Vous êtes sur la page 1sur 14

Asuhan Keperawatan Pada Klien Encephalitis A.

Pengertian Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh berbagai macam mikroorganisme (Hassan, 1997). Encephalitis juga disebut sebagai infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen. B. Klasifikasi Klasifikasi Encephalitis didasarkan pada factor penyebabnya 1. Encephalitis supuratif akut dengan bakteri penyebab encephalitis adalah : Staphylococcus aureus, streptococcus, E. Coli, Mycobacterium, dan T. Pallidum. 2. Encephalitis virus dengan virus penyebab dalah : virus RNA (virus parotitis), virus morbili, virus rabies, virus rubella, virus dengue, virus polio, cockscakie A dan B, herpes zozter, herpes simpleks, dan varicella. C. Perjalanan Penyakit Dibagi 3 stadium : 1. Stadium Prodromal Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat . Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak. 2. Stadium ensefalitis akut Pada stadium ini telah tampak tanda-tanda yang spesifik penting : a. Tanda-tanda neurologis b. Panas tinggi terus menerus sampai lebih dari 400C c. Bradikardi yang relative d. Wajah tampak datar, dull, seperti topeng 3. Stadium akhir dengan sequelae Pada saat keradangan menghilang, suhu badan dan hematokrit menjadi normal, stadium ketiga ini dimulai.tanda-tanda neurologis dapat menetap atau membaik. Bila stadium ensefalitis berlangsung lama, maka penyebuhan berjalan lambat. Sequele yang sering dijumpai adalah gangguan mental, emosi tidak stabil, perubahan

kepribadian, dan paralysis motor neuron.prognosis menjadi lebih buruk jika demam berlangsung lama, terjadi gangguan jalan nafas, kejang berulang dan lama, terjadi albuminaria berat dan kadar protein cairan serebbrospunal meningkat. Angka kematian berkisar antara 20-58% akibat edema paru. Bila penderita mendapatkan perawatan yang sangat baik, penderita dapat sembuh sempurna terhadap sequele. D. Tanda dan Gejala Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis encephalitis lebih kurang sama dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara umum, gejala berupa Trias Ensephalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. (Mansjoer, 2000). E. Pengobatan 1. Perawatan yang baik banyak menurunan angka kematian 2. Obat-obatan diberikan sesuai dengan gejala yang timbul pad masing-masing stadium. a. Anti Konvulsan : Diazepam 0,3 mg/kg berat badan intravena atau fenobarbital 10% intramaskuler dengan dosis 0,5 cc sampai 1 cc. b. Antipiretika : diberikan per oral atau per rectal aspirin. Dapat dibantu dengan kompres dingin c. Cairan Elektrolit, Infus dengan glukosa 5% dalam larutan garam faali d. Suntkan IV glukosa hipertonis, mannitol atau dekstran untuk mencegah edema cerebral. e. Oksigen : diberikan bila ada tanda-tanda hipoksia. Jalan nafas hendaknya selalau dibersihkan untuk mencegah pneumonia. f. Antobiotik : untuk mencegah infeksi sekunder pada paru dan saluran kemih. F. Patofisiologi Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara: 1. Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu. 2. Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.

3. Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.

Faktor-faktor predisposisi: pernah mengalami campak, cacar air, herpes & bronkopneumonia

Virus/bakteri masuk jaringan otak secara local, hematogen, & melalui saraf-saraf

Peradangan di otak

Pembentukan transudat dan eksudat

Reaksi kuman patogen

Iritasi korteks serebral area fokal

Kerusakan saraf cranial V

Kerusakan saraf cranial IX

Edema serebral

Suhu tubuh meningkat

Kejang nyeri kepala

Kesulitan mengunyah

Sulit makan

1.Gangguan perfusi jaringan serebral

3. hipertermi

5.Resiko tinggi trauma 6. Nyeri

4.Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

Kesadaran menurun

8.Gangguan mobilitas fisik

Penumpukan sekret

2.Gangguan bersihan jalan nafas

G. Pengkajian 1. Anamnesis Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang disertai penurunan tingkat kesadaran. 2. Riwayat penyakit saat ini Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai dengan demam,s akit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah, irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf otak. (Erfandi, 2010). 3. Riwayat penyakit dahulu Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis akan meningkatkan kemungkinan terjdinya peradangan atau infeksi pada jaringan otak (J.G. Chusid, 1993). Imunisasi perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak perlu diketahui untuk dihindarkan karena dapat memperburuk keadaan. Kemudian pernahkah klien mengalami cacar air, campak, herpes dan bronkopneumonia. Untuk anak perlu dikaji pernahkah menderita penyakit yang disebabkan oleh virus seperti virus influenza, varicella, adenovirus, kokssakie, echovirus atau prainfluenza, infeksi bakteri, parsit satu sel, cacing, fungus, riketsia. 4. Riwayat psikososial Usia, tahap perkembangan, kesenangan/kebiasaan, benda yang disukai, interaksi keluarga, pola kebiasaan, waktu tidur, pengalaman sakit dan perawatan sebelumnya. Pengkajian usia dan tahap perkembangan anak bertujuan untuk menilai dan memantau perkembangan anak sesuai dengan usianya dan mengajarkan perilaku yang tepat sesuai perkembangan anak.

5. Pemeriksaan fisik a. Breathing Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien encephalitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan encephalitis berhubungan akumulasi secret dari penurunan kesadaran. b. Blood Pengkajian pada sitem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien encephalitis. c. Brain Pengkajian brain merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya. 6. Tingkat kesadaran Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien encephalitis biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaia GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadarn klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan. 7. Fungsi serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik. Pada klien encephalitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. 8. Pemeriksaan saraf cranial a. Saraf I : Olfaktorius, fungsi penciuman biasanya kelainan pada klien encephalitis b. Saraf II : Optikus, tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada encephalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK. c. Saraf III, IV, VI : Okulomotorius, Troklearis, Abdusens, pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien encephalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut, encephalitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan.

Dengan alas an yang tidak diketahui, klien encephalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. d. Saraf V : Trigeminus, pada klien encephalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga mengganggu proses mengunyah. e. Saraf VII : Fasialis, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral. f. Saraf VIII : Vestibulokoklearis (Vestibularis, Koklearis), tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. g. Saraf IX dan X : Glosofaringeus dan vagus, kemampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral. h. Saraf XI : Assesorius, tidak ada arofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk. i. Saraf XII : Hipoglosus, lidah simetris tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal 4. System motorik Kekakuan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada encephalitis tahap lanjut mengalami perubahan. 5. Pemeriksaan reflex Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal. Reflex patologis akan didapatkan pada klien encephalitis dengan tingkat kesadaran koma. 6. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya gerakan tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak encephalitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan encephalitis. 7. System sensorik Pemeriksaan sensorik pada encephalitis biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, perasaan proprioseptif normal, dan perasaan diskriminatif normal.

8. Bladder : pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. 9. Bowel : mual sampai muntah duhubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien encephalitis menurun karena anoreksia dan aanya kejang. 10. Bone : penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain. H. Diagnose dan Intervensi keperawatan 1. Dx 1 : Gangguan perfusi jaringan serebri yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakarnial. Data penunjang : Malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang, kesadaran menurun, bingung, delirium, koma. Perubahan reflex-refleks, tanda-tanda neurologis, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakarnial (bradikardi, tekanan darah meningkat), nyeri kepala hebat. Intervensi a. Monitor klien dengan ketat terutama setelah lumbal pungsi. Anjurkan klien berbaring minimal 4-6 jam setelah lumbal pungsi. R/ untuk mencegah nyeri kepala yang menyertai perubahan TIK. b. Monitor tanda-tanda peningkatan TIK selama perjalanan penyakit (nadi lambat, tekanan darah meningkat, kesadaran menurun, napas irregular, reflex pupil menurun, kelemahan). R/ untuk mendeteksi tanda-tanda syok, yang harus dilaporkan ke dokter untuk intervensi awal. c. Monitor tanda-tanda vital dan neurologis tiap 5-30menit. Catat dan laporkan segera perubahan-perubahan TIK ke dokter. R/ perubahan-perubahan ini menandakan ada perubahan TIK dan penting untuk intervensi awal. d. Hindari posisi tungkai ditekuk atau gerakan gerakan klien, anjurkan untuk tirah baring. R/ untuk mencegah peningkatan TIK e. Tinggikan sedikit kepala klien dengan hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala dan leher, hindari fleksi leher. R/ untuk mengurangi TIK.

f. Bantu seluruh aktifitas dan gerakan-gerakan klien. Beri petunjuk untuk BAB (jangan enema). Anjurkan klien untuk memnghembuskan napas dalam bila miring dan bergerak di tempat tidur. Cegah posisi fleksi pada lutut. R/ untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan TIK. g. Waktu prosedur perawatandisesuaikan dan diatur tepat waktu dengan periode relaksasi; hindari rangsangan lingkungan yang tidak perlu. R/ untuk mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat menimbulkan kejang. h. Beri penjelasan kepada keadaan lingkungan pada klien. R/ untuk mengurangi disorientasi dan untuk klarifikasi persepsi sensorik yang terganggu. i. Evaluasi selama masa penyembuhan terhadap gangguan motorik, sensorik, dan intelektual. R/ untuk merujuk ke rehabilitasi. j. Kolaborasi pemberia steroid osmotic. R/ untuk menurunkan TIK. 2. Dx 2 : Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran. Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan, jalan napas kembali efektif. Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20x/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), rinkhi (-/-), dapat

mendemonstrasikan cara batuk efektif. Intervensi a. Kaji fungsi paru adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum. R/ memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, akibat adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma berkembang dengan cepat. b. Atur posisi fowler dan semifowler. R/ peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.

c. Ajarkan batuk secara efektif. R/ klien berada pada resiko bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan sehinggamenyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut. d. Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada. R/ terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif. e. Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan asupan cairan 2500ml/hari. R/ pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh. f. Lakukan pengisapan lender di jalan napas. R/ pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatatenan jalan napas menjadi bersih. 3. Dx 3 : Hipertermi berhubungan dengan reaksi kuman pathogen. Tujuan : dalam waktu 2x24 jam perawatan suhu tubuh menurun. Criteria hasil : suhu tubuh normal 36-370 C. Intervensi : a. Monitor suhu tubuh kilen. R/ peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus rangsang kejang pada klien. b. Beri kompres dingin di kepala dan aksila. R/ memberikan respon dingin pada pusat pengatur panas dan pada pembuluh darah besar. c. Pertahankan bedrest total selama fase akut. R menguranhgi peningkatan proses metabolism umum yang trejadi pada klien. d. Kolaborasi pemberian terapi ATS dan antimikroba. R/ ATS dapat mengurangi dampak toksin di jaringan otak dan antimikroba dapat mengurangi inflamasi sekunder dari toksin. 4. Dx 3 : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan keidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik. Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5x24jam. Criteria hasil : turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat badan meningkat 1kg. Hb dan albumin dalam batas normal. Intervensi a. Observasi tekstur dan turgor kulit. R/ mengetahui status nutrisi klien.

