Vous êtes sur la page 1sur 22

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS ARGENTOMETRI

Disususun oleh : 1. FINA TRI HANDAYANI 2. RADEN ALFIAN PRASETYA 3. RUTH FEBRINA 4. DEDAH NURHAMIDAH (G1F010004) (G1F010005) (G1F010006) (G1F010007)

Golongan : III B Kelompok : 1 Asisten : Rizki Novasari Singgih Anggun Hari/tanggal : Senin, 12 November 2012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO 2012

I.

JUDUL PERCOBAAN ARGENTOMETRI

II. TUJUAN Menetapkan kadar suatu senyawa obat dalam sampel menggunakan prinsip reaksi pengendapan.

III. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu labu ukur, buret, labu erlenmeyer, pipet tetes, pipet ukur, filler, batang pengaduk, sendok tuang, beker glass, gelas ukur, statip dan klem, corong pisah, gelas, tissue, dan timbangan. Bahan yang digunakan yaitu AgNO3, aqudes, natrium klorida P, indikator kalium kromat, kalium tiosianat, kalium iodide, asam nitrat P, indikator besi (III) ammonium sulfat LP, KCl, vitamin B1 / Tiamin HCl, asam asetat 6%, dan indikator eosin. IV. Data Pengamatan A. Pembakuan 1. Pembakuan AgNO3 Bobot NaCl = 125 mg Volume AgNO3 1) 20,7 mL 2) 18,9 mL 3) 20,1 mL BE NaCl = 58,5

2. Pembakuan KSCN Volume AgNO3 = 25 mL Normalitas AgNO3 = 0,107 N Volume KSCN 1) 2) 3) 30,5 mL 30,9 mL 29,9 mL

B. Penentuan Kadar 1. Penentuan Kadar Kalium Klorida (KCl) Volume titrasi 1 = 4,1 mL 2 = 3,9 mL 3 = 3,75 mL N AgNO3 = 0,107 N mg KCl = 50 mg BE KI = 166

x 125,94% 172,98 % 116,38 %

12,49 138,43 % 34,55 22,05

(|

|) 156,0001 1193,7025 486,2025 = 1835,9051

= 69,09

Harga ditolak jika |

1. |

|
(diterima)

2. |

|
(diterima)

3. |

|
(diterima)

Kadar KCl = 156,848 % = 121,864 %

2. Penentuan Kadar Vitamin B1 Volume KSCN 1 = 7,3 mL 2 = 7,1 mL 3 = 6,5 mL Volume AgNO3 = 6,5 mL
(

N KSCN =

mg Vit B1 = 50 mg BE Vit B1 = 327,36 N AgNO3 =


) (

N
)

(
(

)
) )

( (

(| 17,28 %

|) 298.6 33,18 531,3


= 863,08

52,05 % %

5,76 % 23,05 %
= 46,09

Harga ditolak jika |

1. |

|
(diterima)

2. |

|
(diterima)

3. |

|
(diterima)

Kadar

= 64,041 % = 40,059 %

3. Penentuan Kadar Kalium Iodida Volume titrasi 1 = 4,1 mL 2 = 3,9 mL 3 = 3,75 mL BE KI = 166 ( ( ) )

x 145,6484 % 138,5436 % 133,215 %

6,5119 139,136 % 0,5920 5,9206

(|

|) 42,4048 0,3504 35,0535 = 77,8087

= 13,0245

Harga ditolak jika |

4. |

|
(diterima)

5. |

|
(diterima)

6. |

|
(diterima)

Kadar KI = 142,9571 % = 135, 7549 %

V. PEMBAHASAN Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawa-senyawa lain yang membentuk endapan dengan perak nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu. Metode argentometri disebut juga dengan metode pengendapan karena pada argentometri memerlukan pembentukan senyawa yang relatif tidak larut atau endapan. Reaksi yang mendasari argentometri adalah : AgNO3 + ClAgCl(s) + NO3- (Gandjar, 2007).

