atau NSAID. Prtokol menyediakan 12 jam untuk hidrasi pra gangguan merupakan suatu batasan praktis yang signifikan. Pada studi terbaru membandingkan 2 regimen hidrasi, cairan isotonik

mengurangi nefropati yang berhubungan dengan media kontras dibandingkan dengan cairan setengah isotonik. Pada penggunaan awal cairan pada cedera rhabdomiolisis telah menghasilkan manfaat yang mengesankan. Pada pasien vaskular berisiko tinggi, percobaan kecil memandu manajemen cairan dengan monitoring invasif ( kateter arteri pulmonal) pada awalnya menunjukkan efek renoprotektif. Namun percobaan selanjutnya gagal mengkonfirmasi adanya manfaat. Konsensu selanjutnya mengenai penggunaan kateter

arteri pulmonal merekomendasi penggunaannya pada pasien pembedahan aorta dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner yang signifikan, atau prosedur yang melibatkan penjepitan aorta suprarenal, namun tidak pada bypass arteri koroner atau pembedahan vaskular perifer. Mesekipun kurangnya bukti efek protektif perioperatif dan efek hipovolemia berdampak signifikan terhadap berkembangnya GGA perioperatif, penyesuaian ekspansi volume tampaknya merupakan strategi preventif yang sesuai. Serta diuresis yang diinduksi potensial. dapat juga menurunkan paparan ginjal terhadap neprotoksin

Agen Dopaminergik
Dopamin sebagai suatu agonis dopaminergik non selektif memiliki efek multipel ( baik yang berguna maupun yang tidak diinginkan) berhubungan dengan agonis DA 1,1 dan 1. Melalui resptor DA1 di vaskulatur ginjal, tubulus dan duktus kolektikus, dopamin meningkatkan aliran darah ginjal dan berperan sebagai diuretik dan natriuretik. Melalui suatu mekanisme tersendiri ( inotropik jantung meningkatkan curah jantung dan aliran darah ginjal, vasopresor meningkatkan tekanan perfusignjal, diuretik menurunkan pengisian sel tubular) dopamin hampir dapat selalu memproteksi ginjal dari kerusakannya. Namun sebagai suatu agen renoprotektif, perannya masih dipertanyakan. 3 review sistematik telah menemukan tidak adanya manfaat. Suatu penjelasan untuk ini menemukan pada suatu studi

famakokinetik relawan yang sehat, dimana infus dosis rendah berhubungan dengan variabel intraindividual dan intervidual yang signnfikan dari level plasma (10-17 kali lipat), pasien yang diberikan dopamin dosis rendah, mungkin kenyataanya, menerima dosis tinggi. Pada pasien dehidrasi terdapat efek diuresis minimal dari dopami, sehingga mendorong pentingnya rehidrasi yang adekuat. Pada pasien kritis dengan tanda sepsis, suatu GGA tidak menunjukkan kegunaan dari dopamin dosis rendah. Dopamin tampaknya tidak menunjukkan efek renoprotektor.

Fenoldopa merupakan agonis reseptor DA1 murni yang meningkatkan vasodilatasi splanik dan ginjal dan meningkatkan aliran darah ginjal. Juga bersifat sebgai natriuretik, berpotensi juga mengurangi kebutuhan oksigen medular. Pada dosis tinggi terdapat vasodilatasi sistemik signifikan yang mengarahkan pada penggunaannya sebagai suatu agen

antihipertensi yang poten. Pada pasien bedah jantung, suatu percobaan kecil menunjukkan fenoldopama dapat mencegah penurunan kliren kreatinin setelah bypass kardiopulmonal. Hasil serupa juga telah dilaporkan oleh kelompok peniliti yang sama dari pasien yang menjalani pembedahan aorta dengan penjepitan intrarenal. Suatu studi preeliminer

