Vous êtes sur la page 1sur 23

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK XI RESPIRASI SKENARIO 3 ASMA BRONKIALE

Oleh Kelompok 12: Adiptya Cahya M. Alifiana J. Aulia Nadhiasari Cakradenta Y.P. Evi Kusumawati Hanni Wardhani (G0011004) (G0011012) (G0011046) (G0011056) (G0011088) (G0011104) Moch. Fairuz Z. Ni Kadek Ayu S.S. Gemala R.R. Silvia Putri K. (G0011140) (G0011148) (G0011100) (G0011198)

Rizqy Qurrota A.A. (G0011184)

Tutor: Sinu Andhi Yusuf, dr.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan, namun tidak sedikit yang menjadi berat dan dapat mengganggu aktivitas. Pembahasan terlebih lanjut terhadap penyakit asma sangat diperlukan untuk dapat mengetahui mekanisme terjadi dan penyebab asma sehingga dapat dilakukan upaya preventif serta mencari penatalaksanaan yang paling tepat untuk meringankan beban pasien. Skenario ketiga pada Blok Respirasi kali ini bertopik asma, sebagai berikut : Seorang perempuan usia 30 tahun datang ke IGD dengan serangan asma akut. Sesak napas berbunyi "ngik-ngik" (mengi) sering dialami sejak umur 14 tahun, terutama bila dingin. Hampir setiap malam pasien terbangun dari tidurnya karena batuk dan dada terasa berat. Pasien mendapat obat inhaler rutin, tetapi pasien sering lupa memakainya. Ayahnya seorang penderita asma. Dokter IGD melakukan pemeriksaan peakflow untuk menilai derajat serangan akut kemudian memberikan terapi bronkodilator dengan nebulizer. Pasien pernah menjalani pemeriksaan spirometri untuk menilai kemajuan pengobatan. Pada skenario di atas, permasalahan yang nampak sebagai masalah utama yaitu asma. Diskusi ini selanjutnya akan membahas lebih dalam mengenai asma, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, mekanisme metabolik yang terkait, penatalaksanaan, dan beberapa hal lain terkait dengan skenario. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana etiologi dan epidemiologi dari asma bronkiale? 2. Apa saja manifestasi klinis yang ditimbulkan asma bronkiale? 3. Bagaimana patologi dan patofisiologinya? 4. Bagaimana langkah diagnosis asma bronkiale? 5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale?

C. Tujuan 1. Menjelaskan etiologi dan epidemiologi asma bronkiale. 2. Menjelaskan manifestasi klinis asma bronkiale. 3. Menjelaskan patologi dan patofisiologi asma bronkiale. 4. Menjelaskan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis. 5. Menjelaskan penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale. D. Hipotesis Berdasarkan skenario di atas, kemungkinan perempuan tersebut menderita asma bronkiale.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESEPTOR ADRENERGIK Reseptor ini terdiri dari dua jenis: 1. Reseptor adrenergik , yang terdiri dari R1 dan R2 Reseptor 1 terdapat pada otot polos (pembuluh darah, saluran kemihkelamin, dan usus) dan jantung. Reseptor 2 terdapat pada ujung saraf adrenergik, sel efektor di berbagai jaringan (otak, otot polos pembuluh darah, sel pankreas, dan trombosit). 2. Reseptor adrenergik , yang terdiri dari R1, R2, dan R3 Reseptor 1 terdapat pada sel otot jantung dan sel-sel jugstagromeruler. Reseptor 2 terdapat pada otot polos (bronkus, pembuluh darah, saluran cerna, uterus, dan saluran kemih), otot rangka, dan hati, sedangkan reseptor 3 ditemukan pada sel lemak. Untuk efek kerja yang ditimbulkan, dapat dilihat pada tabel berikut: G protein Transduksi sinyal Reseptor 1 Reseptor 2 Gq Gi - Produksi DAG - Menghambat dan IP3 - Mobilisasi Ca++ - Aktivasi kinase C Efek selular - Eksitasi neuron - Vasokonstriksi - Bronkokonstriksi adenilat siklase kanal K+ - Menghambat pelepasan NE Protein - Mengaktivasi Reseptor 1 Gs - Mengaktivasi adenilat siklase - Aktivasi Prot. Reseptor 2 Gs - Mengaktivasi adenilat siklase - Aktivasi Protein Kinase A

