Vous êtes sur la page 1sur 8

LEUKEMIA AKUT PADA ANAK

Pendahuluan Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal serta mengganggu fungsi sel darah yang lain.1 Leukemia merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak yang meliputi sepertiga dari seluruh keganasan pada anak.1,2 Insiden puncak terjadi pada usia 2-5 tahun. Tujuh puluh lima persen dari leukemia akut pada anak adalah leukemia limfoblastik akut (LLA).2 Insidennya di Indonesia berkisar antara antara 2,5 sampai 4 kasus baru per 100.000 anak dengan jumlah kasus baru berkisar antara 2.000 - 3200 per tahun.3 Penderita LLA pada anak umumnya mengalami gejala yang bervariasi dan tidak spesifik, namun dapat dijumpai satu atau lebih dari gejala berikut: pucat, mudah lelah, letargi, demam, perdarahan, mudah memar, infeksi, pembesaran kelenjar getah bening, distensi abdomen, nyeri tulang, atralgia, dan kelainan melangkah (gait) atau tidak bisa berjalan, gejala ini biasanya muncul pada 2 sampai 6 minggu sebelum diagnosis.4,5 Demam merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien LLA (60%), diikuti letih dan lemah (50%), penurunan berat badan (26%), pucat (25%) dan nyeri tulang (23%). 6 Pasien pada kasus ini dengan gejala perdarahan spontan pada gusi dan lebam pada kulit; pembengkakan masa di leher, ketiak dan lipat paha; pucat dan demam berulang dan tidak ditemukan nyeri tulang ataupun sendi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien anemis, terdapat perdarahan subkonyungtiva kiri dan kanan, perdarahan pada gusi, dan hematoma pada kulit; terdapat pembesaran kelenjar linfe leher, aksila dan inguinal; dan terdapat hepatosplenomegali. Pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada leukemia adalah anemia, leukopenia/leukositosis, trombositopenia dan ditemukannya sel blast di darah perifer. Pada kasus ALL dapat terjadi hiperleukositosis, 20% pasien mencapai jumlah leukosit >100.000/ul.1,7 Walaupun keberadaan sel blast pada sediaan darah tepi, ditunjang anemia dan trombositopenia menguatkan diagnosis LLA, tetapi diagnosis definitif harus berdasarkan aspirasi atau biopsi sumsum tulang.6 Klasifikasi leukemia ditegakkan berdasarkan

gambaran hasil BMP dengan menggunakan klasifikasi menurut French, American, British (FAB). Setelah ditegakkan diagnosis dengan BMP, pungsi lumbal dan analisis cairan serebrospinal dilakukan untuk menilai keterlibatan SSP. Keterlibatan susunan saraf pusat 1