neuropati radiokontras menemukan bahwa fenoldopa, berlawanan dengan dengan cairan setengah isotonik mungkin bersifat renoprotektif. Dibutuhkan studi yang lebih besar untuk menilai peran fenoldopam untuk renoproteksi. Dopexamin adalah suatu agonis 2 dengan kurang 1 dan potensi dopaminergik dari dopamin. Hal ini memberikan efek klinis inodilatasi tanpa stimulasi . Pada medula loop henle, penyerapan natrium tidak terganggu, berpotensi meningkatkan kebutuhan oksigen medular resipien transplan hati yaang mendapat dopexamin memiliki tren signifikan yang tidak statis mengarah pada disfungsi ginjal lebih sedikit. Suatu studi kecil dari pasien yang menjalani pembedahan aorta menunjukkan elemen renoprotektif, meskipun percobaan yang lebih besar dibutuhkan.

Furosemide
Furosemid, dengan menghambat penyerapan natrium pada bagian medula loop henle, menyebabkan diuresis dan natriuresis. Hal ini membeatasi secara potensial perburukan hipoksia medular dengan menurunkan pengisian sel tubular dan konsumsi oksigen. Namun ada sedikit literatur mendukung hal tersebut sebagai agen renoprotektif. Tidak ada percobaabn kontrol-plasebo sendiri pada kondisi perioperatif. Suatu percobaan random dopamin dan furosemid berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal. Untuk mencegah nefropati radiokontras pada pasien dengan gangguan ginjal kronik, hidrasi sendiri lebih baik

dari hidrasi ditambah furosemid. Juga pada suatu review sistemik pasien dengan GGA, diuretik tidak memberikan manfaat daripada cairan sendiri. Kurangnya literatur pendukung dapat berhubungan dengan metode pemberian furosemid (single bolus berbalik dengan infus). Manfaat furosemid dapat terbatas dengan infus kontinyu, dengan periode eaktu yang panjang, menyebabkan vasodilatasi kortikal, hipoperfusi medula sekunder, dan menurunkan disfungsi ginjal. Manitol berperan sebagai diuretik osmotik untuk meningkatkan menurunkan aliran tubular. Dalam tubular, manitol menurunkan volum filtrasi dan dimensi sel tubular

(melalui dehidrasi), meningkatkan diameter tubular, dan menurunkan resistensi tubular. Dapat juga berperan sebgai pencegah radikal bebas, sehingga baik pada cedera reperfusiiskemik. Pada percobaan manusia, penggunaan manitol menunjukkan efek renoprotektif pada transpalntasi ginjal. Tampaknya ada bukti biokemikal yang lebih sedikit pada pasien cedera glomerulus dan tubular yang mendapatkan manitol pada repair aneursima aorta infrarenal. Penielitian-penelitian kontrol acak tidak menemukan untuk mendukung kemampuan manitol untuk menurunkan GGA peroperatif pada pasien dengan trauma rhabdomiolisis, atau yang menjalani graft bypas arteri koroner, atau pembedahan traktus bilier. Belum ada percobaaan besar di masa depan yang dilakukan untuk mengevaluasi manitol dalam mencegah gagal ginjal perioperatif. Pada pasien dengan gangguan gagal ginjal kronik yang menjalani studi radiokontras penggunaan manitol berhubungan dengan trend yang mengarah pada kerusakan.

Antioksidan
Asetilsistein , sebagai anti oksidan, telah diajukan sebagai agen renoprotektif. Studi kecil pada nefropati yang dimediasi kontras telah menunjukkan suatu manfaat. Namun pada kondisi perioperatif hanya ada 1 kondisi perioperatif yang tidak menunjukkan adanya manfaat. Kini tidak adanya bukti untuk merekomendasikan asetilsitein atau antioksidan lain sebagai agen renoprotektif perioperatif.