Titrasi pengendapan adalah golongan titrasi dimana hasil reaksi titrasinya merupakan endapan atau garam yang sukar larut. Prinsip dasarnya adalah reaksi pengendapan yang cepat mencapai kesetimbangan pada setiap penambahan titran, tidak ada pengotor yang mengganggu dan diperlukan indikator untuk melihat titik akhir titrasi (Khopkar, 1990). Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan. (Underwood, 1992) Ada tiga tipe titik akhir yang digunakan untuk titrasi dengan AgNO3 yaitu : 1. Indikator 2. Amperometri 3. Indikator kimia Titik akhir potensiometri didasarkan pada potensial elektrode perak yang dicelupkan kedalam larutan analit. Titik akhir amperometri melibatkan penentuan arus yang diteruskan antara sepasang mikroelektrode perak dalam larutan analit. Sedangkan titik akhir yang dihasilkan indikator kimia, biasanya terdiri dari perubahan warna/muncul tidaknya kekeruhan dalam larutan yang dititrasi. Syarat indikator untuk titrasi pengendapan analog dengan indikator titrasi netralisasi, yaitu : 1. Perubahan warna harus terjadi terbatas dalam range pada p-function dari reagen /analit.

2. 1965).

Perubahan warna harus terjadi dalam bagian dari kurva titrasi untuk analit (skogg,

Ada beberapa metode dalam titrasi argentometri yang dibedakan berdasarkan indikator yang digunakan pada penentuan titik akhir titrasi, antara lain: 1. Metode Mohr Metode Mohr biasanya digunakan untuk menitrasi ion halida seperti NaCl, dengan AgNO3 sebagai titran dan K2CrO4 sebagai indikator. Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan warna suspensi dari kuning menjadi kuning coklat. Perubahan warna tersebut terjadi karena timbulnya Ag2CrO4, saat hamper mencapai titik ekivalen, semua ion Cl- hamper berikatan menjadi AgCl. Larutan standar yang digunakan dalam metode ini, yaitu AgNO3, memiliki normalitas 0,1 N atau 0,05 N. Indikator menyebabkan terjadinya reaksi pada titik akhir dengan titran, sehingga terbentuk endapan yang berwarna merah-bata, yang menunjukkan titik akhir karena warnanya berbeda dari warna endapan analat dengan Ag+ (Alexeyev, 1969). Pada analisa Cl- mula-mula terjadi reaksi: Ag+(aq) + Cl-(aq) AgCl(s) Sedang pada titik akhir, titran juga bereaksi menurut reaksi: 2Ag+(aq) + CrO4(aq) Ag2CrO4(s) Pengaturan pH sangat perlu, agar tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Bila terlalu tinggi, dapat terbentuk endapan AgOH yang selanjutnya terurai menjadi Ag2O sehingga titran terlalu banyak terpakai. 2Ag+(aq) + 2OH-(aq) 2AgOH(s) Ag2O(s) + H2O(l) Bila pH terlalu rendah, ion CrO4- sebagian akan berubah menjadi Cr2O72- karena reaksi 2H+(aq) + 2CrO42-(aq) Cr2O72- +H2O(l)

Yang mengurangi konsentrasi indikator dan menyebabkan tidak timbul endapannya atau sangat terlambat. Selama titrasi Mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara lokal akan terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum titik ekivalen tercapai, dan dioklusi oleh endapan AgCl yang terbentuk kemudian; akibatnya ialah, bahwa titik akhir menjadi tidak tajam (Alexeyev, 1969). 2. Metode Volhard Metode Volhard menggunakan NH4SCN atau KSCN sebagai titrant, dan larutan Fe3+ sebagai indikator. Sampai dengan titik ekivalen harus terjadi reaksi antara titrant dan Ag, membentuk endapan putih. Ag+(aq) + SCN-(aq) AgSCN(s) (putih) Sedikit kelebihan titrant kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk ion kompleks yang sangat kuat warnanya (merah) SCN-(aq) + Fe3+(aq) FeSCN2+(aq) Yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna. Karena titrantnya SCN- dan reaksinya berlangsung dengan Ag+, maka dengan cara Volhard, titrasi langsung hanya dapat digunakan untuk penentuan Ag+ dan SCN- sedang untuk anion-anion lain harus ditempuh cara titrasi kembali: pada larutan X- ditambahkan Ag+berlebih yang diketahui pasti jumlah seluruhnya, lalu dititrasi untuk menentukan kelebihan Ag+. Maka titrant selain bereaksi dengan Ag+ tersebut, mungkin bereaksi pula dengan endapan AgX: Ag+(aq) (berlebih) + X- (aq) AgX(s) Ag+(aq) (kelebihan) + SCN- (aq) (titrant) AgSCN(s) SCN-(aq) + AgX (s) X-(aq) + AgSCN(aq)