(SSP) ditemukan kurang dari 5% pada waktu diagnosis ditegakkan.6 Rontgen torak juga harus dilakukan untuk melihat adanya keterlibatan kelenjar di mediastinum.1,7 Pada pasien ini dari pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia, hiperleukositosis dengan leukosit 287.300/mm3, trombositopenia, dan ditemukan sel limpoblast 79 %, dan pasien didiagnosis kerja dengan leukemia akut dengan hiperleukositosis. Selanjutnya dilakukan aspirasi sumsum tulang dengan hasil gambaran dominasi limpoblast patologik, limpoblast homogen, anak inti tidak tegas dan seri lain tertekan dengan gambaran leukemia limpoblastik akut FAB tipe L1. Dari pemeriksaan LCS tidak ditemukan infiltrasi sel blast. Berdasarkan temuan tersebut ditegakkan diagnosis LLA FAB L1, dengan hiperleukositosis. Dari pemeriksaan penunjang rontgen thorak didapatkan kesan adanya massa mediastinum. Penyebab leukemia sampai saat ini belum dapat diketahui, diduga disebabkan adanya mutasi genetik.8 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian leukemia pada anak, diantaranya adalah cacat genetik, paparan paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi, penggunaan mariyuana/alkohol maternal, radiasi dosis tinggi, tinggal dibawah listrik tegangan tinggi, infeksi virus dan atau bakteri, ataupun sekunder karena kemoterapi.1,5 Penyebab terjadinya leukemia pada pasien ini tidak diketahui. Dari beberapa faktor risiko yang dicurigai dapat menyebabkan leukemia tidak ditemukan pada pasien ini. Berdasarkan faktor prognostik, LLA digolongkan dalam kelompok risiko standard an risiko tinggi berdasarkan usia, jumlah leukosit awal, fenotip imunologis, jenis kelamin, respon terhadap terapi dan kelainan jumlah kromosom. Kelompok risiko tinggi adalah jumlah leukosit awal > 50.000 uL, usia di bawah 18 bulan dan di atas 10 tahun, jenis kelamin lakilaki, leukemia sel B (L3 pada klasifikasi FAB), dan adanya sisa blast pada sum-sum tulang setelah 7 sampai 14 hari terapi.1 Pasien ini dengan hiperleukositosis dengan leukosit pada saat diagnosis LLA 287.000/mm3, sehingga pasien ini dikategorikan risiko tinggi. Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan suportif. Pengobatan kuratif berupa kemoterapi dengan tujuan utama menghancurkan sel-sel leukemia sehingga sum-sum tulang kembali berfungsi normal. Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan.9 Pemilihan regimen kemoterapi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor risiko pada pasien. Risiko tinggi adalah bila ditemukan: leukosit awal >50.000/uL, adanya pembesaran kelenjar mediastinum, adanya keterlibatan susunan saraf pusat, usia yang kurang dari 18 bulan atau lebih dari 10 tahun.1,7 Pada pasien ini ditemukan adanya hiperleukositosis, dan terdapat pembesaran kelenjar mediastinum,

sehingga pasien ini dengan risiko tinggi. Protokol terapi yang dipakai adalah Indonesia protocol ALL high risk 2006, dan saat ini dalam fase induksi. Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai dan pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik jika diperlukan, pemberian profilaksis infeksi Pneumocystis carinii nutrisi, yang baik dan pendekatan aspek psikososial.1 Hiperleukositosis merupakan keadaan emergensi onkologi yang memerlukan inisiasi terapi segera. Kejadiannya pada leukemia akut anak diperkirakan 5-20 %. Mortalitasnya cukup tinggi yaitu 20-40 %. Meskipun hiperleukositosis lebih sering terjadi pada ALL anak, leukostasis klinis lebih sering terjadi pada AML, terutama pada tipe M4-M5.. Gejala klinis dari hiperleukositosis pada penderita ALL umumnya terdapat pada hitung leukosit lebih dari 400.000-500.000/mm3. Stasis sel leukemia dalam pembuluh darah dan migrasi sel blast ke dalam jaringan dapat menyebabkan stasis yang nyata. Tanda-tanda abnormalitas metabolik dan gejala paru dan neurologis mulai dari yang ringan sampai berat dapat menyertai temuan awal hiperleukositosis. Gejala klinis leukostasis akibat hiperleukositosis tergantung pada organ dan system yang dikenai, meskipun gejala pernafasan dan neurologis yang paling sering diamati, keterlibatan organ yang lain juga dilaporkan. Akibat hiperleukositosis yang dilaporkan adalah gagal ginjal, papil edem, infark miokard akut, dan gagal jantung.10 Pada saat awal diagnosis, pasien ini dengan hiperleukositosis, dan namun tidak ditemukan gejala klinis akibat hiperleukositosis Tatalaksana definitif hiperleukositosis adalah inisiasi kemoterapi induksi segera setelah diagnosis ditegakkan. Tatalaksana didahului dengan hidrasi intravena, alkalinisasi urin, dan pemberian alopurinol yang merupakan standar klinik untuk tatalaksana inisial segera untuk hiperleukositosis akut pada leukemia yang telah dilakukan selama bertahuntahun. Pada penelitian kohort oleh Basade et al 1995 dilaporkan bahwa terdapat penurunan hitung leukosist pada 81,5 % dengan hidrasi intravena, alkalinisasi urin dan pemberian alopurinol.10 Pada pasien ini telah dilakukan tatalaksana hiperhidrasi selama 24 jam, dalam pemantauan dan hiperhidrasi berhasil menurunkan hitung leukosit dari 287.000/mm3 menjadi 26.400/mm3 setelah dilakukan tatalaksana hiperhidrasi, dan tidak ditemukan gejala dan tanda dan gejala tumor lysis sindrom. Obat kemoterapi memiliki banyak efek samping. Pasien harus dipantau dengan baik untuk mencegah toksistas dan komplikasi pengobatan dini. Toksistas dapat berupa kardiotoksistas, toksisitas pada ginjal, hat dan syaraf. Juga dapat timbul depresi sum-sum

