Vous êtes sur la page 1sur 15

Pendahuluan Antihistamin H1 merupakan salah satu obat paling sering digunakan dan paling luas digunakan di dunia kedokteran,

khususnya bidang alergi pada anak. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan tehnologi kedokteran terutama di bidang farmakologi molecular untuk obat ini demikian pesat. Demikian pula dalam kasus gangguan alergi pada anak, antihistamin adalah obat yang paling sering digunakan. Berbagai penyakit alergi pada anak yang sering menggunakan obat antihistamin adalah dermatitis atopi, rinitis alergi, asma, urtikaria dan sebagainya. Sejak Bovet dan Staub (1937) menemukan ikatan amine berisi ether phenolic yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H,, maka bahan tersebut kemudian dikembangkan menjadi bahan obat antihistamin tahun 1940. Antihistamin yang aman dan efektif untuk pengobatan pertama kali dilaporkan oleh Bovet dan Walthert (1944) yang menggunakan mepyramine (phenothiazine) dan 0 Leary menggunakan diphenhydramine untuk pengobatan urtikaria kronik.Fakta menunjukkan antihistamin ini tidak seluruhnya bisa menghambat efek histamin di mukosa lambung, ha1 ini menunjukkan adanya reseptor histamin lain yang kemudian dikenal sebagai reseptor Hz. Disusul dengan didapatkannya reseptor H3 pada jaringan sistem syaraf pusat, syaraf perifer dan bronkus serta reseptor Hic yang bekerja sebagai messenger intraseluler berperan dalam pertumbuhan sel yang penerapannya di bidang dermatologi belum diketahui. Semua antihistamin bekerja sebagai kompetitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor di jaringan dan beberapa diantaranya ada yang mempunyai khasiat tambahan lain. Dalam perkembangannya dilakukan substitusi pada cincin imidazole sehingga muncul antihistamin generasi II yang tidak menembus sawar darah otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Perkembangan Antihistamin Perubahan dalam penggolongan antihistamin H1 yang dulu dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1 saat ini digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. Disebut obat inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Penemuan antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara

klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir. Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor. Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat reseptor H1 dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai

histamin. Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

Alkilamin : Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin. Piperazin : Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid. Etanolamin: difenhidramin, doksilamin. Karbinoksamin, Etilendiamin : tripelanamin, pirilamin. Antazolin, Piperidin Siproheptadin. Fenotiasin Prometasin. Lain-Lain : loratadin, mebhidrolin, terfenadin, ketotifen. Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol, levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

Cetirizine Antihistamin yang saat ini menjadi perhatian para klinisi dan lebih mulai dipertimbangkan dalam penggnaan klinis adalah Cetirizine yang merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi. Cetirizine merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung. Metabolit cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung,

mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin klasik, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi. Pada suatu penelitian, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi wheal and flare dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang.

Farmakologi dan farmakokinetik Antihistamin H1 merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin saling berlomba menempati reseptor histamin. Blokade reseptor H1 oleh antihistamin H1 tidak diikuti aktivasi reseptor H1, tetapi hanya mencegah agar histamin tidak berikatan dengan reseptor H1, sehingga tidak terjadi efek biologik misalnya kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas konstitutif reseptor H1 atau menurunkan aktivitas reseptor H1 yang diinduksi agonis. Dahulu dikatakan bahwa untuk dimulainya pengiriman sinyal transduksi yang diperantarai terikatnya G protein dengan reseptor/G-protein-coupled receptors (GPCR) dibutuhkan ikatan agonis pada reseptor H1. Akhir-akhir ini dibuktikan GPCR berperan dalam aktivasi

