Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40% (Hartman, 2000). Individu memiliki risiko sekitar 7% untuk apendisitis selama hidup mereka. Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Walaupun alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, faktor risiko yang pot ensial adalah diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, serta infeksi (Mazziotti, 2008). Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada remaja, dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun (Hartman, 2000). Berdasarkan World Health Organization (2002), angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, di mana populasi laki-laki lebih banyak dibangdingkan perempuan. Angka mortalitas apendisitis sekitar 12.000 jiwa pada laki-laki dan pada perempuan sekitar 10.000 jiwa. Menurut Craig (2010), apendisitis perforata sering terjadi pada umur di bawah 18 tahun ataupun di atas 50 tahun. Insidensi apendisitis pada laki-laki lebih besar 1,4 kali dari perempuan. Rasio laki-laki dan wanita sekitar 2:1. Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Banyak hal dapat sebagai faktor pencetusnya, diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limf, fekalit (faex = tinja, lithos = batu), tumor apendiks, dan berupa erosi mukosa oleh cacing askaris dan E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi menaikkan tekanan intrasekal, menyebabkan sumbatan fungsional apendiks, dan meningkatkan pertumbuhan flora kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, 2005)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007). Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005). Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005). Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005). Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan sekum dan apendik

ssubmukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005). Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005). 2.2. Fisiologi Apendiks Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005). Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah

IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005).

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).

2.3.

Apendisitis 2.3.1. Definisi Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kirakira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal (Smeltzer dan Bare, 2002). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000). Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2002). 2.3.2. Etiologi Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan

peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (feko lit). Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis (Hartman, 2000). Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan

kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut (Pieter, 2005). 2.3.3. Patofisiologi Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer dkk., 2000). Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi juga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000). Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk., 2000). Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000). Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat 6

apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000). Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005). Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000). Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005). 2.3.4. Manifestasi klinis Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang

menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri beralih ke kuadran kanan, menetap, dan diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000). Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri 7

dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005). Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005). Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Pieter, 2005). Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi setelah 3 6-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 3 6-48 jam, angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000). Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gej ala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gej ala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gej ala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005). Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) : tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney o nyeri tekan 8

o o o o o

nyeri lepas defans muskuler nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg) nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan

nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

2.3.5.

Diagnosis Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang aktif

ditandai dengan:

1. 2. 3.

Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi; Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis; Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. Sedangkan, massa apendiks dengan proses radang yang telah reda ditandai

dengan: 1. 2. 3. 4. Pasien berumur 5 tahun atau lebih. Keadaan umum telah membaik, sakit, dan suhu tubuh tidak tinggi lagi. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tanpa tanda-tanda peritonitis, dan massa dengan berbatas jelas dengan nyeri tekan ringan. Laboratorium hitung leko sit dan hitung jenis normal. Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa atau abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan, terutama yang masih muda, sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan dapat berasal dari genitalia interna karena 9

ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang meragukan dilanjutkan dengan observasi penderita di rumah sakit, dengan pengamatan setiap 1-2 jam (Pieter, 2005). 2.3.6. Pemeriksaan Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah (Pieter, 2005).Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam 48-72 jamkarenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam mengintepretasi tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter, 2005). Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendisitis sering bergerak perlahan dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Apendisitis dini perut rata. Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut. Perut kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus normal atau hiperaktif pada apendisitis dini diganti dengan suara usus hipoaktif ketika menjelek menjadi perforata (Hartman, 2000). Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut setelah pelaporan dan dibantu dengan selingan pembicaraan atau bantuan orangtua. Kuadran kanan bawah (titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa telah mempunyai kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Titik Mcburney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis ysng menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus. Tanda fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap pada saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Jika anak takut atau agitasi saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang keseluruhan, membuat 10

2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik

interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan (Hartman, 2000). Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan dengan hati-hati supaya bermakna. Palpasi perut yang dalam dan kemudian dilepaskan dengan tiba-tiba akan menyebabkan nyeri dan rasa takut pada semua anak dan hal ini tidak dianjurkan. Perkusi jari dengan lembut pada semua kuadran merupakan pemeriksaan yang lebih baik dari iritasi peritoneum berulang pada semua kelompok umur tetapi terutama pada anak yang takut (Hartman, 2000) Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005). Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005). 2.3.6.2. Pemeriksaan Penunjang 2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium Pada darah lengkap didapatkan leuko sit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika (Kartono, 1995).

11

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam mengevaluasi anak dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut atau dada, ultrasonogram, enema barium, dan kadang-kadang CT scan temuan apendisitis pada foto perut meliputi apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus yang distensi atau obstruksi, dan efek massa jaringan lunak (Hartman, 2000) Menurut Darmawan Kartono, 1995 foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan airudara disekum atau ileum).

