Vous êtes sur la page 1sur 7

ASPEK MEDIKOLEGAL PENANGANAN PASIEN HIV/AIDS

I.

PENDAHULUAN Kasus yang pertama kali dikenal sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS) muncul pada musim panas tahun 1981 di Amerika. Dilaporkan telah ditemukan pneumonia Pneumocttis carinii dan Kaposi's sarcoma pada seorang pria muda yang ternyata homoseksual dan immunokompromais.1Pada 1 Januari 2003, diperkirakan sekitar 886.575 kasus AIDS didiagnosis di Amerika Serikat, 57% meninggal dunia. Namun angka kematian akibat AIDS telah mengalami penurunan akibat meningkatnya penggunaan obat antiretroviral. Diperkirakan sekitar 850.000-950.000 orang yang terinfeksi HIV hidup di Amerika Serikat. Kelompok dengan resiko besar adalah pria yang melakukan hubungan seksual dengan pria lainnya dan wanita dan pria pengguna obat injeksi (injectin drug user (IDUs)).2 Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan dan diidentifikasi pada seorang laki-laki asing di Bali yang kemudian meninggal pada April 1987. Pada Juni 1988 di tempat yang sama juga ditemukan orang Indonesia pertama yang meninggal karena AIDS. Kasus ini kemudian mulai menjadi perhatian terutama oleh kalangan tenaga kesehatan. 1 Dari hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada sekitar tahun 1990 di berbagai ibukota propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi HIV telah menyebar ke berbagai propinsi meskipun prevalensinya masih rendah. Pemeriksaan sekitar 10.500 darah donor yang diperiksa hasilnya ternyata negatif. Gejala-gejala meningkatnya infeksi HIV di Indonesia mulai nyata ketika pemeriksaan darah donor pada tahun 1992/1993 menunjukkan HIV positif pada 2 diantara 100.000 donor darah yang kemudian meningkat menjadi 3 per 100.000 donor darah pada tahun 1994/1995.1 Perubahan epidemi HIV AIDS terjadi pada tahun 2000 dimana kasus meningkat secara nyata diantara pekerja seks dan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Di Tanjung Balai Karimun, Propinsi Riau hanya ditemukan 1 % pada 1995/1996 kemudian meningkat menjadi lebih dari 8,38%, pada tahun 2000. Prevalensi HIV pada pekerja seks di Irian Jaya (Merauke) sebesar 26,5%, di DKI Jakarta (Jakarta Utara) sebesar 3,36% dan

di Jawa Barat sebesar 5,5%. Pada tahun yang sama, hampir semua propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV. Meskipun prevalensi HIV secara umum masih rendah, tetapi Indonesia digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) karena terdapatnya kantong-kantong epidemi dengan prevalensi yang lebih dari 5% dari sub-populasi tertentu.1 Pada tahun 1999 terjadi fenomena baru dalam penularan HIV/AIDS yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada penyalahguna Napza suntik. Penularan HIV diantara penyalahguna Napza suntik terjadi sangat cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Pada tahun 1999, 18% dari para penyalahguna Napza yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta yang terinfeksi HIV dan meningkat menjadi 40% pada tahun 2000 dan 48% pada tahun 2001. Sedangkan pada tahun 2000 di Kampung Bali di Jakarta 90% dari penyalahguna Napza suntik terinfeksi HIV.1 Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 terjadi peningkatan kasus hampir 17,5%. Pada tahun 1996 hanya 2,5 % dari kasus AIDS melalui Napza suntik, dan pada tahun 2002 sudah hampir 20 %.1 Menurut data komisi penanggulangan AIDS Indonesia hingga 31 Desember 2006, ada 8194 kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Seperti fenomena Gunung Es, tentu masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Bahkan Badan Narkotika Nasional menyebutkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah menyentuh 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau lebih dari 3 juta orang pada tahun 2006, sebagian dari mereka adalah pengguna narkotika. Sedangkan data terbaru yang diperoleh dari laporan Ditjen PP dan PL Kemerdekaan RI, jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia menurut jenis kelamin sampai dengan akhir Juni 2011 sebanyak 26.483 kasus dimana kasus ini paling banyak ditemukan dan pada jenis kelamin laki-laki (19.139 kasus) dan pada kelompok umur 20-49 tahun (23.225 kasus). Hal ini tentu menjadi hal yang memprihatinkan mengingat kelompok umur ini merupakan usia produktif.1 II. DEFENISI Definisi AIDS berubah tiap tahunnya, AIDS pertama kali didefinisikan oleh CDC