reseptor kostitutif tanpa disertai ikatan agonis pada reseptor H1. Aktivasi reseptor konstitutif H1 dan aktivasi reseptor yang diinduksi agonis berperan pada aktivasi NF-B. Inverse agonist mampu menurunkan aktivitas reseptor, sehingga menurunkan aktivitas NF-B dan menghambat terjadinya radang. Beberapa antagonis H1 misalnya cetirizin, ebastin, levocetirizin dapat menghambat aktivasi NF-B yang disebabkan aktivasi konstitutif reseptor H1. Ikatan histamin dengan reseptor H1 didapatkan dalam bentuk 3 dimensi, sehingga disimpulkan bahwa ikatan reseptor H1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan spesifik stereo. Sinyal sitosolik menginduksi aktivitas protein secara berurutan atau meningkatkan jumlah molekul kecil yang terdapat di dalam sel. Reseptor juga mempunyai aktivitas kinase protein; ki-nase diaktivasi pada waktu ligand terikat pada membran sel, yang akan menyebabkan otofosforilase pada cytoplasmic domain receptor, sehingga menginduksi protein target pada sitoplasma yang akhirnya membentuk substrat baru di dalam sel. Pada umumnya reseptor kinase adalah tyrosine kinase, selain itu didapatkan juga reseptor serin kinase/treonin ki-nase. Beberapa peneliti juga telah membuktikan terjadinya aktivasi NF-B, melalui akivasi tyrosine kinase. Reseptor bagian luar (extracellular domain receptor) juga berinteraksi dengan protein G yang terdapat pada reseptor yang berbatasan dengan sitoplasma (cytoplasmic domain receptor). Protein G inaktif didapatkan dalam bentuk trimer yang berikatan dengan guanine diphosphate (GDP). Pada keadaan reseptor menjadi aktif, terjadi perubahan konfirmasi yang akan menyebabkan perubahan konfirmasi pada protein G sub unit . Perubahan tersebut menyebabkan lepasnya GDP yang sebelumnya terikat pada protein G sub-unit a dan diganti guanine triphosphate (GTP). Pengikatan GTP menyebabkan protein G sub-unit a melepaskan diri dari reseptor dan protein G sub unit (3 y. Lama berlangsungnya aktivasi protein G dikontrol oleh protein G sub-unit a. Protein G sub-unit a merupakan bentuk GTPase, yang akan menghidrolisis GTP menjadi GDP, dan akhirnya protein G sub unit a akan terikat lagi dengan protein G sub unit (3 y, sehingga siklus seperti semula akan berlangsung lagi. Peningkatan aktivasi beberapa reseptor pada permukaan sel termasuk reseptor H, mengakibatkan peningkatan aktivasi protein G sehingga menimbulkan transduksi sinyal ke beberapa target/efektor. Berhubung telah dibuktikan bahwa histamin mengak-tivasi NF-kB melalui aktivasi reseptor Hj; mekanisme aktivasi NF-kB dalam arti yang lebih luas masih diteliti lebih lanjut. Aktivitas reseptor Hl dapat berupa aktivitas konstitutif; reseptor sudah dalam keadaan siap sampai tingkat tertentu. Agonis Hj adalah histamin Hj yang mempunyai afinitas meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor Hl. Akibat transduksi sinyal dari reseptor konstitutif, terjadilah aktivasi NF-/FS konstitutif. Begitu juga dengan cara yang sama terjadi peningkatan aktivasi NF-kB akibat peningkatan aktivasi reseptor yang disebabkan agonis. Bakker et al4 membuktikan bahwa aktivasi NF-kB yang diperantarai oleh aktivasi reseptor histamin Hl diperankan oleh protein G subunit (3 y dan a /u. Peningkatan aktivitas NF-kB terutama didapatkan pada penderita asma, sehingga diduga NF-kB berperan penting pada patogenesis asma. Penghambatan aktivasi NF-kB konstitutif yang disebabkan aktivasi reseptor Hl konstitutif hanya dapat dilakukan antagonis Hj, sedangkan antagonis H2 dan H3 tidak berperan, sehingga diduga antagonis H, juga bersifat sebagai inverse agonist. Diduga beberapa antagonis H1 misalnya cetirizin, ebastin, loratadin, feksofenadin dapat menghambat aktivasi NF-B konstitutif yang diperantarai oleh aktivasi konstitutif reseptor H1.

Pengobatan penyakit alergik dengan cara menghambat inflamasi yang diduga disebabkan peningkatan aktivitas NF-B sedang dipikirkan oleh beberapa peneliti. Beberapa antagonis H1 yang selama ini lebih dikenal untuk meng-hilangkan rasa gatal dapat digunakan sebagai anti-inflamasi pada penyakit yang disebabkan reaksi alergik. Ciprandi et al meneliti efikasi cetirizin pada penderita konjungtivitis yang disebabkan alergen spesifik yaitu Parietaria judaica. Dari hasil penelitian itu, disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberi cetirizin didapatkan penurunan ekspresi ICAM-1 dan jumlah sel radang, diban-dingkan dengan kelompok yang diberi plasebo. Boguniewicz menduga bahwa cetirizin juga mempunyai khasiat anti-inflamasi dengan cara menghambat migrasi eosinofil. Holgate et al, mengutarakan mekanisme anti inflamasi yang dimiliki beberapa antihistamin tidak selalu tergantung pada inverse agonist, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin sebagai anti inflamasi.Sampai saat ini masih diusahakan mendapatkan anti-histamin yang berkhasiat sebagai antagonis H1 ditambah faktor ekstra terutama faktor ekstra yang bersifat anti-inflamasi. Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme di hepar melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang tidak berubah. Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya. Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan. Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari. Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator

kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik. Antihistamin sebagai Anti Inflamasi Walaupun belakangan ini penelitian mengenai anti-histamin berkembang dengan pesat, demi peningkatan nilai pengobatan penyakit alergi, sampai saat ini masih terus diusahakan menemukan antihistamin yang efektif dan tidak mempunyai efek samping, yang disebut sebagai neutral antagonist. Diharapkan antagonis netral mempunyai khasiat blokade reseptor H1 ditambah dengan beberapa khasiat lainnya, tetapi tidak mempunyai efek samping yang tak diharapkan, sehingga merupakan antihistamin yang mem-punyai karakter spesifik. Sampai saat ini belum teridentifikasi antagonis netral tersebut, sehingga sering yang diartikan dengan antagonis netral adalah antagonis H1 yang efektif pada pengobatan penyakit alergi. Berdasarkan pengamatan, diduga sebagian besar reseptor pada permukaan sel termasuk reseptor H1 berada dalam keadaan aktif sampai tingkat tertentu yang dikenal sebagai aktivitas konstitutif (constitutive activity), tanpa kehadiran agonis. Akibatnya terjadilah reklasifikasi dalam hal ikatan ligand dengan reseptor H1 menjadi 3 subdivisi yaitu agonis, inverse agonist, dan antagonis netral. Klasifikasi sebelumnya terdiri atas agonis dan competitive antagonist. Interaksi reseptor pada permukaan sel dengan agonis meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor, walaupun agonis tidak harus menempati/terikat pada reseptor H1. Agonis adalah molekul yang mempunyai kemampuan merangsang/meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor. Interaksi reseptor dengan inverse agonist menurunkan aktivitas konstitutif reseptor, sedangkan interaksi reseptor dengan antagonis netral tidak mempengaruhi aktivitas konstitutif reseptor. Antagonis netral yang terikat pada reseptor hanya dapat menghambat kegiatan agonis. Diduga antihistamin H1 juga bersifat sebagai inverse agonist.Terdapat perbedaan farmakologik antara inverse agonist dan antagonis netral, tetapi dugaan ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Membran sel merupakan batas antara sel dengan luar sel. Membran sel bersifat permeabel terhadap molekul yang larut dalam lemak, misalnya steroid. Steroid melakukan difusi ke dalam sel melalui membran sel. Membran sel bersifat impermeabel terhadap materi yang larut dalam air misalnya ion, molekul inorganik yang kecil dan polipeptida. Respons terhadap materi yang hidrofilik tersebut tergantung pada interaksi antara materi/molekul ekstraseluler dengan kom-ponen protein pada membran plasma. Molekul ekstraseluler itu disebut ligand, sedangkan protein membran plasma yang mengikat ligand disebut reseptor. Materi ekstraseluler yang tidak dapat langsung masuk ke sel melalui membran plasma misalnya makromolekul akan melalui lipid bilayer. Di samping itu ligand yang tidak dapat melalui membran sel, dapat mengirim sinyal yaitu dengan cara mengubah sifat protein dari membran sel bagian ekstraseluler (extracellular domain of cell membrane), dan akhirnya sinyal dikirim ke membran sel yang berbatasan dengan sitoplasma /cytosolic domain of cell membrane. Amplitudo sinyal sitosolik yang jauh lebih besar daripada sinyal pertama yang diterima membran sel akan berinteraksi dengan beberapa protein yang terdapat pada sitoplasma.

Indikasi Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation. Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA Drug Name Azatadine Azelastine Brompheniramine Chlorpheniramine Clemastine Cyproheptadine Batas Usia > 12 tahun > 3 tahun > 6 tahun > 2 tahun > 6 tahun > 2 tahun Indikasi PAR, SAR, CU PAR, SAR, VR, AC AR, HR Type 1 AR PAR, SAR, CU PAR, SAR, CU Kategori Kehamilan B C C B B B

Dexchlorpheniramine > 2 tahun Hydroxyzine Bisa diberikan < 6 tahun Promethazine > 2 years old

PAR, SAR, CU B Pruritus, sedasi, analgesia, anti- C emetik HR Type 1, Sedation, Motion C sickness, Analgesia Tripelennamine > 1 bulan PAR, SAR, CU B *PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis Table 2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA Nama Obat Batas Usia Indikasi Kategori Kehamilan Cetirizine > 2 tahun PAR, SAR, CIU B Fexofenadine > 6 tahun SAR, CIU C Loratadine > 2 tahun SAR, CIU B Desloratadine > 12 tahun PAR, SAR, CIU C *PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic idiopathic urticaria

Penggunaan klinis Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi pada anak. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda. Berbagai kasus alergi pada anak dalam penanganannya sering diberikan terapi antihistamin. Penyakit alergi pada anak yang paling sering menggunakan anthistamin adalah urtikaria, dermatitis, asma, rhinitis dan gangguan alergi lainnya. 1. Pada asma. Histamin merupakan salah satu mediator yang penting pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian atas. Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada asma dan efek sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistamin ditinggalkan; tetapi dengan munculnya generasi kedua antihistamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari kembali. menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar yaitu 240-540 mg sehari. Grant dkk melaporkan bahwa cetirizin 15-20 mg

sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Perludikemukakan bahwa pemakaian antihistamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperan penting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik maupun asma. Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel kapiler,yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua bermanfaat pada rinitis yang disertai asma. Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembaCiprandi dkkmelaporkan pemberian terfenadin secara kontinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p< 0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003). Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok 2. Rinitis alergi dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat mengurangi gejala pilek. 3. Pada urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal. Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah simpatomimetik. 4. Pada reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan setelah epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum sickness antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada dermatitis kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal. Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat dan reaksi akibat transfusi. Efek samping

Mengantuk, Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).

Efek antikolinergik , Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang. Diskrasia, Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati. Sensitisasi, pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan urtikaria, eksim dan petekie. Antihistamin Generasi Pertama: 1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis. 2. Kardiovaskular hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin) 3. Sistem Saraf Pusat drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi

4. Gastrointestinal epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray) 5. Genitourinari urinary frequency, dysuria, urinary retention 6. Respiratori dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)

Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga): 1. Alergi fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis. 2. SSP mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi 3. Respiratori** mulut kering 4. Gastrointestinal** nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)

Kontraindikasi

Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua. Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.

Interaksi Obat Precipitant Drug MAOIs: phenelzine, isocarboxazid, tranylcypromine Object Drug Antihistamin generasi pertama Effect Bisa memperlama dan memperkuat efek antikolinergik dan sedative antihistamin, sehingga bisa terjadi hipotensi dan efek samping ekstrapiramidal Meningkatkan kadar plasma object drug

Protease Inhibitors: Antihistamin generasi ritonavir, indinavir, saquinavir, pertama, loratadine nelfinavir Antihistamin Alkohol, depresan SSP Menambah efek depresan SSP dan efek lebih kecil pada

Antifungi Azole dan Antibiotik loratadine, Makrolida : desloratadine azithromycin, clarithromycin, erythromycin, fluconazole, itraconazole, ketoconazole, miconazole Cimetadine loratadine Levodopa Serotonin Reuptatke Inhibitors (SSRIs): fluoxetine, fluvoxamine, nefazodone, paroxetine, sertraline Pemilihan Jenis Antihistamin promethazine Antihistamin generasi pertama

antihistamin generasi kedua dan ketiga. Meningkatkan kadar plasma object drug

Meningkatkan kadar plasma object drug Menurunkan efek levodopa Meningkatkan kadar plasma object drug

Dalam penentuan memilih jenis antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi pada anak harus berdasarkan pada berbagai pertimbangan baik pertimbangan klinis, jenis gangguan alergi, kondisi tubuh, usia frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, efek samping dan pertimbangan sosial ekonomi. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan. Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama. The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan efek samping dari antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi alergi lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi antihistaminAM/PM. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah. Efikasi Klinis Efikasi Antihistamin Design Studi/Indikasi (a) studi Sienra-Monge, et Double al. (Am J Ther blind,

Jumlah Sampel 80 (anak 2-6

Grup Terapi Cet 0.2 mg/kg per

Lama (hari) 28

Penentuan Hasil (b) efikasi Tes Cet > Lor histamine (wheal

1999;6(3):149-155 randomized, tahun) ) longitudinal PAR

hari Lor 0,2 mg/kg per hari

Prenner, et al.( Clin Ther 2000;22(6):760769) SAR

Acak, 659 double blind, 2 fase, crossover treatment of nonresponders Acak dan double blind. 203

Fex 60 mg 2 x sehari Lor 10 mg/ hari

Fase 1: 14 Fase 2: 16

kulit, jumlah eusinofil, pengamatan gejala total oleh pasien dan dokter Pasien dan dokter menentukan total keparahan gejala

response) Cet = Lor (jumlah eusinofil) Cet = Lor (gejala)

Monroe, et al.( ArzneimittelForschung 1992;42(9):111911121) CIU Howarth, et al.( J Allergy Clin Immunol 1999;104(5):927) SAR

Lor 10 12 mg/hari Hyd 25 3 x sehari

Fase 1 Lor > Fex (pasien); Lor = Fex (dokter) Fase 2 Lor = Fex (pasien &dokter) Pengamatan Lor = Hyd gejala oleh > Pla dokter dan pasien

Studi acak 722 dan double blind

Day, et al.( Allergy Clin Immunol 1998;101(5):638645) SAR Druce, et al. (J Clin Pharmacol 1998;38(4):382389) AR Meltzer, et al.( J Allergy Clin Immunol 1996;97(2):617626) SAR

Studi acak, 202 double blind, allergen exposure unit Acak dan 338 double blind

Studi acak, 279 double blind, Alergi musim semi, outdoor.

Fex 120 mg/hari Fex 180 mg/hari Cet 10 mg/ hari Pla /hari Cet 10 mg/hari Lor 10 mg/hari Placebo/ hari Bro 12 mg 2 x sehari Lor 10 mg/hari Pla 2 x sehari -Cet 10 mg /hari -Lor 10 mg /hari -Pla /hari

14

Skor total gejala

Fex 120 = Fex 180 = Cet > Pla

Skor Cet > Lor lengkap = Pla gejala utama dan total pada pasien. Gejala Bro > Lor global oleh > Pla peneliti dan subjek

Skor Cet > Lor lengkap = Pla gejala utama dan total pada pasien.

Berger et al. (Ann Acak dan Allergy Asthma double Immunol blind 1999;82(6):535541 ) SAR

1070

Lor 10 mg/ 7 hari plus Bec 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari Aze 2 semprot tiap hidung 2 kali sehari

Breneman (Ann Pharmacother 1996;30(10):10751079) CIU

Acak, 188 Cet 10 28 Cet = Hyd double mg/hari > Pla blind, dan Hyd 25 allergy mg/3 x practice sehari settings Pla (a) PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, AR = allergic rhinitis, CIU = chronic idiosyncratic urticaria (b) Cet = cetirizine, Lor = loratadine, Pla = placebo, Fex = fexofenadine, Bro = brompheniramine, Bec = beclomethasone, Aze = Azelastine, Hyd = hydroxyzine,

Pengamatan dokter akan kebutuhan obat tambahan untuk rhinitis alergi, pengamatan global gejala pasien Pengamatan gejala oleh peneliti dan pasien

Aze = Lor + Bec

Vous aimerez peut-être aussi