Vous êtes sur la page 1sur 8

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE Dr.

Sahat Aritonang, SpS Bagian Neurologi RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun Kalimantan Tengah

PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab kematian kedua didunia setelah penyakit jantung dengan angka kematian sekitar 4,4 juta orang pertahun. Insiden penyakit serebrovaskuler meningkat dengan tajam sesuai pertambahan usia dan bersama dengan pertambahan populasi usia lanjut akan terjadi peningkatan beban stroke di masyarakat. Secara umum diketahui sebanyak 25% pasien dengan stroke meninggal dalam bulan pertama dan 40% meninggal dalam tahun pertama setelah serangan akut dan separuh dari mereka yang hidup akan mengalami kecacatan fisik. Hipertensi hingga saat ini disebut sebagai faktor resiko utama untuk semua jenis stroke baik infark maupun perdarahan serebral. Dari data penelitian yang ada menunjukkan kontrol terhadap tekanan darah akan mengurangi resiko stroke. Hipertensi akan mengganggu aliran darah serebral dan akan berperan pada kejadian penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor resiko utama pada stroke yang dapat di modifikasi. Tingginya peningkatan tekana darah erat hubungannya dengan resiko terjadinya stroke. Hipertensi memegang peranan penting pada patogenesis artherosklerosis pembuluh darah besar yang selanjutnya akan menyebabkan stroke iskemik oleh karena oklusi trombotik arteri, emboli arteri ke arteri atau kombinasi keduanya. Hubungan yang jelas juga ditunjukkan antara hipertensi dan infark lakuner. Stroke kardioembolik juga lebih sering pada individu dengan hipertensi dan penyakit jantung. Sebagai tambahan hipertensi juga merupakan faktor resiko utama terjadinya perdarahan intraserebral dan subaraknoid yang merupakan kedua jenis perdarahan utama pada stroke. DEFINISI Menurut kriteria WHO (1995) stroke secara klinis di definisikan sebagai gangguan fungsi otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda atau gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak. HIPERTENSI SEBAGAI FAKTOR RESIKO STROKE Hipertensi sering di jumpai pada pasien stroke fase akut. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U V (U shaped relationship) antara hipertensi pada stroke (iskemik maupun hemoragik) saat fase akut dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya angka kecacatan dan kematian.

Sebagian besar pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg. Dari data penelitian BASC (Blood Pressure in Acute Stroke Collaboration, 2001) dan IST (International Stroke Trial, 2002), 70 94% pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah pada jam pertama setelah terjadinya serangan stroke, dan 22,5 27,6% diantaranya mengalami kondisi darurat hipertensif ( Hypertensive emergency) dengan peningkatan tekanan darah sistolik diatas 180 mmHg. Kira-kira 50% diantaranya memiliki riwayat hipertensi sebelum mengalami serangan stroke. Selain karena hipertensi kronik, meningkatnya tekanan darah pada stroke akut dapat pula disebabkan oleh stress yang terjadi pada saat serangan stroke, distensi kandung kemih, respon fisiologik terhadap hipoksia serebral, maupun respon Cushing terhadap peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat edema otak atau hematoama. Seringkali tekanan darah akan turun dengan sendirinya bila dirawat di ruangan yang tenang sehingga dapat beristirahat dengan nyaman, kandung kemih dikosongkan dan nyeri yang dialami pasien di obati dengan baik. Pengobatan terhadap tekanan intrakranial yang meningkat juga akan menurunkan tekanan darah. Beberapa temuan menunjukkan bahwa dengan penatalaksanaan tersebut, penurunan tekanan darah hingga mencapai normotensif dapat terjadi dengan sendirinya tanpa pemberian obat anti hipertensi pada dua pertiga dari pasien stroke akut, setelah minggu pertama. Table 1. Resiko relatif dari berbagai faktor Resiko Faktor Resiko Merokok Hipertensi Diabetes Mellitus Hiperkolesterolemia Atrial fibrilasi Obesitas Physical inactivity Resiko Relative 1,9 8 3,9 1,5 3,0 1,39 2,7

