Vous êtes sur la page 1sur 53

BAB I PENDAHULUAN

Uveitis merupakan suatu keadaan inflamasi generalisata ketiga bagian uvea, yaitu iris, badan silier dan koroid. Hal ini tidak hanya mempengaruhi uvea, tetapi juga retina dan badan kaca. Uveitis dibagi menjadi 3 golongan penyakit berdasarkan lokasi anatomisnya, yaitu uveitis anterior, posterior dan panuveitis. Diagnosis panuveitis dapat ditegakkan apabila terdapat gejala di bawah ini: 1. Adanya bukti peradangan pada koroid atau retina seperti koroiditis (fokal, multifokal, serpiginosa), granuloma koroid, retionokoroiditis, vaskulitis retina, abses subretina, retinitis nekrotik atau neuroretinitis dengan 2. Adanya peradangan badan kaca (sel vitreus atau vitritis) dan 3. Adanya tanda uveitis anterior (sel dan flare pada bilik mata depan, presipitat keratik atau sinekia posterior) Pada studi komunitas besar, kejadian uveitis yang paling banyak terjadi adalah anterior (71%) diikuti posterior (5%) dan panuveitis (2%). Kebanyakan kasus uveitis anterior disebabkan oleh idiopatik (38-56%), juvenile idiopathic arthritis (9-11%), keratouveitis herpetik (6-10%). Toksoplasmosis merupakan penyebab terbanyak kasus uveitis posterior, sedangkan panuveitis disebabkan oleh idiopatik (22-45%) dan sarkoidosis (14-28%). Panuveitis cenderung lebih banyak terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan dibandingkan Amerika Utara, Eropa dan Australia. Tuberkulosis dan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada merupakan penyebab terbanyak kasus panuveitis di India. Terapi utama dari uveitis adalah kortikosteroid. Agen imunosupresif diberikan apabila peradangan tidak dapat dikontrol dengan kortikosteroid. Salah satu terobosan baru dalam pengobatan uveitis refrakter meliputi penggunaan imunomodulator: antagonis tumor necrosis factor dan interferon . Vitrektomi telah digunakan dalam penatalaksanaan uveitis sejak lama dengan tujuan diagnostik dan terapeutik.

Jika dibandingkan berdasarkan tempat peradangannya, panuveitis memiliki hasil keluaran penglihatan yang lebih buruk karena luasnya penyebaran area radang. Dalam penulisan referat ini, penulis bertujuan untuk secara umum memahami mengenai panuveitis dan secara khusus memahami mengenai manifestasi klinis, pemeriksaan dan tatalaksana yang tepat untuk mengatasi panuveitis serta komplikasi dan prognosisnya. Penulis berharap dengan adanya referat ini dapat membantu secara teoritis memperluas wawasan pembaca mengenai panuveitis dan secara aplikatif dapat diterapkan dalam praktik klinis untuk meningkatkan kewaspadaan klinis dan dapat memberikan informasi baik kepada masyarakat maupun sejawat praktisi kesehatan mengenai panuveitis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 ANATOMI Uvea merupakan bagian tengah mata. Kata uvea berasal dari bahasa Latin yang berarti anggur, karena para ahli anatomi beranggapan bahwa pengelupasan bagian luar mata akan memperlihatkan struktur mirip buah anggur. Bagian anterior uvea meliputi iris dan badan siliar, sedangkan bagian posterior dikenal sebagai koroid. Bagian ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Struktur ini ikut mendarahi retina.1

Gambar 1. Traktus Uvealis Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10.

2.1.1. Iris Iris adalah perpanjangan badan siliar ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kearah anterior.2
3

Pembuluh darah iris termasuk arteri, vena, dan kapiler. Angioarsitektur akan mencegah oklusi luminal dari lipatan atau kusut yang disebabkan karena dilatasi iris.3 Perdarahan iris didapat dari sirkulus mayor iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.2 Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui saraf kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.2 2.1.2. Badan siliar Badan siliar, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Badan siliar terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Prosesus siliar berasal dari pars plicata. Prosesus siliar ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vortikosa.2 Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapisan epitel siliar yaitu, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliar dan epitel siliar pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.3

Gambar 2. Tampilan Posterior Badan Siliar, Zonula, Lensa, dan Ora Serrata Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10

Otot siliar, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliar. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapang pandang. Serat-serat longitudinal otot siliar menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. Badan siliar mempunyai sistem ekskresi di belakang limbus.3 Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata. Otot ini dan otot melingkar badan siliar yang bila berkontraksi pada akomodasi akan mengakibatkan mengendurnya Zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa dipersarafi oleh saraf parasimpatik dan bereaksi baik terhadap obat parasimpatomimetik. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi badan siliar berasal dari sirkulus arteriosus mayor iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliar.4

Gambar 3. Sudut Bilik Mata Depan dan Struktur di Sekitarnya Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10

2.1.3. Koroid Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid yaitu besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vortikosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera.2 Ruang suprakoroid terletak di antara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi saraf optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan badan siliar.2

Gambar 4. Potongan Melintang Koroid Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10

Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh dua buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan tujuh buah arteri siliar anterior, yang terdapat dua pada setiap otot superior, medial inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15-20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf optik.4
6

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior, yaitu: 1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar mengandung serabut sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar. 2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari serabut simpatis yang melingkari arteri karotis, mempersarafi pembuluh darah uvea, dan untuk dilatasi pupil. 3. Akar saraf motor membantu saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil. Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Kumpulan pembuluh menyokongnya.4 darah koroid mendarahi bagian luar retina yang

Gambar 5. Suplai Pembuluh Darah Segmen Anterior Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10.

2.2 PENGERTIAN Perubahan patologis umum yang melibatkan uvea adalah penyakit inflamasi dan neoplastik. Perubahan inflamasi dikenali secara klinis dengan berbagai bentuk uveitis.3 Uveitis merupakan inflamasi pada traktus uvea dan dapat dibagi menjadi uveitis anterior (termasuk iritis dan iridosiklitis), uveitis intermediate, uveitis posterior (termasuk retinitis, koroiditis, dan vaskulitis), dan panuveitis.5 Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea, maka keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior. Iridosiklitis bila baik iris maupun pars plicata dari badan siliar terlibat dalam inflamasi. Bila terjadi radang pada badan siliar, maka disebut uveitis intermediate, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis. Bila terjadi radang pada koroid, maka disebut uveitis posterior. Namun dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup inflamasi pada retina (retinitis), pembuluh-pembuluh retina (vaskulitis retinal), dan saraf optik intraokular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi sekunder akibat radang kornea (keratitis), radang sklera (skleritis), atau keduanya (sklerokeratitis).2,4,5

Gambar 6. Klasifikasi Anatomi Uveitis Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach.7th ed. Elsevier: 2011

Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan berpengaruh pada 10-20% kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis lebih banyak ditemukan di negaranegara berkembang dibandingkan negara-negara maju karena lebih tingginya prevalensi infeksi yang bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberkulosis di negaranegara berkembang,2 Panuveitis atau uveitis difus menunjukkan suatu kondisi adanya infiltrasi selular yang kurang lebih merata di segmen anterior maupun posterior. Gambaran yang khas berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis, bisa ditemukan dan sering kali memerlukan tes diagnostik lanjutan.2 2.3 ETIOLOGI Infeksi tuberkulosis, sarkoidosis, dan sifilis harus dipertimbangkan pada pasien-pasien uveitis difus. Penyebab yang lebih jarang antara lain oftalmia simpatetik, sindrom VogtKoyanagi-Harada, sindrom Behet, retinokoroiditis bird-shot, dan limfoma intraokular.2
Tabel 1. Penyebab Uveitis Difus

Sarkoidosis Tuberkulosis Sifilis Onkosersiasis Leptospirosis Bruselosis Oftalmia simpatetik Penyakit Behet Sklerosis multipel Sistiserkosis Sindrom Vogt-Koyanagi Harada Sindrom masquerade: retinoblastoma, leukemia Benda asing intraokular di retina
Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10

