Vous êtes sur la page 1sur 21

REFERAT

GUILLAIN BARRE SYNDROM

Pembimbing : dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S, M.Kes

Disusun oleh : Jimmy Kusuma 11.2013.007

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA RUMAH SAKIT PANTI WILASA,DR. CIPTO SEMARANG PERIODE 14 OKTOBER 2013 16 NOVEMBER 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga referat Ilmu Penyakit Saraf tentang Guillain Barre Syndrome ini dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSU Panti Wilasa dr. Cipto Semarang.

Penulis menyadari ada banyak pihak yang turut mendukung pembuatan referat ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing saya, dr.Hexanto Sp S , dr.Endang kustiowati,Sp.S (K), Msi.Med, dr. Hadi yang telah membimbing saya selama kepaniteraan di RSU Panti Wilasa dr. Cipto dalam pembuatan referat ini.

Penulis sadar referat ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermafaat bagi semua pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Terimakasih.

Semarang, 28 Oktober 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................. DAFTAR ISI........................ BAB I. PENDAHULUAN....................1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................2 1. Definisi.. ............................2 2. Sejarah............................................................................................................................2 3. Epidemiologi .....................2 4. Etiologi ..................3 5. Patologi...........................................................................................................................4 6. Patogenesis ....................5 7. Klasifikasi ..................5 8. Gejala Klinis...................................................................................................................7 9. Kriteria Diagnostik.........................................................................................................8 10. Differential Diagnosis..................................................................................................10 11. Pemeriksaan Penunjang....................12 12. Komplikasi...................13 13. Terapi...................................14 14. Prognosis .................15 BAB III. KESIMPULAN....................17 DAFTAR PUSTAKA..................18

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya mempersarafi otot ,tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa.1

Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda, SGB ini seringkali mencemasakan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian , meskipun pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.1

Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2- 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4-6 bulan, dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien , meskipun ada beberapa gejala neurologis , sisa dapat menetap.1

Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Sindrom Guillain-Barre sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun gullien barre syndrom memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian. 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.1

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic Polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah Landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan cerebrospinal (CCS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan penyakit klinis, pemeriksaan CCS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.2

Epidemiologi

Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan 5

kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2% kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat sekitar 1-2% kasus/ 100.000 orang/tahun. Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai dewasa,sering pada anak anak dan remaja (China),dan sering pada orang tua > 70 tahun (pada negara barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit keturunan .tidak dapat menular lewat kelahiran ,terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS, bisa timbul seminggu atau dua seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokkan.1

Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 3,4 1. Infeksi 2. Vaksinasi 3. Pembedahan 4. Kehamilan atau dalam masa nifas 5. Penyakit sistemik a. Keganasan b. Systemic Lupus Erithematous c. Tiroiditis d. Penyakit Addison

SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi gastrointestinal.

Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu lebih diketahui dan disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB

Infeksi Virus

Definite CMV EBV

Probable HIV Varicella Zooster Vaccinia/ smallpox

Possible Influenza Measles Rubella Hepatitis Coxsackie Echo

Bakteri

Campylobacter jejuni Mycoplasma pneumonia

Typhoid

Borrella B Paratyphoid Brucellosis Chlamydia Legionella Listeria

Patologi

Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien penderita SGB. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di susunan saraf tepi. Meskipun penyakit ini sering didahului oleh bermacam-macam penyakit, namun patologi yang ditemukan sama pada semua pasien GBS. Infiltrasi perivenula terdiri atas limfosit berukuran kecil sampai sedang, makrofag dan sedikit sel PMN pada stadium awal penyakit. Namun pada stadium lanjut ditemukan adanya sel plasma dan sedikit sel mast. Limfosit yang berukuran kecil sampai sedang akan mudah untuk keluar dari vena masuk ke dalam parenkim saraf. Limfosit yang berukuran besar akan mengalami transformasi secara aktif melalui fagositosis oleh makrofag.5

Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi setelah 2-3 minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah sel makrofag. Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin

terpisah dan mencerna membran yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin. 5

Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan aktivasi lisosom dalam makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan terjadinya demielinisasi sampai mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi wallerian. Leukosit PMN juga tampak pada lesi yang hebat, mungkin sebagai respons dari jaringan yang nekrotik. Pada kasus dengan degenerasi wallerian yang luas, dalam sel cornu anterior dapat terlihat central

chromatolysis. Sedang pada keadaan degenerasi axonal dapat terlihat atrofi serabut otot akibat denervasi.

