Vous êtes sur la page 1sur 26

MAKALAH KESPRO

TENTANG

PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)

Disusun Oleh :

Astika Sari Harneti Ekasari Dibawah Bimbingan : Yenni Hastuti, SST

Akademi Kebidanan Manna


Bengkulu Selatan
TA. 2009/2010

KATA PENGANTAR

Puji dan Puja syukur kami haturkan Kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan dengan pokok bahasan Pekerja Seks Komersial tepat pada waktunya. Penyusunan makalah ini merupakan tugas yang diberikan oleh dosen pengasuh mata kuliah Kespro yaitu ibu Yenni Hastuti, SST. Dengan segala hormat kami ucapkan terima kasih kepada pengasuh matakuliah atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dan pada akhirnya kami berharap, makalah ini dapat menanbah wawasan bagi kita semua, kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penyakit yang terjadi pada wanita yang berhubungan dengan alat reproduksinya sebagian besar kurang mendapat perhatian. Penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit menular ini semakin tinggi karena semakin bebasnya hubungan seksual. Dalam melakukan hubungan seksual sebagian remaja tidak terlindungi dari pengaruh lingkungan, sehingga menjadikan anak tersebut seorang pekerja seks komersial. Namun tidak menutup kemungkinan wanita-wanita yang status ekonominya rendah, ataupun ditinggal pasangannya menjadikan dia sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK) lebih sering disebut pelacur. Atau kata yang lebih samar adalah kupu-kupu malam. Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang aktivis Hak-hak Anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia. UNDP mengestimasikan tahun 2003 di Indonesia terdapat 190 ribu hingga 270 ribu pekerja seksual komersial dengan 7 hingga 10 juta pelanggan. Seperti diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas, interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah

negara di mana masyarakat itu bernaungbisa berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

B. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengetian dari pekerja seks komersial 2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan agama terhadap pelacuran 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya seks bebas pada remaja. 4. Untuk mengetahui penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas 5. Untuk mengetahui pola pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual pada pekerja seks komersial

C. Manfaat Makalah ini diharapkan agar dapt menjadi salah satu tambahan pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang terjadi akibat seks bebas terutama yang dapat terjadi pada pekerja seksual sehingga dapat memberi gambaran remaja agar tidak terjerumus.

BAB II ISI

Salah satu fenomena sosial yang sudah ada sejak masa awal diciptakannya man usia adalah pelacuran, dan fenomena tersebut hingga saat ini belum bisa diatasi, bahkan secara kuantitas justru meningkat dan penyebarannya semakin merata hampir di seluruh dunia. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berkembang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dalam kehidupan masyarakat, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan

penyimpangan norma yang berlaku pada masyarakat tersebut Walaupun banyak terjadi penolakan sosial terhadap pelacuran di sebagian besar negara Asia, pelacuran masih sangat diperlukan masyarakat dalam fungsinya sebagai kontrol sosial pelacuran adalah suatu kebutuhan, tanpa pelacuran laki-laki akan menyerang wanita baik-baik di jalanan. Bahkan,

Akan tetapi praktek pelacuran juga harus tetap dikontrol karena empat alasan, yaitu (a) iamemancing pria yang tidak tertarik pada pelacuran sebelumnya, (b) ia akan merambah ke daerah yang tidak mengenal pelacuran sebelumnya, (c) penyakit menular akan merajalela, (d) jika rumah bordil ditutup, jumlah pelacur jalanan akan makin banyak sehingga masalah lebih serius lain akan timbul.

Pengertian Pekerja Seks Komersial Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom. Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.

Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baikbaik. Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya." Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Khusus lakilaki, digunakan istilah gigolo. Seseorang yang memutuskan menjadi pelacur sebenarnya bukan tujuan dalam mencari nafkah, melainkan sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai tujuan lain yang lebih utama, karena mereka tidak pernah bercita-cita menjalani profesi sebagai penjaja seks dan mau menjalani profesinya karena berbagai faktor. Profesi PSK selama ini selalu diidentikkan dengan sekse perempuan, meski pada kenyataannya sekarang ini kaum laki-laki juga mulai merambah profesi ini. Prosentase jumlah perempuan PSK yang lebih besar menyebabkan masalah ini selalu dikaitkan dengan perempuan. Terjunnya seorang perempuan ke dalam dunia prostitusi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Menurut Kartono faktor utama yang mendorong seseorang berprofesi sebagai PSK adalah faktor keterbatasan ekonomi, sehingga seorang perempuan menerjuni dunia prostitusi untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.