2.3.1. Uveitis Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit sisemik dengan keterlibatan okular (paling umum uveitis) yang dihasilkan dari penyebaran hematogen ke mata. Tuberkulosis disebarkan lewat kontak manusia ke manusia.3 Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi memerlukan perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma koroid atau granuloma iris. Granuloma-granuloma atau tuberkel tersebut mengandung sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas ditemukan pada pemeriksaan histopatologik.Walaupun infeksinya dikatakan berasal dari suatu fokus primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang ditemukan pada pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. Pemeriksaan harus mencakup rontgen dada dan uji kulit dengan PPD dan kontrol positif, misalnya parotitis dan candida.2,3 Tuberkulosis uveitis mungkin sulit untuk didiagnosa karena dapat terjadi pada pasien tanpa manifestasi sistemik dari tuberkukosis. Diagnosis sering presumptive, berdasarkan bukti tidak langsung seperti uveitis yang tidak responsif terhadap terapi steroid, riwayat kontak positif, tes kulit positif, dan tidak ditemukan penyebab uveitis lain. Uveitis anterior biasanya granulomatosa, paling sering terjadi. Koroiditis disebabkan oleh infeksi langsung, biasanya unilateral fokal atau kadang walaupun jarang, multifokal, koroiditis difus yang ekstensif mungkin terjadi pada pasien dengan AIDS, granuloma koroid soliter yang besar jarang, koroiditis sering menyerupai koroidopati serpiginosa. Periflebitis sering bilateral dan mewakili manifestasi hipersensitivitas dari basilus.3,5

Gambar 7. Koroiditis Tuberkulosis. (A) Keterlibatan difus Pasien AIDS; (B) Granuloma Koroidal Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach.7th ed Elsevier: 2011.

10

Pengobatannya berupa pemberian tiga atau lebih obat antituberkulosis selama 69 bulan. Pengobatan awalnya dengan paling sedikit tiga obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dan kemudian dengan isoniazid dan rifampisin. Terapi kuadrupel dengan tambahan etambutol dibutuhkan pada TB paru dan kasus resistan. Terapi steroid sistemik bersamaan juga sering dibutuhkan. Dosis steroid harus disesuaikan ketika diberikan dengan rifampisin.2,5

Gambar 8. Tampilan histologis koroiditis tuberkulosis Sumber: Tasman W., Jaeger W. A. Duanes ophthalmology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007

2.3.2 Sarkoidosis Sarkoidosis adalah penyakit multisistem dengan penyebab yang belum diketahui dengan sejumlah defek imunologik. Dapat mengenai hampir semua organ, namun target utama adalah paru-paru dan nodus limfe. Lesi okular paling sering adalah iridosiklitis, tetapi dapat juga mengenai kelopak mata, nodul konjungtiva, keratitis, retina, saraf optik, dan lesi orbita pada kurang lebih 26% kasus. Sindrom okular dengan karakteristik sarkoidosis tetapi kurangnya tanda penyakit sistemik juga dapat terlihat.3 Sarkoidosis biasa terjadi pada dekade keempat atau kelima kehidupan. Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Namun, hampir seluruh sistem organ tubuh dapat terlibat, termasuk kulit, tulang, hati, limpa, sistem saraf pusat dan mata. Reaksi jaringan yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis tuberkulosis dan jarang disertai perkijuan.

11

Reaksi anergi pada uji kulit mendukung diagnosis sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena, penyakit ini disebut demam uveoparotis (penyakit Heerfordt), bila kelenjar lakrimal terkena, disebut sindrom Mikulicz.2 Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik. Sama halnya dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan, tetapi sarkoidosis memerlukan perhatian khusus bila uveitisnya granulomatosa atau terdapat flebitis retina, terutama pada pasien-pasien ras kulit hitam.

Gambar 9. Granuloma Iris pada Sarkoidosis Sumber: Tasman W., Jaeger W. A. Duanes ophthalmology. Philadel phia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007

Walaupun sejumlah agen, termasuk mikobakteri, serbuk sari, debu organik, berilium, jamur, dan virus telah dihubungkan dengan sarkoidosis, penyebabnya masih tetap tidak diketahui. Sarkoidosis sering diklasifikasikan sebagai kelainan imunologik karena perubahan karakteristik pada imunitas yang dimediasi oleh sel. Namun, masih belum diketahui, apakah sarkoidosis merupakan hasil dari gangguan imunologis atau apakah gangguan imunologik sekunder terhadap inflamasi nodus limfe yang meluas dari penyebab lain. Virus masih merupakan penyebab yang mungkit, namun usaha untuk mengisolasi virus tidak berhasil. Baru-baru ini, agen yang dapat bertransmisi, mungkin mikobakterial atau virus, diisolasi dari jaringan sarkoid manusia yang menghasilkan granuloma sel raksasa dan epiteloid dalam kaki tikus.3

12

Karakteristik imunologi dari sarikoidosis meliputi akumulasi sel T dan makrofag monosit, sel T CD4 yang teraktivasi, gammopati poliklonal, dan imunitas selular yang tertekan, sel T CD4 yang teraktivasi secara spontan melepaskan gamma interferon, interleukin 2, dan sitokin lain yang menghasilkan sejumlah besar sel T melalui kemotaksis dan mitogenesis pada tempat penyakit.3 Terdapat 3 tipe kelainan imunologi pada sarkoidosis, yaitu penekanan hipersensitivitas tipe lambat, limfoproliferasi dengan serum gamma globulin yang meningkat dan reaksi granulomatosa. Reaktivitas kulit terhadap variasi antigen mump, tuberkulin, DNCB, dan pertusis ditekan atau tidak ada. Hal ini mengarahkan kepada limfosit T yang memicu mediasi anergi dan menganggu imunitas selular. Tes kulit tuberkulin (-) pada 2/3 pasien dengan sarkoidosis (walaupun dapat menjadi (+) ketika penyakit sembuh).3 Diagnosis dapat didukung dengan hasil pemeriksaan rontgen dada yang abnormal, khususnya bila ada adenopati hilus, atau dengan peningkatan kadar angiotensin-converting enzyme dalam serum, lisosim serum, atau kadar kalsium. Petunjuk diagnostik terkuat adalah temuan histopatologik berupa granuloma tanpa perkijuan pada jaringan yang terkena, misalnya paru atau konjungtiva. Namun, biopsi hanya dilakukan jika lesi yang mencurigakan tampak jelas. Pemeriksaan pencitraan dengan gallium pada kepala, leher, dan toraks dapat menunjukkan adanya proses inflamasi subklinis di kelenjar lakrimal, parotis, atau saliva, di paratrakea, atau di KGB pulmonal.2

Gambar 10. Inflamasi Granuloma pada Sarkoidosis dengan Pewarnaan Hemotoxylin-Eosin (HE) Sumber: Tasman W., Jaeger W. A. Duanes ophthalmology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007

13

Pemeriksaan untuk menegakkan sarkoidosis:5 1. Rontgen dada yang abnormal pada 90%. 2. Biopsi Paru (90%) pada pasien asimptomatik bisa didapatkan hasil rontgen normal Konjungtiva (+) pada 70% pasien dengan inflamasi granulomatosa bentuk nodul mirip dengan konjungtivitis folikular. Kelenjar lakrimal positif pada 25% kelenjar yang tidak membesar dan 75% pada kelenjar yang membesar. Nodus limfe superfisial atau lesi kulit