tulang dan alopesia. Perlu dilakukan pemantauan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, EKG dan ekokardiografi secara berkala untuk pemantauan efek samping.11 Komplikasi pengobatan kemoterapi bisa terdapat pada saat diagnosis dan selama pengobatan. Pada saat diagnosis, masalah klinis utama adalah hasil gangguan metabolik sekunder terhadap lisis sel leukemia, kerusakan hemapoisis yang mendahului hitung darah abnormal periver dan infiltrasi organ non hemapoitik. Awal kemoterapi dapat mengeksaserbasi isu ini dan menyebabkan masalah tambahan, termasuk mielosupresi, peningkatan risiko infeksi dan toksisitas mukosa.7 Penghancuran yang cepat sel leukemia pada saat permulaan kemoterapi meneyebabkan pelepasan isi intrasel, terutama pada pasien dengan hitung leukosit yang tinggi. Resultan gangguan metabolik termasuk hiperkalemia, hiperurisemia, hiperphospatemia, dan hipokalsemia. Pasien dengan hiperurisemia merupakan risiko untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat deposisi kristal asam urat di ginjal.11 Pasien yang mendapat kemoterapi memiliki risiko lebih tinggi akan terjadinya pneumonia Pnumocystis carinii. Pemberian profilaksis dengan kotrimoksazole dapat menurunkna risiko tersebut. Sutau penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotrimoksazole menurunkan frekuensi bakterimia dan episode demam pada ank leukemia dengan granulositopenia yang menjalani kemoterapi fase induksi.12 oleh karena itu pasien ini diberikan kotrimoksazole, 3 hari setiap minggu selama fase induksi. Neutropenia merupakan suatu kondisi dimana berkurangnya jumlah neutrofil pada sel darah. Tingkat keparahan neutropenia dibagi atas 3 tngkatan yaitu ringan bila hutung neutrofil 1000-15000 sel/mm3, sedang bila 500-100 sel/mm3, berat bila hitung neutrofil kurang dari 500 sel/mm3, dan sangat berat bila kurang dari 200 sel/mm3. Kemoterapi dapat mengakibatkan keadaan netropenia saja tanpa demam, tetapi juga dapat mengakibatkan demam netropenia bila dicetus oleh infeksi maupun tanpa infeksi. Penanganan terhadap pasien neutropenia adalah komplek yaitu diperlukan kecermatan dalam mengevaluasi ada atau tidaknya episode demam dan gejala lainnya,. Pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta terapi yang tepat.13 Evaluasi pasien dengan neutropenia harus menyeluruh. Pada tingkat yang berat manifestasi klinis yang dijumpai adalah demam tinggi, gelisah, lesi nekrosis dan ulseratif pada orofaring dan hidung, kulit, gastrointestinal, vagina dan uterus serta dapat terjadi septikemia.2,13 Pada netropenia harus dilakukan pemeriksaan pemeriksaan darah lengkap, dan dilakukan kultur darah dan urin bila dijumpai demam dan segera diberikan antibiotik spektrum luas.14 Bila dijumpai tanda dan gejala saluran pernafasan dapat dilakukan foto thorak.15

Penyebab terbanyak terjadinya imunoinkompeten didapat pada anak adalah penggunaan kemoterapi. Terdapat hubungan antara jumlah netrofil yang rendah dan risiko infeksi yang berat. Risiko infeksi ini berkaitan dengan lansung dengan berat dan lamanya neutropenia, bukan terhadap penyakit yang mendasarinya. Pada pemantauan pemberian kemoterapi terdapat penurunan jumlah netrofil pada pasien, yang pada awalnya dengan hiperleukositosis, setelah pemberian kemoterapi metrotreksat terdapat penurunan jumlah netrofil menjadi 1000/mm3 dan juga terdapat klinis demam pada pasien, tetapi tidak ditemukan fokus infeksi. Pada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Selanjutnya dilakuan kultur darah dan urin. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan diri. Penyakit kanker bagi orangtua merupakan hal yang menakutkan, dan biasanya mula-mula terdapat penolakan keadaan ini, apalagi dengan prosedur pemeriksaan yang menimbulkan rasa nyeri yang akan dihadapi anaknya. Sedangkan pada anak, reaksinya tergantung dengan tingkat umur ketika gejala penyakit muncul, pada anak usia sekolah mereka biasanya akan bertanya secara konkrit tentang penyakitnya, apalagi prosedur

pemeriksaan yang akan dihadapi yang menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan stress pada anak. Keadaan ini perlu pendekatan yang memberikan informasi dan memberikan pemahaman tentang penyakit anaknya dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan, tatalaksana yang akan diberikan, termasuk masalah pembiayaan, serta kemungkinan prognosis penyakit anaknya selanjutnya. Penanganan ini memerlukan pendekatan psikososial yang professional dari tim perawatan anak baik untuk orang tua maupun bagi anaknya.16 Pada kasus ini pada awalnya orangtua belum menerima kemungkinan penyakit kanker darah dan prosedur pemeriksaan pada anaknya, namun setelah dilakukan pendekatan dan diberikan informasi dan pemahaman tentang penyakit anaknya, orang tua mulai mengerti dan mau melakukan prosedur pemeriksaan, dan mengikuti pengobatan. Pada anak pun diberikan pendekatan psikososial dan diberi pemahaman tentang penyakitnya. Tim hemato-onkologi multidisiplin seharusnya mengembangkan perencanaan perawatan nutrisi bagi tiap-tiap pasien. Tujuan support nutrisi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meminimalkan atau mencegah komplikasi seperti infeksi dan gagal tumbuh; memperbaiki asupan nutrisi dapat membantu mempromosikan kehidupan yang lebih baik. Status nutrisi dasar harus dibuat, termasuk kebiasaan makan dan beberapa masalah kelebihan makanan oleh keluarga.17 Anak-anak dengan LLA sekarang dengan long-term survival yang lebih baik, dengan survival rate > 80 % pada 5 tahun diagnosis.5 Faktor prognostik yang paling penting adalah 5

adalah pilihan untuk mengarahkan terapi yang tepat., dengan tipe regimen pengobtan dipilih berdasarkan tipe ALL, stage penyakit, usia pasien, dan rate respon terhadap terapi inisial. Kelainan karies gigi pada anak merupakan kejadian yang sering dijumpai. Pada anak ini tatalaksana termasuk higine gigi dan mulut. Perawakan pendek pada pasien ini dapat terjadi akibat beberapa faktor antara lain faktor familial, karena secara anamnesis, juga ditemukan riwayat pendek pada keluarga, namun biasanya usia tulang normal, pertumbuhan selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan tumbuh belum dapat ditentukan saat ini dan tinggi akhir berada di bawah persentil 3. Kemungkinan lain juga dapat terjadi seperti Constitutional Delay of Growth and Development (CDGP) atau gabungan keduanya. Perawakan pendek yang terjadi akibat CDGP biasanya merupakan variasi normal dari populasi. Biasanya juga terjadi keterlambatan pubertas seperti halnya pertumbuhan. Karakteristiknya ditandai dengan perawakan pendek yang moderat (tidak terlalu jauh di bawah persentil 3), tampak agak kurus dan retardasi pada usia tulang (> 2 tahun, <3 tahun), pertumbuhan linear normal atau hampir normal pada saat prapubertas dan selalu berada di bawah persentil 3, tinggi akhir biasanya normal. Ditemukan riwayat keterlambatan onset pubertas pada kedua atau salah satu orangtua.18-21 Pada pasien ini, tinggi badan berada berada di bawah persentil 3 populasi, namun masih berada dalam garis potensi tinggi genetik, upper lower segmen ratio masih dalam batas normal, usia tulang belum dapat dinilai karena pemeriksaan bone age belum dilakukan, onset pubertas orangtua tidak diketahui, kemungkinan CDGP atau genetic short stature maupun familial short stature masih mungkin pada pasien ini. Diperlukan pemantauan pertumbuhan (berat badan dan tinggi badan) selanjutnya serta pemeriksaan bone age untuk membedakan penyebab perawakan pendek pasien ini. Penyakit kronik/keganasan sendiri dapat menghambat pertumbuhan anak.18-21 Penangan pada penyakit kanker membutuhkan biaya yang sangat besar, yaitu untuk tatalaksana penyakit pasien dan biaya penunggu untuk rawat inap yang lama. Orangtua pasien merupakan kelompok masyarakat tidak mampu, tapi belum mendapatkan asransi kesehatan untuk masyarakat miskin. Saat ini keluarga melakuakn pengurusan asuransi kesehatan masyarakat miskin. Pasien sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap dan belum pernah mendapat boster kecuali imunisasi di sekolah saat program BIAS dilakukan ataupun imunisasi non PPI. Anak yang belum mendapatkan imunisasi terhadap penyakit tertentu tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Anak yang belum mendapatkan imunisasi tertentu namun telah berada diluar usia yang tertera pada jadwal imunisasi, tetap 6

harus diberikan imunisasi sebelum anak terkena penyakit tersebut. Penekanan respon imun (imuokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imunkongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, linfoma, pasien dengan pengobatan alkilating enzim, anti-metabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan transplatasi tulang.22 Pada pasien keganasan dengan penekanan system imun tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak mengontrolnya. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan. Vaksinasi dengan mikroorganisme mati dapat diberikan. Prognosis pasien dengan LLA ditentukan oleh banyak faktor. Faktor utama adalah jumlah leukosit dan usia saat diagnosis ditegakkan, fenotip imunologis, nilai prognostik jenis kelamin dimana perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, dan respon terhadap terapi.1 Leukosit yang tinggi akan memberikan prognosis yang kurang baik karena mortalitasnya cukup tinggi yaitu 20-40 %.10 Kadar hemoglobin saat diagnosis juga menentukan prognosis, anemia ringan akan member prognosis yang baik, sedangkan anemia berat membuat prognosis yang jelek.15 Prognosis untuk kehidupannya pada pasien ini mungkin kurang baik karena pasien termasuk kelompok risiko tinggi dengan hiperleukositosis dan untuk kesehatannya juga kurang baik karena masih mungkin terjadi kekambuhan pasca kemoterapi pada pasien. Daftar Pustaka 1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. In: Permono B, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti E, Abdulsalam M, eds. Buku ajar Hematologi-onkologi anak. Jakarta: BPIDAI; 2010:237-47. 2. Lanzkowsky. Leukemia. In: Manual of pediatric hematology and oncology. 4th ed. USA: Elsevier academic press; 2005:415-50. 3. Mostert S, Sitaresmi MN, Gundi CM, Sutaryo, Veeman AJP. Influence of sosioeconomic status on childhood acute lympoblastic leukemia treatment in Indonesia. Pediatrics 2006;118(6):1600-6. 4. Smith OP, Hann IM. Clinical features and therapy of lympoblastic leukemia. In: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP, eds. Pediatric hematology. edisi ke-3 ed. London: Blackwell; 2006:450-80. 5. Bleyer DGTA. The leukemia. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson textbook of Pediatric. Edisi ke-18 ed. Philadelphia: Saunder Elsevier; 2007. 6. Esparza SD, Sakamoto KM. Topics in pediatric leukemia Acute lymphoblastic leukemia. MedGenMed 2005;7(1):23-38.