Calcium Chanel Blocker


Agen ini, dengan menghasilkan vasodilatasi ginjal, meningkatkan ADG, dan LFG. Agen ini menghambat kerja angiotensin di glomerulus dan menurunkan sirkulasi reseptor interleukin-2. Pada kelompok resiko tinggi untuk berkembangnya GGA, hanya resipien transplan ginjal pada percobaan-percobaan kecil telah menunjukkan manfaat dari kalsium chanel blocker. Sebuah percobaan klinis random isradipine menunjukkan perbaikan level serum kreatinin namun tidak ada manfaat pada insidensi atau keparahan disfungsi graf. Suatu percobaan kontrol-placebo pada pasien yang menjalani pembedahan aorta dengan clampi sebrang infra aorta menunjukkan nifedipine mencegah penurunan postopeartif pada GGA. Suatu seri pada pasien pembedahan jantung, melaporkan peningkatan insidensi GGA pada pasien yang mendaptkan diltiazem. Meskipun diltiazem tampak memiliki suatu peran pada para resipien transplan ginjal, studi yang lebih jauh terhadapa calcium chanel blocker dibutuhkan pada pasien berisiko tinggi. Penggunaan calcium channel blocker

bertambah terbatas oleh keadaan tambahan (termasuk hipotensi dan bradikardi), yang dengan sendirinya berkontribusi terhadap dsifungsi ginjal perioperatif yang signifikan.

Analog ANP
Atrial natriuretik peptida disekresikan sebagai respon untuk memnjangkan sel atrium jantung, hal ini menyebabkan vasodilatasi preglomerulus dan vasokonstriksi

postglomerular meningkatkan LFG, dan menghambat penyerapan natrium untuk meningkatkan baik diuresis dan natriuresis. Ada resiko petensial terhadap perburukan lebih jauh oksigenasi medula ginjal. 2 agen anaritide ( suatu analog ANP) dan ularitide (suatu natriuretikpeptida yang diproduksi ginjal) telah dipelajari. Anaritide tidak berkontribusi dalam berkembangnya GGA atau pada pasien dengan resiko nefropati radiokontras. Pada pasien percobaan GGA, meskipun tidak ada manfaat secar akeseuruhan yang tampak, analisa sub kelompok menunjukkan manfaat pada pasien

oligurik dan efek merusak diantara pasien non oligurik. Namun telah dipelajari untuk profilaksis pada kondisi pembedahan resiko tinggi. Pada seri-seri kecil psien yang menjalani transplantasi hati dan jantun serta pembedahan jantung, ularitide telah dianjurkan untuk memberikan efek yang berguna pada aliran urin dan aliran darah ginjal dan mungkin menurunkan keburuhan akan dialisis. Lebih luas lagi, studi yang dirancang lebih baik diperlukan untuk menjelaskan peran ularitide sebagai agen protektif. Namun, pada pasien yang telah memiliki GGA, ularitide gagal untukmenunjukkan kegunaannya atau pada yang membutuhkan dialisis

Prostaglandin
PGE2 dan PGD2 dan prostagsiklin (PGI2
)

berperan sebagai vasodilator intrarenal yang

dilepaskan selama ginjal mengalami stress dan memberikan efek protektif dengan menjaga hemodinamik intrarenal (juga terhadap medula) dan meningkatkan natriuresis. PGE1 berperan sebagai vasodilator intrrarenal dengan potensi sebagai suatu agen renoprotektif. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang sedang terpapar kontras yang merusak, PGE 1 menurunkan peningkatan kreatinin, namun tanpa merubah pengukuran klirens kreatinin. Pada transplantasi hati orthotopik, infus PGE1 telah menghasilkan hasil yang bertentangan. Pada pasien pembedahan jantung, PGE1 hanya diberikan selama bypass kardipulmonal tanpa manfaat yang jelas. Faktor pembatas tampak seperti hipotensi yang diinduksi prostaglandin, khususnya dengan autoregulasi ginjalyang terganggu selama anestesi dan bypass kardiopulmonal hipotermi.

