Vous êtes sur la page 1sur 8

ADAPTASI PETANI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

January 10, 2013

M. Arief Firdaus (E2AA012014) Abstrak Meningkatnya kadar CO2 di atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil, pengerusakan dan alih fungsi hutan, kegiatan pertanian, industri dan limbahnya telah meyebabkan pemanasan global. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling dipengaruhi oleh perubahan iklim dikarenakan sifatnya yang banyak dipengaruhi oleh kondisi iklim lingkungan yang ada disekitarnya. Bagi petani kondisi ini mempunyai arti semakin tingginya ancaman menurunnya hasil pertanian atau bahkan gagal panen yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan. Kemampuan petani di tingkat lapangan untuk beradaptasi dengan kondisi ini menjadi sangat penting untuk mengurangi resiko ancaman yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Autonomous

adaptation merupakan bentuk adaptasi sektoral/individu yang dilakukan petani menghadapi perubahan iklim. Sedangkan planned adaptation bersifat multisekoral/menyeluruh dan
terencana. Beberapa faktor yang berhubungan dengan praktek pertanian yang adaptif (baik autonomous maupun planned adaptation) terhadap perubahan iklim adalah pengetahuan petani terhadap adanya perubahan iklim khususnya suhu udara dan curah hujan, pengalaman mengalami bencana terkait perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, sulitnya menentukan waktu tanam yang tepat, frekuensi pendampingan oleh tenaga tehnis, akses terhadap modal/input pertanian , akses dan pemanfaatan terhadap informasi klimatologi berhubungan dengan adopsi praktek pertanian yang adaptif, dan lokasi geografis. Bentuk praktek pertanian adaptif yang dijumpai dalam telaah ini adalah memajukan waktu tanam berdasarkan informasi klimatologi, melakukan pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai perkiraan informasi klimatologi, pemanfaatan bibit unggul yang tolerant terhadap kondisi tertentu seperti kadar garam tinggi atau kondisi kering atau basah, rotasi dan diversifikasi tanaman, pertanian terintegrasi, pemanfaatan pupuk hayati, pemanfaatan biopeptisida, pengaturan sistim irigasi dan kegiatan penanaman pohon. Kata kunci: perubahan iklim, adaptasi, pertanian, pemanasan global, praktek pertanian adaptif

1. PENDAHULUAN Pemanasan global yang dikaitkan dengan meningkatnya gas rumah kaca (terutama CO 2) membawa masalah yang serius bagi kelangsungan hidup umat manusia. Meningkatnya GRK diikuti oleh kejadian meningkatnya suhu secara global, terjadinya perubahan pola curah hujan dan semakin seringnya kejadian seperti banjir, kekeringan yang berkepanjangan, badai dan naiknya permukaan air laut. Di Asia dilaporkan telah terjadi kenaikan suhu sebesar 1oC-3oC dan di Indonesia terjadi kenaikan suhu yang moderate sebanyak 0.3oC. Akibat kenaikan suhu ini diperkirakan akan terjadi kenaikan muka air laut sebesar 3mm per tahun dan diproyeksikan pada akhir abad 21 permukaan air laut akan bertambah tinggi sebanyak 40cm. Perubahan iklim, variasi iklim dan semakin seringnya kejadian ektrim menjadi masalah seirus bagi kehidupan manusia. Kerugian materi, lingkungan dan bahkan jiwa mengancam kehidupan manusia (Cruz, 2007; PEACE, 2007). Indonesia, yang merupakan negara kepulauan dan dikategorikan sebagai Negara berkembang menjadi sangat rentan akan situasi iklim yang tidak menentu. Berdasarkan data BNPB 2012 dilaporkan 3 dari 4 bencana yang paling sering muncul dalam kurun waktu periode 1815-2012 secara berturut-turut adalah banjir, puting beliung, dan kekeringan. Sedangkan di Provinsi

