Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar belakang Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Menurut data Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI 2010), ada 226 penderita MG di seluruh Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi obat (waktu tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat). 10 persen pasien MG yang meninggal dunia kebanyakan disebabkan karena gagal napas akibat penyakit autoimun ini juga bisa menyerang otot dada dan pernapasan.Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.

Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian penyakit tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak kehilangan rasa. Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk pernafasan yang melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.

1.2 Tujuan Umum Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.

1.3 Tujuan Khusus 1.4.1 Mengetahui definisi miastenia gravis 1.4.2 Mengetahui etiologi miastenia gravis 1.4.3 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis 1.4.4 Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis 1.4.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis 1.4.6Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

1.4 Manfaat Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial, serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita 15 sampai 35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) .Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002) Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot voluntertubuh (Sandra M. Neffina 2002).

2.2 Etiologi Autoimun : direct mediated antibody Pembedahan Stress Alkohol Tumor mediastinum Obat-obatan : o o Antibiotik erythromycin) B-blocker (propranolol) - Lithium - Magnesium - Procainamide
3

(Aminoglycosides,

ciprofloxacin,

ampicillin,

- Verapamil - Chloroquine - Prednisone 2.3 Anatomi Fisiologi Muskuloskeletal Di dalam tubuh manusia tersusun rangkaian tulang-tulang yang saling berhubungan dan berkoordinasi satu sama lain dengan fungsi sebagai pemberi bentuk tubuh, penunjang tubuh, pelindung bagian dalam tubuh dan lain-lain.

Jenis Tulang Berdasarkan zat penyusunnya,tulang dibedakan menjadi tulang keras dan tulang rawan. a. Tulang keras

Tulang keras dibentuk oleh sel pembentuk tulang (osteoblas). Osteoblas menghasilkan sel-sel tulang keras yang disebut osteosit. Osteoblas juga mensekresikan zat-zat interseluler yang tersusun dari serabut kolagen yang akan membentuk matriks tempat garam-garam kalsium didepositkan (ditumpuk). Zat kapur itu dalam bentuk kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat [Ca(PO4)2] yang diperoleh atau dibawa oleh darah. Selain terdapat osteoblas (pembentuk tulang), terdapat pula osteoklas yang bersifat mengkikis tulang. Osteoklas adalah sel berinti banyak dan berukuran besar. Osteoklas melubangi tulang, yang kemudian dimasuki oleh kapiler darah dan osteoblas baru sehingga terbentuk

matriks tulang yang baru. Matriks ini terletak dalam lingkaran membentuk sistem Havers. b. Tulang rawan Tulang rawan tersusun dari sel-sel tulang rawan yang disebut kondrosit, yang menghasilkan matriks berupa kondrin. Tulang rawan tidak memiliki serabut saraf dan pembuluh darah yang ada pada membran jaringan ikat di sekitarnya dengan cara difusi. Ruang antarsel tulang rawan terisi banyak serat kolagen dan serat elastik, tetapi sedikit mengandung zat kapur. Oleh sebab itu, tulang rawan bersifat lentur. Kondrosit memiliki ruang yang disebut lakuna. Kondrosit di dalam lakuna menerima nutrien dari kapiler darah melalui difusi, karena kapiler darah tidak dapat masuk ke dalam matriks. Ada tiga tipe tulang rawan, yaitu hialin, serat dan elastik : 1) Tulang rawan hialin

Merupakan tipe tulang rawan yang paling banyak terdapat di tubuh manusia. Matriksnya transparan jika dilihat dengan mikroskop. Tulang rawan hialin merupakan penyusun rangka embrio, yang kemudian akan berkembang menjadi tulang keras. Pada individu dewasa, tulang rawan hialin terdapat pada sendi gerak sebagai pelicin permukaan tulang dan sendi, ujung tulang rusuk, hidung, laring, trakea dan bronkus. 2) Tulang rawan serat

Tulang rawan serat mempunyai matriks berisi berkas serabut kolagen. Karena kandungan matriksnya, tulang rawan serat bersifat kuat dan kaku, serta mampu manahan guncangan. Tulang rawan serat terdapat pada anatrruas tulang belakang dan cakram sendi lutut. 3) Tulang rawan elastik Tulang rawan elastik mengandung serabut elastik. Tulang rawan ini terdapat pada daun telinga dan epiglotis. Sistem Persendian Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu, adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya. Persendian dapat diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian.

a.