Pelacuran Menurut Agama Pelacuran pada semua Agama pada dasarnya jelas adalah haram.

Faktor-faktor pendukung perilaku seks pada remaja Penyebab pelacuran sebenarnya bukan tunggal melainkan cenderung kompleks. Seperti hubungan dalam keluarga yang tidak baik, pendidikan rendah, kemiskinan, masa depan tidak jelas, tekanan penguasa, hubungan seksual terlalu dini, pergaulan bebas, kurang penanaman nilai agama serta perasaan dendam dan benci kepada laki-laki. Kemudian bahwa pelacuran disebabkan oleh penolakan dan tidak dihargai lingkungan, kemiskinan dan mudah untuk mendapatkan uang. Asumsi bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong seseorang terjun ke dalam dunia prostitusi mulai mengalami pergeseran sejalan dengan fenomena menarik dalam aktivitas ini, yaitu maraknya remaja perempuan yang berusia sangat muda, atau dikenal dengan ABG (Anak Baru Gede). Motif yang membuat para ABG tersebut menerjuni profesi ini yaitu adanya keinginan untuk menikmati hidup mewah tanpa harus bekerja dengan susah payah. Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi yang tidak mengharapkan imbalan. Dalam kondisi ini para pekerja seks bersedia melakukan pelayanan seksual karena faktor suka sama suka. Materi, dalam hal ini adalah uang, bukan lagi menjadi motivator utama. Kebebasan dan bersenang-senang adalah alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Pekerja seks komersial kebanyakan terjadi pada remaja yang diawali dengan terjadinya pergaulan kearah seks bebas.dimana menurut para ahli, alasan seorang remaja melakukan seks adalah sebagai berikut :

1) Tekanan yang datang dari teman pergaulannya Lingkungan pergaulan yang dimasuki oleh seorang remaja dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks, bagi remaja tersebut tekanan dari teman-temannyaitu dirasakan lebih kuat dari pada yang didapat dari pacarnya sendiri. 2) Adanya tekanan dari pacar karena kebutuhan seorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapinya. dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual, melainkan juga sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri selayaknya orang dewasa. 3) Adanya kebutuhan badaniah Seks menurut para ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, jadi wajar jika semua orang tidak terkecuali remaja, menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tidak sepadan dengan resiko yang akan dihadapinya. 4) Rasa penasaran Pada usia remaja. keingintahuannya begitu besar terhadap seks, apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa terasa nikmat, ditambah lagi adanya infomasi yang tidak terbatas masuknya, maka rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan apa yang diharapkan. 5) Pelampiasan diri

factor ini tidak hanya datang dari diri sendiri, misalnya karena terlanjur berbuat, seorang remaja perempuan biasanya berpendapat sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya, maka dalam pikirannya tersebut ia akan merasa putus asa dan mencari pelampiasan yang akan menjerumuskannya dalam pergaulan bebas. Faktor lainnya datang dari lingkungan keluarga. bagi seorang remaja mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orang tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orang tua dan anak), akibatnya remaja tersebut merasa tertekan sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks. Untuk mencegah hal-hal yang tidak di kehendaki, perlu ada perhatian dari kita bersama dengan cara memberikan informasi yang cukup mengenai pendidikan seks dan Pendidikan agama,Kalau tidak ada informasi dan pendidikan agama di khawatirkan remaja cendrung menyalah gunakan hasrat seksualnya tanpa kendali dan tanpa pencegahan sama sekali. semua menyedihkan, dan sekaligus berbahaya, hanya karena kurangnya tuntunan seksualitas yang merupakan bagian dari kemanusiaan kita sendiri. Kalau dikaitkan dengan kondisi saat ini maka sudah sewajarnyalah kita mendukung RUU APP. Kecenderungan seseorang menjadi pelacur dasarnya adalah pilihan untuk menghindari usaha yang lebih sulit. Pemecahan problem kehidupan dilakukan dengan cara mereka sendiri, yang melanggar batas-batas hukum masyarakat. Kehendak untuk menukarkan tubuh dan jiwa dengan uang hanya dimungkinkan oleh orang yang inferior (rendah diri) secara berurat berakar. Hal ini dapat dilihat dari