Bengkulu bencana yang sering terjadi selain gempa bumi dan gunung meletus, adalah banjir, kekeringan, dan gelombang pasang. Pertanian merupakan salah satu sektor yang paling rentan dipengaruhi oleh perubahan iklim dan atau variasi iklim. Menurunnya produktifitas pertanian yang disebabkan oleh phenomena ini pada akhirnya akan mengancam ketahanan pangan bagi manusia. Kekeringan, banjir, dan intrusi air laut merupakan salah satu contoh ancaman yang akan semakin sering dijumpai oleh petani di Indonesia. Rusaknya lingkungan dan praktek pertanian yang tidak ramah lingkungan juga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis. Kejadian meledaknya serangan hama, salinitas yang semakin tinggi merupakan akibat dari ancaman di atas (Guntoro, 2011; Wiryono. 2012). Kemampuan petani untuk beradaptasi dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim menjadi semakin penting untuk mengurangi kerugian yang dapat diakibatkan olehnya. Adaptasi perubahan iklim dapat diartikan sebagai bentuk response penyesuaian yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim (UNISDR, UNDP, 2012). Dalam sektor pertanian hal ini antara lain bisa dilakukan dengan cara pemanfaatan informasi mengenai suhu dan curah hujan dalam menentukan waktu tanam dan menentukan jenis tanaman yang sesuai, mempergunakan bibit yang tolerant (misalnya terhadap kadar garam tinggi, tingkat ketersediaan air ), menggunakan cara pengolahan lahan yang lebih baik, dll. Adopsi praktek pertanian ini lebih lanjut dipengaruhi oleh fator ekternal seperti kemampuan petani memperoleh akses modal, akses terhadap informasi dan pelatihan, termasuk persepsi petani mengenai perubahan iklim (Nhemachena, Charles , and Hasan Rashid. 2008). Dalam konteks pengelolaan bencana, tingkat resiko dari bencana adalah berbanding lurus terhadap kerentan dan ancaman dan berbanding terbalik dengan kapasitas (BNPB, 2008). Ketersediaan data mengenai faktor-faktor ini menjadi sangat penting untuk pengelolaan resiko bencana. Dalam bidang pertanian identifikasi ancaman, kerentanan, dan kapasitas dalam menangani resiko bencana yang terkait dengan perubahan iklim menjadi sangat penting dalam penyusunan rencana penanggulangan dampak perubahan iklim. Hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa dalam penyusunnan rencana penanggulangan bencana ini menjadi sangat penting untuk memasukkan unsur perubahan iklim (Nhemachena, Charles , and Hasan Rashid. 2008). 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN MAKALAH Makalah ini ditulis untuk melihat bentuk adaptasi petani dalam mengatasi perubahan iklim dan faktor-faktor yang mempengaruhi praktek pertanian yang adaptif yang dilakukan dilapangan. Bentuk adaptasi yang dimaksud adalah bentuk yang terencana (planned adaptation) maupun yang mandiri atau sektoral (autonomous adaptation). Dalam penulisan ini akan dilihat studi kasus pelaksanaan sekolah lapang iklim sebagai bentuk planned adaptation dan studi adopsi pertanian yang adaptif yang ditemukan dilapangan dari beberapa penelitian yang dilakukan sebagai bentuk autonomous adaptation. Secara umum pemahaman mengenai tingkat kapasitas petani dalam menghadapi perubahan iklim berguna untuk menentukan jenis intervensi bagi petani dalam konteks pengelolaan resiko bencana (yang berhubungan dengan perubahan iklim), dan secara khusus membantu mengurangi resiko berkurangnya produktifitas hasil pertanian yang mengancam ketahanan pangan

3. PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI DI BIDANG PERTANIAN Perubahan Iklim Perubahan iklim menjadi isu lingkungan di seluruh dunia saat ini. Isu ini berhubungan dengan terjadinya pemanasan global yang dikaitkan dengan meningkatnya kandungan gas rumah kaca (terutama karbon dioksida) di udara. Bertambahnya gas rumah kaca (GRK) ini menyebabkan suhu

