Vous êtes sur la page 1sur 8

PROPAGASI TUMBUHAN OBAT DENGAN KULTUR MIKROSPORA MEDICINAL PLANT PROPAGATION BY MICROSPORES CULTURE

Djoko Santosa Fakultas Farmasi UGM

ABSTRAK Mikrospora adalah serbuk sari yang masih muda di dalam suatu tanaman, bila sudah dewasa serbuk sari berperan dalam penyerbukan. Jumlah mikrospora dalam satu kepala sari suatu tanaman sekitar 500-750 buah sebagai sumber eksplan yang menjanjikan. Mikrospora diberi praperlakuan cekaman starvasi nitrogen dan karbohidrat pada suhu 33o C sampai dihasilkan mikrospora embriogenik yang identik dengan zigot. Apabila mikrospora embriogenik dikulturkan pada media yang diperkaya (media A2, media androgenesis) maka akan berlangsung proses embriogenesis sampai dihasilkan tanaman. Kata kunci : kultur mikrospora, tumbuhan obat, starvasi, mikrospora embriogenik, androgenesis

ABSTRACT Microspores are juvenile pollen in plant, the adult pollen have function in pollination. The number of microspores in each anther of plant are 500-750 perhaps they are as the advantage source of explants. Microspores are gave stress pretreatment by nitrogen and carbohydrate starvation with in 33o C temperature degree until are produced the embryogenic microspores. The embryogenic micropsores are identic with zygote. The embryogenesis process of embryogenic microspores are happen when the embryogenic microspores have cultured in rich media (A2 media, androgenesis media). Key words : microspore culture, medicinal plant, starvation, embriogenic microspore, androgenesis

Alamat Korespondensi : Djoko Santosa, M.Si Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM Sekip Utara Yogyakarta E-mail : djoko5346@yahoo.com

PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan industri obat tradisional akhir-akhir ini menyebabkan peningkatan bahan baku obat tradisional dalam jumlah yang banyak. Seiring dengan hal itu maka diperlukan usaha untuk propagasi atau produksi tanaman obat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan metode kultur jaringan tanaman. Selama ini sumber eksplan yang digunakan adalah berasal dari organ vegetativ, seperti batang, daun, rimpang atau akar. Untuk produksi tanaman dalam jumlah besar belum banyak dilakukan terobosan melalui kultur mikrospora. Sebetulnya mikrospora adalah serbuk sari yang masih muda, terdapat di dalam kepala sari dan dalam perkembangannya serbuk sari akan menjadi gamet jantan yang bertugas dalam penyerbukan dan pembuahan (Suryowinoto, 1996). Jumlah mikrospora di dalam suatu kepala sari sangat banyak. Hal ini sebetulnya dapat dijadikan sebagai sumber eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan tanaman. Meskipun demikian karena perkembangannya menghasilkan gamet jantan maka diperlukan usaha untuk memblok jalur perkembangan gametofitik tersebut. Apabila jalur perkembangan ini dapat dibelokkan dengan suatu cekaman maka sel-sel mikrospora akan menjadi mikrospora yang embriogenik, suatu sifat yang identik dengan zigot pada tanaman diploid (2n). Apabila mikrospora embriogenik ini dikulturkan pada media yang diperkaya maka proses embryogenesis akan berlangsung sampai dihasilkan tanaman (Reynolds, 1997). Sifat totipotensi sel tidak hanya ditunjukkan oleh sel-sel somatik. Sifat ini juga sudah dibuktikan pada sel gamet jantan (Touraev dkk., 1997). Beberapa tahun yang lalu juga sudah diteliti sifat totipotensi melalui kultur mikrospora tanaman dikotil (Solanaceae dan Brassica napus) dan pada tanaman monokotil (gandum). Mikrospora dari tanaman tersebut diinduksi dengan praperlakuan stres berupa starvasi nitrogen dan karbohidrat pada suhu tinggi. Hasilnya lebih dari 70% mikrospora menjadi embriogenik dan biasanya langsung menjadi embrioid (Indrianto dkk., 2001). Praperlakuan stres starvasi pada suhu tinggi diberikan kepada mikrospora normal