Efek Hipertensi pada pembuluh darah serebral Beberapa keadaan berikut terjadi pada pembuluh darah serebral pada mereka yang diketahui menderita hipertensi : 1. Aterosklerosis Aterosklerosis ditandai gambaran patologik berupa fatty streaks, plak fibrous dan plak komplikata, dimana lesi ateroslerotik dimulai dengan proses inflamasi diikuti proliferasi sel otot polos dan penebalan dinding arteri. Hipertensi, disfungsi endotel, shear stres,

peningkatan lipoprotein densitas rendah, radikal bebas dan respons inflamasi kronik adalah semua faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya aterosklerosis. Demikian pula peran dini nitric oxide (NO), peningkatan molekul adhesi pada endotelium dan migrasi leukosit ke dinding arteri dengan peran dari lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi. Akhir akhir ini di ketahui bahwa hipertensi berkaitan dengan disfungsi endotel menyebabkan progresifitas aterosklerosis, NO merupakan mediator penting vasodilatasi endotelium dan NO yang berkurang akan menyebabkan proses proinflamasi, protrombotik dan prokoagulasi endotel dan juga akan menyebabkan perubahan struktur dinding pembuluh darah. Meningkatnya stress oksidatif diduga merupakan mekanisme yang menyebabkan berkurangnya peran endotel dalam kaitannya dengan NO dan beberapa faktor seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase, NO synthetase dan xantin oxidase yg diketahui sebagai sumber utama terjadinya reactive oxygen species (ROS) pada hipertensi. Peningkatan stress oksidatif vaskuler menyebabkan disfungsi endotel pada hipertensi 2. Nekrosis fibrinoid dan lipohyalinosis Nekrosis fibrinoid disebabkan karena insudasi dari plasma protein yaitu fibrin kedinding arteria. Daerah yang terkena terlihat gambaran yang sangat eosinofilik dan tidak berstruktur atau bergranula halus oleh karena degenerasi dari otot polos dan kolagen (hialinisasi). Lipohialinosis adalah kerusakan vaskuler yang ditandai dengan hilangnya struktur arteri yang normal, sel busa dan adanya nekrosis fibrinoid dinding pembuluh darah merupakan sebuah proses dimana secara perlahan akan menyumbat pembuluh darah yang sudah menyempit lumennya 3. Autotoregulasi serebral. Autoregulasi serebral adalah kemampuan otak untuk menjaga aliran darah otak (ADO) relatif konstan terhadap perubahan tekanan perfusi. Batas atas dan bawah dari mekanisme autoregulasi individu normotensi masing masing terjadi pada MAP antara 50 60 mmHg dan 150 160 mmHg. Resistensi serebrovaskuler menurun atau meningkat dengan perubahan tekanan perfusi rata-rata dari otak dan memungkinkan ADO tetap konstan. Perubahan dari resistensi sebagai akibat vasodilatasi dan vasokontriksi dari pial arteri dan arteriol. Banyak faktor seperti hipertensi kronik, aktivitas simpatis, tekanan CO2 arteri dan obat obat farmakologik akan mengubah batas atas dan bawah autoregulasi. Pada individu dengan hipertensi baik batas atas dan bawah kurva autoregulasi akan bergeser ke MAP dengan nilai absolut yang lebih tinggi. Gejala gejala dari iskemia serebral secara signifikan terjadi pada MAP yang lebih tinggi pada mereka dengan hipertensi dan selanjutnya kerusakan yang berat oleh karena iskemia serebral terjadi pada beberapa penderita setelah penurunan mendadak tekanan darah ke level normotensi dan pada studi observasi menunjukkan pasien dengan accelerated hipertensi dapat berkembang menjadi perburukan gejala neurologik setelah terapi anti hipertensi yang agresif. Pergeseran dari autoregulasi dikaitkan dengan peningkatan tonus miogenik yang diinduksi oleh peningkatan sensitivitas Ca terhadap sel sel miosit, remodeling dan hipertrofi, juga berperan pada pergeseran tersebut karena terjadinya penurunan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh darah serebrovaskuler. 4. Neurovascular coupling

Neurovascular coupling mengacu adanya hubungan aktivitas sel saraf dan perubahan pada ADO. Besaran perubahan aliran darah serebral sangat erat hubungannya dengan aktivitas neuron melalui rangkaian komplek yang melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh darah. Namun dalam beberapa keadaan seperti hipertensi, stroke hubungan aktivitas saraf dengan pembuluh darah serebral akan terganggu dan menyebabkan ketidak seimbangan homeostatik yang akan berperan pada disfungsi otak. Hipertensi akan mempengaruhi hubungan aktivitas neuron dan aliran darah otak, dan perubahan ini melibatkan perubahan mediator kimia dari neurovascular coupling dan dinamika dari sistim pembuluh darah itu sendiri. Dari beberapa studi diperlihatkan bahwa saluran ion pada otot pembuluh darah dapat dipengaruhi oleh hipertensi dan diabetes melitus yang menyebabkan vasodilatasi abnormal setelah suatu aktivitas neuron. Secara garis besar mekanisme gangguan peredaran darah otak yang akan menimbulkan keadaan-keadaan iskemia, infark atau pun perdarahan dapat terjadi melalui empat cara yaitu : 1. 2. 3. 4. Penyumbatan pembuluh darah oleh trombus atau embolus Robeknya dinding pembuluh darah Penyakit-penyakit dinding pembuluh darah Gangguan susunan normal komponen darah

Bagaimana mekanisme hipertensi dapat menyebabkan perdarahan masih merupakan topik pembicaraan. Dengan bertambahnya usia, adanya hipertensi dan aterosklerosis, pembuluh darah akan berkelok-kelok atau spiral yang memudahkan ruptur arteri, kapiler atau vena. Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan eneurisma- aneurisma kecil yang tersebar di sepanjang pembuluh darah.