udara global meningkat. Di Indonesia 85% kenaikan CO2 disebabkan oleh alih fungsi lahan dan kebakaran hutan (LUCF-Land use conversion and Fire). Diperkirakan laju alih fungsi hutan di Indonesia mencapai 1.2 juta Ha per tahun dan hampir 50% dari 108 juta Ha kondisi hutan dalam keadaan rusak. Selain LUCF, sektor energi, pertanian dan limbah adalah 3 faktor lain yang berkontribusi terhadap kenaikan CO2. Namun demikian kontribusi LUCF di Indonesia lima kali lebih besar dibandingkan total CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan energi, pertanian dan limbah. Berbeda dengan Amerika sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia, dimana sektor energi merupakan 2007). Secara umum di Asia terjadi kenaikan suhu sebesar 1oC-3oC. Selain kenaikan suhu dilaporkan terjadinya perubahan curah/pola hujan, dan semakin seringnya kejadian banjir, dan kekeringan. Meningkatnya suhu global juga menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia antara lain adalah naiknya suhu rata-rata tahunan sebesar 0.3oC, penurunan dan perubahan pola hujan. Terjadi penurunan sebesar 2%-3% dimana curah hujan di bagian selatan mengalami kenaikan sedangkan di bagian utara mengalami penurunan. Dampak yang dapat ditimbulkan dari kondisi ini antara lain adalah ketersediaan air yang tidak menentu, kekeringan, banjir, intrusi air laut yang disebabkan oleh meningkatnya tinggi permukaan air laut. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemampuan produksi pertanian yang bisa mempengaruhi ketahanan pangan (FAO, 2007). Diperkirakan di Indonesia akan mengalami kenaikan suhu sebesar 0.1oC- 0.3oC per dekade sampai akhir abad 21. Ini berarti pada akhir abad ke 21 kenaikan suhu di Indonesia akan mencapai hingga 3oC. saat ini peningkatan permukaan air laut sebesar 2 mm dan di Asia sebesar 2-3mm per tahun. Di Indonesia misalnya instrusi air laut dan penurunan tanah di teluk Jakarta telah menyebabkan kerugian infrastruktur dan ekonomi. (Cruz, et al. 2007) Dalam kurun waktu 1900 2006 dilaporkan oleh CRED pada tahun 2007 terjadinya peningkatan kejadian bencana yang terkait dengan perubahan iklim walaupun belum bisa dipastikan apakah kejadian ini semata-mata disebabkan oleh adanya perubahan iklim atau oleh faktor lainnya (Prabhakar, et al. 2009). Di Indonesia berdasarkan data kebencanaan BNPB 2012, dilaporkan dalam periode waktu 1815-2012 bencana banjir (38%), puting beliung (18%), tanah longsor (16%) dan kekeringan (13%) merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Hal serupa terjadi di Provinsi Bengkulu dimana banjir, kekeringan, gelombang pasang/abrasi adalah bencana yang sering terjadi selain gempa bumi. penyumbang terbesar terhadap meningkatnya gas CO2 di udara. Indonesia merupakan Negara ke tiga terbesar didunia yang menyumbangkan naiknya kadar CO2 (PEACE.

Kejadian kenaikan suhu global, kekeringan, banjir, perubahan pola hujan, intrusi air laut mengancam produktifitas di bidang pertanian, ketersediaan air, dan masalah kesehatan. Diperkirakan setidaknya 81.000 petani harus memiliki sumber matapencaharian alternatif dikarenakan terganggunya lahan mereka akibat perubahan iklim (Cruz, et al. 2007).

Tingkat kerentanan di Negara berkembang seperti Indonesia khususnya petani kecil/gurem lebih tinggi dibandingkan Negara maju lainnya. Faktor yang berperangaruh antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesadaran petani terhadap perubahan iklim, akses terhadap informasi mengenai pertanian yang adaptif, kemampuan adaptasi, dan akses terhadap sumber keuangan. Kebijakan pemerintah terhadap penelitian pengembangan pertanian yang adaptif juga merupakan faktor penting untuk meningkatkan kapasitas petani untuk beradaptasi (Nhemachena, Charles , and Hasan Rashid. 2008, Idrisa Et al. 2012).

Adaptasi Perubahan Iklim

Pengelolaan

pengurangan

resiko

bencana

adalah

suatu

cara

yang

sistematis

dalam

mengidentifikasi ancaman, kerentanan, kapasitas dan upaya menentukan langkah persiapan dan pengurangan resiko bencana. Kejadian banjir, kekeringan, perubahan pola hujan, intrusi air laut merupakan bentuk ancaman yang sifatnya sangat dinamis. Adanya perubahan iklim menjadikan suatu tempat/wilayah memiliki kondisi ancaman yang lebih dinamis. Misalnya saja desa yang tadinya memiliki ancaman banjir ke depan berpotensi memiliki ancaman kekeringan atau keduanya dalam rentang waktu tertentu atau meningkatnya ancaman akan jenis bencana tertentu misalnya mengalami badai dalam rentang waktu yang lebih panjang atau lebih sering (Prabakar, et al. 2009).