3. Enzyme assay untuk serum angiotensin-converting enzyme dan lisozim seperti yang sudah dijelaskan. 4. Bilas bronkoalveolar menunjukkan peningkatan limfosit T-helper yang teraktivasi. Pemeriksaan sputum juga menunjukkan peningkatkan rasio CD4/CD8. 5. Tes fungsi paru menunjukkan defek paru restriktif dengan kapasitas total paru yang berkurang dan sangat berguna dalam memonitor aktivitas penyakit dan kebutuhan untuk terapi sistemik. 6. Tes mantouks (-) pada kebanyakan pasien. Reaksi positif terhadap tuberkulin membuat diagnosis sarkoiodosis hampir tidak mungkin. Tes Kveim untuk sarkoidosis positif pada 80% pasien dan hanya 2% dari kontrol. Tes ini dilakukan dengan menginjeksi intradermal ekstrak limpa manusia dari seorang pasien dengan sarkoidosis aktif. Tempat injeksi diperhatikan selama 6 minggu untuk terbentuknya nodul. Bila nodul muncul, maka biopsi dilakukan untuk granuloma sarkoid. Pada kasus atipikal misalnya, reaksi Kveim dapat negatif. Antigen Kveim tidak tersedia dan beberapa penulis merasa tes terlalu rumit untuk dilakukan dan tidak praktis untuk tujuan diagnostik.3 Terapi kortikosteroid yang diberikan pada awal penyakit mungkin efektif, tetapi kekambuhan sering terjadi. Pengobatan jangka panjang memerlukan corticosteroid sparing agent, misalnya methotrexate, azathioprine, atau mycophenolate mofetil.2

14

2.3.3 Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada Penyakit ini bersama dengan oftalmia simpatetik memiliki kesamaan gambaran klinis tertentu. Keduanya diperkirakan mencerminkan suatu fenomena autoimun yang mengenai struktur berpigmen di mata dan kulit, dan keduanya dapat memperlihatkan gejala-gejala meningeal.2 Sindrom VKH terdiri atas inflamasi uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai oleh iridosiklitis akut, koroiditis berbercak, dan ablasio retina serosa. Uveitis bilateral yang disertai alopesia, poliosis, vitiligo dan defek pendengaran biasanya pada dewasa muda, diberi nama penyakit Vogt-Koyanagi. Apabila koroiditisnya bersifat lebih eksudatif, dapat terjadi ablasio retina serosa dan kompleks yang terjadi disebut sindrom Harada.2,4 Terdapat kecenderungan perbaikan fungsi penglihatan tetapi hal ini tidak terlalu sempurna. Penyebab sindrom ini tidak diketahui secara pasti. Biasanya mengenai usia 20 tahun. Penyakit ini biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala, disakusis, dan kadang-kadang vertigo. Dilaporkan adanya kerontokan rambut atau uban di beberapa tempat pada bulan-bulan pertama penyakit. Sering terjadi vitiligo dan poliosis tetapi tidak penting untuk diagnosis. Gejala lainnya adalah infiltrat pada koroid, kekeruhan badan kaca, edema papil, dan suar di dalam bilik mata depan. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka panjang berupa ablasio retinae serosa dan gangguan penglihatan yang bermakna. Rangsangan meningen akan mengakibatkan gangguan saraf.2,4

Gambar 11. Vitiligo dan Depigmentasi pada Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada Sumber: Tasman W., Jaeger W. A. Duanes ophthalmology. Philadelphia: Lippin cott Williams and Wilkins. 2007

15

Pada sindrom VKH diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin, di mata, kulit, dan rambut. Bahanbahan terlarut dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen S retina) telah diajukan sebagai autoantigen yang mungkin. Pasien sindrom VKH biasanya merupakan keturunan Asia tenggara, yang mengisyaratkan adanya suatu predisposisi imunogenetik terhadap penyakit.2

Gambar 12. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada Sumber: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/photos/Vogt-Koyanagi-Harada.jpg

Uji kulit dengan ekstrak jaringan uvea manusia atau sapi yang mudah larut dikatakan dapat mencetuskan respon hipersensitivitas tipe lambat pada pasienpasien tersebut. Beberapa peneliti baru-baru ini memperlihatkan bahwa biakan limfosit dari pasien dengan kedua penyakit ini mengalami transformasi menjadi limfoblas (in vitro) bila ditambahkan ekstrak uvea atau segmen luar batang ke dalam medium biakan. Dalam darah pasien-pasien kedua penyakit ini ditemukan antibodi terhadap antigen uvea, tetapi antibodi semacam itu sering dijumpai pada setiap pasien dengan uveitis kronik, termasuk mereka yang mengidap berbagai jenis penyakit infeksi. Pada stadium-stadium awal, cairan spinal pasien sindrom VKH mungkin menunjukkan peningkatan protein dan jumlah sel mononukleus. Pengobatan kedua kondisi tersebut sedikitnya memerlukan steroid sistemik dan seirng kali terapi imunosupresif oral. Pengobatan awal adalah dengan midriatik dan steroid lokal, tetapi sering diperlukan steroid sistemik dosis tinggi untuk mencegah kehilangan penglihatan yang permanen.2

16

2.3.4 Sifilis Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jarang, tetapi dapat disembuhkan. Peradangan intraokular hampir seluruhnya terjadi pada infeksi sifilis stadium kedua dan ketiga, pada tahap infeksi ini juga semua jenis uveitis bisa terjadi. Retinitis atau neuritis optik juga sering menyertai infeksi ini. Pada stadium lanjut dapat terjadi atrofi luas dan hiperplasia dari epitel pigmen retina apabila peradangan terus dibiarkan tanpa diobati.2 Pemeriksaan dari infeksi ini harus mencakup salah satu dari sejumlah tes yang sering dipakai untuk mendeteksi antibodi antikardiolipin yang terinduksi oleh Treponema pallidum, seperti tes VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) atau RPR (Rapid Plasma Reagen). Selain itu juga dapat digunakan pemeriksaan lain yang lebih spesifik terhadap antibodi anti-Treponema pallidum, misalnya FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibodi-Absorption) atau MH-ATP (Microhemagglutination for Treponema pallidum). Uji FTA-ABS dan MH-ATP ini menunjukkan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi terhadap infeksi sifilis stadium kedua dan ketiga, sementara VDRL dan RPR mempunyai angka negatif palsu hingga mencapai 30% pada pasien-pasien dengan penyakit lanjut atau laten. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada kondisi-kondisi tertentu, seperti terinfeksi oleh spiroketa lainnya, adanya sirosis bilier, atau penyakit kolagen-vaskular. Sedangkan hasil negatif palsu dapat timbul pada pasien dengan status imunologi yang sangat buruk. Pasien uveitis dengan uji serologik yang positif terhadap sifilis, cairan serebrospinalnya harus diperiksa untuk menyingkirkan diagnosis dari neurosifilis. Pengobatannya adalah dengan menggunakan kristal penicillin G dalam air sebanyak 2-4 juta unit dan diberikan secara intravena setiap 4 jam selama 10 hari.2

17

Gambar 13. Uveitis Sifilis Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008

2.3.5 Onkosersiasis Uveitis pada onkosersiasis termasuk dalam uveitis yang terjadi di negara berkembang. Onkosersiasis sendiri merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus. Penyakit ini diderita oleh sekitar 15 juta orang di Afrika dan Amerika Tengah serta merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan. Onkosersiasis ditularkan oleh Simulium damnosum, yaitu lalat hitam yang berkembang biak di daerah-daerah berarus deras, sehingga terdapat istilah buta sungai.2,7

Gambar 14. Lalat Simulium damnosum Sumber: Nettleman, M.D. Onchocerciasis. Medscape Juli 2011

18

Perjalanan infeksi dari penyakit ini dimulai dari lalat Simulium yang membawa mikrofilaria Onchocerca masuk melalui kulit manusia saat lalat sedang menghisap darah sebagai makanannya, pada saat yang sama lalat ini juga akan menghisap mikrofilaria baru yang ada di dalam darah manusia tersebut. Mikrofilaria ini akan terus berkembang menjadi larva dan kemudian menjadi cacing dewasa dalam waktu 1 tahun. Pada saat dewasa ini, cacing betina akan kembali bertelur dan menghasilkan mikrofilaria-mikrofilaria yang baru. Satu cacing betina dewasa dapat menghasilkan 1.000 mikrofilaria per harinya. Parasit dewasa ini akan membentuk nodul-nodul kulit dengan diameter 5-25 mm di badan, paha, lengan, kepala, dan bahu. Mikrofilaria juga dapat menimbulkan manifestasi rasa gatal, penyembuhan lesi kulit yang terjadi dapat menimbulkan hilangnya elastisitas kulit serta depigmentasi kulit. Apabila parasit ini bermigrasi hingga ke mata, maka dapat mengakibatkan lesi yang cukup berat pada mata dan juga pada beberapa kasus dapat mengalami kebutaan.2,7 Temuan klinis pada pasien dengan infeksi onkosersiasis selain dapat terlihat nodul-nodul pada kulit, kornea mata dapat menampakkan keratitis numularis dan keratitis sklerosis. Mikrofilaria yang berenang aktif di bilik mata depan tampak seperti gambarang benang-benang berwarna perak. Mikrofilaria yang mati dapat menimbulkan reaksi radang hebat serta uveitis, vitritis, dan retinitis yang berat. Dapat juga terlihat retinokoroiditis fokal, atrofi optik juga dapat terjadi sekunder akibat glaukoma.2