Growth Factor
Growth factor meningkatkan regenarasi dan memperbaiki keruskan nefron pada iskemik GGA. Tidak hanya mencegah GGA perioperatif, peran Growth factor dapat mempercepat perbaikan setelah adanya suatu paparan. Hasil pada hewan dengan insulin-like Growth

factor-1 (IGF-1) sangat menggembirakan. Pada manusia dengan gagal ginjal akut stadium akhir, IGF-1 meningkatkan fungsi ginjal. Suatu pecobaan kecil menunjukkan bahwa pasien pembedahan vaskular yang berisiko tinggi memiliki disfungsi ginjal lebih rendah dengan IGF-1. Lebih luas lagi, percobaan yang lebih besar diperlukan sebelum IGF-1 bisa didukung sebagai agen protektif. Acidic fibroblast growth factor-1 (FGF-1) telah didukung dengan hasil serupa pada model hewan, dengan temuan lebih behawa efek protektif mungkin dimediasi oleh efek antiinflamsi dan vasodilatasi nitrit oksida.

Antagonis Adenosin
Teofilin tidak memberi efek renoprotektif pada nefropati radiokontras. Tidak ada percobaan klinis acak terhadap antagonis adenosin pada pembedahan resiko tinggi. Antagonis adenosin telah mempersempit indeks terapetik dan kejadian tambahan yang dikenali.

Daerah Ketidakpastian
Pada derah yang sepenting secar klinis, mengejutkan bagaimana hanya terdapat sedikit kepastian mengenai pencegahannya. Bahkan dengan berbagai definisi GGA, jelas bahwa perkembangannya berdasarkan individual pasien. Banyak penilitian telah memusatkan pada penemuan suatu obat magic untuk

memproteksi ginjal dari berbagai paparan, namun hanya sedikit mengalami keberhasilan. Dengan berbagai paparan berkontribusi terhadap gagal ginjal perioperatif, sangat tidak mungkin suatu agen tunggal akan memberikan proteksi pada semua keadaan tersebut. Kini, relatif sedikit perhatian yang didedikasikan pada pentingnya prinsip dasar seperti menjaga aliran darah ginjal, tekanan perfusi ginjal, dan volum intravaskular.

PANDUAN
Kini tidak ada panduan yang dikeluarkan dari ukuran-ukuran untuk mencegah GGA perioperatif

BAB 30. APAKAH PEMERIKSAAN PADA PASIEN DENGAN ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME ?

acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu fenomena yang paling sering menyerang ahli aanestesi di kamar operasi dan di intensif care unit (ICU). Ini juga merupakan suatu komplikasi yang ditakutkan dari aspirasi isi lambung. ARDS merupakan suatu sindrom perubahan patologi, disebabkan oleh sejumnlah toksin dan agen infeksius, yang berkembang seiring waktu dari cedera endotelial dan konsolidasi alveolus menjadi proliferasi fibrobals dan deposisi kolagen. Pada 1994 American Consensus Conference (AECC) mengenai ARDS mendefinisikan ARDS meliputi infiltrat kedua dada berdasarkan radiografi seiring dengan edem pulmonal sedangkan rasio PaO2 /Fio2 kurang dari 200 (rasio Pao2/FiO2 kurang dari 300 didefinisikan sebgai cedera paru) sedangkan tekanan oklusi arteri pulmonal kurang dari atau sama dengan 18, atau tidak terdapat bukti hipertensi atrium kiri. Banyak mediator mempengaruhi pada patofisiologi tersebut, meliputi komplemen, sitokin, radikal oksigen, produk asam arakhidonat, nitrit oksida dan protease. Berbagai paparan dapat memicu sindrom ini. Penyebab langsung yang secara langsung mencederai paru, seperti aspirasi, penumonia, kontusio paru, inhalasi termal, emboli cairan amnion, dan inhalsi partikel. Penyebab tidak langsung yang mencederaii paru melalui pelepasan mediator dan termasuk pakreatitis, sepsis dan bakteremia. Adanya paparan ganda

meningkatkan resiko ARDS.