selama 2-7 hari. Lebih dari 7 hari mikrospora akan banyak yang mengalami kematian (Touraev dkk., 1997; Heberle-Bors, 1989). Stres suhu yang diberikan biasanya berkisar antara 18o-35oC, jika suhu dinaikkan mikrospora banyak yang mati. Stres suhu dimaksudkan agar mikrotubul dirakit kembali setelah struktur mikrotubul rusak oleh pengaruh ion Ca2+ yang tinggi selama induksi stres (Fosket, 1994). Tahapan penting di dalam kultur mikrospora adalah stadium perkembangan mikrospora. Salah satu keberhasilan androgenesis ditentukan oleh pemilihan stadium perkembangan mikrospora (HeberleBors, 1989). Beberapa faktor lain yang juga berpengaruh antara lain kondisi tanaman donor, cara isolasi mikrospora dari kepala sari, stres fisiologi dan medium dengan suhu inkubasi (Dunwell, 1996; Touraev dkk.,1997; Raghavan, 1997). Tetapi syarat-syarat kondisional tersebut sangat tergantung pada setiap jenis tanaman dan genotipnya (Ferrie dan Keller, 1995). Perkembangan embrioid dari mikrospora mirip dengan perkembangan embrio zigotik. Sehingga pada tahapan perkembangannya dapat pula dideteksi metabolit yang menjadi identitas dari suatu tumbuhan obat. Meskipun demikian kita harus mengingat salah satu hukum Mendel tentang peristiwa segregasi bebas. Sehingga di dalam populasi embrioid yang masih beragam, masing-masing embrioid mempunyai kemampuan yang berbeda dalam sintesis suatu metabolit sekundernya (Maluszynski dkk., 1996). Dalam makalah ini akan diuraikan tentang perkembangan stadium mikrospora dan serbuk sari, induksi mikrospora embriogenik dengan praperlakuan stres suhu dan starvasi karbon/nitrogen, karakterisasi mikrospora embriogenik, dan perbedaan kultur mikrospora dengan kultur kepala sari. MIKROSPORA DAN SERBUK SARI Organ reproduktif tumbuhan yang berupa bunga, di dalamnya terdapat alat perkembangbiakan yang disebut benang sari. Benang sari terdiri atas kepala sari dan tangkai sari. Kepala sari dibagi menjadi 2 kotak

mikrosporangium (Tjitrosoepomo, 1996). Satu kotak mikrosporangium dengan yang lain dihubungkan oleh suatu struktur penghubung yang disebut konektivum. Biasanya kotak mikrosporangium itu terdiri atas ruang sari atau lokulamentum, di ruang inilah terbentuk serbuk sari. Mikrospora adalah serbuk sari yang masih muda, dengan struktur satu inti (Wullems dan Schrauwen, 1999). Pada perkembangan normal, mikrospora diprogram untuk berdeferensiasi menjadi polen dengan menghasilkan 2 inti sel sperma. Pada keadaan tertentu hal ini dapat dibelokkan ke arah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan embrio ataupun planlet yang bersifat haploid. Peristiwa ini disebut dengan embriogenesis mikrospora atau disebut juga androgenesis ( Hause dkk., 1993; Ishizaka, 1998). Penelitian kultur serbuk sari menjadi embrioid secara tidak sengaja dilakukan oleh Guha dan Maheshwari sekitar tahun 1960. Fenomena tersebut terjadi pada kultur kepala sari Datura inoxia, jika ditanam pada medium yang mengandung kasein hidrolisat, zat pengatur tumbuh IAA dan kinetin, suplemen air kepala, dan ekstrak anggur. Setelah 6-7 minggu embrioid muncul dari kepala sari. Lebih lanjut diketahui embrioid tersebut berasal dari serbuk sari dan bersifat haploid. Cara ini kemudian menjadi referensi untuk kultur mikrospora dari berbagai tanaman (Reynolds, 1997). Penelitian sampai dengan saat ini membuktikan bahwa tanaman dapat diperoleh dari embriogenesis mikrospora. Pembelahan sel mikrospora pada jalur sporofitik bukan sebagai pengaruh zat pengatur tumbuh semata. Terjadinya induksi pembelahan membutuhkan praperlakuan khusus, seperti stres suhu dan starvasi (Dunwell, 1996; Cordewener dkk., 1996). Mikrospora yang masih muda hanya berinti satu, inti terletak di tengah. Fase ini kemudian dinamakan fase mononuklear atau stadium uninukleat. Tahap perkembangan selanjutnya mikrospora mengalami pembesaran ukuran dan mempunyai sebuah vakuola. Stadium ini disebut stadium vacuolated. Semakin besar vakuola, inti semakin terdesak ke arah tepi. Stadium