19

Gambar 15. Infeksi onkosersiasis Sumber: Centers for Disease Control and Prevention.(2013).Onchocerciasis.Retrieved from http://www.cdc.gov/parasites/onchocerciasis

Diagnosis dari onkosersiasis ini ditegakkan dengan menggunakan biopsi kulit dan pemeriksaan mikroskopik untuk mencari mikrofilaria hidup. Pengobatan yang dianjurkan untuk onkosersiasis adalah dengan nodulektomi dan ivermectin. diethylcarbamazine dan suramin cukup toksik dan hendaknya hanya diapakai bila ivermectin tidak tersedia. Keunggulan terbesar dari ivermectin dibandingkan dengan diethylcarbamazine yaitu dosis yang digunakan adalah dosis tunggal 100 g/kg atau 200g/kg per oral dapat mengurangi beban cacing di kulit dan bilik mata depan secara perlahan dengan pengurangan reaksi okular dan sistemik yang bermakna, penurunan beban cacing ini juga bertahan lebih lama.2

20

Gambar 16.Onkosersiasis pada mata Sumber: http://www.cdc.gov/parasites/onchocerciasis/

Dosis minimal yang efektif masih harus ditetapkan, dosis 100 g/kg mungkin sama efektifnya dengan 200 g/kg dan menimbulkan lebih sedikit efek samping yang bersifat ringan serta sementara, yaitu berupa demam dan sakit kepala. Pengobatan diulangi kembali dalam 6 atau 12 bulan. Terapi topikal dengan menggunakan kortikosteroid dan siklopegik bermanfaat bagi uveitis yang terjadi.2 2.3.6 Leptospirosis Uveitis pada leptospirosis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi oleh Spirochaeta leptospira. Manusia merupakan pejamu aksidental yang paling sering terinfeksi akibat kontak atau dengan menelan air yang terinfeksi. Binatang liar dan peliharaan-pengerat, anjing, babi, dan sapi adalah pejamu alami dan mengeluarkan sejumlah besar organisme infeksius melalui urin. Petani, dokter hewan, dan orangorang yang bekerja atau berenang di air yang berasal dari daerah pertanian memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi oleh penyakit ini.2 Tanda dan gejala dari penyakit ini adalah demam, malaise, dan sakit kepala. Gejala ini merupakan gejala konstitusional yang sering timbul. Pada pasien-pasien yang tidak diobati, insiden terjadinya gagal ginjal dan kematian dapat mencapai 30%. Uveitis dapat timbul dalam bentuk apapun, tetapi khasnya adalah difus dan sering disertai dengan hipopion dan vaskulitis retina.2

21

Gambar 17. Hipopion

Gambar 18 Vaskulitis retina

Sumber: Soloway, M.D. Hypopion. New England Journal Medicine, 1996

Organisme hidup hanya dapat dibiakkan pada awal infeksi saja. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan uji antibodi-leptospira yang sensitif dan spesifik, uji ini dapat dikerjakan pada spesimen darah atau cairan serebrospinal. Adanya peningkatan titer antibodi empat kali lipat merupakan bukti kuat terjadinya infeksi akut.2 Pengobatan terhadap infeksi yang berat berupa penicillin 1,5 juta unit secara intravena setiap 6 jam selama 10 hari. Infeksi yang tidak terlalu parah bisa diatasi dengan doksisiklin 100 mg per oral, dua kali sehari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid topikal dan siklopegik dapat diberikan bersamaan dengan terapi antibiotik untuk meminimalkan timbulnya komplikasi uveitis anterior. Injeksi kortikosteroid sub-tenon posterior mungkin diperlukan pada peradangan bentuk difus, uveitis posterior, atau uveitis intermediate yang berat.2 2.3.7 Bruselosis Bruselosis merupakan suatu penyakit infeksi yang dapat ditemukan hampir di seluruh dunia, beberapa negara merupakan tempat endemic terhadap bruselosis, antara lain adalah Peru, Kuwait, dan Saudi Arabia. Terdapat 6 buah spesies dari genus Brucella yang bersifat pathogen, diantara jumlah tersebut terdapat 4 spesies yang bersifat pathogen terhadap manusia, antara lain adalah : Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella canis, dan Brucella suis. Brucella melitensis merupakan spesies yang paling membahayakan atau sangat mudah menular. Bruselosis lebih banyak terjadi pada wanita dang sering timbul pada penderita bruselosis kronis.8,9

22

Bruselosis okular yang terjadi dapat merupakan gabungan dari uveitis, neuritis, neuritis optik, papiloedema, dan keratitis. Dari suatu studi didapatkan bahwa bruselosis okular dapat disertai dengan gejala lainnya seperi nyeri sendi, demam, sakit kepala, mudah berkeringat, nyeri testis, dan dapat juga ditemukan asimtomatik.8,9
Tabel 2. Uveitis pada Bruselosis

Sumber: Rolando,I., Olarte, L., Vilchez, G., Lluncor M., Otero,L., Paris,M, et al. Ocular manifestation associated with brucellosis: a 26 years experience in Peru. CID 2008;46:1338-45

Uveitis pada bruselosis juga dapat menimbulkan beberapa komplikasi pada mata, antara lain adalah katarak, ptisis bulbi, makulopati, glaukoma, atrofi optik, ablasio retina, sindrom VHK, ataupun sindrom Behet.8,9

Gambar 19. Uveitis Bruselosis Sumber: Rolando,I., Olarte, L., Vilchez, G., Lluncor M., Otero,L., Paris,M, et al. Ocular manifestation associated with brucellosis: a 26 years experience in Peru. CID 2008;46:1338-45

23

Diagnosis dari bruselosis okular dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, misalnya SAT (Standard Agglutination Test), Coombs Wright, kultur darah, atau kultur dari sumsum tulang. Pada beberapa kasus, aspirasi dari cairan intraokular diikuti dengan kultur, pemeriksaan serologi, dan juga biopsy diperlukan. Pada pasien dengan uveitis, pada pemeriksaan serologi didapatkan hasil positif untuk antibodi anti-brucella sambil menyingkirkan kemungkinan penyebab uveitis lainnya.8,9 Pasien dengan uveitis posterior atau panuveitis mempunyai prognosis yang buruk. Komplikasi mayor dari bruselosis okular termasuk berkurangnya tajam penglihatan atau bahkan sampai kebutaan. Pengobatan standar untuk bruselosis adalah rifampin dan doksisiklin, adanya keterlibatan dari mata dapat diberikan kortikosteroid lokal maupun sistemik selama 2-4 minggu.8,9 2.3.8 Oftalmia Simpatetik Oftalmia simpatetik (SO) merupakan kondisi inflamasi intraokular difus granulomatosa yang dapat mengakibatkan panuveitis bilateral yang tipikalnya muncul pada setelah operasi atau trauma tembus pada salah satu mata. Walaupun langka, SO masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena dapat mengakibatkan kebutaan bilateral.10 Penyakit mata ini kemungkinan merupakan model klasik penyakit autoimun yang muncul pada manusia. Pada penelitian terakhir didapatkan adanya peranan disregulasi sistim imun sebagai mekanisme etiologis utama. Terlihat adanya respon imun yang ditujukan kepada antigen diri yang ditemukan pada fotoreseptor, epitel pigmen retina (RPE) dan/atau melanosit koroid. 10 Perkiraan epidemiologi menunjukkan insiden 0.2-0.5% setelah trauma tembus mata dan 0.01% setelah operasi intraokular. Kasus SO meliputi 0.3% kasus uveitis dalam 1 tahun. Tidak ada preferensi ras, usia maupun jenis kelamin. Pembedahan vitroretinal dan prosedur siklodestruktif dianggap sebagai faktor risiko SO. Oftalmika simpatetik terkait dengan haplotip major histocompatibility antigen (MHC) tertentu. Penemuan ini menunjukkan kemungkinan adanya peranan disregulasi imun, peningkatan kerentanan, dan peningkatan beratnya penyakit terkait patogenesis.10
24