Kerentanan dan kapasitas secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah kondisi suatu tempat atau masyarakat yang menyebabkan masyarakat/tempat tersebut menjadi lebih rentan atau lebih tahan menghadapi ancaman bahaya. Dalam kontek pertanian misalnya kurangnya pengetahuan mengenai cara bertani adaptif terhadap perubahan iklim adalah salah satu contoh kerentanan sosial. Sedangkan akses terhadap jasa keuangan seperti kredit, tingkat pendidikan yang tinggi, ketersediaan tenaga tehnis pertanian yang dapat diakses dengan mudah adalah contoh kapasitas dari segi sosial dan ekonomi. Tingkat resiko bencana secara sederhana dapat diartikan berbanding lurus dengan kerentanan dan ancaman dan berbanding terbalik dengan kapasitas (BNPB, 2008).

Dalam konteks Indonesia misalnya bentuk dan letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan dikelilingi oleh lautan, kepemilikan lahan pertanian yang sempit, terbatasnya akses petani terhadap tenaga tehnis pertanian, rendahnya akses petani gurem terhadap jasa keuangan merupakan contoh kerentanan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain adanya program pemberdayaan bagi petani baik oleh pemerintah atau lembaga pemerintah yang bersifat lokal atau nasional merupakan salah satu contoh bentuk kapasitas yang dapat membantu mengurangi dampak negatif perubahan iklim di sektor pertanian.

Adaptasi perubahan iklim dapat diartikan sebagai bentuk response penyesuaian yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim (UNISDR, UNDP, 2012). Kemampuan adaptasi merupakan kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim (Prabhakar, et al. 2007). Dalam kontek pertanian adaptasi perubahan iklim dapat diartikan upaya yang dilakukan melalui praktek pengelolaan pertanian yang beragam di tingkat individu dan juga pemerintah dimana petani memiliki akses terhadap praktek alternatif dan tehnologi yang diperlukan (Nhemachena, Charles , and Hasan Rashid. 2008).

Bila diuraikan lebih detail terdapat dua jenis adaptasi yaitu Autonomous adaptation dan Planned

adaptation. Adaptasi sektoral atau otonom adalah bentuk reaksi akibat perubahan iklim misalnya
saja bila petani merubah waktu tanam/olah lahan atau waktu panen dikarenakan adanya perubahan pola curah hujan. Adaptasi bersifat spesifik dan terjadi dalam skala kecil atau individu. Bentuk adaptasi kedua yang bila diterjemahkan secara bebas adalah bentuk adaptasi yang terencana, menyeluruh dan biasanya bersifat multisektoral. Misalnya saja kebijakan distribusi dan seleksi jenis tanaman atau bibit berdasarkan wilayah sesuai kondisi iklim masing masing wilayah disertai penyediaan akses informasi cuaca bagi petani dan pemberian skema kredit atau input pertanian sesuai jenis tanaman (FAO, 2007).

Perubahan dan variasi iklim akan menjadi suatu tantangan tersendiri bagi negara/daerah yang pertaniannya masih mengandalkan irigasi air hujan dan ekonominya masih sangat tergantung pada sumberdaya alam. Diperlukan kerangka adaptasi yang multisektoral untuk menghadapi dampak perubahan dan variasi iklim yang meliputi aspek:

Legislasi dan Institusi. Contohnya saja mekanisme kerja sama antar institusi dan alokasi sumberdaya Kebijakan dan Perencanaan. Contohnya saja meliputi pengawasan, perumusan strategi adaptasi dan analisa resiko Livelihood, meliputi ketahanan pangan, kemiskinan, dan akses terhadap sumberdaya yang tidak diskriminatif Pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, dan sistem pertanian yang integrasi Ekosistim dengan mempertimbangkan keragaman hayati seperti komposisi biohayati Keterkaitan proses adaptasi dengan penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan

Penyesuaian yang sifatnya jangka pendek, dan sektoral bisa dikategorikan kedalam adaptasi yang Autonomous. Pada skala lahan pertanian, praktek yang dilakukan secara individu yang merupakan response dari kejadian banjir, kekeringan, intrusi air laut juga bisa dikategorikan pada pola pendekatan yang bersifat sektoral. Namun demikian apabila praktek tersebut diakibatkan oleh serangkaian intervensi yang dirancang oleh pemerintah atau lembaga tertentu secara terencana, menyeluruh melalui kerangka pendekatan adaptasi yang disebutkan di atas bisa dikategorikan pada planned adaptation.