Bila hal ini terjadi, tentu saja terdapat kelebihan titrant yang bereaksi dan juga titik akhirnya melemah (warna berkurang). Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh sembarang, karena titrant bereaksi dengan titrat maupun dengan indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi. Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung ion-ion halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai contoh, dan kelebihannya ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan larutan yang harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan dibandingkan dengan cara-cara lain penentuan ion halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan arsenat tidak mengganggu sebab garamnya larut dalam keadaan asam (Alexeyev, 1969). 3. Metode Fajans Dalam titrasi Fajans digunakan indikator adsorpsi. Indikator adsorpsi ialah zat yang dapat diserap pada permukaan endapan (diadsorpsi) dan menyebabkan timbulnya warna. Penyerapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekivalen, antara lain dengan memilih macam indikator yang dipakai dan pH. Cara kerja indikator adsorpsi ialah sebagai berikut: indikator ini ialah asam lemah atau basa lemah organik yang dapat membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang digunakan dalam titrasi ion klorida. Dalam larutan, fluoresein akan mengion (untuk mudahnya ditulis HFl saja). HFl(aq) H+(aq) +Fl-(aq) Ion Fl- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan endapan berwarna merah muda. Karena penyerapan terjadi pada permukaan, dalam titrasi ini diusahakan agar permukaan endapan itu seluas mungkin supaya perubahan warna yang tampak sejelas mungkin, maka endapan harus berukuran koloid. Penyerapan terjadi apabila endapan yang koloid itu bermuatan positif, dengan perkataan lain setelah sedikit kelebihan titrant (ion Ag+). Pada tahap-tahap pertama dalam titrasi, endapan terdapat dalam lingkungan dimana masih ada kelebihan ion X- dibanding dengan Ag+; maka endapan menyerap ion-ion X-sehingga

butiran-butiran koloid menjadi bermuatan negatif. Karena muatan Fl- juga negatif, maka Fltidak dapat ditarik atau diserap oleh butiran-butiran koloid tersebut. Makin lanjut titrasi dilakukan, makin kurang kelebihan ion X-; menjelang titik ekivalen, ion X- yang terserap endapan akan lepas kembali karena bereaksi dengan titrant yang ditambah saat itu, sehingga muatan koloid makin berkurang negatif. Pada titik ekivalen tidak ada kelebihan X-maupun Ag+; jadi koloid menjadi netral. Setetes titrant kemudian menyebabkan kelebihan Ag+. Ionion Ag+ ini diserap oleh koloid yang menjadi positif dan selanjutnya dapat menarik ion Fldan menyebabkan warna endapan berubah mendadak menjadi merah muda. Pada waktu bersamaan sering juga terjadi penggumpalan koloid, maka larutan yang tadinya berwarna keruh juga menjadi jernih atau lebih jernih. Fluoresein sendiri dalam larutan berwarna hijau kuning, sehingga titik akhir dalam titrasi ini diketahui berdasar ketiga macam perubahan diatas, yakni a. Endapan yang semula putih menjadi merah muda dan endapan kelihatan menggumpal b. Larutan yang semula keruh menjadi lebih jernih c. Larutan yang semula kuning hijau hampir-hampir tidak berwarna lagi. (Harjadi, 1990) Suatu kesulitan dalam menggunakan indikator adsorpsi ialah, bahwa banyak diantara zat warna tersebut membuat endapan perak menjadi peka terhadap cahaya (fotosensifitasi) dan menyebabkan endapan terurai. Titrasi menggunakan indikator adsorpsi biasanya cepat, akurat dan terpercaya. Sebaliknya penerapannya agak terbatas karena memerlukan endapan berbentuk koloid yang juga harus dengan cepat (Harjadi, 1990). Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini antara lain : 1. Perak nitrat ( AgNO3 )