Pasien dengan SO cenderung lebih banyak mengekspresikan antigen leukosit manusia fenotipe DR4. Fenotipe ini juga ditemukan lebih sering pada pasien dengan sindrom VKH. Onset penyakit umumnya dalam 1 tahun pada 90% kasus dengan variasi rentang antara 1 minggu 66 tahun paska kejadian traumatik, pembedahan atau inflamasi intraokular bilateral.10 Oftalmia simpatetik muncul sebagai uveitis difus bilateral. Pasien datang dengan keluhan mata buram perlahan, nyeri, epifora, dan fotofobia pada mata yang tidak cidera. Secara klasik, hal ini akan diikuti dengan adanya injeksi konjungtiva dan reaksi bilik mata depan granulomatosa (ringanberat) dengan mutton-fat KP pada endotel kornea. Iris dapat menebal dari infiltrasi limfosit, inflamasi berat dapat mengakibatkan sinekia posterior. Tekanan intra okular dapat meningkat sekunder terhadap blokade sel inflamasi pada anyaman trabekular, atau dapat menurun sebagai akibat dari kerusakan badan siliar. 10

Gambar 20 . Fundus SO; kanan:Paska pembedahan dan laser luas, tidak terdapat inflamasi dan retina menempel baik. Kiri:Inflamasi (+) dengan lesi korioretinal pungtata mid-perifer (nodul Dalen-Fuchs) Sumber:http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/cases/81-sympathetic-ophthalmia-intraocular-surgery.htm

Pada segmen posterior, luasnya inflamasi dapat bervariasi mulai dari vitritis, vaskulitis retina, koroiditis dan papilitis. Oftalmoskopi indirek dapat membantu memantau perjalanan penyakit. Lesi putih kekuningan pada koroid lebih banyak ditemukan pada fundus perifer pasien dengan SO yang dikenal dengan nodul DalenFuchs, akan tetapi, nodul ini juga dapat ditemukan pada penyakit inflamasi mata granulomatosa termasuk sindrom VKH dan sarkoidosis. 10

25

Diagnosis SO ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang digunakan untuk diagnosis SO, akan tetapi, pemeriksaan klinis dapat digunakan untuk mengeliminasi penyakit dengan gejala yang mirip. 10

Gambar 21 . Jaringan parut makular dan retina pada pasien SO Sumber: Yanoff, M. Duker J.S. Yanoff & Duker: Ophthalmology 3 rd ed 2008. Mosby.Elsevier

Tatalaksana untuk SO yang utama adalah medikamentosa dengan terapi utama adalah imunomodulator sistemik. Kortikosteroid sistemik merupakan obat lini pertama dari SO. Akan tetapi, dapat juga digunakan topikal dengan injeksi subtenon atau transeptal, atau diberikan secara sistemik. Prednisone oral merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan SO. Pengobatan dimulai dengan prednisone oral dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari) dan diturunkan perlahan dalam 3-4 bulan. Pada kasus berat, dapat diberikan terapi steroid pulsasi intravena dengan metilprednisolon 1g/hari selama 3 hari. Kortikosteroid topikal dan sikloplegik juga digunakan untuk mencegah pembentukan sinekia dari reaksi bilik mata depan, akan tetapi, penggunaan steroid jangka panjang terkait dengan pembentukan katarak dan glaukoma, sedangkan injeksi steroid pada rongga peribulbar dapat berakibat pembentukan jaringan parut pada jaringan orbita dan glaukoma. 10

26

Imunomodulasi steroid sparring lebih bermanfaat jika pasien resisten steroid atau mengalami efek samping yang tidak dapat ditoleransi, dapat digunakan siklosporin. Dosis dimulai dari 5mg/kgBB/hari dan ditingkatkan hingga inflamasi okular dapat dikontrol. Jika sudah remisi selama 3 bulan, mulai penurunan dosis 0.5mg/kgBB/hari setiap 1-2 bulan sambil digantikan dengan steroid dosis rendah. 10 Agen imunosupresif lain seperti chlorambucil, cyclophosphamide, azathioprine, juga dapat digunakan jika inflamasi tidak dapat dikontrol dengan kombinasi steroid dan cyclosporine. Mycophenolate telah direkomendasikan untuk pengobatan panuveitis refrakter atau uveitis posterior yang tidak merespon steroid rumatan dosis tinggi (>15mg/hari) atau agen imunosupresif lain atau saat dikhawatirkan terjadi toksisitas. Dosis yang digunakan adalah 2g/hari per oral, dengan pengawasan hitung darah. 10 2.3.9 Penyakit Behet Penyakit Behet adalah suatu penyakit inflamasi multisistem yang tidak diketahui penyebabnya. Pertama kali dikenalkan oleh Profesur Hulusi Behet, yang mendeskripsikan kompleks 3 gejala berupa ulkus mulut berulang, ulkus genital dan iritis pada tahun 1937. Penyakit ini sekarang dikenal sebagai vaskulitis sistemik yang meliputi banyak organ dan mengakibatkan manifestasi luas.11,12 Prevalensi paling tinggi terdapat di area Jalan Sutera dari Mediterania kea rah timur jauh. Tingkat prevalensi di area ini terdapat di Turki (420/100.000). Penyakit ini terkait erat dengan MHC HLA-B51.11,12 Etiopatogenesis penyakit ini sampai sekarang masih belum jelas, akan tetapi, disregulasi sistim imun kemungkinan memiliki peranan dalam patogenesisnya. Penyakit ini umumnya menyerang usia dewasa muda, dengan onset usia bervariasi dari dekade 3-4. Onset usia anak langka didapat. Kebanyakan kasus pediatrik didapatkan di usia anak akhir.11,13

27

Diagnosis penyakit Behet ditegakkan berdasarkan kombinasi temuan klinis. Tidak terdapat pemeriksaan diagnostik spesifik. Terdapat kriteria yang dibuat oleh International Study Group for Behet Disease pada tahun 1990 untuk klasifikasi pasien, yaitu ulkus mulut rekuren ditambah dengan minimal 2 kriteria lain (ulkus genital rekuren, lesi kulit, lesi mata, atau tes pathergy [terbentuknya lesi papulopustular pada lokasi prick test pada 48 jam] positif).11,12 Manifestasi mukokutaneus merupakan tanda khas dari penyakit ini. Ulkus mulut rekuren nyeri merupakan tanda paling awal. Ulkus genital nyeri yang sembuh dengan pembentukan jaringan parut. Variasi lesi kulit dapat ditemukan selama perjalanan penyakit mulai dari eritema nodosum, tromboflebitis superfisial, lesi papulopustular, pseudofolikulitis, lesi akneiformis, dan ulkus ekstra genital.11,12 Mata merupakan organ yang paling banyak terlibat pada penyakit Behet. Uveitis dilaporkan terjadi pada sekitar 50% pasien multidisiplin, dan >90% di departemen mata. Jenis keterlibatan mata yang jarang ditemui meliputi episkleritis, skleritis, ulkus konjungtiva, keratitis, inflamasi orbita, neuritis optik terisolasi, dan kelemahan otot ekstraokular.11,12

Gambar 22 . Sindrom Behet (a)Hipopion (b)infiltrat retina (c)vaskulitis oklusif (d) end-stage Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach 7 thed. Elsevier: 2011.