Kinase A - Meningkatkan - Bronkorelaksasi kekuatan dan - Vasodilatasi kecepatan denyut jantung - Lipolisis - Tremor - Glikogenolisis - Menghambat pelepasan histamin

Keterangan tabel : Gi = G inhibisi

Gs = G simulasi DAG = diasilgliserol IP3 = Inositol trifosfat Sesuai dengan skenario kali ini, yang akan kami bahas lebih lanjut adalah reseptor 2. Semua reseptor berhubungan dengan enzim adenilsiklase, yang mengubah ATP menjadi siklik AMP, melalui protein G simulasi (Gs). Aktivasi reseptor menstimulasi enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel efektor meningkat. Siklik AMP akan berikatan dengan reseptornya, yaitu protein kinase A. Ikatan ini akan mengaktifkan enzim tersebut, yang selanjutnya akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein seluler dan menimbulkan berbagai efek adrenergik . Protein Gs juga dapat secara langsung mengaktifkan kanal Ca++ pada membran sel otot jantung. Pada otot polos, stimulasi reseptor 2 menimbulkan relaksasi otot melalui peningkatan siklik AMP intrasel, yang diikuti dengan proses fosforilasi dan penurunan kadar Ca++ intrasel, mekanismenya yang pasti belum diketahui (Setiawati dan Gan, 2011). 2-agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma bronkial. Obat yang termasuk ke dalam golongan 2-agonis selektif antara lain metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol, formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor 2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor 1. Tetapi, bila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini hilang (Setiawati dan Gan, 2011). B. KORTISOL Kortrisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang disintesa pada zona fasikulata dapat mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid serta berbagai fungsi fisiologis lainnya. Sintesis steroid adrenal bermula dari asetat atau kolesterol dan bergerak melalui beragam langkah-langkah enzimik ke pembentukan glukokortikoid. Jalan reaksi menyangkut sintesis permulaan kolesterol yang setelah terjadi pembelahan dan oksidasi serangkaian rantai samping, diubah menjadi A-

pregnenolon. Kortek adrenal mengandung relatif banyak kolesterol, sebagian besar sebagai ester kolesteril yang berasal dari sintesis de novo dan sumbersumber ekstraadrenal. Perubahan esterkolesteril menjadi kolesterol merupakan langkah yang perlu dalam sintesis steroid dan diatur oleh ACTH, dalam hal ini ACTH melakukannya dengan meningkatkan cAMP, yang mengaktifkan protein kinase, selanjutnya mengaktifkan protein-protein melalui fosforilasi untuk mengkatalisis hidrolisis kolesteril ester. Kinase ini awalnya juga meningkatkan 20-hidroksilasi kolesterol. Hasil akhir reaksi ini adalah C-27 steroid 20,22-dihidroksikolesterol dan 17,20-dihidroksikolesterol. Senyawa ini diubah langsung menjadi pregnenolon atau 17-pregnenolon dengan kehilangan bagian isokaproat aldehida yang terdapat pada rantai samping. Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar, pada manusia kortisol adalah regulator yang paling penting. Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin releasing hormone atau CRH) dari hipotalamus dan terhadap kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH. Respon CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada malam hari. Kortisol dalam jumlah yang cukup besar lebih kurang 75% terikat pada - globulin yang disebut traskortin atau globulin pengikat kortikostroid (corticosteroid binding globulin). Sebanyak 15% lainnya terikat lebih lemah pada albumin, dan 10 % sisanya yang aktif secara matabolik beredar dalam bentuk bebas. Waktu paruh kortisol adalah 90 menit. Dikarenakan irama sirkadian yang ditampilkan oleh sekresi kortisol, maka nilai normalnya beragam menurut waktu dalam sehari. Nilai normal pada pukul 9.00 pagi untuk kortisol ( 11 hidroksi-kortikosteroid ) adalah 170-720 nmol/l (6-26 g/100ml) sedangkan kadar tengah malam ( 24:00) kurang dari 220 nmol/l ( < 8g/100ml). Efek kortisol dalam proses peradangan dan imunologis : 1. Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat phospholipase A2

sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran prostaglandin. 2. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke dalam limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang. 3. Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi, tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan. 4. 5. 6. 7. Meningkatkan proses apoptosis Menghambat sintesis cytokine Menghambat nitric oxyd synthetase Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan differensiasinya menjadi makrofag 8. 9. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag Menghambat keradangan 10. Menghambat plasminogen activators ( PAs ) yang merubah plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat

C. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Diagnosis banding kasus pada skenario, antara lain: 1. Asma Bronkial Merupakan suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia. Manifestasi klinisnya berupa batuk yang

disertai dengan sesak napas, dada terasa berat di dada dengan wheezing (mengi) yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari. Asma Bronkial ini memiliki respon terhadap pemberian bronkodilator. Adanya riwayat penyakit atopik pada pasien/ keluarganya dapat memperkuat dugaan adanya penyakit asma. 2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun ke atas, dan biasanya dengan riwayat paparan alergen dalam waktu yg cukup lama. 3. PPOK ini tidak/ sedikit berespon terhadap pemberian bronkodilator. Obstruksi Mekanis (misal tumor) Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen dari saluran pernapasan. Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat. 4. Gagal Jantung Kongestif Terdapat ronki basah basal. Sesak biasanya hilang timbul. Keluhan sesak biasanya terjadi setelah melakukan aktifitas. Selain itu, sesak nafas juga terjadi pada saat tidur terlentang sehingga pasien akan merasa lebih nyaman jika tidur menggunakan 2-3 buah bantal. 5. Emboli Paru Merupakan penyumbatan arteri pulmonalis oleh suatu embolus yang terjadi secara tiba-tiba. Manifestasi klinisnya berupa batuk (timbul mendadak, bisa disertai dengan dahak berdahak). Sesak napas yang mendadak, baik ketika istirahat maupun ketika sedang melakukan aktivitas. Nyeri dada sifatnya tajam dan menusuk, pernapasan cepat dan takikardi (PDPI, 2003). D. KLASIFIKASI ASMA BRONKHIALE Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obatobatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. 2. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. 3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik. E. EPIDEMIOLOGI ASMA Asma merupakan penyakit yang umum diderita di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Ada beberapa penelitian yang menggolongkan kasus asma berdasarkan usia. Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 514 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14% sedangkan > 65 tahun menurun menjadi 8.8%. Ada juga yang menggolongkan prevalensi asma berdasarkan jenis kelamin. Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati

perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin. Prevalensi Asma di Indonesia Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995 prevalens asma di seluruh Indonesia sebesa 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/1000. Di Indonesia sendiri belum ada survei asma secara nasional. Hasil penelitian menunjukkan prevalens asma di Indonesia sangat bervariasi. Perbedaan ini antara lain dipengaruhi perbedaan metodologi yang digunakan, perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan tempat tinggal serta perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian. F. ETIOLOGI Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial. A. Faktor predisposisi Genetik Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentivitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. B. Faktor presipitasi 1. Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi Ingestan, yang masuk melalui mulut Contoh: makanan dan obat-obatan Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit Contoh: perhiasan, logam dan jam tangan 2. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. 3. Stress Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/ gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. 4. Lingkungan kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. 5. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Tanjung, 2003) G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan Asma Bronkiale : 1. Reliever/ pelega a. Short acting beta 2 agonis (SABA) Melalui stimulasi reseptor 2 yang terdapat banyak di trachea dan bronchi yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini kemudian mengubah ATP menjadi cAMP. Meningkatnya kadar Camp di dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase yaitu bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast. Contoh dari SABA adalah : Salbutamol : oral, injeksi, inhalasi Terbutaline : oral, injeksi, inhalasi Fenoterol : inhalasi Procaterol : inhalasi

b. Golongan adrenergic Adrenalin : epinefrin Merupakan bronkodilator terkuat dengan kerja cepat tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Efek samping dari adrenalin adalah efek sentral (gelisah, tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung (palpitasi, aritmia) terutama pada dosis yang lebih tinggi. Efedrin : oral Efek samping efedrin adalah sulit tidur, tremor, gelisah dan gangguan berkemih. c. Golongan Metilxantin Aminophyline : oral, injeksi Theophyline : oral Theophyline dapat digunakan untuk merelaksasikan otot pada