demikian dinamakan uni-nukleat akhir (Suryowinoto, 1996). Stadium perkembangan mikrospora menurut Latif (1991) dapat dibedakan menjadi beberapa fase, yaitu : a. Uni-nukleat sangat awal, dicirikan oleh inti mikrospora di tengah, dinding mikrospora sangat tipis dan tanpa vakuola. b. Uni-nukleat awal, dicirikan oleh inti mikrospora di tengah, dinding sudah semakin kuat dan vakuola kecil bentuk sferik. c. Uni-nukleat tengah awal, dicirikan oleh sebgian besar inti mikrospora di tengah sedangkan sebagian kecil inti mikrospora di tepi, vakuola besar. d. Uni-nukleat tengah, hampir sama dengan uninukleat tengah awal tetapi ukuran vakuola dua kali ukuran vakuola pada stadium sebelumnya. e. Uni-nukleat akhir, dicirikan oleh hampir semua mikrospora mempunyai inti di tepi, pada beberapa jenis sudah berkembang menjadi stadium 2 inti, vakuola besar berbentuk bulat telur. Perkembangan selanjutnya, setelah stadium uni-nukleat akhir inti akan mengalami pembelahan secara mitosis menghasilkan 2 inti, yaitu inti generatif (berukuran lebih kecil) dan inti vegetatif yang berukuran lebih besar. Fase demikian disebut stadium binukleat atau disebut pula stadium biselular. Pada tahap ini mikrospora sudah mencapai akhir perkembangannya sehingga dapat disebut serbuk sari. Perkembangan berikutnya inti generatif membelah secara mitosis menghasilkan 2 inti sperma. Sehingga jumlah inti menjadi 3 buah. Pembelahan inti generatif dapat berlangsung di dalam serbuk atau di dalam buluh serbuk sari yang berkecambah pada peristiwa penyerbukan (Knox, 1984). Salah satu keberhasilan androgenesis ditentukan oleh pemilihan stadium perkembangan dari serbuk sari (Heberle-Bors, 1989). Beberapa faktor lain yang juga berpengaruh antara lain kondisi tanaman donor, cara isolasi mikrospora dari kepala sari, stres fisiologi dan medium dengan suhu inkubasi (Dunwell, 1996; Touraev dkk.,1997; Raghavan, 1997). Tetapi syarat-syarat

kondisional tersebut sangat tergantung pada setiap jenis tanaman dan genotipnya (Ferrie dan Keller, 1995). INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA Arti penting tanaman haploid dalam genetika dan pemuliaan tanaman telah mempunyai tempat yang nyata. Meskipun kemungkinan terjadinya tanaman haploid di alam secara spontan sangat kecil tetapi penelitian-penelitian untuk menghasilkan tanaman haploid terus dilanjutkan. Tidak ada satupun metode yang reprodusibel untuk produksi tanaman haploid yang menggunakan cara seperti penghambatan pemasakan polen, penjarangan hibridisasi, aplikasi penyinaran terhadap polen, perlakuan hormon dan perlakuan stres suhu. Metode kultur mikrospora ternyata telah memberi sumbangan besar terhadap penelitian dengan tema utama produksi tanaman haploid yang sangat penting bagi jenis-jenis tumbuhan bernilai ekonomi ( Chawla, 2000). Embriogenesis mikrospora diartikan sebagai pembentukan embrioid yang berasal dari mikrospora. Peristiwa ini dinamakan juga dengan androgenesis (Raghavan, 1997). Perkembangan mikrospora dapat diarahkan menuju perkembangan sporofitik jika berada pada kondisi induktif secara in vitro yang sesuai . Perkembangan embrioid dari mikrospora mirip dengan perkembangan embrio zigotik (Ignacimuthu, 1997; Sawhney dan Shivana, 1997). Stres fisiologi praperlakuan yang diberikan secara eksternal ternyata mampu meningkatkan jumlah populasi mikrospora yang embriogenik. Cekaman suhu tinggi (heat shock) yang langsung diberikan kepada mikrospora tembakau ternyata menghasilkan populasi mikrospora embriogenik dalam frekuensi besar (Touraev dkk., 1997). Kemampuan mikrospora tembakau untuk masuk ke jalur sporofitik tidak lepas dari siklus sel tembakau itu sendiri. Supaya sel dikatakan tumbuh jika sel mengalami pembelahan dengan tujuan pertambahan jumlah sel yang disertai dengan materi genetik di dalam sel. Secara umum siklus sel terdiri