Insiden nyata dan tingkat mortalitas ARDS masih belum jelas. Banya studisebelum AECC tidak menggunakan suatu definisi standar. Suatu studi di Hsrborview Medical center di Seattle, Washington, melaporkan insidensi ARDS 12,6/ 100.000 per tahun dan insiden cedera paru akut 18,9/100.000 per tahun. Tingkat kemtian di rumah sakit dilaporkan antara 40-60 % pada semua studi.

PILIHAN
Intervensi terapetik telah juga diarahkan pada fase spesifik dari sindrom ini atau lebih umum dan juga bersifat suportif. Disini kami mendiskusikan bukti yang mendukung atau membantah strategi ventilator tertentu, termasuk posisi terlentang dan oksigenasi sedangkan terapi antiinflamatori seperti pemberian kortikosteroid dan bantuan

hemodinamik. Studi yang relevan pada ARDS ditampilkan pada tabel 30-1.

BUKTI VOLUM TIDAL YANG LEBIH RENDAH PADA ARDS


Strategi Ventilator yang lam pada ARDS meliputi penggunaan volum tidal pada rentang 1015 ml/kgpada usaha untuk menormalkan Paco2 dan pH. Model ventilasi ini berimplikasi memberikan cedera paru tambahan dan gagal orang multisitem. Pembukaan dan

penutupan berulang alveoli dengan ventilator tradisional mungkin dapat merusak permeabilitas endothelial, meningkatkan edem, dan pelepasan mediator inflamasi mungkin dapat berkontribusi terhadap gagal organ dan hasil yang lebih buruk. Antara Desember 1990 hingga Juli 1995 Amato dkk melakukan randomisasi 53 pasien dengan ARDS dengan strategi ventilasi mekanik protektif maupun tradisional. Mortalitas pada 28 hari adalah 38% pada kelompok strategi protektif dan 71% pada kelompok ventilasi mekanik konvensional. Amato dkk juga menemukan insiden yang lebih rendah dari

barotrauma pada kelompok ventilasi protektif. Tingkat survival pada keluaran rumah sakit tidak ada perbedaan untuk kedua kelompok. ARDS Network mempelajari pasien pada 10

universitas antara 1996 dan 1999. 861 pasien terdaftar dan diacak terhadap ventilasi tradisional (VT 12 ml/kg) atau ventilasi volum tidal rendah (VT 6 ml/kg). kematian dalam 28 hari berkurang dari 40% sampai 30%, tingkat kematian sebelum keluar rumah sakit

berkurang, hari tanpa ventilator lebih tinggi dan jumlah hari tanpa gagal organ non pulmonal atau sistem meningkat. Level interleukin-6 lebih rendah, mungkin

mengindikasikan

inflamsi paru yang lebih sedikit. Stewart dkk membandingkan suatu

kelompok ventilasi terbatas (VT 8 ml/kg atau kurang) terhadap kelompok ventilasi konvensional (VT 10-15 ml/kg) dari juli 1995 sampai september 1996. Mortalitas adalah 50% pada kelompok ventilasi terbatas berbanding 47% pada kelompok ventilasi konvensional. Stewart dkk mengemukakan bahwa rendahnya efikasi pada kelompok ventilasi kontrol volum dan tekanan mungkin karna mempelajari batasan volum tidal dan tekanan puncak pada pasien kontrol,berbagai intervensi pasien mereka, dan bhawea efek menguntungkan dari pembatasan volum dan tekanan mungkin diimbangi oleh efek yang merusak dari hiperkapnia. Hiperkapnia yang diperbolehkan ialah peningkatn Paco2 pada level diatas normal. Ini merupakan konsekuensi strategi managemen ventilasi yang meperbolehkan volum menitan lebih rendah pada usaha untuk mengurangi cedera yang dinduksi ventilator dan secara umum tampak memiliki toleransi yang baik. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah hiperkapnia permisif merugikan atau bahkan mungkin bermanfaat. Secara keseluruhan, bukti yang mendukung strategi ventilasi bahwa volum tidal yang lebih rendah ( sekitar 6 ml/kg berat badan ideal) tekanan saluran nafas plateu lebih rendah ( kurang dari 30 cmH20 dan level yang lebih tinggi dari tekanan ekpirasi akhir positif (PEEP) untuk menjaga rekruimen alveolar.

