Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Ozaena merupakan suatu penyakit di bidang spesialisasi telinga, hidung, dan tenggorokan. Saat ini, penyakit ini jarang dijumpai di masyarakat pada umumnya. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis. Dalam dunia kedokteran ozaena dikenal pula dengan nama lain Rinitis atrofi Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung. Foetor ex nasi dalam bahasa awam dikenal dengan bau busuk dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Foetor ex nasi pada penderita rhinitis atrofi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya. Penyakit ini sering terjadi pada kelompok perempuan dibandingkan dengan kelompok laki-laki. Rinitis atrofi (ozaena) mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut dan mendalam tentang penyakit ini. 1.2 Permasalahan 1. Apa definisi dari rhinitis atrofi? 2. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit rhinitis atrofi? 3. Bagaimana penatalaksaan dari penyakit rhinitis atrofi? 1.3 Tujuan Tujuan Umum : Mengetahui dan memahami penyakit rhinitis atrofi sebagai salah satu penyakit dalam bidang ilmu Telinga Hidung dan Tenggorok Tujuan Khusus : memenuhi tugas referat SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RSUD dr. Mohammad Saleh kota Probolinggo Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya periode 17 December 2012-27 Januari 2013 1.4 Manfaat Manfaat dari penulisan referat ini adalah mengetahui dan memahami penyakit rhinitis atrofi sebagai salah satu penyakit dalam bidang ilmu Telinga Hidung dan Tenggorok dan bagi pembaca dapat mengembangkan lebih lanjut di kemudian hari.

1.5 Batasan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi dan fisiologi hidung, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosa, diagnosa banding, penatalaksaan, komplikasi dan prognosis dari penyakit rhinitis atrofi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior11. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan vibrise.

gambar 1 penampang hidung secara anatomical 2

2.2 Septum Nasi Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung. Bagian tulang terdiri dari11: 1. Lamina perpendikularis os etmoid Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan Krista gali. 2. Os Vomer Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi. 3. Krista nasiis os maksila Universitas Sumatera Utara Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasiis os maksila dan os palatina. 4. Krista nasiis os palatine Bagian tulang rawan9 terdiri dari 1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)

Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasi, lamina perpendikularis os etmoid, os vomer dan krista nasiis os maksila oleh serat kolagen. 2. Kolumela Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela. Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontsalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamentfilamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 2.3 Suplai Aliran Darah Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Littles area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior.9 Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior.9

gambar 2 peredaran darah hidung 2

2.4 Persarafan Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan sensori dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui kanalis insisivus.11

gambar 3 persarafan hidung 2

2.5 Sistem limfatik Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada limfe submaksilaris).9

BAB III PEMBAHASAN 3. Rinitis Atrofi 3.1 Definisi Atrophic rhinitis is a debilitating nasal mucosal disease of unknown etiology. It is characterized by progressive nasal mucosal atrophy, nasal crusting, fetor, and enlargement of the nasal space with paradoxical nasal congestion. Primary atrophic rhinitis has decreased markedly in incidence in the last century. This probably relates to the increased use of antibiotics for chronic nasal infection. Secondary atrophic rhinitis resulting from trauma, surgery granulomatous diseases, infection, and radiation exposure accounts for the majority of cases encountered by the rhinologist today. Excessive turbinate surgery has been both acquitted and accused in the literature as an etiology for secondary atrophic rhinitis. Rhinitis atrofi adalah penyakit yang melemahkan mukosa hidung dan etiologinya tidak diketahui. Hal ini ditandai dengan atrofi mukosa hidung progresif, pengerasan kulit hidung, bau mulut, dan pembesaran ruang hidung dengan hidung tersumbat paradoks. Rhinitis atrofi primer telah menurun tajam dalam insiden di abad terakhir. Ini mungkin berkaitan dengan peningkatan penggunaan antibiotik untuk infeksi hidung kronis. Sekunder atrofi rhinitis akibat trauma, penyakit granulomatosa operasi, infeksi, dan rekening paparan radiasi bagi sebagian besar kasus yang dihadapi oleh rhinologist saat ini. Berlebihan turbinate pembedahan telah dibebaskan baik dan dituduh dalam literatur sebagai etiologi untuk rhinitis atrofi sekunder7. Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena8.

3.2 Epidemiologi Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal).

3.3 Klasifikasi Klasifikasi Rinitis Atrofi dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis dan faktor penyebab5. Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson sebagai berikut5: 1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani dengan irigasi. 2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau. 3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang. Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas5: 1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae. 2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi. 3.4 Etiologi Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae5. Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 12% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak 1%. Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis atrofi4:

1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telah dilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap bersamanya. 2) Defisiensi besi dan vitamin A Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit ini. 3) Perkembangan Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi. 4) Lingkungan Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida. 5) Sinusitis kronik 6) Ketidakseimbangan hormon estrogen Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi. 7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun 8) Teori mekanik dari Zaufal 9) Ketidakseimbangan otonom 10) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS) 11) Herediter Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini. 12) Supurasi di hidung dan sinus paranasal 13) Golongan darah

3.5 Patogenesis Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri). Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. 3.6 Gejala Klinis Pemeriksaan fisik rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali dalam praktik sehari-hari. Tanda pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien di mana bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada hidung. Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah4 : obstruksi hidung (buntu) epistaksis pada pelepasan krusta bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria. sakit kepala 9

Faringitis sikka Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.