atas 4 fase, yaitu G1, S, G2 dan M. Setiap tahap ini dicirikan oleh aktivitas seluler dan biokimia tertentu. Selama fase G1 terjadi sintesis molekul-molekul penting seperti protein, karbohidrat, lipid tetapi tidak terdapat replikasi DNA pada tahap ini. Meskipun pembentukan molekul-molekul tersebut berlangsung sampai dengan fase S dan G2 tetapi hal yang unik adalah bahwa pada fase S dicirikan oleh terjadinya replikasi DNA dan sintesis protein histon dan nonhiston pada kromosom. Pada fase G2 ditandai oleh sintesis protein spesifik untuk pembelahan sel, pada fase ini sel siap membelah (Becker dkk., 2000).

Gambar 1. Bagan siklus sel dan mekanisme kontrol Pengaturan siklus sel (dikutip dari Beck Ker dkk., 2000).

Selama berlangsung siklus sel, terdapat suatu sistem kontrol terhadap pengaturan siklus sel itu sendiri. Regulasi seperti ini dikenal dengan checkpoint. Manfaat mekanisme semacam ini adalah pertama, untuk memastikan setiap fase siklus sel dapat diselesaikan tepat waktu dan tepat urutannya. Kedua adalah setiap fase siklus sel telah siap untuk memasuki fase berikutnya, ketiga untuk mengetahui kondisi eksternal (lingkungan) yang mengindikasikan sel tumbuh dan membelah. Terdapat tiga tempat untuk mekanisme checkpoint di dalam siklus sel. Penentuan sel melanjutkan siklusnya atau masuk ke fase istirahat (G0) didasarkan kepada signal yang diterima oleh sel, baik yang berasal dari lingkungan luar maupun dalam. Checkpoint pertama adalah akhir fase

G1, untuk melihat ukuran sel, status hara, zat pengatur tumbuh dan ada tidaknya kerusakan DNA. Jika hal ini dipenuhi maka sel meneruskan ke fase S tetapi jika tidak mampu atau kondisi tidak memungkinkan maka sel akan masuk ke G0. Checkpoint kedua adalah pada akhir fase G2, berupa pengecekan terhadap ukuran sel dan indikasi sudah terjadinya replikasi DNA. Jika sel sudah memenuhi persyaratan tersebut maka sel akan masuk fase mitosis. Di antara fase pembelahan metafase dan anafase juga terdapat checkpoint ketiga atau checkpoint untuk penyusunan gelendong pembelahan. Fungsi checkpoint ketiga untuk mengetahui kromosom sudah berada di bidang ekuatorial yang siap ditarik oleh gelendong pembelahan ke arah kutub. Jika kromosom sudah berada pada posisi demikian maka tahap anafase akan dilanjutkan sehingga sel membelah (Becker dkk., 2000). Menurut Zarsky dkk. (1992) serbuk sari anggota Solanaceae normal dalam perkembangannya dicirikan oleh pembelahan asimetri. Sel generatif dengan cepat mengalami replikasi DNA dan tertahan di fase G2 dari siklus sel. Sementara itu sel vegetatif tertahan pada fase G1 dari siklus sel. Tergantung pada jenis tanaman, sel generatif akan membelah lagi, baik selama perkembangan serbuk sari atau di dalam buluh serbuk sari, setelah berkecambah. Mikrospora anggota suku Solanaceae yang diisolasi pada fase ini mengalami replikasi DNA selama induksi stres, kemudian tertahan di G2. Setelah mikrospora dibebaskan dari stres kemudian dipindah ke medium androgenesis maka mikrospora akan mengalami mitosis. Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 mengalami mitosis selama stres berlangsung. Sel generatif langsung masuk fase baru dan tertahan di G2, sel vegetatif tidak mengalami replikasi DNA (Touraev dkk., 1997). Tetapi penelitian Zarsky dkk. (1992), sel vegetatif serbuk sari tembakau pada fase binukleat mengalami replikasi DNA selama stres berlangsung dan tertahan pada fase G2. Sel generatif tidak terpengaruh oleh stres dan tetap tertahan pada fase G2 setelah dihilangkan stres. Dengan demikian sel generatif tidak mempunyai sumbangan

terhadap pembentukan mikrospora.

embrioid

dari

Medium untuk induksi praperlakuan stres memegang peran di dalam kultur mikrospora meskipun bukan satu-satunya faktor yang paling menentukan. Untuk menginduksi mikrospora menjadi embriogenik, mikrospora dikulturkan pada medium sederhana, hanya terdiri atas unsurunsur makro dan mannitol. Untuk menghasilkan mikrospora embriogenik pada tembakau, mikrospora dikulturkan selama 4 hari di dalam medium starvasi yang berisi 0,4 M mannitol (Vicente dkk., 1992; Zarsky dkk., 1992). Tetapi selama perkembangan embrioid diperlukan medium yang diperkaya. Medium tersebut mengandung komposisi fosfat dan nitrogen dalam jumlah besar. Menurut Touraev dkk. (1996), di dalam medium juga tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh. Senyawa ini memang tidak mempunyai fungsi yang signifikan di dalam kultur mikrospora. Justru asam amino glutamin ditambahkan ke dalam medium androgenesis. Sumber karbohidrat juga tidak harus sukrosa. Maltosa juga telah banyak digunakan khususnya untuk kultur mikrospora tanaman serealia, maltosa dimetabolisir lebih lamban. Sukrosa yang lebih cepat dimetabolisir seringkali terakumulasi sejumlah senyawa yang merugikan sehingga berefek meracuni mikrospora (Scott dkk., 1994). KARAKTERISASI EMBRIOGENIK MIKROSPORA

Mempelajari sel beserta mekanisme induksi androgenik sangat penting untuk mengetahui mikrospora embriogenik dan tidak embriogenik. Pada minggu pertama kultur masih sulit dibedakan populasi yang embriogenik dengan yang tidak embriogenik karena masih sama-sama viabel. Sangwan dan Sangwan (1996) menyatakan bahwa secara sitologik sifat mikrospora embriogenik adalah mempunyai sebuah vakuola sentral yang besar, tonoplas yang tipis, sitoplasma parietalis dan inti agak ke tengah. Selama terjadinya perubahan ke arah sporofitik juga dijumpai perubahan populasi ribosoma dan organel yang bertambah.

Menurut Touraev dkk. (1997) mikrospora tembakau yang diberi stres berupa starvasi dan suhu tinggi 33oC secara sitologik berbeda dengan mikrospora tanpa pemberian stres. Selama stres berlangsung atau saat dipindahkan ke medium androgenesis, terdapat 3 tipe mikrospora embriogenik. Tipe 1 adalah mikrospora dengan vakuola sentral yang besar dengan inti terdesak ke arah tepi. Tipe 2 adalah mikrospora yang mengalami fragmentasi vakuola sehingga vakuola berukuran kecil-kecil dan tidak beraturan letaknya, inti berada di tepi sel atau dekat dinding sel mikrospora. Tipe 3 adalah mikrospora dengan vakuola terfragmentasi sedemikian sehingga bentuk sitoplasmanya tampak seperti bintang atau dikenal dengan star-like dengan inti terletak di tengah sel. Menurut Hause dkk. (1993), pergerakan inti ke arah tepi akibat desakan vakuola atau letak inti di tengah seperti pada tipe 3 tidak lepas dari peran mikrotubul. Mikrotubul adalah bagian dari sitoskeleton. Filamen lain yang menyusun sitoskeleton adalah mikrofilamen dan filamen intermedier. Sitoskeleton berperan dalam memberi bentuk sel. Mikrotubul tersusun dari subunit protein tubulin yaitu dan tubulin. Protein tersebut saling berlekatan sehingga membentuk susunan dimer, bentuk dimer tersebut selanjutnya berikatan memanjang seperti filamen sehingga terbentuk susunan sedemikian rupa yang disebut protofilamen. Sejumlah 13 buah protofilamen akan bergabung menjadi satu sehingga terbentuk mikrotubul yang mempunyai diameter lebih kurang 25 nanometer (Becker dkk., 2000). Mikrotubul bersifat labil, mudah terbentuk tetapi juga mudah diuraikan kembali, atas dasar sifat inilah maka mikrotubul berperan besar di dalam proses pembelahan sel (Fosket, 1994). Pembelahan untuk menghasilkan embrioid dari mikrospora terdiri atas 3 jalur. Pembelahan pertama dapat bersifat simetrik atau asimetrik. Mikrospora yang membelah secara asimetrik disebut melalui A pathway. Hasilnya adalah struktur seperti serbuk sari pada umumnya, terdapat sel