b. Lakukan oral hygiene. R/ kebersihan mulut merangsang nafsu makan. c. Observasi asupan dan keluaran. R/ mengetahui keseimbangan nutrisi klien. d. Observasi posisi dan keberhasilan sonde. R/ untuk menghindari risiko infeksi/iritasi. e. Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan, dan reflex batuk. R/ untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan kepada klien. f. Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya secret. R/ dengan mengkaji factor-faktor tersebut dapat menentukan kemampuan klien dan mencegah risiko aspirasi. g. Auskultasi bising usus, amati penurunan atau hiperaktivitas bising usus. R/ fungsi gastrointestinal bergantung pada kerusakan otak. Bising usus menentukan respons pemberian makan atau terjadinya komplikasi misalnya pada ileus. h. Timbang berat badan sesuai indikasi. R/ unuk mengevaluasi efektivitas dari asupan makanan. i. Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala. R/ menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi. j. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan. R/ untuk klien untuk lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi. k. Stimulasi bibir untk menutup dan membuka mulut, secara manual dengan menekan menekan ringa di atas bibir/di bawah dagu jika dibutuhkan. R/ membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan control muscular. l. Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu. R/ memberikan stimulasi sensorik (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan. m. Berikan makanan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang. R/ klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi dari luar. n. Mulailah untuk memberikan makan per oral setengah cair dan makanan lunak etika klien dapat menelan air. R/ makanan lunak/cair mudah untuk dikendalikan di dalam mulut dan menurunkan terjadinya aspirasi. o. Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk minum. R/ menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak.

p. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan/kegiatan. R/ dapat meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan. q. Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui selang. R/ mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut. 5. Dx 4: Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi lapisan otak. Tujuan : dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali Criteria hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dan klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit Intervensi a. Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang. R/ menurunkan reaksi terhadap rangsangan eksternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan

menganjurkan klien untuk beristirahat. b. Kompres dingin (es) pada kepala. Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak. c. Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi napas dalam. R/ membantu menurunkan/memutuskan stimulasi sensasi nyeri. d. Lakukan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati. R/ dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan nyeri/rasa tidak nyaman. e. Kolaborasi pemberian analgesic. R/ mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurolofis sehingga sukar untuk dikaji. 6. Dx 5 : Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penuruna kekuatan otot, penuruna kesadaran, kerusakan persepsi /kognitif. Tujuan : tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi pencernaan dan kandung kemih optimal, serta peningkatan kemampuan fisik. Criteria hasil : skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal. Intervensi

a. Tinjau kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi. R/ mengidentifikasi kerusakan fungsi dan menentukan pilihan intervensi. b. Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan. R/ tingkat ketergantungan minimal care (hanya memerlukan bantuan minimal), partial care (memerlukan bantuan sebagian), dan total care (memerlukan bantuan komplit dari perawat dank lien yang memerlukan pengawasan khusus karena risiko cedera yang tinggi). c. Berikan perubahan posisi yang teratur pada klien. R/ perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara mnyeluruh dan menfasilitasi peredaran darah serta mencegah dekubitus. d. Pertahankan kesejajaran tubuh yang adekuat, berian latihan ROM pasif pada klien sudah bebas panas kejang. R/ mencegah terjadinya kontraktur atau footdrop serta dapat mempercepat pengembalian fungsi tubuh nantinya. e. Berikan perawatan kulit secara adekuat, lakukan masase, ganti pakaian klien dengan bahan linen, dan pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering. R/ memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit. f. Berikan perawatan mata, bersihkan mata, dan tutup dengan kapas basah sesekali. R/ melindungi mata dari kerusakan akibat terbukanya mata terus mnerus. g. Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit. R/ indikasi adanya kerusakan kulit. 7. Dx 6 : Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan penurunan tingkat kesadaran. Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien bebas dari cedera yang dusebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran. Criteria hasil : klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang berulang. Intervensi a. Monitor kejang pada tngan, kaki, mulut, dan otot-otot muka lainnya. R/ gambaran iritabilitasi system saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi ang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi. b. Persiapkan lingkungan yang amanseperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien. R/ melindungi klien jika kejang terjadi.

c. Perahankan bedrest total selama fase akut. R/ mengurangi risiko jatuh/cedera jika terjadi vertigo dan ataksia. d. Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, fenobarbital. R/ untuk mencegah atau mengurangi kejang. Catatan: fenobrbital dapat menyebabkan depresi pernapasan dan sedasi.

ASUHAN KEPERAWATAN ENCEPHALITIS

Oleh Kelompok 5 Kelsa IIA Semester IV Chairul Devi Rosanti Dian Ukhtiani Elsa Mellini Hamka Herna Yunita

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH PONTIANAK 2011

Vous aimerez peut-être aussi