Planned Adaptation: Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Sekolah Lapang Iklim


Salah satu contoh implementasi adaptasi perubahan iklim mengacu pada kerangka pendekatan di atas antara lain adalah pilot projek climate field school (CFS) yang dilakukan di Indonesia dan Phililipina. Pelaksanaan projek ini melibatkan beberapa instansi seperti dinas pertanian Indramayu, direktorat perlindungan tanaman pangan, BMG, IPB dan ADPC. Dimana ide utama dari CFS ini adalah adanya akses informasi mengenai prakiraan cuaca yang dapat dimengerti dan aplikatif bagi petani yang disampaikan secara regular dan tepat, dan penyebar luasan praktek pertanian yang adaptif dikalangan petani. Dengan adanya informasi ini misalnya petani dapat melakukan pemilihan jenis tanaman, waktu penanaman dan investasi input pertanian yang lebih tepat sesuai dengan informasi prakiraan cuaca dalam periode waktu tertentu (UNISDR, 2006). Pada prinsipnya yang membedakan sekolah lapang iklim dengan sekolah lapang lainnya adalah sekolah lapang iklim ini memberikan informasi yang dibutuhkan oleh petani untuk menentukan kapan dan jenis tanaman apa yang harus mereka tanam dalam kurun waktu terntentu. Ketika petani mengetahui misalnya, musim hujan akan baru akan terjadi 1 bulan kedepan, artinya mereka dapat memperkirakan kapan mereka harus memulai pengolahan lahan, kapan mereka harus mempersiapkan bibit, dan input pertanian lain yang dibutuhkan yang sesuai dengan jenis tanaman yang akan di tanam pada saat musim tertentu. Informasi mengenai prakiraan suhu, kelembaban, dan curah hujan selama ini sebetulnya telah tersedia, hanya saja masih terbatas digunakan oleh staff pemerintahan dan relatif sulit untuk dimengerti oleh petani. Dengan kata lain informasi yang ada belum bisa menjadi informasi yang operasioanal bagi petani di lapangan. Melalui sekolah lapang ini informasi ini dikemas sehingga petani mengetahui apakah mereka harus menanam atau tidak. Jika akan menanam jenis tanaman apa yang sesuai dengan informasi yang ada. Sehingga pada akhirnya mereka dapat menentukan aktifitas dan jenis input pertanian apa yang perlu mereka persiapkan. Dalam kontek keberlanjutan, pendekatan sekolah lapang iklim ini mengharuskan komitmen pemerintah dalam memberikan akses informasi yang operasional seperti di atas secara terusmenerus pada petani. Penyebarluasan kemampuan mengemas informasi dalam bentuk yang lebih

informative dan operasional menjadi salah satu kunci berhasil tidaknya pendekatan sekolah lapang iklim ini. Faktor penting lainnya adalah tingkat keakuratan data klimatologi yang merupakan sumber utama sebelum kemudian data ini dikemas menjadi data yang informatif dan operasional bagi petani. Keakuratan informasi ini berhubungan dengan tehnologi alat yang digunakan dan jumlah alat yang tersedia yang pada akhirnya berhubungan dengan seberapa besar alokasi anggaran pemerintah dalam menjamin ketersediaan alat yang dibutuhkan. Faktor lainnya yang juga tidak kalah penting adalah ketersediaan tenaga pendamping tehnis yang dapat menyampaikan infromasi ini kepada seluruh petani yang ada diwilayahnya masing-masing.