Klasifikasi Struktural Persendian Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan

jaringan ikat fibrosa. b. Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan

jaringan kartilago. c. Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan kapsul

dan ligamen artikular yang membungkusnnya. a.

Klasifikasi Fungsional Persendian

Sendi sinartrosis atau sendi mati. 1. Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura adalah sutura sagital dan sutura parietal. 2. Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilago hialin. Salah satu contohnya adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.

b.

Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan

terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi. 1. Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis adalah simfisis pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan. 2. Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan fibula. c. Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi

(artikular) yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial dilapisi kartilago artikular. a.

Klasifikasi Persendian Sinovial

Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk bulat yang

masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada tulang lain. Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah sendi panggul serta sendi bahu. b. Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan dikenal

sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian pada lutut dan siku. c. Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang

memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid aksis. d. Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang

memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang. Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal. e. Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang termodifikasi

sehingga memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah persendian antara tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari. f. Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi dalam batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian. Persendian semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya persendian invertebrata dan persendian antar tulang-tulang karpal dan tulang-tulang tarsal.

2.4 Patofisiologi Dasar ketidaknormalan pada myastenia gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis

dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.

2.5 Patoflow
Autoimun terganggu

melawan reseptor asetilkolin (AChR) Jumlahreseptorasetilkolin berkurangpada membrane Kerusakanpadatransisiimpulssar afmenujusel-selotot Mysentenia Gravis

Penurunan hubungan neuromuscular Kelemahan otot-otot

Otot otot okular Gangguan otot levator palpebra

Otot wajah, laring, faring Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan Suara abnormal ketidakmampuan menutup rahang

Otot volunter Penurunan kekuatan otot-otot rangka

Otot pernapasan Penurunan kekuatan otot-otot pernafasan

Pitosis & Diplopia

Immobilitas Fisik

Ketidakefektifan pola napas

Gangguan citra diri

Kerusakan komunikasi verbal

Gangguan Pemenuhan Nutrisi Tubuh

2.6 Manifestasi Klinis Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan. Diplobia (penglihatan ganda) Ptosis (jatuhnya kelopak mata) Disfonia (gangguan suara) Kelemahan otot anggota gerak Kelemahan otot pernafasan

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kasus miastenia gravis, adalah: 1. Rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan adanya thymoma serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan respon autoimun. 2. Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg tensilon intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-8 tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini tidak berlangsung lama dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik. 3. Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang ke dua mata tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak mata yang terkena akan ptosis. 4. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon sulfas disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada perbaikan kekuatan otot, atau gejala menghilang. 5. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot. 6. Test serum antibodi ami reseptor asetilkolin : terjadi peningkatan.

2.8 Penatalaksanaan Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari Created by: Susilo Eko Putra (zoetha_05_kaylila@yahoo.co.id) Page 12 factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.) Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu : 1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler: a. Istirahat Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi. b. Memblokir pemecahan Ach

10

Dengan

anti

kolinesterase,

seperti

prostigmin,

piridostigmin,edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik. 2. Mempengaruhi proses imunologik a. Timektomi Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan. b. Kortikosteroid Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler. c. Imunosupresif Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,

Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat. d. Plasma exchange

11

Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik. 3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan: a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis. b. Alat bantuan non medikamentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang

merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivate kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti

aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.

12

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS

3.1 Pengkajian 1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus 2. Keluhan utama : kelemahan otot 3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot. 4. Pemeriksaan fisik : B1(breathing) : dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal

pernafasan akut, kelemahan otot diafragma B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan

palsi okular,jatuhnya mata 14 atau dipoblia B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya sensasi saat berkemih B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan

peristaltik usus turun, hipersalivasi,hipersekresi B6(bone) yang berlebih 3.2 Intervensi Keperawatan Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan. Tujuan : Setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif
13

: gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot

Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal

INTERVENSI Kaji kemampuan ventilasi Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk Observasi tanda-tanda vital (nadi,RR).