paru-paru dan thoraks, membuat kesensitifan paru terhadap alergen berkurang. Efek samping dari theophyline adalah nausea, muntah, takikardi, aritmia, kejang d. Golongan antikolinergik Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi. Efek samping dari golongan antikolinergik adalah mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, penglihatan kabur. Contoh dari obat ini adalah : Atropine : injeksi Ipratropium bromide : inhalasi Berguna untuk mengurangi hipersekresi pada bronchi, yaitu efek mengeringkan. Efektif untuk pasien yang mengeluarkan dahak. e. Kortikosteroid sistemik 2. Controller a. Long acting beta 2 agonis (LABA) Efek samping dari LABA adalah tremor, takikardi, palpitasi, hipokalemi b. Kombinasi LABA dan steroid : inhalasi c. Anti inflamasi non steroid AINS menghambat pelepasan mediator yang dimediasi Ig E dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain ( makrofag, monosit, eosinofil ). Efek samping dari AINS adalah induksi tukak lambung/tukak peptic, gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 d. Sodium kromoglikat dan Sodium nodokromil Kromoglikat dan nodokromil berbeda secara struktural, tetapi diduga mempunyai mekanisme kerja yang sama yaitu

menghambat pengaktifan seluler. Efek sampingnya adalah iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, sesak di dada dan susah bernapas. e. Reseptor leukotrien antagonis Contoh dari leukotrien antagonis adalah : Lipoksigenase-blockers : loratadin, azelastin, ebastin LT-receptor blockers : montelukast, zafirlukast, pranlukast Efek samping dari zafirlukast adalah gangguan ringan lambung, usus, nyeri kepala dan reaksi alergi kulit. Efek samping dari montelukast adalah gangguan saluran cerna, sakit kepala, flu dan mulut kering. f. Kortikosteroid Efek samping dari kortikosteroid adalah Cushing syndrome serta penekanan fungsi anak ginjal. Contoh dari kortikosteroid adalah : 3. Dexamethasone : oral, injeksi Budesonide : inhalasi Fluticasone : inhalasi Methylprednisolone : oral, injeksi

Obat Beta Blocker Antagonis adrenoseptor atau -blocker adalah obat yang menduduki adrenoseptor dan tidak mempengaruhi reseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Ini berarti adrenoseptor blocker mengurangi respons sel efektor adrenergic terhadap perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap obat adrenergik eksogen. -blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada

adrenoseptor . Obat ini memiliki sifat kardioselektif yaitu mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor 1 daripada reseptor 2. Nonselektif artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor 1 dan 2. Tapi sifat kardioselektif ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor 2. Contoh obat-obat -blocker adalah : 1. Propanolol : tab 10 dan 40 mg, kapsul lepas lambat 160 mg 2. Alprenolol : tab 50 mg 3. Oksprenolol : tab 40 mg, 80 mg, tab lepas lambat 80 mg 4. Metoprolol : tab 50 dan 100 mg, tab lepas lambat 100 mg 5. Bisoprolol 7. Pindolol 8. Nadolol 9. Atenolol H. PENCEGAHAN Pencegahan Asma 1. Menjauhi alergen Inhallan Ingestan : Debu, bulu binatang, serbuk bunga : Makanan dan obat-obatan : tab 5 mg : tab 5 dan 10 mg : tab 40 dan 80 mg : tab 50 dan 100 mg 6. Asebutolol : kap 200 mg dan tab 400 mg

Kotakktan : Perhiasan dan barang logam

2. Menghindari kelelahan 3. Menghindari stress psikis Respon stress dapat menimbulkan kecemasan yang akan memicu dilepasnya histamine, sehingga menimbulkan penyempitan saluran nafas. 4. Mencegah atau mengobati ISPA sedini mungkin 5. Olahraga renang atau senam asma Renang dapat membantu seseorang untuk beradaptasi menghadapi keadaan dimana O2 lebih sedikit daripada CO2 sehingga mampu menguatkan otot-otot pernapasan.

