Vous êtes sur la page 1sur 20

SUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ENFISEMA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu yang harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998). Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji Widjaja 1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95% (Hadiarto, 1998). Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-

Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun 1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah satu bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema. Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien emfisema. 1.2 Rumusan Masalah 1. 1. 2. 2. Bagaimana konsep teori dari emfisema? Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui dan memahami definisi emfisema. 2. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema. 3. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema. 4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien dengan emfisema. 5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan emfisema. 6. Mengetahui dan memahami WOC dari emfisema. 7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari emfisema. 8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan emfisema.

1.4 Manfaat Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus emfisema. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Emfisema Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack society: 1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216). 2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253). 3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435). 4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962). Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu bukan termasuk emfisema. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai overinflation. Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.

Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah gelembunggelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru : 1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok. 2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar) Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih

banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995). 3. Emfisema Paraseptal Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan. PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. 2.2 Etiologi 1. Faktor Genetik Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin. 2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. 3. Rokok Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. 4. Infeksi Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.

5. Polusi Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. 6. Faktor Sosial Ekonomi Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek. 7. Pengaruh usia 2.3 Patofisiologi Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paruparu untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebsdan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok. Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah

pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas. Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus. 2.4 Komplikasi 1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan 2. Daya tahan tubuh kurang sempurna 3. Tingkat kerusakan paru semakin parah 4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas 5. Pneumonia 6. Atelaktasis 7. Pneumothoraks 8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien. 1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

2.5 Manifestasi Klinis Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. 2.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas: 1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, halhal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik. 2. Pencegahan a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas. c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus. 3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan: a. Pemberian Bronkodilator, Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 1015mg/L. Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama. b. Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan. c. Mengurangi sekresi mukus

Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin. 4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk : a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas. b. Memperbaiki efisiensi ventilasi. c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis 5. Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu: a. Gambaran defisiensi arter Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal. b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat. 2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. 3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. 4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1. a) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).

b)

Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan

apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator. c) d) e) f) g) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat menunjukkan emfisema.

bronkitis dan asma. dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis. h) i) j) k) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (asma). emfisema primer. pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi. (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema). l) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan. BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EMFISEMA Di sebuah Rumah Sakit di Surabaya Tanggal Pengkajian : 12 Novenber 2010 Identitas Klien Nama : Tuan A TTL : 17/11/1970 Jam 11.30 WIB

Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 40 tahun, 5 hari Pekerjaan : Buruh bangunan Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) / Ny.M Pekerjaan Istri : Ibu rumah tangga Alamat : Jl. Kedinding 78, Surabaya Agama : Islam Suku bangsa : Jawa Pendidikan terakhir : SD Pendidikan terakhir Istri : SD Diagnosa : Emfisema 3.1. Riwayat Sakit dan Kesehatan 1. 1. 2. 2. Keluhan Utama : sesak napas. Riwayat Penyakit Sekarang :

Tuan A tinggal bersama istri dan dua anaknya. Tuan A mengeluh sesak napas, batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas. Banyak sekret keluar ketika batuk, berwarna kuning kental. Tuan A tampak kebiruan pada daerah bibir dan dasar kuku. Tuan A merasakan sedikit nyeri pada dada. Tuan A cepat merasa lelah saat melakukan aktivitas. 3. Riwayat Penyakit dahulu : Tuan A selama 3 tahun terakhir mengalami batuk produktif dan pernah menderita pneumonia 4. Riwayat Keluarga : Tidak Ada

3.2. Observasi dan Pemeriksaan Fisik 1. 2. Keadaan Umum : Baik, Kesadaran Kompos Mentis Tanda-Tanda Vital : S N TD : 37,40C :102 x/mnt :130/80 mmHg