Perak nitrat yang telah diserbukkan dan dikeringkan dalam gelap diatas silika gel P selama 4 jam, mengandung tidak kurang dari 99,8% dan tidak lebih dari 100,5% AgNO3. Pemerian hablur, tidak berwarna atau putih, bila dibiarkan terpapar cahaya dengan adanya zat organik, menjadi berwarna abu-abu atau hitam keabu-abuan, pH larutan lebih kurang 5,5. Kelarutan sangat

mudah larut dalam air, terlebih dalam air mendidi, agak sukar larut dalam etanol mendidih, sukar larut dalam eter. Wadah dan penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya ( Anonim, 1995 ). 2. Asam Nitrat

Asam nitrat (HNO3), bm 63,01, murni pereaksi. Pemerian cairan berasap, jernih, tidak berwarna. Mengandung tidak kurang dari 69,0% dan tidak lebih dari 71,0% HNO3. Asam nitrat encer (10%) HNO3, encerkan 105 ml asam nitrat dengan air hingga 1000 ml (Anonim, 1979) 3. Natrium Klorida ( NaCl )

Natrium klorida mengandungbtidak kurang dari 99,5% NaCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa asin. Kelarutan : larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P, sukar laryt dalam etanol (95%) P. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1979). 4. Kalium tiosianat (KSCN) Kalium tiosianat KSCN menganddung tidfak kurang dari 99,0% KCNS, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hablur tidak berwarna, meleleh basah. Kelarutan, larut dalam 0,5 bagian air dan dalam 15 bagian etanol mutlak. Keasaman, kebasaan larutan 10 % b/v dalam air bebas karbondioksida, tidak bereaksi alkalis terhadap larutan biro bromtimol (Anonim, 1979). 5. Kalium Kromat Kalium kromat K2CrO4 mengandung tidak kurang dari 99,0 % K2CrO4. Pemerian masssa hablur, kuning. Kelarutan sangat mudah larut dalam air, larutan jernih. Larutan kalium kromat encer P merupakan larutan kalium kromat 5,0% b/v (Anonim, 1979).

6. Kalium Klorida (KCl) Kalium Klorida (KCl), mengandung tidak kurang dari 99,0% KCl dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hablur berbentuk kubus atau berbentuk prisma, tidak berwarna atau serbuk butir putih, tidak berbau, rasa asin, mantap di udara. Kelrutan larut dalam 3 bagian air, sangat mudah larut dalam air mendidih, praktis tidak larut dalam etanol mutlak dan dalam eter. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat. Khasiat dan penggunaan sumber ion kalium (Anonim,1979). 7. Vitamin B1/ tiamin HCl Vitamin B1 atau tiamina hidroklorida,

mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C12H17ClN4OS,HCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, BM 337,27. Pemerian hablur kecil atau serbuk hablur, putih, bau khas lemah mirip ragi, rasa pahit. Kelarutan mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol(95%), praktis tidak larut dalam eter dan dalam benzen, larut dalam gliserol. Keasaman kebasaan pH larutan 1% b/v, 2,7-3,4 (Anonim,1979). 8. Kalium Iodida

Kalium Iodida mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,5% KI, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hablur heksahedral, transparan atau tidak berwarna, opak dan putih, atau serbuk butiran putih, higroskopis. Kelarutan sangat mudah larut dalam air, lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam etanol 95%, mudah larut dalam gliserol.penyimpanan dalam wadah tertutup baik. Khasiat dan penggunaan antijamur (Anonim,1979). 9. Aquades (H2O, BM 18,02) Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau

proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak mengandung zat tambahan lain. Pemeriannya cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau (Anonim, 1995). 10. Besi (III) ammonium sulfat

Pemerian hablur feri amonium sulfat berwarna ungu sangat muda, seperti tawas lainnya memiliki bentuk kristal oktahedral, mudah larut dalam air, serta dalam air bersifat asam karena terjadi hidrolisis. Dalam udara kering, feri amonium sulfat akan kehilangan 18 mol air hablurnya dan berubah awarna menjadi putih. 11. Eosin

Eosin

kekuningan

Y;

Natrium

Tetrabromo

Fluoresin; C20H6Na2O5; BM 691,16. Pemerian serbuk atau lempengan merah sampai merah kecoklatan. Kelarutan Larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol.