28

Uveitis Behet (UB) didefinisikan sebagai panuveitis nongranulomatosa dan vaskulitis retina bilateral.kriteria diagnostik saat ini tidak membenarkan penegakkan diagnosis berdasarkan temuan okular saja. Pada episode aktivasi, tanda inflamasi akut dapat terlihat di segmen anterior atau posterior atau keduanya. Hipopion dingin mirip pseudohipopion dapat ditemukan, sama halnya seperti pada sindrom Masquerade. Vitritis difus merupakan fitur keterlibatan segmen posterior.adanya infiltrat retina superfisial sementara dan penumpukan presipitat inflamatori pada permukaan perifer retina inferior selama masa resolusi atau uveitis difus merupakan beberapa tanda patognomonik.11,13 Komplikasi yang umum terjadi meliputi katarak, sinekia posterior, edema makula, atrofi optik, dan glaukoma. Penyebab utama hilangnya penglihatan permanen adalah makulopati dan atrofi optik. Badan kaca terlihat jernih pada stadium akhir.13 Penyakit UB merupakan salah satu indikasi mutlak penggunaan terapi imunomodulator. Kortikosteroid sistemik sebaiknya digunakan hanya pada pasien dengan inflamasi aktif dengan ancaman langsung kehilangan penglihatan. Azathioprine dan cyclosporine terlihat efektif dari beberapa penelitian. Kombinasi agen digunakan jika monoterapi gagal. Cyclosporine dikontraindikasikan pada pasien dengan keterlibatan neurologis. Penggunaan infliximab infus 5mg/kg dapat menekan inflamasi intraokular dengan cepat.14 2.3.10 Multiple Sclerosis Multiple sclerosis (MS) merupakan suatu penyakit demielinisasi sistim saraf pusat yang memiliki manifestasi oftalmik dan neuro-oftalmik bervariasi. Diagnosis MS didefinisikan dengan adanya lesi demielinasi, yang dipisahkan oleh waktu dan ruang pada otak dan korda spinalis.15,16 Uveitis lebih banyak muncul pada pasien MS dengan jumlah sekitar 10 kali lipat populasi normal. Uveitis terkait MS seringkali bilateral dan muncul pada pasien muda, terutama perempuan, dengan usia antara 20-50 tahun.15,16

29

Deskripsi klasik dari inflamasi okular terkait MS dipredominasi oleh uveitis intermediate, terdapat variasi tampilan klinis nonspesifik yang telah diobservasi seperti adanya pelapisan vena retina atau periflebitis, dengan inflamasi badan kaca dan edema retina.15,17

Gambar 23 Periflebitis retina pada multiple sclerosis Sumber: Burkholder, B.M., Dunn, J.P., Multiple sclerosis associated uveitis. Expert Rev Ophthalmol.2012;7(6):587-594.

Komplikasi paling umum yang mengancam penglihatan dari uveitis terkait MS meliputi katarak, edema makular sistoid dan formasi membrana epiretinal. Walau demikian, prognosis penglihatan pada pasien uveitis terkait MS umumnya baik. Beberapa pasien dengan pars planitis yang didiagnosa MS, dilaporkan memiliki visus 20/40 atau lebih baik. Pada sebuah studi lain didapatkan 41% pasien memiliki visus 2030 atau lebih baik dengan rata-rata waktu follow-up 60,5 bulan.15,16 Pengobatan uveitis terkait MS tergantung dari lokasi dan beratnya inflamasi. Pada uveitis intermediate, tidak perlu diobati jika tidak terdapat komplikasi mengancam seperti edema makula, karena risiko terapi (kortikosteroid) lebih tinggi dari keuntungan yang didapat. Pilihan pengobatan, seperti halnya uveitis lain melingkupi steroid topikal, oral, periokular, dan intravitreal, serta terapi imunosupresif. Krioterapi pada retina perifer telah digunakan pada beberapa kasus pasien dengan tumpukan salju dan umumnya dilakukan apabila steroid periokular terbukti tidak efektif. Cara kerja krioterapi ini dengan penghancuran jaringan neovaskular pada basis badan kaca.

30

Fotokoagulasi laser juga telah dicoba digunakan pada pasien dengan pars planitis. Kedua teknik tersebut terkait dengan peningkatan inflamasi, serta peningkatan risiko pelepasan retina regmatogenosa.15,18 2.3.11 Sistiserkosis Sistiserkosis adalah penyebab umum dari morbiditas okular yang serius. Penyakit ini timbul endemik di Mexico dan negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan dengan komplikasi okular muncul pada 1/3 kasus. Penyakit ini disebabkan oleh konsumsi dari telur Taenia solium atau peristalsis mundur pada kasus

obstruksi usus dikarenakan cacing pita dewasa. Telur bertumbuh menjadi dewasa dan embrio menembus mukosa intestinal dan mendapatkan akses ke sirkulasi. Larva (Cysticercus cellulosae) adalah cacing pita yang paling sering menginvasi mata manusia.2 Larva dapat mencapai celah subretina dan menyebabkan retinitis akut dengan edema retina dan eksudat subretina atau rongga vitreous dimana kista translusen dengan titik putih yang terbentuk dari skoleks yang melakukan invaginasi bertumbuh. Larva dapat inggal di mata sampai selama 2 tahun. Kematian larva di dalam mata menyebabkan reaksi inflamasi yang berat. Pergerakan larva dapat jaringan okular dapat menimbulkan inflamasi kronis dan fibrosis. Pada kasus langka, larva dapat terlihat pada bilik mata depan. Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan kejang. Fokus-fokus kalsifikasi dapat ditemukan pada jarangan subkutan dari radiografi. 2

Gambar 24. Sistiserkosis (a) kista bilik mata depan (b) kista sistiserkus subretina Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011.

31

Penatalaksanaan utama sistiserkosis intraokular adalah pembedahan. Terapi medis hanya merupakan pendukung dari terapi pembedahan. Pada pasien uveitis, kortikosteroid diberikan perioperatif. Operasi yang dilakukan biasanya berupa vitrektomi pars plana. Eksisi bedah dari kista orbitan merupakan penatalaksanaan bedah yang ideal, namun diseksi orbital dalam sulit dilakukan karena respon inflamasi sekitar akan meningkatkan kemungkinan terjadi komplikasi postoperatif seperti visus yang menurun dan diplopia. Kista yang terletak dalam di rongga orbit lebih baik diobati secara konservatif dengan pemberian regimen albendazol oral selama 4 minggu dengan dosis (15 mg/kg/hari) ditambah dengan steroid oral (1,5 mg/kg/hari) diturunkan secara berkala dalam 1 bulan. Penatalaksanaan dapat meningkatkan inflamasi ketika kista dirusak dan memperburuk kondisi klinis karena itu peran kortikosteroid secara bersamaan penting untuk menekan sistem imun. Resolusi dari kista membutuhkan waktu beberapa hari sampai bulan tergantung densitas inflamasi.2 2.3.12 Sindrom Masquerade Sindrom Masquerade adalah sekelompok kelainan yang timbul sebagai inflamasi intraokular dan salah didiagnosis sebagai uveitis kronis idiopatik yang mempunyai penyebab utama tidak terkait dengan imunitas. Terminologi ini pertama kali muncul pada tahun 1967 ketika saat itu dipresentasikan sebuah kasus karsinoma konjungtiva yang bermanifestasi sebagai konjungtivitis kronis. Sekarang, istilah ini dipakai untuk mendeskripsikan penyakit yang bermanifestasi sebagai uveitis kronis. Penting untuk dapat melakukan diagnosis dini penyakit dasar dan pemberian terapi yang tepat untuk mencegah komplikasi. Sindrom ini biasanya berespon buruk terhadap kortikosteroid. Curigai jika didapatkan inflamasi intraokular yang unilateral dan timbul pada anak populasi muda dan geriatrik.19,20 Penyebab utama yang dapat menyamar sebagai uveitis adalah tumor intraokular, infeksi paska operasi atau kondisi degeneratif lain. Beberapa klasifikasi untuk secara praktis membagi pendekatan diagnosis dari sindrom masquerade adalah:19,20 1. 2. 3. Malignan dan non-malignan Petunjuk diagnosis berdasarkan umur penderita Klasifikasi anatomis (anterior, intermediate, posterior)
32

Sindrom masquerade dapat disebabkan oleh keganasan seperti limfoma intraokular, melanoma uvea, metastasis tumor seperti ginjal, paru, payudara, leukemia, dan sindroma paraneoplastik pada orang dewasa. Sedangkan pada anak terutama disebabkan oleh leukemia dan retinoblastoma. Penyebab non-malignan seperti benda asing intraokular, uveitis diinduksi obat, degenerasi retina, Fuchs heterokromik siklitis, iskemia segmen anterior, retinitis pigmentosa, endoftalmitis endogen, dan lainnya juga dapat menyebabkan sindrom ini.19,20 2.3.13 Toksoplasmosis Okular Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan protozoa obligat intraseluler. Lesi okuler dapat disebabkan oleh infeksi in utero atau infeksi sistemik. Gejala konstitusional dapat ringan dan mudah terlewatkan. Kucing yang tinggal di sekitar lingkungan dapat berperan sebagai inang dari parasit ini. Wanita rentan yang mendapat penyakit ini selama kehamilan dapat menyebarkan infeksi kepada fetus yang dapat berakibat fatal. Sumber dari infeksi pada manusia termasuk oosit di tanah atau melalui udara dari debu yang beterbangan, daging yang tidak dimasak matang dapat menjadi sumber bradizoit ( bentuk kista dari parasit) dan takizoit (bentuk proliferatif) dan dapat menembus plasenta.

Gambar 25. Kista toksoplasma pada retina Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008

33

Pasien dengan retinochoroiditis toxoplasma muncul dengan riwayat munculnya floaters dan pandangan yang buram. Pada kasus yang berat dapat timbul nyeri dan fotofobia. Toksoplasma menyerang kutub posterior dari salah satu mata dan lesi dapat soliter, multipel, atau satelit sampai munculnya jaringan parut. Lesi okuler aktif muncul dalam bentuk fokus putih-keabuan yang terjadi akibat nekrosis retina dengan koroiditis pada daerah sekitarnya, vaskulitis, perdarahan, dan vitritis. Lesi edema yang aktif seringkali berada di dekat jaringan parut retina yang sudah menyembuh. Jaringan parut retina muncul dari arah perifer ke sentral dengan perubahan pigmen yang bervariasi. Edema makular sistoid dapat menyertai lesi di dalam atau dekat makula. Uveitis anterior merupakan temuan yang umum didapatkan dengan mutton-fat presipitates dan sinekia posterior. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien dengan infeksi yang berat dan tekanan intraokuler yang meningkat.

Gambar 26 kiri Jaringan parut retina akibat toksoplasmosis okular rekuren kanan toksoplasmosis okular dengan jaringan parut lama yang telah berpigmentasi dan rekurensi pada bagian inferior dari makula Sumber: Commodaro AG, Belfort RN, Rizzo LV, Muccioli C et al. Ocular Toksoplasmosis An Update and Review of the Literature. Mem. Inst. Oswaldo Cruz vol.104 no.2. Rio de Janeiro. 2009

Retina merupakan fokus utama yang diserang parasit ini di dalam mata dengan koroid, bilik mata depan, dan badan kaca terkena kemudian secara sekunder. Lesi koroid diserang secara sekunder walaupun lesi koroid tidak akan timbul tanpa adanya infeksi retina.

34

Gambar 27. Keterlibatan diskus optik dengan eksudat makula pada kasus toksoplasmosis okular Sumber: Commodaro AG, Belfort RN, Rizzo LV, Muccioli C et al. Ocular Toksoplasmosis An Update and Review of the Literature. Mem. Inst. Oswaldo Cruz vol.104 no.2. Rio de Janeiro. 2009

Retinokoroiditis toksoplasma yang rekuren biasanya tidak disertai dengan gejala sistemik dan risiko untuk kekambuhan dipengaruhi oleh umur pasien. Lesi okuler dapat timbul beberapa tahun setelah infeksi dan kadang asimptomatik.21 Tes serologi yang positif untuk T.gondiidengan gejala klinis yang konsisten dianggap sebagai kriteria diagnostik. Peningkatan titer antibodi biasanya dideteksi selama reaktivasi namun peningkatan titer IgM memberikan bukti kuat dari infeksi yang didapatkan dalam waktu dekat.21 Lesi kecil pada retina perifer yang tidak berhubungan dengan vitritis yang signifikan tidak membutuhkan pengobatan. Namun pada infeksi posterior atau infeksi yang berat memerlukan pengobatan selama 4-6 minggu dengan pirimetamin 25-50 mg/hari, trisulfapyrimidin 0,5-1g sebanyak 4 kali sehari. Dosis inisial sebanyak 75 mg pirimetamin untuk 2 hari dan 2 g trisulfapirimidin sebagai dosis tunggal diberikan.21 Pasien biasanya diberikan kalsium leukovorin 2 mg 2 kali seminggu untuk mencegah supresi sumsum tulang. Hitung darah komplit dilakukan setiap minggu selama terapi. 21

35

Agen kemoterapeutik lain sebagai alternatif yang dapat digunakan adalah klindamisin 4 kali 300 mg setiap hari PO atau spiramisin 3 kali 1 gram per hari atau minosiklin 1 x 100 mg selama 3-4 minggu. Klindamisin dapat menimbulkan kolitis pseudomembran pada 10-15% pasien. Neovaskularisasi subretina dapat diobati dengan fotokoagulasi laser argon atau terapi fotodinamik dengan verteporfin.21 Jika respon tidak membaik selama 2 minggu terapi, diberikan tambahan kortikosteroid sistemik seperti prednisone 0,5 mg/kg/hari dengan penurunan dosis berkala selama 3-4 minggu. Kortikosteroid dapat mengaktifkan toksoplasmosis namun dapat dipertimbangkan karena respon inflamasi dapat mengancam penglihatan. Jangan menghentikan terapi anti infeksi sebelum menghentikan kortikosteroid.21 Uveitis anterior yang terjadi dapat diobati dengan kortikosteroid topikal dan siklopegik. Jangan memberikan injeksi kortikosteroid periokular karena merupakan kontraindikasi. Obat glaukoma topikal jarang dibutuhkan.21 2.4 PATOGENESIS Inflamasi yang terjadi pada uvea mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan inflamasi yang terjadi pada jaringan tubuh lainnya, yaitu adanya respon vaskular dan seluler. Inflamasi pada uvea dapat dibedakan menjadi :6 2.4.1 Uveitis supuratif (purulen) Inflamasi purulen dari uvea biasanya merupakan bagian dari terjadinya endoftalmitis atau panoftalmitis yang muncul sebagai hasil infeksi eksogen dari organisme pyogenik termasuk Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, Pneumococcus, dan Gonococcus. 6 Reaksi ini ditandai dengan keluarnya eksudat purulen dan adanya infiltrasi dari sel polimorfonuklear (PMN) pada jaringan uvea, bilik mata depan, bilik mata belakang, dan rongga vitreous. Sebagai hasil akhirnya, seluruh jaringan uvea akan menebal dan mengalami nekrosis kemudian rongga mata akan diisi oleh pus. 6