Autonomous adaptation:Praktek pertanian yang adaptif di tingkat petani dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya Di tingkat petani, pengetahuan, dan praktek pertanian yang adaptif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengetahuan mengenai sebab akibat perubahan iklim misalnya dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani, akses terhadap informasi dan kunjungan tenaga tehnis lapangan. Selain dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pemahaman mengenai perubahan iklim, akses terhadap sumberdaya keuangan/kredit/input pertanian, akses terhadap informasi dan tehnologi yang diperlukan dan tenaga teknis dapat mempengaruhi tingkat praktek yang adaptif. (UNISDR, 2006; Idrisa et al, 2012). Penelitian lain menunjukkan perbedaan tempat dan pengalaman terhadap kejadian ekstrim menentukan metode adaptasi yang dipilih oleh petani. Misalnya saja petani di daerah yang rendah lebih banyak yang melakukan konservasi lahan, melakukan penanaman pohon dan mengatur sistim pengairan dibandingkan melakukan diversifikasi tanaman, sedangkan petani di daerah yang tinggi lebih sedikit melakukan penanaman pohon. Contoh lain terkait adopsi adaptasi perubahan iklim adalah petani yang tinggal di daerah dengan suhu tahunan yang lebih tinggi dan petani yang tinggal di daerah dengan curah hujan yang lebih lebih rendah memiliki kecenderungan melakukan adaptasi perubahan iklim melalui pemeliharaan lahan, penggunaan tanaman yang lebih beragam, mengubah waktu tanam, dan melakukan irigasi (Deressa, T.T et al, 2008). Dari kedua hasil penelitian tersebut, menunjukkan bentuk adaptasi terjadi di tingkat individu, dimana individu tersebut memiliki attribute tertentu yang mempengaruhi bentuk response yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim. Adaptasi yang dilakukan merupakan reaksi dari kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim dan faktor lainnya baik secara internal maupun eksternal. Yang membedakan dengan bentuk adaptasi melalui sekolah lapang adalah reaksi atau response yang dilakukan bersifat tidak terencana dan sistematis. Namun demikian hal ini masih bisa dikategorikan dalam bentuk adaptasi.

Beberapa point hasil studi di atas sebetulnya relevan dengan hasil intervensi sekolah iklim. Misalnya saja ketersediaan informasi mengenai cuaca, ketersediaan tenaga pendamping tehnis, akses terhadap input pertanian mempengaruhi adopsi pertanian yang adaptif. Dalam konteksautonomous adaptation hal tersebut menjadi variable yang sifatnya dinamis dari satutempat ke tempat lainnya dikarenakan banyak faktor antara lain kebijakan dan alokasi anggaran dalam penyedian hal tersebut di atas. Berdasarkan studi di atas faktor lainnya yang bersifat dinamis adalah letak geografis dan kondisi cuaca/iklim dimana pertanian dilakukan. Pemahaman petani mengenai faktor ini menjadi penting agar mereka dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Adanya

bentuk autonomous upaya

adaptation yang
petani

didukung

oleh planned perubahan

memaksimalkan

adaptasi

dalam

menghadapi

adaptation akan iklim. Planned

adaptation khususnya melalui penyedian akses informasi, inovasi tehnologi, ketersediaan tenaga

pendampingan,

akses

terhadap

input

pertanian

seperti

bibit

unggul

dapat

menjamin

keberlangsungan pertanian yang adaptif. Bentuk ancaman perubahan iklim bersifat dinamis dan kompleks dimana di tingkat lapangan akan sangat sulit bagi petani untuk memprediksi bentuk perubahan iklim yang berubah-ubah dengan skala yang beragam. Planned adaptation yang menyeluruh dengan memanfaatkan teknologi untuk memprediksikan bentuk ancaman ancaman perubahan iklim terhadap pertanian kemudian menyampaikannya dalam bentuk yang mudah dimengerti dan operasional di tingkat lapangan, menyediakan akses terhadap layanan keuangan atau akses terhadap input pertanian dapat membantu petani untuk melakukan adaptasi dilapangan.

Pemahaman

mengenai tingkat adaptasi

yang

dilakukan

petani dan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi adopsi pertanian yang adaftif membantu dalam menentukan jenis intervensi apa yang dapat dilakukan. Dalam konteks pengurangan resiko bencana hal ini dilakukan melalui penilaian ancaman, kerentanan dan kapasitas. Hasil penilaian ini kemudian dijadikan landasan dalam menentukan rencana aksi penaggulangan resiko bencana (yang disebkan oleh perubahan iklim).