Pembuatan larutan baku A. Larutan Perak Nitran 0,1 N Metode yang digunakan pada standarisasi AgNO3 dengan NaCl adalah metode Mohr dengan indikator K2CrO4. Penambahan indikator ini akan menjadikan warna larutan menjadi kuning. Titrasi dilakukan hingga mencapai titik ekuivalen. Titik ekuivalen ditandai dengan berubahnya warna larutan menjadi merah bata dan munculnya endapan putih secara permanen. Untuk larutan yang mengandung Ag, jika ditambahkan NaCI maka mula-mula terbentuk suspensi yang kemudian terkoagulasi (membeku). Laju terjadinya koagulasi menyatakan mendekamya titik ekivalen. Penambahan NaCI ditersukan sampai titik akhir tercapai. Perubahan ini dilihat dengan tidak terbentuknya

endapan AgCI pada cairan supernatan. Akan tetapi sedikit NaCI harus ditambahkan untuk menyempurnakan titik akhir (Underwood, 1986) Pembuatan larutan AgNO3 dilakukan dengan memasukkan 8,5 g AgNO3 ke dalam beaker glass kemudian diencerkan dengan 500 mL aquadest. Selanjutnya untuk pembakuan dilakukan dengan menimbang lebih kurang 125mg NaCl P yang sebelumnya telah dikeringkan pada suhu 100-120C. Dilarutkan dalam 25 mL air, kemudian dititrasi dengan AgNO3 menggunakan 1 mL indikator K2CrO4 5%, sehingga terbentuk warna cokelat merah lemah. Dalam pembuatan AgNO3, normalitas yang diharapkan adalah 0,1 N. Larutan AgNO3 dengan NaCl merupakan titrasi yang termasuk dalam presipitimetri jenis argentometri. Reaksi yang terjadi adalah: AgNO3(aq) + NaCl(aq) AgCl(s) + NaNO3(aq) Larutan AgNO3 dan larutan NaCl, pada awalnya masing-masing merupakan larutan yang jernih dan tidak berwarna. Penambahan garam ini dimaksudkan agar pH larutan tidak terlalu asam ataupun terlalu basa, atau dapat dikatakan garam ini sebagai buffer. Larutan kemudian berubah menjadi setelah penambahan 1 mL indicator K2CrO4 5% (Harizul, 1995). Dipilih indikator K2CrO4 karena suasana sistem cenderung netral. Kalium kromat hanya bisa digunakan dalam suasana netral. Jika kalium kromat pada reaksi dengan suasana asam, maka ion kromat menjadi ion bikromat dengan reaksi : 2 CrO42- + 2 H+ Cr2O72- + H2O Sedangkan dalam suasana basa, ion Ag+ akan bereaksi dengan OH- dari basa dan membentuk endapan Ag(OH) dan selanjutnya teroksidasi menjadi A2O dengan reaksi : 2 Ag+ + 2OH- H2O Hasil reaksi ini berupa endapan AgCl. Ag+ dan AgNO3 dengan Cl- dari NaCl akan bereaksi membentuk endapan AgCl yang berwarna putih. Setelah ion Cl- dalam NaCl telah bereaksi semua, maka ion Ag+ akan bereaksi dengan ion CrO42- dari K2CrO4