bagaimana para pelacur ini menggunakan bentuk-bentuk hubungan sosial dan juga dari riwayat hidupnya. Kerusakan mental pada umumnya mulai terjadi pada awal kehidupan. Gadisgadis merasa dirinya menjadi korban lelaki superior; lelaki itu penjahat yang tetap dihormati, dan ia sendiri terhukum. Tidak mengherankan bahwa membantu/bekerja untuk seorang lelaki dianggapnya sebagai kelemahan dan musuh. Namun, pada waktu yang sama ia mencoba mengimitasi lelaki yang tampak superior itu, dan memberikan sikap-sikap feminin dan loyalitas terhadap lelaki. Dengan demikian terdapat kompensasi terhadap perasaan inferior. Ada adjustment (penyesuaian diri) yang negatif terutama pada masa puber dan masa remaja. Keinginan Bawah Sadar Hubungan kelamin campur aduk seperti yang dilakukan oleh wanita pelacur, disebabkan ia telah mengalami kecelakaan pada permulaan kehidupan seksualnya. Proses terjadinya kekecewaan itu pertama-tama disebabkan adanya semacam keinginan di bawah sadar dari seorang anak wanita untuk menjadikan ayahnya sebagai objek cinta. Keinginan ini dikenal dengan nama Oedipus complex. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata keinginan ini tidak dapat disalurkan karena adanya norma-norma masyarakat yang menganggap penyaluran keinginan tersebut sebagai perbuatan sangat tercela yang disebut dengan istilah incest. Pertentangan antara keinginan bawah sadar dengan norma yang beriaku, akhirnya dapat membawa seorang wanita mencari laki-laki pengganti. Bila ternyata ia menemui kegagalan di dalam pencariannya ia mulai mencari laki-laki lain.

Dengan demikian telah dimulailah pencarian lelaki pengganti yang tanpa akhir. Dengan ditambahkannya unsur bayaran didalam hubungan kelamin, si wanita telah melakukan pelacuran yang sesungguhnya. Berbagai faktor psikologis yang dapat merupakan penyebab wanita menjadi pelacur seperti yang ditemukan oleh mahasiswa-mahasiswa Psikologi di lapangan, antara lain: IQ rendah, kehidupan seksual abnormal (misalnya hiperseksual dan sadisme); keprbadian yang lemah (cepat meniru, mudah terpengaruh); moralitas rendah dan kurang berkembang (kurang dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh); dan memiliki motif kemewahan. Faktor-faktor tersebut saling kait-mengait, menghasilkan tindakan pelacuran. Faktor Sosial Ekonomi Faktor ekonomi merupakan faktor yang sering dijadikan sebagai alasan mengapa seseorang menjadi pelacur. Namun, hal ini ditolak oleh sebagian tokoh ilmu sosial. Mereka yang meyakini adanya andil faktor sosial ekonomi, dasarnya adalah penemuan bahwa terdapat interaksi antara faktor sosial ekonomi dengan pembentukan kepribadian orang yang kemudian melacurkan diri. Mereka yang menjadi pelacur itu lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin atau agak miskin. Orangtua mereka berwatak lemah dan kebanyakan kurang pendidikan. Standar moral keluarga umumnya rendah, cara membentuk disiplin tidak bijaksana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keretakan rumah tangga biasanya disebabkan oleh kematian, perceraian, atau terasingnya ayah atau ibu. Mereka terlibat dalam kesedihan atau banyak bersusah hati; ada yang dibebani pikiran tidak waras, psikopatik, dan disertai keadaan emosi tidak stabil. Hasil pendidikan mereka pun lebih rendah.