BUKTI UNTUK STRATEGI RESPIRATORI TAMABAHAN PADA ARDS


Strategi lain telah diajukan sebgai pendamping ventilasi tradisional, meliputi posisi

terlungkup, nitrit oksida,oksigenasi membranosa ekstracorporl (ECMO), manuver rekruitmen dan vetilasi tekanan positif non invasif (NIPPV).

Posisi terlungkup sering kali meningkatkan oksigenasi peningkatan dipercaya karena distribusi yang lebih merata dari volum tidal dan peningkatan pada kesesuaian perfusiventilasi. Masalahnya apakah perbaikan oksigenasi sementara pada oksigenasi dari posisi telungkup memperbaiki hasil keseluruhan. Gattinoni dkk mengacak 304 pasien dengan gagal pernapasan akut terhadap posisi telungkup intermiten atau posisi terentang kontinyu. Pao2 dihitung tiap pagi lebih tinggi pada pasien dengan posisi terlungkup, namuntidak ada manfaat surviva yang diamati pada 10 hari , saat keluar ICU, atau setelah 6 bulan follow up. Meskipun studi mereka menunjukkan bahwa posisi terlungkup dapat dilakukan dengan aman, penulis memperingatkan bahwa penggunaan rutin posisi terlungkup pada gagal pernafasan akut tidak bisa dibenarkan. Nitrik oksid inhalasi (iNO) telah dianjurkan sebagai terapi pendamping untuk ARDS karena kemampuannya untukvmeningkatkan sifat pergeseran kiri ke kanan intrapulmonal dari ARDS dan menurunkan tekananan erteri pulmonal. Troncy dkk menilit pasien dengan ARDS sedang, melaporkan bahwa iNO meningkatkan oksigenasi dalam 24 jam pertam, manfaat tersebut tidak bertahan, tidak juga bermanfaat untuk survival dalam 30 hari. Pada suti yang serupa, Michael dkk melaporkan hasil pembanding bahwa iNO meningkatkan oksigenasi pada 12 jam dan mungkin 24 jam, namun efek tidak berthan. Delinger dkk melakukan suatu percobaan fase II pada pasien untuk mengevaluasi respon fisiologi terhadap iNo pada pasien dengan ARDS sedang. Proporsi pasien yang menerima 5 ppm iNO yang hidup dan bebas ventilasi mekanik pada 28 hari adalah 62%, dibandingkan dengan 44% pada kelompok placebo. Tidak ada perbedaan pada mortalitas di rumah sakit. Tampaknya bahwa iNO dapat meningkatkan oksigenasi secara transien, namun penggunaan rutinnya pada pasien ARDS tidak menigkatkan outcome. ECMO dengan disertai suatu strategi ventilasi terbatas telah dilaporkan sebagai modalitas terapi yang mungkin pada ARDS yang parah. Zapor dkk melakukan penilitian acak pada 90 pasien terhadap ventilasi konvensional atau bypass veno-arteri parsial. Mereka melaporkan tidak ada manfaat survival, namun benar bahwa ECMO dapat membantu pertukaran gas pernapasan. Suatu percobaan oleh Gattinoni dkk melaporkan meningkatan survival pada

pasien yang mendapatkan ECMO. Percobaan acak berikutnya dilakukan Morris dkk naumn gagal menunjukkan manfaat. ECMO rumit, pelayan medik intensif, tidak tersebar dan tersedia luas serta manfaat yang dipertanyakan. Penggunaan rutinnya tidak dapat sering dibenarkan pada ARDS, namun namun pasien yang dipilih dengan seleksi ketat dapat menjadi pilihan. NIPPV memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan intubasi tradisional untuk

management insufisiensi pernafasan. Keuntungannya termasuk insidensi yang lebih rendah pada pneumonia nosokomial, tingkat intubasi yang lebih rendah, sinusitis yang lebih

sedikit, dan lebih mudah berkomunikasi dengan pasien. Juga merupakan suat alternatid termasuk pada pasien yang menolak intubasi. Kerugiaanya adalah menungkatnya lama rawatan, proteksi jalan nafas yang buruk, ketidakmampuan untuk menghantarkan PEEP level tinggi, dan kesuilitan memasangkan pada pasien delirium. Declaux dkk melakukan penelitian acak pada 123 pasien (102 dengan cedera paru akut dan 21 dengan penyakiot jantung) dengan gagal pernapasan paru akut terhadap continous positive airway pressure (CPAP) atau terapi oksigen standar. Mereka menemukan bahwa respon subjektif terhadap pengobatan lebih baik dengan CPAP, namun tidak ada pengurangan tingkat intubasi, lama rawatan ICU, atau mortalitas di rumah sakit. Karena ARDS jarang kali merupakan masalah jangka pendek dan abnormalitas organ tunggal, sehingga sulit untuk merekomendasikan NIPPV sebagai langkah pertama pada semua pasien dengan ARDS namun dapat menjadi pilihan pada pasien ketika intubasi tidak diinginkan. High frequency osciltory ventilation (HFOV) telah dianjurkan sebagai managemen strateggi pada ARDS. Manfaat HFOV ialah menurunkan volum tidal dan meninggikan tekanan saluran nafas rerata dan menjaga volum volum paru akhir ekspirasi dan rekruimen alveolar. HFOV telah dilaporkan meningkatkan outcome klinis pada bayi prematur dengan sindro distres pernapasan dibandingkan dengan ventilator konvensional. Pada pasien dewasa, Carlton dkk melakukan penelitian acak pada 309 pasien terhadap voleume-cycled ventilation (VCV) atau high-frequency jet ventilation (HFJV). Mereka menemukan bahwa VCV memberikan perbaikan Pao2 sedikit pada PEEP yang sama namun pada HFJV, oksigenasi dan ventilasi

terjaga dengan tekanan inspirasi puncak lebih rendah dan volum tidal lebih kecil. Tidak ada perbaikan pada semua survivor atau waktu rawatan ICU. Fort dkk melakuakn studi klinis prospektif pada 17 pasien dengan ARDS. Mereka melaporkan bahwa 13 dari 17 pasien membaik pada rasio Pao2 /Fio2, tanpa penurunan tekanan darah, curah jantung atau hantaran oksigen. Suatu percobaan kontrol acak dibutuhkan untuk menilai manfaat HFOV.

BUKTI UNTUK STRATEGI FAMAKOLOGI PADA ARDS


Intervensi famakologi trelah dicoba pada ARDS umumnya diarahkan pada penghambatan pelepasan mediator inflamasi setelah peristiwa inisial tejadi, dan intervensi tersebut

meliputi penghambatan sitokin, endotoksin melawan antibodi monoklonal atau ionterleukin, antioksidanm protein C teraktivasi, obat anti inflamasi nonsteroid dan prostanoid. Sebagai tambahan, penggantian surfaktan dapat memperbaiki penurunan komplians paru yang sering pada kondisi tesebut. Meski banyak intervensi ini telah menunjukkan manfaat pada percobaan inisial dan

beberapa studi hewan, bebrapa manfaat telah disadari pada percobaan manusia. Studi prostaglandin E1 survival. Penurunan produksi dan fungsi surfaktan mengarah pada meningkatnya tekanan permukaan, kolaps alveolus, dan penurunan komplians parenkim. Anzueto dkk
,

prosistein, lisopilin, dan ketokonazole tidak menunjukkan manfaat

mempelajari efikasi artifisial surfaktan aerosol pada pasien ARDS. Mereka tidak menemukan perbaikan oksigenasi, ventilasi atau mortalitas. Penelitian berlanjut pada teknik lankut pemberian surfaktan namun tidak jelas apakah efek paru akan cukup untuk mengubah outcome klinik.