(indikator) yang ditandai dengan perubahan warna, dari kuning menjadi merah bata. Saat itulah yaitu saat AgNO3 tepat habis bereaksi dengan NaCl. Keadaan tersebut dinamakan titik ekuivalen dimana jumlah mol grek AgNO3 sama dengan jumlah mol grek NaCl. Pemilihan indikator dilihat juga dari kelarutan. Ion Cl- lebih dulu bereaksi pada ion CrO42-, kemungkinan karena perbedaan keelektronegatifan Ag+ dan Cl- lebih besar dibandingkan Ag+ dan CrO42- (Harizul, 1995).. AgNO3 perlu distandarisasi agar diharapkan bisa diperoleh larutan standar AgNO3 0,1 N atau paling tidak mendekati yang nantinya digunakan untuk menstandarisasi larutan yang lain. Dalam titrasi ini, titrasi perlu dilakukan secara cepat dan pengocokan harus juga dilakukan secara kuat agar Ag+ tidak teroksidasi menjadi AgO yang menyebabkan titik akhir titrasi menjadi sulit tercapai (Harizul, 1995). Dari praktikum didapatkan hasil titrasi 20,7 mL; 18,9 mL; dan 20,1 mL serta didapatkan Normalitas AgNO3 pada masing-masing tabung 0,1032 N ; 0,1131 N ; dan 0,1063 N dengan Normalitas rata-rata dari ketiga tabung tersebut adalah 0,107 N. B. Larutan Kalium Tiosianat 0,1 N Proses standarisasi K2CNS dengan AgNO3 bertujuan untuk menentukan normalitas dari K2CNS dari volume rata-rata K2CNS yang diperlukan untuk menstandarisasi AgNO3. AgNO3 yang sudah distandarisasi digunakan untuk menstandarisasi K2CNS dengan indikator ferri ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2]. Metode ini disebut metode volhard . Sebelum dititrasi, larutan berwarna keruh. Pada awal penetesan K2CNS, terjadi reaksi yang menyebabkan timbulnya endapan AgCNS yang berwarna putih dengan persamaan reaksi : K2CNS (aq) + AgNO3 (aq) AgCNS (s) + K2NO3 (aq) AgCNS yang dihasilkan berupa endapan putih, tetapi larutan masih bening. Sebelum dititrasi tadi, larutan AgNO3 0,1 N ditambah dengan 1 mL HNO3 P dan 1 ml indikator ferri ammonium sulfat. Setelah Ag+ dalam AgNO3 habis bereaksi maka sedikit kelebihan K2CNS dalam sistem akan menyebabkan ion CNS- bereaksi dengan Fe3+ dari ferri ammonium sulfat membentuk [Fe(CNS)6]3- dengan reaksi :

Fe3+ + 6 CNS [Fe(CNS)6]3Reaksi 1M harus terjadi pada pH asam (rendah). Untuk menimbulkan suasana asam pada sistem ditambahkan asam nitrat P. Setelah terjadi perubahan warna kompleks Fe(CNS)63- yang memberikan warna merah bata, maka titrasi segera dihentikan. Pada percobaan, volume K2CNS yang dibutuhkan untuk titrasi 25 ml AgNO3 dengan didapat konsentrasi K2CNS / normalitas K2CNS sebesar 0,088 N. Dari praktikum didapatkan hasil titrasi 30,5 mL; 30,9 mL; dan 29,9 mL serta didapatkan Normalitas KSCN pada masing-masing tabung 0,0877 N ; 0,0866 N ; dan 0,895 N dengan Normalitas rata-rata dari ketiga tabung tersebut adalah 0,088 N. Penentuan Kadar A. Penentuan Kadar Kalium Klorida (metode Mohr) Penentuan kadar kalium klorida dilakukan dengan menimbang 50 mg sampel yang kemudian dilarutkan dalam 25 mL aquadest, kadar KCl murni yang terkandung dalam 50 mg sample tadi dapat ditentukan dengan menentukan ion Cl- nya menggunakan titrasi argentometri dan AgNO3 sebagai larutan standar. Kemudian larutan sampel yang telah dibuat dititrasi. Indikator yang digunakan adalah 0,5 mL kalium kromat (K2CrO4). Pada awal penambahan, ion Cl- dalam sampel bereaksi dengan ion Ag+ yang ditambah sehingga membentuk endapan AgCl yang berwarna putih. Sedangkan larutan pada awalnya berwarna kuning karena penambahan indikator K2CrO4. Saat terjadi titik ekuivalen yaitu saat ion Cl- tepat bereaksi dengan ion Ag+ yang berarti ion Cl- habis dalam sistem. Dengan penambahan AgNO3 yang sedikit berlebih menyebabkan ion Ag+ bereaksi dengan ion CrO42- dalam indikator kalium kromat membentuk endapan putih dengan warna merah bata dalam latar belakan gendapan putih (Harizul, 1995).. Selama titrasi mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara lokal terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator

mengendap sebelum titik ekivalen tercapai, clan dioklusi oleh endapan AgCI yang

terbentuk kemudian; akibatnya ialah, bahwa titik akhir menjadi tidak sharp (Harjadi, 1990) Reaksi-reaksi yang terjadi sebagai berikut : AgNO3 (aq) + KCL (aq) AgCl (putih) + KNO3 (aq) 2 Ag+ (aq)+ CrO42- (aq) Ag2CrO4 (s) (endapan putih berwarna merah bata) Dari praktikum didapatkan hasil titrasi 4,1 mL; 3,9 mL; dan 3,75 mL serta didapatkan kadar Kalium Klorida pada masing-masing sampel ;

dan 116,38% dengan kadar rata-rata dari ketiga sampel tersebut adalah 138,43%. Setelah di hitung, kadar Kalium pada sampel tersebut bernilai 121,864% atau 156,848%. Data ini tidak sesuai dengan literatur (Anonim, 1995) yang menyebutkan bahwa Kalium Klorida mengandung tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5% KCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Larutan AgNO3

Larutan KCl

Hasil Titrasi

Endapan AgCl (setelah titrasi)

B.

B. Penentuan Kadar Vitamin B1 / Tiamin HCL (metode Volhard) Pada percobaan ini digunakan indikator Ferri ammonium sulfat. Dengan begitu suasana harus asam, maka pada system ditambah HNO3 0,1 N. Dalam percobaan ini, 50 mg sampel setelah diasamkan kemudian direaksikan dengan AgNO3 sebanyak 5 ml (0,1N) dan akan menghasilkan endapan AgCl. Adanya HNO3 encer tidak begitu berpengaruh karena AgCl tidak bereaksi denan HNO3. AgNO3 dibuat berlebih lalu dari AgNO3 yang bereaksi dengan Br- bereaksi dengan K2CNS yang diteteskan. Pada awal penambahan, terbentuk endapan putih AgCNS, tapi setelah Ag+ sisa telah habis, kelebihan sedikit K2CNS menyebabkan ion CNS bereaksi dengan Fe3+ dari feri (III) ammonium sulfat membentuk kompleks [Fe(CNS)6]3 yang berwarna orange. Setelah sesaat terjadi perubahan warna, berarti titik ekuivalen telah tercapai dan titrasi segera dihentikan (Harizul, 1995). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : 1. AgNO3 (aq) + HCl (aq) AgCl (putih) + HNO3 (aq) (sebelum penampahan K2CNS) 2. AgNO3 sisa (aq) + K2CNS AgCNS (putih) + K2NO3 (aq) 3. Fe3+ + CNS (Fe(CNS))3+ (Saat terjadi titik ekuivalen) Dari praktikum didapatkan hasil titrasi 7,3 mL; 7,1 mL; dan 6,5 mL serta didapatkan kadar Kalium Klorida pada masing-masing sampel 34,77%; 46,28%; dan 75,1% dengan kadar rata-rata dari ketiga sampel tersebut adalah 52,05%. Setelah di hitung, kadar Kalium pada sampel tersebut bernilai 40,059% atau 64,041%. Data ini tidak sesuai dengan literatur (Anonim, 1995) yang menyebutkan bahwa Kalium Klorida mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 102% KCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. C. Penentuan Kadar Kalium Iodida (metode Fajans) Penentuan kadar kalium klorida dilakukan dengan menimbang kurang lebih 50 mg sampel yang kemudian dilarutkan dalam 12,5 mL air dan ditambahkan 1,5 mL asam