generatif yang lebih kecil di dalam sel vegetatif yang lebih besar. Pada Nicotiana, Hordeum dan Zea, sel generatif ini akan mengalami degenerasi. Variasi pada jalur A ini juga terjadi, sel generatif mampu membelah secara berulang-ulang, berarti sel generatif juga berpotensi membentuk embrioid atau dapat pula membentuk kalus, seperti pada marga Hyosciamus. Jalur kedua yaitu B pathway, mikrospora membelah secara simetri menghasilkan suatu struktur dengan dua sel yang sepadan, tidak terdapat sel vegetatif ataupun generatif, seperti pada Brassica napus. Jalur ketiga yaitu C pathway terjadi jika perkembangan embrio berasal dari fusi sel generatif dengan sel vegetatif yang keduanya mendukung pembentukan embrio. Pembelahan jalur ketiga ini merupakan pembelahan asimetrik, seperti pada jenis Datura innoxia.

Gambar 2. Skema komponen mikrotubul (dikutip dari Becker dkk., 2000).

KULTUR MIKROSPORA Kultur mikrospora berbeda dengan kultur kepala sari. Untuk kultur kepala sari digunakan kepala sari sebagai eksplan dan ditanam di medium padat. Pada kultur mikrospora eksplan yang digunakan adalah sel-sel mikrospora, kepala sari harus dipecah lebih dulu, mikrospora ditanam di medium cair (Ferrie dan Keller, 1995).

Gambar 3. Perbedaan kultur kepala sari dengan kultur mikrospora (dikutip dari Reynolds, 1997)

Metode untuk menghasilkan tanaman haploid dengan kultur kepala sari mempunyai kekurangan. Pertama kesulitan untuk analisis terjadinya induksi, kedua kesulitan menetapkan stadium awal perkembangan embrioid (Reynolds, 1997). Bentuk serbuk sari embriogenik juga dilaporkan pada kultur mikrospora tembakau dan Brassica napus , bahwa dalam kultur mikrospora (1) tidak membutuhkan induksi awal pada kepala sari untuk androgenesis, (2) medium yang ditetapkan tidak dilakukan penambahan zat pengatur tumbuh, (3) perkembangan terletak di luar kepala sari dan oleh sebab itu mudah dilakukan berbagai manipulasi terhadap mikrospora, dan (4) lebih dari 70% mikrospora dapat menuju embriogenesis (Reynolds, 1997; Pechan dkk., 1991; Kyo dan Harada, 1986). KESIMPULAN Mikrospora normal dari tanaman obat dapat diinduksi menjadi embriogenik dengan praperlakuan stres starvasi nitrogen dan karbohidrat pada suhu 33oC. Tanaman obat dapat dihasilkan dari kultur mikrospora.

DAFTAR PUSTAKA Becker, W.M., L.J. Kleinsmith & J. Hardin, 2000, The World of The Cell, 4th Ed., Benjamin/Cummings Imprint, San Fransisco : 560-580. Chawla, H.S., 2000, Introduction to Plant Biotechnology, Science Publishers, Inc., Plymouth, UK: 81-94 Cordewener, J.H.G., Custers JBM, Dons HJM & Michiel M van LC., 1996, Molecular and biochemical events during the induction of microspore embryogenesis, Dalam : Jain SM, Sopory SK and Veilleux RE (Eds.), In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Volume 1. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands : 111-124. Dunwell, J.M., 1996, Microspore culture, Dalam : Jain SM, Sopory SK & Veilleux RE (Eds.), In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol. 1. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands : 205-216. Ferrie, A.M.R. & W.A. Keller, 1995, Microspore Culture for Haploid Plant Production, Dalam : Gamborg, O.L & Phillips GC (Eds.), Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods, SpringerVerlag Berlin : 155-163