Tanda4 : foeter ex nasi krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung.

Di bawah ini merupakan contoh gambaran Rhinitis atrofi (ozaena) dengan rhinoskopi

gambar 4 Rhinitis atrofi (ozaena) 3

Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

10

3.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi3 : apusan hidung . radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus. test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. tes serologi yang lain : protein Serum. pemeriksaan Fe serum pemeriksaan darah rutin ANA dan anti-DNA antibodi. CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan

Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris. Pada CT scan dapat ditemukan : penebalan mukoperiosteum sinus paranasal kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid dan proses uncinate. hipoplasia sinus maksilaris pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung . resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior. 3.8 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung .

11

3.9 Diagnosis Banding Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut12 : 1. Rinitis atrofi sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas. 2. Sinusitis sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi. 3. Nasofaringitis kronis sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita 3.10 Penatalaksanaan Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta. Terapi Topikal Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya. Adapun bahan-bahan itu antara lain4: 1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

2. Larutan garam dapur 3. Campuran Na bikarbonat 28,4 g 12

Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus. Terapi Sistemik Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian. Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa. Terapi Bedah Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain4: 1. Operasi Young

13

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2. Operasi Young yang dimodifikasi Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3. Operasi Lautenschlager Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin. 5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Contoh gambaran dengan rhinoskopi yang merupakan hasil dari post operasi Rhinitis atrofi (ozaena) seperti pada gambar 5 di bawah ini

gambar 5 Rhinitis atrofi (ozaena) post operasi 3

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain: 1. Simpatektomi servikal 2. Blokade ganglion Stellata 3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

14

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung. 3.11 Prognosa Operasi dapat membantu perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

15

BAB IV RINGKASAN

1. Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena8. 2. Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. 3. Klasifikasi Rinitis Atrofi dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis dan faktor penyebab5. 4. Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah 4 : obstruksi hidung (buntu), epistaksis pada pelepasan krusta, bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria, sakit kepala, faringitis sikka, penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring. 5. Tanda4 :foeter ex nasi,krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam,pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan 6. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 7. Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut12 : Rinitis atrofi,sinusitis,nasofaringitis kronis 8. Penatalaksanaan dari rhinitis atrofi dapat dilakukan dengan terapi topical,sistemik dan pembedahan.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, Boeis higler, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi VI, Penerbit BukuKedokteran EGC, Hal : 221-222.3. 2. Anatomy of the nose for rhinoplasty surgery, nose job, Beverly Hills, Los Angeles http://www.rhinoplastynet.com/anatomy.html diakses tanggal 19 desember 2012

3. Anonim.Atrophic Rhinitis. [online] tersedia di URL: http://www.yasser-nour.com/atrophic-rhinitis.pdf. diakses tanggal 19 Desember 2012 4. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi, Cermin Dunia Kedokteran 2004;144: 5 7 D. http://id.scribd.com/doc/7493478/cdk009THT diakses tanggal 19 Desember 2012 5. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of Otolaryngology 2005 http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Atrophic-Rhinitis050330/Atrophic-Rhinitis-050330.pdf diakses tanggal 19 desember 2012 6. EllisH. Clinical anatomy. 11thed. [CD-ROM] Massachusetts : BlackwellPublishing; 2006. h. 159-161. 7. J. Gibb Wishart. The Disease Ozaena http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1585203/?page=1 diakses tanggal 19 Desember 2012

8. Mangunkusumo, Endang. Infeksi Hidung Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Jakarta, 2003 h. 110 114 9. ORAL & MAXILLO-FACIAL SURGERY http://oralmaxillofacialsurgery.blogspot.com/2010/05/nose-anatomy.html diakses tanggal 19 desember 2012

17

10.Peter A. H ilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.E disi keenam. Penerbit Buku KedokteranEGC. Jakarta, 1997. 11.Snell S, Ricard. Anatomi klinik edisi 3 diterjemahkan oleh Adji Darmana,Mulyani. Jakarta: EGC;1998. h. 113-4.

12.Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 24 http://id.scribd.com/doc/7492449/cdk008THT diakses tanggal 19 Desember 2012 13.Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restusti RD; editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher.Edisi keenam.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

14.Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci 2003;33: 405 407

18

Vous aimerez peut-être aussi