sebagai penyakit yang ditandai oleh kelainan pada mediasi sel imun. Selanjutnya diketahuinya penyebab penyakit ini yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus) (sebelumnya disebut HTLV-III/LAV), dan berkembangnya tes yang sensitif dan spesifik terhadap infeksi HIV, maka definisi AIDS mengalami revisi. Pengertian saat ini mengkategorikan orang yang terinfeksi HIV berdasarkan kondisi klinis yang berkaitan dengan infeksi HIV dan jumlah limfosit CD4+T. Pada tahun 1993 CDC ( Centers for Disease Control) di Amerika mendefinisikan bahwa AIDS adalah termasuk semua orang immunsupres (CD4<200x106/L).1,2 AIDS disebabkan oleh infeksi human retrovirus HIV-1 atau -2. HIV-1 merupakan penyebab paling umum, HIV-2 memiliki sekitar 40% homologi dengan HIV-1. Virus ini menular melalui kontak seksual, kontak dengan darah, produk darah atau cairan tubuh lainnya (seperti pada pengguna obat-obatan terlarang yang saling bertukar jarum suntik yang sudah terkontaminasi), intrapartum atau secara perinatal dari ibu kepada bayi, atau via susu ibu. Tidak ada bukti bahwa virus dapat tertular melalui kontak biasa dengan anggota keluarga atau melalui gigitan serangga seperti nyamuk. Resiko terinfeksinya petugas kesehatan dan petugas laboratorium yang bekerja dengan spesimen yang terinfeksi HIV ada meskipun kecil.2 Perlindungan Hukum dan HAM terhadap Pengidap HIV/AIDS Sejak kasus AIDS diketemukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1987 (kendatipun ada kasus sebelum tahun 1987 di DKI tapi tidak dilaporkan), pemerintah Indonesia sudah menyadari bahwa aspek hukum menjadi urgen dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi proses legislasi untuk mendapatkan suatu peraturan perundangan, bukanlah jalan yang sederhana dan mudah. Oleh karena itu, upaya mendapatkan peraturan tentang HIV dan AIDS mulai digagas melalui pertemuan dan diskusi-diskusi non formal guna mengidentifikasi pelbagai peraturan perundangan yang berhubungan dengan kegiatan pencegahan yang sedang dilakukan oleh para aktivis dengan kelompok berisiko yang didampingi. Beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi tersebut antara lain, aspek kerahasiaan ketika seseorang memutuskan untuk menjalani test HIV, suami dan/atau isteri yang salah

satunya tertular HIV, perlindungan hukum dan Hak Azasi Manusia bagi seorang tenaga kerja/karyawan yang mengidap HIV, kondom sebagai alat pencegahan, pemberangusan tempat-tempat transaksi seks, perlindungan bagi tenaga kesehatan yang mungkin tertular HIV ketika melakukan pekerjaan, universal precautions, dan lain sebagainya.2 Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pengidap HIV dan penderita AIDS (Indar, 2010).1 Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/ AIDS yaitu : hak terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi. Dibandingkan dengan hak terhadap kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS ini jauh lebih kompleks dan sulit.1 Dalam pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara garis besar di dalam UU Kesehatan perlindungan hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur mengenai : Hak atas pelayanan kesehatan Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.

Hak atas informasi Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak

mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.1 Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV/AIDS termasuk metode pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan informasi mengenai HIV AIDS .
(PERLINDUNGAN HUKUM)

Hak atas kerahasiaan Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap orang

berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004 juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis dan rahasia kedokteran. Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien. Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum selalu terdapat dilemma antara kepantingan masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam system demokrasi, hak asasi seseorang harus diindahkan, namun hak asasi ini tidak bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi seseorang adalah hak asasi orang lain di dalam masyarakat itu. Dalam hal ada pertentangan kepentingan, maka hak perseorangan harus mengalah terhadap kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak dipertahankan sedemikian rupa sehingga sampai membahayakan kepentingan orang lain atau masyarakat. Namun kita melihat ada pengecualian bersifat rahasia mutlak yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Selain dalam sumpah hipocrates, kewajiban menyimpan rahasia medis juga terdapat

pada: 1. Declaration of Geneve ini adalah suatu versi sumpah hipocrates yang dimoderenisasi dan diintroduksikan oleh world medical association. Khusus yang menyangkut rahasia medis berbunyi: I will respect the secrets which are confident in me, even after the pasient has died. 2. International code of medical ethics pada tahun 1968 di Sydney diadakan perubahan pada declaration of geneve yang kemudian menjadi pedoman dasar untuk international code of medical ethics. Yang menyangkut rahasia medis berbunyi : A doctor shell preserve absolute secrecy on all he knows about his patient because the confident entrusted in him. 3. Declaration of Lisbon, deklarasi ini menetapkan pula bahwa pasien berhak untuk meminta kepada dokternya agar mengindahkan sifat rahasiadari segala data medis data pribadinya 4. Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tahun 2002 pasal 12 setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 5. Peraturan pemerintah no.26 tahun 1966 peraturan ini juga memuat lafal sumpah kedokteran 6. Peraturan pemerintah no.10 tahun 1966. Di dalam peraturan pemerintah tersebut diperluas berlakunya Wajib Simpan Rahasia Medis ini juga bagi tenaga kesehatan lainnya. Pengungkapan rahasia medis harus dengan persetujuan dan izin pasien, misalnya pada pihak asuransi yang memerlukan data-data medis pasien yang telah menutup asuransi kesehatan. Untuk memeriksa benar tidaknya suatu klaim, maka diperlukan data medis pasien, yang harus diajukan ke rumah sakit melalui dokternya. Untuk itu pasien harus membuat pernyataan tertulis bahwa ia telah memberi kuasa untuk meminta datadata medis dari dokter/rumah sakitnya. Tanpa surat persetujuan dari pasien tersebut, rumah sakit/ dokter tidak boleh memberikan data medis pasien tersebut pada pihak ketiga, dalam hal ini pihak asuransi. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa data-data medis merupakan milik pasien, bukan milik dokter. Disamping itu rumah sakit dibebani kewajiban untuk menyimpan

data-data medis yang tercantum dalam rekam medis selama paling sedikit 5 tahun

Hak atas persetujuan tindakan medis Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau

informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed Consent. Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi. Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun negatif yang berupa konseling prates.

Vous aimerez peut-être aussi