RR

: 30 x/mnt

3.3. Review of System 1. Pernafasan B1 (breath) Bentuk dada : barrel chest Pola nafas : tidak teratur Suara napas : mengi Batuk : ya, ada sekret Retraksi otot bantu napas : ada Alat bantu pernapasan : O2 masker 6 lpm 2. Kardiovaskular B2 (blood) Irama jantung : regular; S1,S2 tunggal. Nyeri dada : ada, skala 6 Akral : lembab Tekanan darah: 130/80 mmHg (hipertensi) Saturasi Hb O2 : hipoksia 3. Persyarafan B3 (brain) Keluhan pusing (-) Gangguan tidur (-) 4. Perkemihan B4 (bladder) Kebersihan : normal Bentuk alat kelamin : normal Uretra : normal 5. Pencernaan B5 (bowel) Nafsu makan : anoreksi disertai mual BB : menurun Porsi makan : tidak habis, 3 kali sehari Mulut : bersih Mukosa : lembab 6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone) Turgor kulit : Berkeringat Massa otot : menurun

3.4 Pengkajian Psikologi dan Spiritual Klien kooperatif, tetap rajin beribadah dan memohon agar penyakitnya bisa disembuhkan. 3.5 Pemeriksaan Penunjang a) Sinar x dada: Xray tanggal 12 November dengan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma). Kesimpulan : emfisema paru. b) c) d) pO2 : 75 mmHg () pCO2 : 50 mmHg () SO3 : 100%

Analisa Data No 1. Data DS: Klien mengeluh sesak napas DO: a) b) c) pO2 : 75 mmHg () pCO2 : 50 mmHg () SO3 : 100% Defisiensi enzim alfa-1antitripsin, enzim protease Inflamasi Elastisitas paru Destruksi jaringan paru Etiologi Infeksi / pneumonia Polusi Usia Ekonomi rendah Merokok Masalah Gangguan pertukaran gas

menurun

Pelebaran ruang udara di dalam paru (bronkus terminal menggembung) CO2 meningkat / udara terperangkap dalam paru 2. DS : Klien mengeluh berat saat bernapas DO : napas RR : 30 x/menit Retraksi otot bantu
-

Sesak RR > 20 x/menit CO2 O2 hiperkapnia hipoksia Pola napas tidak efektif

Gangguan pertukaran gas

Destruktif kapiler paru Penurunan perfusi O2 -Sianosis Penurunan perfusi jaringan perifer

3. Penurunan ventilasi Peningkatan upaya menangkap O2 4. Peningkatan RR Retraksi otot bantu napas

DS : Klien mengeluh adanya rasa penuh di tenggorokan DO : Produksi sekret Sesak (dyspnea) Nyeri dyspnea Reflek batuk menurun DS : Klien selalu mengeluh kelelahan dan lemas DO ; RR meningkat setelah Cepat lelah saat Perfusi jaringan perifer menurun Ventilasi menurun melakukan aktivitas beraktivitas Ronchi Sekret tertahan meningkat karena klien tidak bisa batuk efektif. ronchi Ditemukan suara napas Pola napas tidak efektif

Bersihan jalan napas tidak efektif

Intoleransi aktivitas

Upaya menangkap O2 meningkat

RR meningkat Retraksi otot bantu napas

Kelelahan

Intoleransi aktivitas 3.6 Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli yangreversible. 2. Pola pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli. 3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen. 3.7 INTERVENSI

No. Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil 1. Gangguan pertukaran 1. Pertukaran gas pasien gas berhubungan kembali normal dengan kerusakan 2. Tidak terjadi perubahan alveoli yangreversible fungsi pernapasan. 3. Pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan. 4. Pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas. 5. PCO2 , PO2, dan SO2normal 6. Lakukan latihan pernapasan dalam dan tahan sebentar untuk membiarkan diafragma mengembangkan secara optimal. 7. Posisikan pasien dengan posisi semi fowler agar pasien bisa melakukan respirasi dengan sempurna. 8. Kaji adanya nyeri dan tanda vital berhubungan dengan latihan yang diberikan.

Intervensi

1. Ajari pasien tentang teknik penghematan energi. 2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi tug tugas yang bisa diselesaikan.