asetat 6%. Titrasi pada perak perak nitrat 0,1 N digunakan 2 tetes indicator eosin atau fluorescein hingga endapan yang terbentuk berubah menjadi merah. Metode ini menggunakan indicator adsorbsi sebagai kenyataan bahwa pada titik ekuivalen indicator ini tidak memberi warna pada larutan tetapi pada permukaan endapan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah endapan dijaga sedapat mungkin dalam bentuk koloid. Garam netral dalam jumlah besar, ion bervalensi banyak harus dihindarkan karena mempunyai daya mengkoagulasi, sedikit sekali dan mengakibatkan perubahan indicator tidak jelas. Reaksi yang terjadi : 1. KI + AgNO3 AgI (endapan putih) 2. AgI + Ag+ + H eosin H+ + AgI + Ag eosin (endapan merah) (Fatah, 1980) Dari praktikum didapatkan hasil titrasi 4,1 mL; 3,9 mL; dan 3,75 mL serta didapatkan kadar Kalium Klorida pada masing-masing sampel 145,6484%; 138,5436; dan 133,215% dengan kadar rata-rata dari ketiga sampel tersebut adalah 139,356%. Setelah di hitung, kadar Kalium pada sampel tersebut bernilai 135,7549% atau 142,9571%. Data ini tidak sesuai dengan literature (Anonim, 1995) yang menyebutkan bahwa Kalium Klorida mengandung tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5% KCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Semua indikator adsorpsi bersifat ionik. Selain indikator adsorpsi tersebut terdapat pula indikator-indikator adsorpsi yang digunakan dalam titrasi pengendapan, yaitu turunan krisodin. Indikator tersebut merupakan indikator asam basa dan indikator reduksi oksidasi danmemberikan perubahan warna yang reversibel dengan brom. Indikator ini berwarna merah pada suasana asam clan kuning pada suasana basa. Indikator ini juga digunakan untuk titrasi ion I- dengan ion Ag+. Kongo merah adalah indikator asam basa lainnya (Khopkar, 1990). Selain kelemahan, indikator adsorpsi mempunyai beberapa keunggulan. Indikator ini memberikan kesalahan yang kecil pada penentuan titik akhir titrasi. Perubahan warna yang disebabkan adsorpsi indikator biasanya tajam. Adsorpsi pada permukaan berjalan baik jika

endapan mempunyai luas permukaan yang besar. Warna adsorpsi tidak begitu jelas jika endapan terkoagulasi. Kita tidak dapat menggunakan indikator tersebut karena koagulasi. Koloid pelindung dapat mengurangi masalah tersebut. Indikator-indikator tersebut bekerja pada batasandaerah-daerah pH tertentu juga pada konsentrasi tertentu saja, yaitu pada keadaan yang sesuai dengan peristiwa adsorpsi dan desorpsi saja (Vogel, 1990).

VI. Kesimpulan Penetapan kadar kalium klorida menggunakan prinsip pengendapan, yaitu mengunakan larutan AgNO3 0,107 N sebagai larutan baku dengan indikator kalium kromat. Penetapan kadar kalium klorida ini termasuk titrasi argentometri dengan metode Mohr. Kadar kalium klorida yaitu %.

VII.Daftar Pustaka Alexeyev, V., 1969, Quantitative Analysi, MIR Publishers, Moscow. Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisis III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Fatah, A. M., 1980, Buku Petunjuk Praktikum Kimia Analitik Dasar I. Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UGM, Yogyakarta. Harizul, R., 1995, Asas Pemeriksaan Kimia, UI Press, Jakarta . Harjadi, W., 1990, Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia, Jakarta. Khopkar, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik , Universitas Indonesia, Jakarta. Khopkhar, SM., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta. Skogg, 1965, Analytical Chemistry, Edisi keenam, Sounders College Publishing, Florida. Underwood, A. L. , 1989, Analisa Kuantitatif Edisi Keempat , Erlangga, Jakarta. Vogel, 1990, Buku teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, Kalman Media Pustaka, Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi