Vous êtes sur la page 1sur 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI 3 SKP

Kolestasis Intrahepatik
Suzanna Ndraha
Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi, RSUD Koja, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Kolestasis adalah kondisi terhambatnya pembentukan atau aliran cairan empedu yang secara klinis dapat ditandai dengan fatigue, pruritus, dan ikterus. Pada kolestasis intrahepatik, didapatkan ciri klinis dan laboratorium sesuai dengan kolestasis, tanpa gambaran obstruksi duktus koledokus pada pencitraan. Yang termasuk kolestasis intrahepatik antara lain hepatitis kolestatik, hepatitis autoimun, penyakit hati karena alkohol, hepatitis imbas obat, sirosis bilier primer, dan kolangitis sklerosa primer. Pada tinjauan pustaka ini, akan dibahas pendekatan diagnostik dan tata laksana kolestasis intrahepatik, khususnya hepatitis kolestatik, hepatitis imbas obat tipe kolestatik, sirosis bilier primer, dan kolangitis sklerosa primer. Kata kunci: kolestasis intrahepatik, hepatitis kolestatik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosa primer

ABSTRACT Cholestasis is an impairment of bile formation and/or bile flow which may clinically present with fatigue, pruritus and jaundice. Cholestasis can be classified into intrahepatic or extrahepatic type. Intrahepatic cholestasis presents with clinical and laboratory features of cholestasis without bile duct abnormalities on imaging. Intrahepatic cholestasis may includes cholestasis hepatitis, autoimmune hepatitis, alcoholic liver disease, drug induced hepatitis, primary biliary cirrhosis, and primary sclerosing cholangitis. This review will discuss diagnostic and treatment approaches of intrahepatic cholestasis, especially cholestatic hepatitis, drug induced hepatitis of cholestatic type, primary biliary cirrhosis, and primary sclerosing cholangitis. Suzanna Ndraha. Intrahepatic Cholestasis. Key words: intrahepatic cholestasis, cholestatic hepatitis, primary biliary cirrhosis, primary sclerosing cholangitis

PENDAHULUAN Ikterus merupakan manifestasi hiperbilirubinemia, yang ditandai dengan kulit dan sklera yang menjadi kuning. Berdasarkan mekanisme terjadinya, ikterus diklasifikasikan menjadi ikterus prahepatik, intrahepatik, dan pascahepatik.1-3 Penyakit-penyakit akibat gangguan metabolisme bilirubin1-3: A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi Pada keadaan ini, didapatkan bilirubin direk normal dan bilirubinuria negatif; contohnya antara lain: 1. Penyakit-penyakit hemolisis (kelainan hematologi). 2. Obat, seperti rifampisin, ribavirin, dan probenesid. 3. Sindom Gilbert; terjadi akibat gangguan ambilan (uptake) bilirubin, umumnya terdiagnosis pada masa pubertas. 4. Sindrom Crigler Najjar; terjadi akibat
Alamat korespondensi email: susan_ndraha@yahoo.co.id

gangguan konjugasi, akibat defisiensi enzim glukuronil transferase, umumnya terdiagnosis pada masa bayi. B. Hiperbilirubinemia terkonjugasi Pada keadaan ini, didapatkan bilirubin direk meninggi, dan bilirubinuria positif; terbagi atas: 1. Hiperbilirubinemia terkonjugasi nonkolestatik a. Hepatitis virus, hepatitis imbas obat, dan sirosis hati (gangguan transpor bilirubin); obat yang bisa menyebabkan gangguan transpor bilirubin antara lain adalah isoniazid, diklofenak, dan lovastatin. b. Sindrom Dubin Johnson (gangguan eks-kresi bilirubin); ditandai dengan pigmentasi pada hati. c. Sindrom Rotor; mirip Sindrom Dubin Johnson, tetapi tanpa pigmentasi pada hati. 2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi kolestatik

a. Kolestasis intrahepatik; penyebab tersering adalah hepatitis kolestatik, hepatitis autoimun, penyakit hati karena alkohol, dan hepatitis imbas obat (asetaminofen, penisilin, kontasepsi oral, estrogen, steroid anabolik), sementara penyebab yang lebih jarang adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosa primer (selengkapnya lihat tabel 1). b. Kolestasis ekstrahepatik; penyebab tersering adalah batu (batu duktus koledokus), tumor (tumor ampula vateri dan karsinoma pankreas), kista, dan striktur. Kolestasis adalah kondisi terhambatnya aliran cairan empedu secara akut atau kronis.4 Definisi lain menyebutkan kolestasis adalah gangguan pembentukan dan/atau aliran bilier yang secara klinis menimbulkan fatigue, pruritus, dan ikterus.5 Kolestasis dibedakan menjadi kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik

CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

567

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 1 Penyebab kolestasis intrahepatik pada dewasa5 Kolestasis hepatoselular Sepsis Hepatitis virus Steatohepatitis alkoholik dan non alkoholik Obat Genetik: BRIC (benign recurrent intrahepatic cholestasis), PFIC (progressive familial intrahepatic cholestasis), defisiensi gen ABCB4, ICP (intrahepatic cholestasis of pregnancy), protoporfiria eritropoietik Infiltrasi maligna: penyakit hematologik, metastasis Infiltrasi benigna: amiloidosis, sarkoidosis terkait hepatitis, storage diseases Sindrom paraneoplastik: penyakit Hodgkin, karsinoma renal Fibrosis hepatik kongenital Hiperplasia regeneratif nodular Penyakit vaskular: sindrom BuddChiari, penyakit venooklusif, hepatopati kongestif Sirosis hati Kolestasis kolangioseluler Sirosis bilier primer (SBP) Kolangitis sklerosa primer (KSP) Sindrom tumpang tindih SBP dan KSP dengan hepatitis autoimun Kolangitis terkait IgG4 Duktopenia idiopatik dewasa Malformasi ductal plate: sindrom Caroli Fibrosis kistik Kolangiopati imbas obat Graft vs host disease Kolangitis sklerosa sekunder: kolangiolitiasis, kolangiopati iskemik (teleangiektasia hemoragik herediter, poliarteritis nodosa), kolangitis infeksius terkait AIDS

terjadi akibat defek fungsional hepatoselular atau lesi obstruktif traktus bilier intrahepatik.5 Kolestasis dinyatakan kronis bila menetap 6 bulan atau lebih. Langkah diagnostik kolestasis intrahepatik dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penanda biokimiawi yang pertama muncul pada kolestasis dini adalah alkali fosfatase (ALP) dan gama glutamiltranspeptidase (GGT), kemudian diikuti peningkatan bilirubin direk. USG (ultrasonografi) abdomen direkomendasikan sebagai pemeriksaan noninvasif lini pertama untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Selanjutnya, pemeriksaan antibodi antimitokondria (AMA) diperlukan untuk membedakan sirosis bilier primer dengan penyebab kolestasis intrahepatik kronis lain. Bila penyebab kolestasis masih belum jelas, diperlukan pemeriksaan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography).5 Gambar 1 menunjukkan algoritma pendekatan diagnostik kolestasis intrahepatik kronis, sesudah terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan hepatitis virus kolestatik. HEPATITIS KOLESTATIK Definisi Hepatitis kolestatik adalah hepatitis yang menyebabkan kolestasis intrahepatik, ditandai dengan hambatan luas pada duktus biliaris sehingga ekskresi cairan empedu gagal.4 Pada keadaan ini, terjadi peningkatan 3 enzim penanda kolestasis, yaitu fosfatase alkali (alkaline phosphatase, ALP), 5-nukleotidase (5NT), dan -glutamiltranspeptidase (GGT). ALP dan 5-NT terletak di kanalikuli biliaris hepatosit, sedangkan GGT terdapat di reticulum endoplasma dan sel epitel duktus biliaris. Kadar bilirubin yang tinggi, enzim transaminase meninggi sedang (jarang melebihi 500 U/L), dan peningkatan enzim penanda kolestasis menunjukkan adanya kolestasis. Selanjutnya, diperlukan pemeriksaan USG, CT scan, dan MRI untuk membedakan jenis kolestasis, apakah intraatau ekstrahepatik. Hepatitis kolestatik merupakan salah satu penyebab kolestasis intrahepatik.6 Etiologi Penyebab tersering adalah virus hepatitis A dan B.

sklerosa

Tata Laksana

sklerosa
Gambar 1 Pendekatan diagnostik kolestasis5

568

CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Patofisiologi Kolestasis disebabkan oleh obstruksi di dalam hati (intrahepatik). Virus hepatitis akan menyebabkan blokade luas di duktus-duktus kecil dalam empedu. Obstruksi tersebut menghambat aliran keluar cairan empedu yang mengandung bilirubin, menyebabkan lemak terakumulasi di dalam darah dan tidak terekskresi secara normal.4,7 Diagnosis Kolestasis ditandai oleh ikterus, pruritus, anoreksia, diare persisten, urine berwarna gelap dan tinja pucat seperti dempul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus, ekskoriasi yang menunjukkan kolestasis lama atau obstruksi bilier yang lama, pada kasus kronik dapat terjadi asites dan splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan bilirubin serum tinggi, bisa melebihi 20 mg/dL, enzim transaminase meninggi sedang (jarang melebihi 500 U/L). Pada hepatitis kolestatik, enzim transaminase bisa normal saat bilirubin masih tinggi. Selain itu, didapatkan peningkatan enzim penanda kolestasis, yaitu ALP, 5-NT, dan GGT. USG berperan penting untuk menyingkirkan kolestasis ekstrahepatik. Tidak adanya dilatasi saluran empedu pada USG menunjukkan kolestasis intrahepatik, sedangkan pada kolestasis ekstrahepatik didapatkan dilatasi. Kalau ada dilatasi, harus dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk mencari penyebab. Diagnosis kolestasis intrahepatik sering memerlukan kombinasi pemeriksaan serologik dan biopsi hati.6 Tata Laksana Tujuan utama penatalaksanaan kolestasis intrahepatik adalah menghilangkan keluhan, karena ikterus dan keluhan pruritus dapat menetap hingga berbulan-bulan. Untuk menghilangkan keluhan pruritus dan mempercepat penurunan bilirubin, dapat diberikan: Prednisolon 30 mg/hari tapering off dalam jangka pendek untuk mengatasi pruritus7,8 Kolestiramin 12-16 g/hari terbagi dalam 2-4 dosis7,9 Asam ursodeoksikolat (UDCA) dosis tinggi 20 mg/kgBB7,10 Sebagian ahli tidak lagi menggunakan steroid dan menggantikannya dengan rifampisin.11 Suplemen kalsium dan vitamin D dapat membantu mencegah penyusutan massa tulang pada pasien kolestasis kronis.10 HEPATITIS IMBAS OBAT TIPE KOLESTATIK Definisi Hepatitis imbas obat (drug-induced hepatitis) merupakan hepatitis yang disebabkan oleh pemakaian obat-obat hepatotoksik dalam jangka waktu lama dan dosis besar.12 Etiologi a. Obat-obat yang menimbulkan kolestasis tanpa hepatitis Steroid anabolik, estrogen, tamoksifen, azatioprin, siklosporin, nevirapin, glimepirid, metolazon, infliximab, setirizin b. Obat-obat yang menimbulkan kolestasis dan hepatitis Isoniazid, halotan, metildopa, antibiotik makrolid, antidepresan trisiklik, amoksisilinasam klavulanat, azatioprin, oksipenisilin, OAINS, klorpromazin, troglitazon, celecoxib, karbamazepin. Patofisiologi Cedera hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau lewat mekanisme imunologik (biasanya, obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi imunogen). Reaksi obat diklasifikasikan menjadi reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respons imun terhadap antigen) dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab. Diagnosis12-14 Gejala klinis meliputi mual, muntah, malaise, mialgia, diare, dan nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan ikterus dan ruam (rash). Pada pemeriksaan penunjang, dapat ditemukan: kenaikan enzim aminotransferase; pada penggunaan OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid), bisa terjadi eosinofilia relatif Adanya gambaran serologik (antinuclear factor [ANF] positif ) dan histologik (inflamasi periportal dengan infiltrasi plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobus hepatik) hepatitis kronis aktif. Penting diketahui bahwa riwayat pemakaian obat yang bisa menyebabkan hepatitis imbas obat, mencakup dosis, cara pemakaian, pemakaian obat-obat sebelumnya, dan jangka waktu pemakaian. Periode laten reaksi idiosinkrasi obat berbeda satu dengan lainnya. Karena itu, sangat penting mendapatkan riwayat pemakaian obat dalam waktu 3 bulan. Onset sering terjadi 5-90 hari setelah hari pertama memulai konsumsi obat tersebut. Tindakan dechallenge dilakukan dengan menghentikan penggunaan obat. Dikatakan positive dechallenge bila terjadi penurunan kadar transaminase serum sebanyak 50% dalam waktu 8 hari penghentian obat. Positive dechallenge sangat membantu diagnosis kasus pemakaian multi-drug user. Tata Laksana12-14 Penatalaksanaan terdiri atas terapi suportif dan penghentian obat hepatotoksik. Kebanyakan kasus hepatitis imbas obat prognosisnya baik. Namun, bila terjadi idiosinkrasi, prognosisnya menjadi buruk dengan angka mortalitas >80%. SIROSIS BILIER PRIMER Definisi Sirosis bilier primer (SBP) adalah penyakit autoimun kronis progresif yang mengenai saluran empedu di hati. Penyakit ini terutama menjangkiti wanita usia 50-an. Karakteristik penyakit ini secara histopatologik adalah ditemukannya inflamasi portal dan destruksi bersifat immune-mediated di saluran empedu intrahepatik.15 Etiologi Sirosis bilier primer diduga terjadi akibat gabungan antara faktor genetik dan pengaruh lingkungan.16,17 Faktor lingkungan yang diperkirakan berhubungan dengan SBP adalah infeksi saluran kemih, terapi pengganti hormon, cat kuku, dan bahan toksik (seperti xenobiotik).

CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

569

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Patofisiologi Pengaruh lingkungan dan genetik menyebabkan terbentuknya antibodi antimitokondria (AMA), yang selanjutnya mengakibatkan apoptosis kolangiosit, kolestasis, fibrosis, dan berakhir dengan sirosis hati.17 Diagnosis Diagnosis SBP ditegakkan apabila dijumpai ikterus, fatigue, pruritus, nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan tanda-tanda kolestasis lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, USG menunjukkan tidak ada pelebaran saluran empedu ekstrahepatik; pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan AMA positif pada 90-95% kasus.16 Biopsi hati hanya diindikasikan bila AMA negatif. Pada gambaran histopatologik, didapatkan ciri khas berupa destruksi asimetris duktus biliaris dalam triad portal.17 Tata Laksana Terapi spesifik SBP adalah asam ursodeoksikolat (UDCA) 13-15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis, untuk jangka panjang. Sejak ditemukannya asam ursodeoksikolat, transplantasi hati pada SBP jauh berkurang.17 Terapi simtomatik ditujukan untuk mengatasi fatigue dan mengurangi gatal. Fatigue dapat dikurangi dengan modafinil 100-200 mg/ hari. Rasa gatal dikurangi dengan kolestiramin 4-16 g/hari, 2-4 jam sebelum atau sesudah asam ursodeoksikolat. Di samping itu, dapat diberikan rifampisin 1-2 x 150 mg/hari.16 KOLANGITIS SKLEROSA PRIMER Definisi Kolangitis sklerosa primer (KSP) adalah penyakit hati kolestatik kronis yang ditandai dengan inflamasi dan fibrosis saluran empedu intra- dan ekstrahepatik.18 Penyakit ini berjalan progresif, berakhir dengan sirosis hati dan dekompensasi hati, sebagian dapat berkembang menjadi kolangiokarsinoma.19 Hampir 70% KSP muncul bersama IBD (inflammatory bowel disease), terutama kolitis ulseratif. Adanya KSP dan IBD secara bersamaan akan meningkatkan risiko keganasan di kolon dan traktus bilier. Lakilaki lebih banyak yang terjangkit ketimbang perempuan, dengan perbandingan 2:1, onset usia 25-45 tahun. Faktor Risiko KSP berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, seperti jenis kelamin laki-laki, IBD, dan faktor genetik.20 Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila ditemukan ikterus, fatigue, pruritus, abdomen nyeri kuadran kanan atas, dan tanda-tanda kolestasis lainnnya. Pada penyakit ini, pemeriksaan serologi AMA negatif, sedangkan ANA (antinuclear antibodies) dan ASMA (antismoothmuscle antibodies) positif titer rendah. Langkah diagnostik rekomendasi AALSD (American Association for the Study of Liver Diseases) 2010 adalah sebagai berikut: 1. Pada pasien dengan gambaran kolestasis, disarankan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) atau ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) untuk menegakkan diagnosis KSP. Pada ERCP didapatkan iregularitas difus, striktur multipel, dan stenosis pada saluran empedu intra- dan ekstrahepatik. 2. Biopsi hati tidak direkomendasikan jika hasil kolangiografi sesuai dengan KSP. 3. Bila MRCP atau ERCP normal, disarankan biopsi hati untuk mendiagnosis small duct PSC (primary sclerosing cholangitis). Tata Laksana Terapi spesifik KSP adalah asam ursodeoksikolat (UDCA) 13-15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis, untuk jangka panjang. UDCA juga dapat menurunkan risiko displasia kolorektal pada pasien kolitis ulseratif yang disertai KSP.14 Pada kasus KSP dengan striktur yang dominan (diameter <1,5 mm di saluran empedu ekstrahepatik dan <1 mm di intrahepatik), dapat dilakukan tindakan dilatasi balon per endoskopik, dengan tujuan mengatasi obstruksi. Kolangitis terutama terjadi bila obstruksi mengenai saluran empedu ekstrahepatik. Untuk mengatasi kolangitis, diperlukan terapi antibiotik profilaktif jangka panjang dan drainase bilier. Transplantasi hati direkomendasikan pada gagal hati tahap lanjut akibat KSP. SIMPULAN Kolestasis intrahepatik merupakan sekumpulan penyakit yang secara klinis dan laboratoris menyerupai kolestasis ekstrahepatik, tetapi tidak memerlukan intervensi bedah. Ultrasonografi penting untuk penapisan awal guna membedakan kolestasis intra- dan ekstrahepatik. Tata laksana kolestasis intrahepatik disesuaikan dengan penyebabnya. Asam ursodeoksikolat (UDCA) merupakan salah satu obat terpilih untuk hampir semua bentuk kolestasis intrahepatik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sulaiman A. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 422-8. 2. 3. Soemohardjo S. Pendekatan klinis ikterus. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 135-8. Mukherjee S, Ozden N. Hyperbilirubinemia, unconjugated [Internet]. 2012 [updated 2012 Apr 1; cited 2012 Apr 3]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/178841overview. 4. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons principle of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill; 2005. p. 1870. 5. 6. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines: Management of cholestatic liver diseases. J Hepatol. 2009;51:237-67. Pratt DS, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons principle of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill; 2005. p. 242. 7. Sanityoso A. Hepatitis virus akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. vol. 1. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 64452.

570

CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


8. Cheney CP. Atypical manifestation of hepatitis A virus infection [Internet]. 2009 [cited 2011 Aug 31]. Available from: http://www.uptodate.com/ contents/ atypicalmanifestations-ofhepatitis-a-virus-infection. 9. Sutyana FD. Hipolipidemik. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 382.

10. Greenberg NJ, Baumgartner G. Diseases of gallbladder and bile ducts. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons principle of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill; 2005. p. 1890. 11. Aggarwal HK, Gupta A, Lamba A. Benign recurrent intrahepatic cholestasis. J Indian Acad Clin Med. 2008;9(4):307. 12. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. vol. 1. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 708-13. 13. Mehta N. Drug-induced hepatotoxicity [Internet]. 2010 [cited 2011 Jul 28]. Available from: http:// emedicine.medscape.com/article /169814-overview. 14. Dienstag JL. Toxic and drug-induced hepatitis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons principle of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill; 2005. p. 1838-44. 15. Kaplan MM, Gershwin ME. Primary biliary cirrhosis. N Engl J Med. 2005;353:1261-73. 16. Lindor KD, Gershwin ME, Poupon R, Kaplan M, Bergasa NV, Heathcote EJ. Primary biliary cirrhosis. AASLD practice guidelines 2009 [Internet]. 2009 [cited 2012 Jun 5]. Available from: http:// www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra043898. 17. Poupon R. Primary biliary cirrhosis: A 2010 update. J Hepatol. 2010;52:745-58. 18. Chapman R, Fevery J, Kalloo A, Nagorney DM, Boberg KM, Shneider B, Gores GJ. Diagnosis and management of primary sclerosing cholangitis. AASLD practice guidelines 2010 [Internet]. 2010 [cited 2012 Jun 5]. Available from: http://www.liver-eg.org/includes/pdf/Health%20care%20professions/guidelines/Primary%20Sclerosing%20Cholangitis-AASLD% 202010/PSC_22010.pdf. 19. Tabibian JH, Lindor KD, Chapman R, Fevery J, Kalloo A, Nagorney DM, Boberg KM, Shneider B, Gores GJ. Primary sclerosing cholangitis: A review and update on therapeutic developments. Expet Rev Gastroenterol Hepatol. 2013;7(2):103-14. 20. Baumgart DC. Primary sclerosing cholangitis, autoimmune hepatitis and overlap syndromes in inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol. 2008;14(3):331-7.

CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

571

Vous aimerez peut-être aussi