I. Penilaian Kontrol Asma

Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau kontrol). PFM digunakan pada penderita 6 tahun. Bila hasil spirometri menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi yang menetap tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang buruk merupakan predictor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan control buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup, penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/ KS oral terutama untuk penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, teknik inhalasi, kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat dipertahankan serta menentukan tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma. Pendekatan pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up) bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit kronis, asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama untuk menekan inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang efektif untuk semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi terapi alternative berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma dapat berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh karena asma dapat berbeda dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila mungkin stepping down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol asma. (Rengganis, 2008)

BAB III PEMBAHASAN A. Riwayat Penyakit Terdahulu dengan Kondisi Pasien Sekarang Umur 14 tahun pasien menderita asma yang tergolong intermitten (tidak terus menerus), maksudnya pasien akan normal apabila tidak ada faktor-faktor rangsangan contohnya udara dingin di dalam skenario. Dengan berjalannya waktu hingga sekarang pasien berumur 30 tahun penyakit asma pasien semakin parah dan cenderung ke Asma Persisten Berat. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan pada lingkungan si pasien dan kegagalan pengobatan atau penanganan pada masa awal yang membuat makin lama makin parah. Ada beberapa faktor Presipitasi (faktor memperparah) : a. b. Infeksi virus Alergen Lingkungan : Dalam Rumah : Jamur, Tungau, Debu rumah, Kecoa, dll) Outdoor : Serbuk Sari, Pollen) c. d. Iritan : Asap rokok, polutan udara, debu, gas, uap Ciri-ciri rumah : Usia, Lokasi, Sistem pendingin/pemanas, pelembab, karpet, dan lain-lain e. f. g. Obat-obatan : Beta bloker Makanan Bahan-bahan adiktif

Penanganan :

Tahap 1: Asma Intermitten Bronkodilator kerja singkat, terutama 2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama 2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus 2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik

AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah 2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP, 2005).

Tahap 2 : Asma Persisten Ringan Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperesponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodelling dinding jalan napas (NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy, 2001). Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005). Berikut contoh obat-obat kortikosteroid : a. Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004). Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan (Nelson and Piercy, 2001). Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).

b. Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997) c. Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan (NAEPP, 2005). d. Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan (NAEPP, 2005). e. Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten ringan (NAEPP, 2005).

Tahap 3 : Asma Persisten Sedang Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan 2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan 2 agonis

inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005). Profil farmakologi dan toksikologi 2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa 2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil keamanan yang sama dengan salbutamol, dan 2 agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh 2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP, 2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck, 2005).

Tahap 4 : Asma Persisten Berat Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid sistemik sebagai pengontol jangka panjang.

B. TIMBULNYA SUARA MENGI PADA PASIEN Dalam skenario, pasien mengalami sesak nafas berbunyi ngik-ngik (mengi) terutama bila dingin dan hampir setiap malam pasien teerbangun dari tidurnya karena batuk dan dada terasa berat. Dalam hal ini suara ngik-ngik atau mengi disebabkan karena bronkokonstriksi. Biasanya udara melalui celah yang lebar ketika terjadi bronkokonstriksi maka jalan nafas menyempit sehingga udara yang masuk dan keluar jadi terhambat dan menimbulkan suara ngik-ngik. C. TIMBULNYA RASA SESAK NAFAS KETIKA MALAM HARI Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, bahwa kadar kortisol dalam tubuh manusia mengikuti irama diurnal, dimana kadarnya akan menurun pada malam hari. Salah satu fungsi dari kortisol adalah mengurangi

respon inflamasi dan respon imunologis yang menyebabkan alergi, sehingga ketika malam hari kadar kortisol yang menurun menyebabkan respon inflamasi semakin memburuk. Sehingga berakibat pada timbulnya manifestasi berupa sesak nafas. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN B. Kesimpulan 1. 2. Asma bronkiale memang tidak bisa sepenuhnya sembuh, namun jika mengetahui penyebab maka serangan asma dapat dihindari. Munculnya asma bronkiale disebabkan oleh banyak penyebab seperti genetik dan kontak dengan alergen.

C. Saran 2. 3. Persuasi dokter kepada pasien asma sangat diperlukan terutama mengenai menghindari pemicu serangan asma. Mengontrol kemajuan pengobatan asma juga penting untuk menentukan langkah pengobatan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI. Jakarta: EGC Ratnawati. 2011. Jurnal Respirasi Indonesia vol. 31 no. 34, hlm. 172-175. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI RS Persahabatan: Jakarta. Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2008 ; 58(11); 449. Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Obat Adrenergik. dalam Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Susunan Saraf Otonom dan Transmisi Neurohumoral. dalam Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Medan: FK USU. Tjay, Tan Hoan ; Raharja, Kirana. 2007.Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media Komputindo http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (diakses pada 19 November 2012)

Vous aimerez peut-être aussi