4. KESIMPULAN Sektor pertanian merupakan sektor yang rentan terhadap perubahan iklim. Bahaya banjir, kekeringan, intensitas curah hujan yang tinggi, naiknya permukaan air laut mengancam produktifitas pertanian. Diperlukan upaya untuk melakukan pengelolaan resiko bencana akibat perubahan iklim dalam konteks pertanian. Dalam manajemen pengelolaan bencana, penilaian ancaman, kerentanan, dan kapasitas merupakan langkah pertama yang harus dilakukan sebelum merancang bentuk intervensi yang perlu dilakukan. Identifikasi kemampuan adaptasi merupakan salah satu penilaian bentuk kapasitas sekaligus kerentanan yang harus dilakukan. Bentuk adaptasi dapat berupa autonomous adaptation ataupun planned adaptation. Keduanya merupakan upaya yang ditujukan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim. Praktek pertanian yang adaptif ditingkat petani/lapangan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pengalaman/pemahaman mengenai perubahan iklim, akses terhadap informasi dan tenaga tehnis lapangan, akses terhadap layanan keuangan/input pertanian/modal, dan kondisi geografis atau cuaca dimana pertanian dilakukan. Autonomous adaptation dilakukan secara sektoral atau individu. Disisi lain planned adaptation bersifat terencana, dan multisektoral. Sekolah lapang iklim misalnya bukan saja mengajarkan praktekpraktek pertanian yang unggul tetapi juga melakukan pemanfaatan informasi kimatologi dalam bentuk yang mudah dimengerti dan aplikatif agar petani dapat menentukan bentuk adaptasi yang harus dilakukan. Bentuk autonomous dinamis.

adaptation yang

didukung

oleh planned

adaptation dapat

menjamin

keberlangsungan pertanian yang adaptif dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang Keterbatasan petani ditingkat lapangan tidak memungkinkan melakukan prediksi bentuk ancaman dari perubahan iklim yang dinamis dari waktu ke waktu. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksikan bentuk ancaman dan pengemasan informasi dalam bentuk yang mudah dimengerti dan operasional dapat membantu petani dalam menentukan bentuk adaptasi yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Cruz, R.V., H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, 2007: Asia. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of theIntergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.,Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506

Deressa, T. T., R. M. Hassan, C. Ringler, T. Alemu, and M. Yesuf. 2008. Analysis of the Determinants of Farmers Choice of Adaptation Methods and Perceptions of Climate Change in the Nile Basin of Ethiopia, IFPRI Discussion Paper No. 798 (Washington, DC: International Food Policy Research Institute, 2008).

FAO. 2007. Adaptation to Climate Change in Agriculture, Forestry, and Fisheries: Perspective, Framework, and Priorities. Rome

Guntoro, Suprio. 2011. Saatnya Menerapkan Pertanian Tekno-Ekologis. AgroMedia Pustaka. Jakarta

Nhemachena, Charles , and Hasan Rashid. 2008. Micro Level Analysis of Farmers Adaptation to Climate Change in Southern Africa. IFRI. Washington DC

PEACE. 2007. Indonesia and Climate Charge: Current Status and Policies

Prabhakar, S.V.R.K., A. Srinivasan, and R. Shaw. 2009. Climate change and local level disaster risk reduction planning: need, opportunities and challenges. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 14:7-33

UNISDR, UNDP, 2012: Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation in the Pacific: An Institutional and Policy Analysis. Suva, Fiji: UNISDR, UNDP, 76pp

UNISDR. 2006. Changing perceptions and practices in risk management:Climate Field Schools. UNISDR INFORMS. (2): 2006

Wiryono. 2012. Pengantar Ilmu Lingkungan. Badan Penerbitan Fakultas Pertanian UNIB. Bengkulu

USAID. 2007. Adapting to Climate Variability and Change: A Guidance Manualor Developing Planning.

Y. L. Idrisa1, B. O. Ogunbameru, A. A. Ibrahim and D. B. Bawa1. 2012. Analysis of Awareness and Adaptation to Climate Change among Farmers in the Sahel Savannah Agro-ecological Zone of Borno State, Nigeria. British Journal of Environment & Climate Change, 2(2): 216-226, 2012

Vous aimerez peut-être aussi