Foto polos pada apendisitis perforata: 1. 2. 3. 4. 5. gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, sperti sekum dan ileum. Garis lemak pra peritoneal menghilang Skoliosis ke kanan Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairancairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi. CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis usus buntu pada anak-anak. CT scan telah terbukti memiliki akurasi 97% dalam mendiagnosis apendisitis. Keuntungan lainnya adalah kemampuan untuk mengevaluasi seluruh perut dan menemukan abses dan phlegmon, kurangnya ketergantungan pada 12

keterampilan operator, dan keakraban dokter dengan membaca CT scan. Kerugian meliputi paparan radiasi tersebut, kebutuhan akan kontras oral dan intravena dan kerugian yang terkait, dan kebutuhan pasien untuk diam, yang sering sulit untuk anakanak kecil. Karena keuntungan CT scan, 62% dari dokter bedah anak yang disurvei di Amerika Utara lebih suka untuk evaluasi usus buntu. CT scan paling disukai, dengan 5 1-58% pasien dengan apendisitis diduga menjalani CT scan. Namun, walaupun sekarang penggunaan luas CT scan untuk evaluasi apendisitis dengan sensitivitas dan spesifisitas unggul, tingkat usus buntu negatif pada anak-anak belum menunjukkan penurunan signifikan secara statistik (Katz, 2009). Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau terisi sebagian (Hartman, 2000). 2.3.7. Penatalaksanaan Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari: a. Sebelum operasi 1. 2. 3. 4. 5. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin Rehidrasi Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai 6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

b. Operasi 1. 2. 3. Apendiktomi Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin 13

mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan c. Pasca Operasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah Baringkan pasien dalam posisi semi fowler Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien dipuasakan Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak 7. 8. 9. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter, 2005). Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari 14

(Hartman, 2000). Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforata diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leuko sit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005). Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter, 2005).

2.3.8. Komplikasi Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis, terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah apendiktomi antara lain: 1. Peritonitis Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen, 15

dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program. 2. Abses pelvis atau lumbal Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk pro sedur drainase operatif.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Pengumpulan data penelitian telah dilakukan di ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUDZA Banda Aceh dan telah didapatkan jumlah penderita apendisitis akutpada anak-anak dari bulan Juni sampai Desember 2012 sebanyak 28 orang. 3.1.1 Distribusi Jumlah Penderita Berdasarkan Bulan 16

Bulan Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total

Frekuensi 2 4 1 6 7 3 5 28

Persentase 7,14 14,28 3,57 21,4 25 10,7 17,85 100

3.2 Pembahasan Dari hasil penelitian RSUDZA didapatkan jumlah penderita apendisitis pada anak-anak yaitu 28 orang. Umunya penyebab paling utama dari apendisitis pada anakanak adalah fekalit. Fekalit adalah timbunan tinja yang keras sehingga sulit dikeluarkan dari sistem saluran pencernaan. Pada umunya, anak-anak jarang mengkonsumsi makanan yang tinggi serat sehingga kejadian apendisitis pada anakanak sering terjadi. Terjadinya fekolit berhubungan langsung dengan diet yang mengandung residu rendah. Sehingga untuk diet harus mengandung residu tinggi supaya tidak terjadi apendisitis. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya 17

obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks. Pada anak di bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

BAB IV KESIMPULAN 1. Dari hasil penelitian, ditemukan jumlah penderita apendisitis akut pada anak-ank periode juni-desember 2012 berjumlah 28 orang 2. Jumlah operasi apendisitis periode bulan oktober lebih banyak dari pada bulan yang lain 3. Kejadian apendisitis pada anak-anak lebih banyak disebabkan oleh fekalit.

18

DAFTAR PUSTAKA Birnbaum and Wilson S. Appendicitis At the Millenium. 2006. Available from: http://radiology.rsnajnls.org/cgi/content/full/215/2/337 [Accessed on May 30th, 2010]. Craig, S., 2010. Acute Appendicitis. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/773895 -overview [Accessed on April, 29th 2010]. Ghazali, M. V., Sastromihardjo, S., Soedjarwo, S. R., Soelaryo, T., dan Pramulyo, H.S., 2010. Studi Cross-Sectional. In: Sastroasmoro, S. and Ismael, S. DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 112-126. Hartman, G. E., 2000. Apendisitis Akut. In: Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R.M., and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1364-1366. Itskowits, M. S., and Jones, S. M., 2010. Appendicitis. Available from: http://www.emedmag.com/html/pre/gic/consults/101504.asp [Accessed on 19

May, 7th 2010]. Junqueira, L. C. and Carneiro, J., 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC. Kartono. D., 1995. Apendisitis Akuta. In: Reksoprodjo, S., dkk., ed. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 109-113. Katz, M. S., dkk., 2009. Appendicitis. Medscape. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/926795 -overview [Accessed on April, 29th 2010]. Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., and Setiowulan, W., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Mazziotti, M. V., dkk., 2008. Appendicitis: Surgery Perspective. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/773 896-overview [Accessed on May, 7th 2010]. Pieter, J., 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In: Sjamsuhidajat, R. and De Jong, W., ed. Buku -Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC, 639645. Sacher, R. A. and McPherson, R.A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC, 67 3-677 Santacroce R, Craig S. 2007. Appendicitis. Available http://www.emedicine.com [Accessed on May, 30th 2010]. from:

Schwartz, S. I., dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. Silent W. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons Prinsiple of Internal Medicine. 16th ed. New York: The Mc Graw-Hill Companies, 2005. P. 18061807. Smeltzer, S.C. and Bare, B. G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth Vol. 2. Edisi 8. Jakarta: EGC. World Health Organization, 2004. The World Health Report 2004.

20

Vous aimerez peut-être aussi