RASIONAL Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dna bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah pau-paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik. Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien. Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal. Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.

Diagnosa 2 : Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan. Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil: Berat badan stabil,tidak ada tanda-tanda anemia dan intake makanan adekuat.

14

INTERVENSI Kaji status nutrisi pasien Kaji kemampuan mengunyah dan menelan. Berikan diet lunak Berikan diet tinggi protein mulut

RASIONAL Informasi dasar status nutrisi. Mencegah aspirasi Memudahkan mengunyah dan menelan Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
Meningkatkan nafsu makan pasien. Pemenuhan kebutuhan nutrisi

tinggi kalori. Lakukan perawatan

sebelum dan sesudah makan. Berikan makanan melalui NGT sesuai program. . Timbang berat badan setiap 3 hari.

Berat badan indikasi perubahan kebutuhan nutrisi.

Diagnosa 3 : Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik umum,keletihan. Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM. Kriteria Hasil : Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.

INTERVENSI Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas

RASIONAL Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya. Sasaran klien adalah memperbaiki

15

Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan. Evaluasi kemampuan aktivitas motorik

kekuatan dan daya tahan. Menjadi partisipan dalam pengobatan, klien harus belajar tentang fakta-faakta dasar mengenai agen-agen antikolinesterasekerja, waktu, penyesuaian dosis, gejala-gejala kelebihan dosis, dan efek toksik. Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh diberikan.

Diagnosa 4 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan control tonus otot fasial atau oral. Tujuan : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat. Kriteria Hasil : Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

INTERVENSI Kaji komunikasi verbal klien. Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien Beri peringatan bahwa klien mengalami gangguan berbicara, sediakan bel

RASIONAL Kelemahan otot-otot bicara klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi. Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan,

16

khusus bila perlu Antisipasi dan bantu kebutuhan klien. Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dan perhatikan respon klien Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi bicara.

berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/tidak. Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka. Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi. Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi. Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata. Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi.

Diagnosa 5 : Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal. Tujuan : Citra diri klien meningkat Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

17

INTERVENSI Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan. Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyakbanyaknya. Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.

RASIONAL Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi. Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur kekurangan. Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan. Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi. Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.

18

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan masalah tersebut.

19

DAFTAR ISI

Halaman depan ................................................................. Kata Pengantar ................................................................. Daftar Isi ...........................................................................

BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Latar Belakang ................................................... Rumusan Masalah .............................................. Tujuan Umum .................................................... Tujuan khusus ................................................... Manfaat ............................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ............................................................... 2.2 Etiologi ............................................................... 2.3 Anatomi Fisiologi........................................................ 2.4. Patofisologi.............................................................. 2.5 Patoflow ................................................ 2.6 Manifestasi Klinis 2.7 Pemeriksaan Diagnostik..................................................... 2.8 Penatalaksanaan..

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian .......................................................... 3.2 Intervensi Keperawatan.........................................

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ......................................................... 4.2 Saran. DAFTAR PUSTAKA

20

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed. 3, EGC, Jakarta. Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta. Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta. Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 3, EGC, Jakarta.

21

Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberika kita taufig dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Didalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Alkhusari ,S.kep,Ners selaku dosen pembimbing kami beserta semua pihak yang telah membantu di dalam proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari di dalam penyusunan makalah ini masih banyak tedapat kesalahan, Oleh karena itu dengan kerendahan hati kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Dan kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.

Palembang, Januari 2013

Penyusun

22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS MIASTENIA GRAVIS


II ii

Oleh : Kelompok 1

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Merinda Siti Meiga Ardila Putri Retno Damayanti Sita Asmawati A. Risky Febriana Puspita Rise Fery sopyan

10. Eflin Julika Aliansari 11. Randi kurniawan

Dosen Pembimbing : Alkhusari,S.Kep,Ners

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN STIK BINA HUSADA PALEMBANG

23

TAHUN AJAR 2013

24

Vous aimerez peut-être aussi