D.E., 1994, Plant Growth and Development : A Molecular Approach, Academic Press, New York. Hause, B, Hause G, Pechan P & Van Lammeren AAM., 1993, Cytoskeletal changes and induction of embryogenesis in microspore and pollen cultures of Brassica napus L., Cell Biol. Internat. 17, No.2 : 153-168. Heberle-Bors, E., 1989, Isolated pollen culture in tobacco : Plant reproductive development in a nutshell, Sex. Plant Reprod. 2 : 1-10. Ignacimuthu, S., 1997, Plant Biotechnology, Science Publishers, Inc., UK:210-214. Indrianto A., Barinova I, Touraev A & HeberleBors E., 2001, Tracking individual wheat microspores in vitro : Identification of embryogenic microspores and body axis formation in the embryo, Planta 212 : 163-174. Ishizaka, H., 1998, Production of microsporederived plants by anther culture of an interspecific F1 hybrid between Cyclamen persicum and C. purpurascens, Plant Cell, Tissue and Organ Culture 54 : 21-28. Knox, R.B., 1984, The Pollen Grain, Dalam : Johri B.M (Ed) Embriology of Angiosperms, Springer-Verlag, New York , 197-272 Kyo, M. and Harada H., 1986, Control of the developmental pathway of tobacco pollen in vitro, Planta 168 : 427-432 Latif, S., 1991, Identifikasi Mikrospora Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq untuk Kultur Haploid, Buletin Perkebunan 22: 231-238. Maluszynski, M., Szarejko, I. & Sigurbjornsson, B., 1996, Haploidy and mutation technique, Dalam : Jain SM, Sopory SK and Veilleux RE (Eds.), In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol. 1. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands : 67-94 Pechan, P.M., Bartels D, Brown DCW, Schell J., 1991, Messenger RNA and protein changes associated with induction of Brassica microspore embryogenesis, Planta 184 :161-165. Raghavan, V., 1997, Molecular Embryology of Flowering Plants, Cambridge University Press New York : 505-513. Reynolds TL.,1997, Pollen Embryogenesis, Plant Mol. Biol. 33 : 1-10 Sangwan, R.S. & Sangwan-Norreel BS., 1996, Cytological and biochemical aspects of in vitro androgenesis in higher plants, Dalam : Jain SM, Sopory SK and Veilleux RE (Eds.), In Vitro Haploid Production in Higher Plants, Volume 1, Kluwer

Fosket,

Academic Publishers, The Netherlands : 95-108. Sawhney, V.K. & K.R. Shivanna, 1997, Pollen Biotechnology for Crop Production and Improvement, Cambridge University Press : 392-404 Scott, P. and Lyne RL., 1994, The effect of different carbohydrate sources upon the initiation of embryogenesis from barley microspores, Plant Cell, Tissue and Organ Culture 36 : 129-133. Suryowinoto M, 1996, Pemuliaan Tanaman Secara In-Vitro. Penerbit Kanisius Yogyakarta : 73-101. Tjitrosoepomo, G., 1996, Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press : 33-46. Touraev, A, Vicente O and Heberle-Bors E., 1997, Initiation of microspore embryogenesis by stress, Trends Plant Science 2 : 285-303. Vicente, O., Garrido D, Zarsky V, Eller N, Rihova L, Berenyi M, Tupy J, & Heberle-Bors E., 1992, Induction of embryogenesis in isolated pollen cultures of tobacco. Dalam : Ottaviano E, Mulcahy DL, Sari Gola M and Mulcahy GB (Eds.) Angiosperm Pollen and Ovules. Springer-Verlag Berlin : 279-284. Wullems, G.J. & Schrauwen, J.A.M., 1999, Regulation of gene expression during pollen development, Dalam : Cresti M, Cai G, and Moscatelli A (Eds.), Fertilization in Higher Plants Molecular and Cytological Aspects, Springer-Verlag Berlin : 69-76. Zarsky V, Garrido D, Rihova L, Tupy J, Vicente O, and Heberle-Bors E., 1992, Depression of the cell cycle by starvation is involved in the induction of tobacco pollen embryogenesis, Sex. Plant Reprod. 9 : 189-194.

Vous aimerez peut-être aussi