Faktor sosial lain yang juga diketahui ikut menentukan berkembangnya pelacuran adalah budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat diketahui dari penelitian Kuncoro, kini guru besar di Fakultas Psikologi UGM, terhadap komunitas yang dikenal sebagai pemasok gadis pelacur di kota-kota besar. Di desa tersebut, orangtua justru mendukung anak-anak gadisnya untuk mencari nafkah sebagai pelacur. Mereka bangga ketika anaknya telah mampu membangun rumah orangtua di kampung halaman. Faktor Lain Sumber utama dari pelacuran adalah adanya nafsu seks yang lepas dari kendali dan hati nurani. Namun, dari pihak pelacur sendiri, biasanya wanita, menurut beberapa ahli, umumnya mereka tidak memiliki nafsu seks sama sekali ketika melakukan "perdagangannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akar terjadinya pelacuran tidak hanya terletak pada diri pelacur itu sendiri, melainkan juga karena didorong oleh adanya orang yang membutuhkan/mencari pelayanan seks diluar pernikahan, sehingga berkembanglah praktik pelacuran. Selain itu, pelacuran dapat dipandang sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan dalam bidang obat-obatan. Anak-anak gadis yang kecanduan obat bius (hasis, ganja, morfin, heroin, candu, minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, dll) banyak yang menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan.

Penyakit Hubungan Seksual Semakin kompleksnya motivasi seseorang menjadi pelacur, tentunya semakin banyak pula jumlah pelacur yang ada di negara ini. Hal ini pun menjadi salah satu

pemicu merebaknya penyakit kelamin. Seorang pekerja seks merupakan mediator penyebaran Penyakit kelamin dan HIV/AIDS. wanita tuna susila (WTS), pekerja hotel, pelaut dan tentara yang umumnya lebih besar kemungkinannya untuk melakukan kontak seksual dengan banyak pasangan akan lebih besar resikonya untuk tertular penyakit kelamin. Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Sexually Transmitted Diseases (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Penyakit ini disebut juga veneral, berasal dari kata venus, yaitu Dewi Cinta dari Romawi kuno. Penularan penyakit ini biasanya terjadi karena seringnya seseorang melakukan hubungan seksual dengan bergantiganti pasangan. Bisa juga melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sebelumnya telah terjangkiti salah satu jenis penyakit ini. Penyakit menular seksual ini jelas sangat berbahaya dan peningkatan insidens PMS ini tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku resiko tinggi. Perilaku resiko tinggi dalam PMS adalah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai resiko besar terserang penyakit. Adapun yang tergolong kelompok resiko tinggi adalah: 1) Usia (20-34 tahun pada laki-laki, 16-24 tahun pada wanita, dan 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin), 2) pelancong, 3) pekerja seksual atau wanita tunasusila, 4) pecandu narkotik,

5) homoseksual. Sejak ditemukan AIDS pada tahun 1981, PMS yang belum dapat disembuhkan terutama PMS yang disebabkan oleh virus mendapat perhatian besar, misalnya herpes genitalis, kondilomata akuminata, dan AIDS. WHO memperkirakan pada tahun 1999 terdapat 340 juta kasus baru PMS baru setiap tahunnya, sedangkan jumlah infeksi HIV saat ini lebih dari 33,6 juta kasus. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seks dengan rata-rata 4 pasangan seksual. Demikian juga halnya antara PMS dengan pecandu narkotik, terlihat bahwa 28 % penderita sifilis dan 73 % penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan seksual karena ketagihan narkotik. Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penyakit menular seksual merupakan salah satu penyakit yang penyebarannya sangat pesat tiap tahunnya. Dan salah satu mediatornya adalah profesi pelacur. Hal ini tentunya menjadi permasalahan bagi para pelacur pada khususnya dan masyarakat pada umumnya karena menurut Kartono (2005) pelacuran ini mempunyai dampak menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Peningkatan jumlah penderita PMS harus juga diimbangi dengan tindakan untuk mengobati karena apabila individu terjangkit penyakit menular seksual ini tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan (Kartono, 2005). Untuk itulah pada sebagian masyarakat pada umumnya dan para pekerja seks pada khususnya memerlukan pengetahuan dan kehandalan untuk mengatasi permasalahan ini. Jadi diperlukan suatu proses berpikir

untuk mendapatkan pengetahuan tersebut atau dengan kata lain dibutuhkan suatu proses kognisi sosial. Secara umum kognisi berarti kesadaran, tetapi yang dipelajari dalam psikologi kognitif adalah berbagai hal seperti sikap, ide, harapan dan