PENATALAKSANAAN DARURAT HIPERTENSI PADA PASIEN STROKE AKUT. Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan terjadinya edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular lebih lanjut dan terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan tetapi, disisi lain, penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan penurunan perfusi serebral sehingga kerusakan daerah iskemik di otak akan menjadi semakin luas. Terlebih pada hipertensi kronik dengan kurva perfusi (tekanan darah aliran darah ke otak) bergeser ke kanan, Penurunan tekanan darah pada kondisi seperti ini akan semakin mengakibatkan penurunan perfusi serebral. Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu, penurunan tekana darah pada pasien stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien, menimbulkan kecacatan dan kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.

Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke Tahun 2011 perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Guideline stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini : 1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik diturunkan hingga < 185 mmHg dan tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan adalah Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau Diltiazem intravena.

2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral > 60 mmHg.

4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.

5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 160

mmHg. Sedangkan tekanan darah sistole 160 180 mmHg sering digunakan sebagai target tekanan darah sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.

6. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 25% pada jam pertama dan tekanan darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat berakibat meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi perdarahan, sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan perdarahan ulang dan semakin luasnya hematoma (perdarahan). Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-hati. Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kerusakan semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh karena itu, pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat dititrasi dengan mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman penurunan tekanan darah pada stroke akut adalah sebagai berikut : 1. Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting agent) 2. Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah 3. Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat mengakibatkan penurunan aliran darah otak 4. Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung) 5. Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan dicapai. KESIMPULAN Hipertensi diketahui sebagai faktor resiko utama untuk stroke baik infark maupun perdarahan serebral. Dari data penelitian yang ada menunjukkan kontrol terhadap tekanan darah akan mengurangi resiko stroke. Hipertensi juga akan menggangu aliran darah serebral dan akan berperan pada kejadian penyakit serebrovaskuler. Hipertensi berperan dalam terjadinya proses aterosklerosis, nekrosis fibrinoid dan lipohyalinosis, terganggunya mekanisme neurovascular coupling dan autoregulasi serebral. Dalam penatalaksanaan stroke fase akut, perlu diperhatikan pengelolaan berbagai variabel fisiologik, terutama tekanan darah. Penatalaksanaan tekanan darah pada pasien stroke akut dengan kondisi darurat hipertensif, yang dilakukan dengan cermat dan tepat, akan mencegah kerusakan otak, menurunkan angka kecacatan dan kematian. Oleh sebab

itu, pengelolaan tekanan darah pada stroke akut dengan kondisi darurat hipertensif hendaknya mengikuti pedoman dan konsensus yang sudah ada.

Kepustakaan 1. Goldstein LB : Guidelines for the Primary Prevention of Stroke. A Guideline for Healthcare Profesionals From the American Heart Association / American Stroke Assiciation Stroke. 2010.

2.

Broderick J et al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adults : 2007 Update. Stroke 2007, 38 : 2001 2003.

3.

Morfis L, Shwartz RS, Poulos R, et al. Blood Pressure Changes in Acute Cerebral Infarction and Hemorrhage. Stroke 1997 ; 28 : 1401 1405.

4.

Powers W. Acute Hypertension After Stroke : The Scientific Bases for The Treatment Decisions. Neurology 1995 ; 3 : 3 5.

5.

Guideline Stroke, 2011, Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

6.

Arakawa S, Saku Y, Ibyashi, et al. Blood Pressure Control and Recurrence of

Hypertensive Brain Hemorrhage. Stroke 1998; 29 : 1806 1809.

7.

Hocker S, Morales-Vidal S, Schneck MJ. Management of Arterial Blood Pressure in Acute Ischemic and Hemorrhagic Stroke. In Biller J, Evans RW. Neurologic Clinics. Advances in Neurologic Therapy. WB Saunders Company, Philadelpia, 2010, pp 863 886.

8.

Warlow CP, Dennis MS, Van Gijn J, Hankey GJ, Sandercock PAG, Bamford JM, Wardlaw J (2007). Stroke, A Practical Guide to Management, 3rd ed. Oxford, UK, Blackwell Publishing, pp 549 50.

9.

Leonard-Bee J, Bath PMW, Philips SJ, Sandercock PAG, for the IST Collaborative Group (2002), Blood Pressure and Clinical outcome in the International Stroke Trial Stroke, 33 : 1315-20.

Vous aimerez peut-être aussi