1. Kolaborasi : Berikan oksigen se indikasi Berikan penekan S (anti ansietas sedatif atau narkotik) denga hati-hati sesuai indik

2.

Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan ventilasi alveoli

1. Tidak terjadi perubahan dalam frekuensi pola pernapasan. 2. Tekanan nadi (frekuensi, irama, kwalitas) normal. 3. Pasien memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru. 4. Pasien menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui. 5. Pastikan pasien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. 6. Alihkan perhatian pasien dari pemikiran tentang keadaan ansietas (cemas) dengan meminta pasien mempertahankan kontak mata dengan perawat.

1.

Latih pasien napas perlahan-lahan, bernapas lebih efekt

1. Jelaskan pada pasien bahwa dia dapat mengatasi hipervent melalui kontrol pernapasan secara sadar. 2. Kolaborasi:

Pemberian obat-obatan sesu indikasi dokter (ex. bronkodilator)

3.

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya sekret atau produksi mukus.

Mengatasi masalah ketidakefektifan jalan napas

Sekret encer dan jalan napas bersih

1. Berikan posisi yang nyaman (fowler/ sem fowler)

1. Anjurkan untuk min air hangat 2. Bantu klien untuk melakukan latihan b efektif bila memungkinkan 3. Lakukan suction bila diperlukan, batasi

4.

5. 6.

7. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen. 1. Pasien bernafas dengan efektif. 2. Mengatasi masalah intoleransi aktivitas pada pasien 1. Pasien bisa mengidentifikasi kan faktor-faktor yang Menurunkan toleransi aktivitas. 2. Pasien memperlihatkan kemajuan, khususnya dalam hal mobilitas.

lamanya suction kur dari 15 detik dan lakukan pemberian oksigen 100% sebel melakukan suction Pasien lebih nyaman karena dapat memba kelancaran pola nafasnya Air hangat dapat mengencerkan sekre Batuk efektif akan membantu mengeluarkan sekre Jalan nafas bersih.

1. Ukur tanda vital saa istirahat dan segera setelah aktivitas sert frekuensi, irama dan kualitas. 2. Hentikan aktifitas bi respon klien : nyeri dada, dyspnea, vertigo/konvusi, frekuensi nadi, pernapasan, tekanan darah sistolik menur 3. Meningkatkan aktifi secara bertahap.

1. Ajarkan klien metod penghematan energi untuk aktifitas. ubah posisi setiap 2 samp jam 2. Mengakaji periode istirahat 3. Mendapatkan tanda vital pasien normal, baik saat istirahat ataupun setelah beraktifitas. 4. Masalah intoleransi

aktivitas pada pasien dapat teratasi untuk mengukur tingkat/kualitas nyer guna intervensi selanjutnya
3.8 Implementasi Lakukan tindakan sesuai dengan intervensi yang akan diberikan. 3.9 Evaluasi 1. Diagnosa 1 : a. Pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan b. Pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas. 2. Diagnosa 2: a. Pasien memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru. b. Pasien menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui. 3. Diagnosa 3: Sekret encer dan jalan napas bersih 4. Diagnosa 4: a. Pasien bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas. b. Pasien memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas. c. Pasien memperlihatkan turunnya tanda-tanda 3.10 WOC Emfisema DOWNLOAD : WOC EMFISEMA BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai berikut : 1. Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

2. Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar), Emfisema Paraseptal. 3. Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.

3.2 Saran Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, halhal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Baughman,D.C& Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 Mills,John& Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi.Surabaya : RSUD Dr.Soetomo Nurhayati.2010.(online). http://ksupointer.com/2010/emfisema-bisa-timbulkan-kematian. diakses pada tanggal 15 November 2010 Flyfreeforhelp.2010.(online). http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/22/27/306051/search.html. diakses pada tanggal 15 November 2010 ,2010.(online).http://www.soft-ko.co.cc/2010/10/emfisema_06.html. diakses pada tanggal 19 November 2010

Vous aimerez peut-être aussi