sebagainya. Dengan kata lain, psikologi kognitif mempelajari bagaimana arus informasi yanng ditangkap oleh indra diproses dalam jiwa seseorang sebelum diendapkan dalam kesadaran atau diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Reaksi terhadap rangsang tidak selalu keluar berupa tingkah laku yang nyata (respon yang overt) akan tetapi juga bisa mengendap berupa ingatan atau diproses menjadi gejolak perasaan (gelisah, kepuasan, kekecewaan dan sebagainya) atau sikap, seperti suka dan tidak suka. Penyakit hubungan seksual (PHS) adalah kelompok penyakit infeksi yang ditularkan melalui kontak seksual. Yang termasuk dalam PHS adalah Sifilis, Gonore (GO), Chlamydia (limfogranuloma venerium), herpes genitalis, kondiloma akuniminata, dan kutu kemaluan (public lice). Penularan PHS umumnya adalah melalui hubungan seksual(90%), sedangkan cara lainnya yaitu melalui tranfusi darah, jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lain-lain. Sumber penularan utama adalah wanita pekerja seksual (80%). PHS sering juga disebut penyakit kelamin, penyakit veneral, ataupun penyakit menular seksual (PMS).

1. Sifilis Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi masih merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, syaraf dan dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada bayi yang

dikandungnya, sehingga menyebabkan kelainan bawaan kepada bayi tersebut. Sifilis sering dikenal sebagai lues, raja singa. a. Kuman penyebab : Treponema pallidum b. Perantara : Manusia c. Tempat kuman keluar : Penis, vagina, mulut, dan ibu hamil kepada bayinya. d. Cara penularan : Kontak seksual, ibu kepada bayinya e. Tempat kuman masuk : Penis, vagina, anus, mulut, tranfusi 2. Gonore (GO) Gonore adalah PMS yang paling sering ditemukan dan paling mudah ditegakkan diagnosisnya. Nama awam penyakit kelamin ini adalah kencing nanah. Masa inkubasi 3-5 hari. a. Kuman penyebab : Neisseria gonorrhea b. Perantara : Manusia c. Tempat kuman keluar : penis, vagina, anus, mulut d. Tempat kuman masuk : penis, vagina, anus, mulut e. Cara penularan : kontak seksual langsung f. Tempat kuman masuk : penis, vagina, anus, mulut 3. Limfogranuloma Venerium Masa inkubasi 1-4 minggu pada tempat masuknya mikroorganisme berupa lesi yang tidak khas baik berupa erosi, papul, atau ulkus yang sembuh sendiri tanpa pengobatan. Beberapa minggu kemusian timbul pembengkakan kelenjar getah bening. Tumor tampak merah dan nyeri, pelunakan yang terjadi tidak serentak sehingga memecah dengan fistel. Penyakit meluas ke kelenjar getah bening di rongga panggul. Pada wanita, disamping gejala diatas,

manifestasi dapat terjadi pada kelenjar iliaka, sehingga terjadi nyeri waktu buang air besar atau berhubungan seksual. Nama lainnya : bonen a. Kuman penyebab : Chlamydia trachomatis b. Perantara : manusia c. Tempat kuman keluar : Penis, vagina, mulut. d. Cara penularan : kontak seksual e. Tempat kuman masuk : penis, vagina, anus, mulut 4. Herpes Genetalis a. Nama lain : Jengger ayam (genital warts) b. Penyebab : Papilioma virus c. Perantara : Manusia d. Tempat kuman keluar : Penis, vagina, anus e. Cara penularan : hubungan seksual f. Tempat kuman masuk : penis, vagina, anus 5. Kutu kemaluan Adalah suatu pennyakit kelamin yang ditandai gatal pada kemaluan yang disebabkan oleh sejenis kutu. a. Penyebab : Public lice, pediculus pubis, kutupubis b. Perantara : rambut kelamin, pakaian dalam, alat tercemar kutu dan telurnya c. Tempat keluar kutu : rambur alat kelamin d. Penularan : hubungan seksual, terkena bahan tercemar.

Pencegahan dan Pengobatan PMS 1. Gejala-gejala yang dapat dilihat dari PMS :

a. Perubahan pada kulit di sekitar kemaluan b. Saat membuang air kecil terasa sakit c. Gatal pada alat kelamin d. Terasa sakit pada daerahh pinggul (wanita) e. Meski tanpa gejala, dapat menularkan penyakit bila sudah terkena f. Hanya dokter yang mapu menangani penyakit menular seksual 2. Akibat yang ditimbulkan PMS : a. Pada emosi : ketakutan, perasaan malu, bersalah b. Dapat menular dari ibu kepada bayinya c. Gangguan atau cacat pada bayi yang dikandung d. Kemandulan pada pria dan wanita e. Kematian 3. Rantai penularan penyakit menular seksual : Kuman, sebagai penyebab penyakit akan berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Ini menciptakan terjadinya penularan, sehingga setiap mata rantai merupakan bagian yang penting dalam penularan penyakit pada orang lain. Mengerti dan memutuskan salah satu mata rantai penularan adalah cara yang baik untuk mencegah penularan. 4. Rantai penularan PMS : a. Virus, bakteri, protozoa, parasit, dan jamur b. Manusia, bahan lain yang tercemar kuman c. Penis, vagina, anus, kulit yang terluka, darah, selaput lender d. Yang paling umum adalah hubungan seks (penis-vagina, penis-anus, mulutanus, mulut-vagina, mulut-penis)

e. Hubungan seks, pemakaian jarum suntik secara bersama-sama dari orang yang terkena PMS ke orang lainnya (obat suntik terlarang, tranfusi darah yang tiak steril, jarum tato, dan lainnya. 5. Pencegahan : a. Patahkan salah satu rantai penularan b. Pakailah kondom 6. Pengobatan : Datang dan berkonsultasi dengan dokter profesional. Berobat sendiri tanpa tahu dengan pasti sering berakibat semakin parah, dan menyebabkan kuman menjadi resisten terhadap obat-obatan. 7. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya angka kejadian PMS : a. Kontrasepsi, timbul perasaan aman tidak terjadi kehamilan b. Seks bebas, norma moral yang menurun c. Kurangnya pemahaman tentang seksualitas dan PMS d. Transportasi yang makin lancar, mobilitas tinggi e. Urbanisasi dan pengangguran f. Kemiskinan g. Pengetahuan h. Pelacuran

Bentuk Penanganan

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat kantung-kantung prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan

nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.

Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAMnya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan.

Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal

para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.

Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi pajangan. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.

Upaya Pendekatan Keagamaan

Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia prostitusi, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk

menghindar dari menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat kepadaNYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya, tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.

BAB III PENUTUP

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Menurut Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia. UNDP mengestimasikan tahun 2003 di Indonesia terdapat 190 ribu hingga 270 ribu pekerja seksual komersial dengan 7 hingga 10 juta pelanggan. Pekerja seks komersial sangat erat kaitannya dengan seks bebas yang sekarang seringkali ditemukan seks bebas pada remaja yang disebabkan beberapa faktor seperti: Tekanan yang datang dari teman pergaulannya, Adanya tekanan dari pacar, Adanya kebutuhan badaniah, Rasa penasaran, ataupun Pelampiasan diri. Pekerja seksual dengan seks bebas seperti inilah yang sering menularkan penyakit menular seksual kepada orang lain. 80% dari penyakit menular seksul ditularkan oleh pekerja seks komersial. Penyakit mennular seksual ini dapat dicegah dengan mmematahkan salah satu mata rantai penularannya serta memakai kondom dalam berhubungan.

DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, Ida Bagus Gde. 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan Kusumastuti, W. 2009. Dinamika Kognisi Sosial Pada Pelacur Terhadap Penyakit Menular Seksual, Skripsi. UMS Press. Tri, HA, 2008. Pelacuran Berseragam Sekolah, Artikel. Pendidikan Network I, Nengah Subadra, 2007, Dampak Negatif Pelacuran, Bali Tourism Wacth, Bali Harja Saputra, 2002, Faktor-faktor penyebab prostitusi. Bogor Balian Zahap, 2009, Prostitusi ?, Jakarta Rineka Cipta

Vous aimerez peut-être aussi