7. Silverman LB. Acute Lymphoblastic leukemia. In: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG, eds. Oncology of Infancy and Childhood. pertama ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009:297-330. 8. Pui CH, Relling MV, Downing JR. Acute lymphoblastic leukemia, mechanism of disease. NEJM 2004;350:1535-48. 9. Wood AJJ. Acute lymphoblastic leukemia. NEJM 1998;339:605-15. 10. Mullen E, Wangboo J, Vrooman LM. Oncologic emergencies. In: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG, eds. Oncology of Infancy and Childhood. pertama ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009:297-330. 11. Spareboom A, Evans WE, Baker SD. Chemotherapy in Pediatric patient. In: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG, eds. Oncology of infancy and childhood. pertama ed. Philadelphia: Saunder Elsivier; 2009:175-208. 12. Kovatch AL, Wald ER, Albo VC, et al. Oral trimetoprin/sulfametoksazole for prevention of bacterial infection during induction phase of cancer chemotherapy in children. Pediatrics 1985;76(5):745-60. 13. Kannagara S. Management of febril neutropenia. Community oncology 2006;3:585-59. 14. Koh AY, Pazzo PA. Infectious Disease in Pediatric Cancer. In: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG, eds. Oncology of infancy and childhood. pertama ed. Philadelphia: Saunders Elsivier; 2009:1099-120. 15. Mangolin JF, Steubeur CP, Poplack DG. Acute lympoblastic leukemia. In: Pizzo PA, Poplack DG, eds. Principles and practice of pediatric onncology. Edisi ke-4 ed. Philadelphia: Lipincott William & Wilkins; 2002:489-544. 16. Kenney LB, Diller L. Psycohosocial care of children and family. In: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG, eds. Oncology of Infancy and Childhood. pertama ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009:297-330. 17. Puntis JWL. Hemato-oncology. In: Koletzko B, Cooper P, Makrides M, Garza C, Uauy R, Wang W, eds. Pediatric Nutrition in Practice. 1 ed. Munich: S. Karger; 2008:244-7. 18. Kemp SF. Disorders of Growth. In: Sarafoglou K, Hoffmann GF, Roth KS, eds. Pediatric endocrinology and inborn errors of metabolism. edisi ke-2 ed. New York: McGrawHill Medical; 2009:441-76. 19. Styne D. Growth. In: Gardner D, Shoback D, eds. Greenspans Basic and Clinical Endocrinology. edisi ke-8 ed. San Francisco: Medical Mc Graw Hill; 2006:171-208. 20. Batubara JR, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan gangguan pertumbuhan. In: Batubara JR, AAP BT, Bulungan AB, eds. Buku ajar endokrinologi anak. Jakarta: BK IDAI; 2010:19-42. 21. Patel L, Clayton PE. Normal and disordered growth. In: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, eds. Blackwell Publishing. edisi ke-5 ed. Philadelphia: Clinical Pediatric Endocrinology; 2005:90-112. 22. Siregar SP. Imunisasi bayi berisiko. In: Ranuh IGN, Hariyono S, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, eds. Pedoman imunisasi di Indonesia Edisi ke-3 ed. Jakarta: BP IDAI; 2008:305-14.

Vous aimerez peut-être aussi