BUKTI UNTUK MANIPULASI HEMODINAMIK


Tujuan managemen hemodinamik pada RDS merupakan area yang kontroversi.. 3 daerah harus dipertimbgkan : penggunaan kateter arteri pulmonal, managemen cairan dan manipulasi hemodinamik dan manipulasi hemodinamik untuk mendukung hantaran oksigen supernormal. Kateter arteri pulmonal (KAP) sendiri telah dipertanyakan manfaatnya pada ARDS. Konferensi konsensus kateter pulmonal pada 1997 mencatat bahwa terdapat bukti yang tidak cukup dari percobaan klinis dan seri kasus untuk menetukan secara definitif manfaat atau kerugian dari penggunaan KAP pada pasien dengan gagal pernapasan. ARDS Network melakukan percobaan acak prospektif multicenter membandingkan penggunaan KAP

dengan kateter vena central, serta managemen konservatif cairan dengan cairan bebas. Jelas peningkatan permeabilitas bertanggung jawab untuk akumulasi cairan alvoli pada ARDS. Akumulasi inI terjadi pada tekanan pulmonal lebih rendah dari [ada normal. Hal tersebut telah diperdebatkan bahwa diuresis dan pembatasan cairan dapat bermanfaat pada pasien ARDS dengan membatasi atau mencega edem. Mitchell dkk mempelajari pasien di ICU dengan ARDS dan KAP. Pada pasien dengan cairan paru ekstravaskular lebbih bawah memiliki periode lebih pendek dari ventilasi mekanik dan rwatan ICU lebih singkat, namun mortalitas tidak berbeda. Tidak jelas pembatasan cairan secara agresif dapat memperburuk gagal organ ekstrapulmonal.

AREA KONTROVERSI
Kortikosteroid merupakan suatu area kontroversi yang besar pada magement baik pada ARDS awal maupun akhir. Telah dirasakan bahwa kortikosteroid dapat menghambat pelepasan proinflamatori atau sitokin profibrotik pada cedera paru. Meduri dkk mempelajari 8 pasien dengan ARDS tanpa suatu situs infeksi yang jelas. Mereka diberikan metilprednisolon bolus 2 mg/kg, diikuti 2-3 mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam. 6 dari 8 survive

dan cedera paru lebih rendah. Suatu studi follow up juga dianjurkan pada pasien yang survive dengan steroid. Rekomendasi pasti terapi steroid menunggu percobaan multicentre kontrol-placebo.

REKOMENDASI PENULIS
Tidak ada panduan konsensus untuk managemen ARDS pada populasi dewasa, meski begiru prinsip berikut cukup beralasan : Diagnosa ARDS harus ditegakkan. Onset akut gagal pernapasan, Pao2/Fio2< 200 mgHg ( 300 untuk cedera akut), infiltrat bilateral pada foto dada dan tidak ada bukti dari etiologi kardiogenik edempulmonal . Paparan awal yang bertanggung jawab terhadp induksi ARDS harus diidentifikasi dan ditangani. Pneumonia, sepsis dan bakteremia harus ditangani dengan antibiotik dan pembedahan drainase ketika terindikasi, cdedera lebih jauh harus dicegah. Mengamankan jalan nafas dan stategi proteksi paru inisial harus dimulai. National Institutes of Health ARDS Clinical Network telah mempulikasikan suatu protokol ventilator mekanik. Protokol yang bagus ini berlawanan dengan metode managemen ARDS yang akan dites.

Vous aimerez peut-être aussi