Patogenesis

Patogenesis Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini masih belum jelas. Tetapi beberapa penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang bersifat imunologik,1-3 Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri yang mendahului penyakit ini sering memberi kesan adanya respons yang diperantarai oleh sel. Patologi SGB yaitu inflamasi sel T di perivenula, mendukung patogenesis SGB diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel dimulai dengan presentasi antigen spesifik dan berhubungan dengan kompleks major histocompatibility antigens. Sel T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi makrofag tanpa adanya antigen. Kompleks MHC antigen mengaktifkan T helper untuk menghasilkan gamma interferon dan TNF yang akan mengaktifkan makrofag, dengan akibat destruksi sel schwann. T-helper juga menghasilkan interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan sel B sehingga menghasilkan antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen sehingga menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan kemotaksis makrofag, peningkatan permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast. Jadi dalam keadaan ini aktivasi komplemen berpartisipasi secara langsung atau secara tidak langsung dalam merusak myelin.5

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah : 1. Didapatnya antibodi atau adanya respons kekebalan seluler terhadap agen infeksi pada saraf tepi. 8

2. Adanya auto antibodi atau kekebalan seluler terhadap sistem saraf tepi. 3. Didapatnya penimbunan kompleks antigen antibodi pada pembuluh saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.2 Klasifikasi5-7

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel schwann.

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)

Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.

3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)

Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 4. Fishers syndrome (MFS)

Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralysis desendens ,berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti GQ1b 90% kasus.

5. Acute panautonomia

Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE) Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan kesadaran ,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE cukup baik. Gejala Klinis

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya bermanifestasi sebagai takikardi tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonomik termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas GI. 1-3,8

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu,

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis a. Terjadinya kelemahan yang progresif b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB a. Ciri ciri klinis: Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal 4 minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. Relative simetris Gejala gangguan sensibilitas ringan

10

Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot otot ektraokuler atau saraf otak lain. Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi peningkatan pada LP serial Jumlah sel CSS < 10 MN /mm3 Varian : o tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 mgg gejala o Jumlah sel CSS : 11 50 MN/ mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.2-4,8

Kriteria diagnostik

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas. Kelemahan otot paroximal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot pernapasan juga terjadi.

Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambarn utama, pasien SGB biasanya berkembang dari 11

kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien SGB inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.

1. Puncak defisit dicapai 4 minggu 2. Recovery biasanya dimulai 2 4 minggu 3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa paresthesi, baal, atau sensasi sejenis. 4. Gangguan Nn. cranialis: facial drop, diplopia, disartria, disfagis (N. VII,VI,V,IX, dan X) 5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas :

1. Abnormalitas motorik (kelemahan) Mengikuti gejala sensorik , khas : mulai dari tungkai , ascenden ke lengan 10% dimulai dengan kelemahan lengan walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari wajah (cervical pharyngeal brachial) kelemahan wajah terjadi pada seridaknya 50% pasien dan biasanya bilateral reflek: hilang/pada sebagian besar kasus.

2. Abnormalitas sensorik

Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan , glove & stocking sensation, simetris, tak jelas batasnya nyeri bisa berupa mialgia otot panggul, nyeri radikuler, manifes sebagai sensori terbakar, kesemutan, tersetrum ataksia sensorik krn propioseptif terganggu variasi : parestesi wajah & trunkus.

3. Disfungsi otonom a. hipertensi hipotensi sinus takikardi/bradikardi b. aritmia jantung illeus- refleks vagal c. retensi urin

12

Gambar 1. Fase Perjalanan Klinis

Fase-fase serangan SGB Maria Belladonna Fase prodromal fase sebelum gejala klinis muncul Fase laten o waktu antara timbul infeksi/prodromal yang mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis. o Lama : 1-28 hari, rata rata 9 hari. Fase progresif o fase defisit neurologis (+) o beberapa hari 4 minggu, jarang >8 minggu o dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat sampai maksimal o perburukan >8 minggu disebut chronic inflamatory demyelinating polyradiculoneurophatty (CIDP) Fase plateau o kelumpuhan telah maximal dan menetap o fase pendek : 2 hari, > 3 minggu, jarang > 7 minggu Fase penyembuhan o fase perbaikan kelumpuhan motorik o beberapa bulan.

13

Differential Diagnosis

1. Polineuropati Defisiensi Vitamin Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan bulan), gejala sensorik yang menonjol, kelemahan otot bagian distal, jarang mengenai otot pernafasan, saraf kranialis atau saraf otonom. Pada LP tidak ada kenaikan protein liquor.2

2. Miastenia Gravis Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot otot untuk menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin membaik. Didapatkan pembesaran tymus.2

3. Paralisis Periodic Hipokalemia

Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan sensorik yang diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan infuse KCl dalam larutan elektrolit akan membaik gejalanya.2

4. Transverse Myelitis

Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai otot wajah dan orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal shock. Gejala sensoris biasanya segmental sesuai dengan lesi. Terjadi inkontineasia urin yang persisten. Tetapi jarang terjadi gangguan pernafasan.8

5. Antibiotic Induced Paralysis

Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan pernafasan terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi ptosis dan internal ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.8

6. Polymyositis 14

Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai adanya gangguan sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit menurun. Tidak ditemukannya disfungsi otonom juga jarang melibatkan saraf cranial. Sering dijumpai fenomena Raynauds dan terjadi rash. Tidak ada kenaikan protein LCS. Pada EMG ditemukan fibrilasi.8

7. Vasculitis Neuropathy

Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan yang terjadi asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai saraf tersebut biasanya asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.8

8. Poliomyelitis

Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai adanya demam tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan pleositosis.8

9. Rabies

Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas tetapi asimetris. Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme, asimetris dan terjadi hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan dengan tipe pernafasan periodic, irregular. Pada LCS ditemukan pleositosis.8

Pemeriksaan Penunjang

1. LCS a. Disosiasi sitoalbumin Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 gr/L , tanpa peningkatan dari sel < 10 limfosit/mm3. b. Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5. peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV ,membantu menegakkan etiologi. 1. antibody glicolipid 15

2. antibody GMI 2. EMG a. Gambaran poliradikuloneuropati b. Test elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal 3. Ro: CT atau MRI Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati. Komplikasi 1 1. paralisis menetap 2. gagal nafas 3. hipotensi 4. tromboembolisme 5. pneumoniae 6. aritmia jantung 7. illeus 8. aspirasi 9. retensi urin 10. problem psikiatrik

SGB dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang lama dapat sampai 3-6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun tahun. Baik psien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.8

Kecacatan yang permanen terlihat pada 20%-30%, pasien dewasa, tetapi lebih sedikit pada anak anak anak. Disability yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal SGB dan SGB yang berbahaya , misalnya pada pasien dengan ventilator.8

16

Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20 % dari pasien dengan SGB gangguan lain yang signifikan adalah illeus dinamik, hiponatremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.8

Terapi

Tidak ada drug of choice

Roboransia saraf parenteral

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) 2-3,8

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/ tidak bermanfaatuntuk terapi SGB

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibody yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat Bantu nafas yang lebih sedikit ,dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

17

3. Pengobatan imunosupresan

a. Immunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/ komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4gr/KgBB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. b. Obat sitotoksik Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6 MP) Azathioprine Cyclophosphamid Efek samping dari obat obat ini adalah : alopesia ,muntah, mual, dan sakit kepala. c. Terapi fisik : alih baring 1. Latihan ROM dini u/ cegah kontraktur 2. hidroterapi d. Suportif : profilaksis DVT (heparin s.c) e. Analgesik 2,3,4, Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan , namun tidak untuk nyeri yang sangat , penelitian random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazephine pada ruang ICU pada perawan SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati hati kepada efek samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine dapat ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka panjang
2-3,8

Pemulihan

80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan 15% pulih sempurna 65% pulih dengan deficit neurologist ringan yang tdk dipengaruhi ADL 5-10% mengalami kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat berlangsung > 2 tahun 18

Mortalitas 3-5% Relaps : 2-10% Perburukan : 6% menjadi CIPD (chronic inflammatory demyelinating

polyradiculoneurophaty)

Prognosis

Faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis : Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot Umur tua Kebutuhan dukungan ventilator Perjalanan penyakit progresif dan berat Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: 1. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal 2. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset 3. progresifitas penyakit lambat dan pendek 4. pada penderita berusia 30-60 tahun.

19

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit pada sususnan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi , kadang kadang mengenai saraf saraf otak yang didahului oleh infeksi akut non spesifik seperti infeksi saluran nafas dan saluran cerna. Penyebab infeksi yang paling sering adalah Campylobacter jejuni. Adapun gejala utama dari SGB adalah kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia dan arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general. Dari pemeriksaan LCS didapatkan peningkatan protein tanpa peningkatan jumlah sel (MN < 10/ul). Dari pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf. Diagnostik SGB terutama ditegakkan secra klinis, yaitu dari kriteria dignostik SGB menurut the National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS). Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB , pengobatan terutama secara simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada

sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Kematian pada SGB disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Howard, L.Werner, Lowrence P. Levitt. Buku Saku Neurologi, Edisi ke V, Jakarta : EGC, 2001.

2. Stoll BJ, Kliegman RM. Behrman-Nelson Pediatric Textbook. Pennsylvania : Saunders inc, 2004.

3. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat, 2000.

4. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA : McGraw Hill, 2005.

5. Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 6th Ed. London : Williams & Wilkins, 2000.

6. Davids HR. Guillain-Barre Syndrome. Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview. [diakses tanggal 3 Septermber 2009]. Last Update ; 2012. 7. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses tanggal 3 September 2009]. Last update ; 2009. 8. Mumenthaler and Mattle. Fundamental of Neurology. Thieme. 2006. Page 146-147.

21

Vous aimerez peut-être aussi