36

2.4.2 Uveitis non-supuratif Uveitis non-granulomatosa Uveitis leptospirosis merupakan salah satu contoh uveitis non-granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa ini dapat merupakan reaksi inflamasi eksudasi akut maupun kronik dari jaringan uvea, reaksi ini dapat terjadi karena adanya reaksi hipersensitivitas. 6 Mekanisme yang terjadi dan perlu diingat adalah terjadinya dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adanya infiltrasi dari limfosit, sel plasma, dan makrofag ke jaringan uvea, bilik mata depan, bilik mata belakang, dan rongga vitreous. Inflamasi yang terjadi ini biasanya menyeluruh (difus). 6 Sebagai hasil dari reaksi ini, maka iris dapat menjadi edema, keruh dengan radier dan kripta yang buram. Akibatnya, pergerakan dari iris juga berkurang. Pupil berubah ukurannya menjadi lebih kecil karena adanya iritasi dari sphingter. Eksudat dan juga limfosit terdapat di dalam bilik mata depan sehingga mengakibatkan adanya timbunan eksudat di belakang kornea. Karena adanya eksudat di bilik mata belakang, mengakibatkan permukaan posterior dari iris melekat pada kapsul anterior dari lensa dan terlihat gambaran sinekia posterior. Pada kasus inflamasi yang berat, dapat terlihat eksudat yang berasal dari proses siliar di belakang lensa, atau dapat juga terlihat mebran eksudatif yang disebut dengan membran siklitik. Pada proses penyembuhan dapat terjadi perubahan struktural, misalnya atrofi, gliosis, dan fibrosis yang dapat mengakibatkan terjadinya perlengketan, timbulnya jaringan parut, atau bahkan destruksi dari mata. 6 Uveitis granulomatosa Uveitis granulomatosa merupakan suatu inflamasi kronik yang timbul sebagai respon dari adanya perlawanan terhadap semua bentuk benda asing, termasuk bahan inorganik ataupun organik yang berasal dari luar maupun dari dalam, misalnya perdarahan atau nekrosis dari jaringan mata. Organisme tertentu berperan terhadap reaksi inflamasi dari uveitis granulomatosa ini, antara lain adalah tuberkulosis, lepra, sifilis, bruselosis, leptospirosis, atau adanya infeksi virus, jamur, maupun protozoa. Inflamasi granulomatosa tipikal juga terlihat pada sarkoidosis, optalmia simpatetik, dan penyakit VKH.6
37

Reaksi dari uveitis granulomatosa ini ditandai dengan adanya infiltrasi dari limfosit, sel plasma, dan proliferasi dari sel PMN yang dapat berubah menjadi epiteloid dan giant cell, serta beragregasi menjadi nodul-nodul. Nodul pada iris sering terlihat di dekat tepi pupil (nodul Koeppe). Koleksi nodul juga dapat terlihat di belakang kornea. Struktur yang mengalami nekrosis akan mengalami proses perbaikan yang dapat menghasilkan fibrosis dan gliosis dari area mata yang terlibat.6 2.5 MANIFESTASI KLINIS Panuveitis yang merupakan radang baik pada uveitis anterior maupun uveitis posterior akan memberikan gambaran atau gejala baik gejala uveitis anterior maupun gejala uveitis posterior.2 Uveitis anterior adalah inflamasi mengenai iris dan jaringan badan siliar (iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset akut. Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut biasanya adalah mata sakit, merah, fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair, dan mata merah. Keluhan sukar melihat dekat pada pasien uveitis akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Pada pemeriksaan, biasanya ditemukan kemerahan sirkumkorneal dengan injeksi konjungtiva palpebra dan sekret yang minimal.2,4 Pupil mengecil akibat rangsangan proses inflamasi pada otot sfingter pupil atau karena terdapatnya sinekia posterior dan terdapatnya edem iris, pada proses radang akut dapat terjadi miopisasi akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa, fler atau efek tyndal di dalam bilik mata depan. Jika inflamasi akut maka akan terlihat hifema atau hipopion sedang pada yang kronis terlihat edema makula dan kadang katarak.2,4 Terbentuknya sinekia posterior, miosis pupil, tekanan bola mata yang turun akibat hipofungsi badan siliar, tekanan bola mata dapat meningkat hal ini menunjukkan terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan mata oleh sel radang atau perlengketan yang terjadi pada sudut bilik mata. Perjalanan penyakit uveitis adalah sangat khas, yaitu penyakit berlangsung hanya antara 2-4 minggu. Kadang-kadang penyakit ini memperlihatkan gejalagejala kekambuhan atau menjadi menahun.2,4

38

Gambar 28. Tanda uveitis anterior akut. (A) Injeksi siliar; (B) Miosis; (C) Debu endotelial oleh sel; (D) Sel dan Aquoeus Flare; (E) Eksudat fibrin; (F) Hipopion Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011.

Sensasi kornea dan tekanan intraokular harus diperiksa pada setiap pasien uveitis. Penurunan sensasi terjadi pada infeksi herpes simpleks atau herpes zoster atau lepra, sedangkan peningkatan tekanan intraokular bisa terjadi pada iridosiklitis sifilis dan sarkoidosis. Kelompokan sel putih dan debris inflamatorik (keratic precipitate) biasanya tampak jelas pada endotel kornea pasien dengan inflamasi aktif. Keratic precipitate mungkin besar (mutton fat atau granulomatosa), kecil (non-granulomatosa) atau stelata.2 Keratic precipitate ganulomatosa atau non-granulomatosa biasanya terdapat di sebelah inferior, di daerah berbentuk baji yang dikenal sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya, keratic precipitate stelata biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada uveitis akibat sarkoidosis. Keratic precipitate mungkin juga ditemukan terlokalisasi pada daerah-daerah keratitis aktif atau pra-keratitis. Nodul-nodul iris dapat terlihat pada tepi iris (nodul Koeppe), di dalam stroma iris (nodul Busacca), atau sudut bilik mata depan (nodul Berlin).2

39

Gambar 29. Keratic Precipitates. (A) Agregasi Sel Inflamasi pada Endotelium Kornea; (B) Keratic Precipitates Mutton Fat Besar; (C) Keratic Precipitates Ghost; (D) Keratic Precipitates Pigmentasi Tua Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011

Gambar 30. Nodul iris pada uveitis anterior granulomatosa. (A) Nodul Koeppe; (B) Nodul Busacca; (C) Nodul Sangat Besar pada Uveitis Sarkoid Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011.

Gambaran penyakit granulomatosa seperti mutton fat keratic precipitate atau noduli iris pada uveitis dapat mengindikasikan adanya penyebab infeksius atau salah satu dari sejumlah kecil penyebab non infeksius seperti sarkoidosis, sindrom VKH, oftalmia simpatetik.2 Inflamasi bilik mata depan yang sangat berat dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel radang di sudut inferior (hipopion), penyebab uveitis hipopion yang tersering di Asia adalah penyakit Behet, pada komunitas agrikultural di daerah-daerah yang lebih lembap di negara-negara berkembang, leptospirosis.2

40

Tabel 3. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non-granulomatosa

Non-granulomatosa Onset Nyeri Fotofobia Penglihatan kabur Merah sirkumkorneal Keratic precipitate Pupil Sinekia posterior Noduli iris Lokasi Perjalanan penyakit Kekambuhan Akut Nyata Nyata Sedang Nyata Putih halus Kecil dan tak teratur Kadang-kadang Tidak ada Uvea anterior Akut Sering

Granulomatosa Tersembunyi Tidak ada/ringan Ringan Nyata Ringan Kelabu besar (mutton fat) Kecil dan tak teratur (bervariasi) Kadang-kadang Kadang-kadang Uvea anterior, posterior, atau difus Kronik Kadang-kadang

Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10.

Gambar 31. Diagram sinekia anterior dan sinekia posterior Sumber: Riordan-Eva P., Whitcher J. P. Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17 th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10.

41

Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus dperhatikan karena keduanya menimbulkan predisposisi terhadap glaukoma. Sinekia anterior dimana iris perifer melekat pada kornea sementara sinekia posterior adalah iris perifer melekat pada lensa..

Gambar 32. Sinekia Posterior Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7th. Elsevier: 2011.

Keluhan uveitis intermediate juga dapat ditemukan pada panuveitis. Tanda uveitis intermediate yang paling penting adalah adanya inflamasi vitreus. Gejala khas meliputi floaters dan penglihatan buram. Nyeri, fotofobia, dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang paling mencolok adalah vitritis, sering kali disertai dengan kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola salju ( snowballs) atau menyelimuti pars plana dan badan siliar seperti tumpukan salju (snow-banking). Inflamasi bilik mata depan mungkin hanya minimal, tetapi jika sangat jelas, inflamasi ini lebih tepat disebut sebagai uveitis difus atau panuveitis.2

Gambar 33. Sarkoidosis okular. (A) Nodul iris besar; (B) Keterlibat nodul anyaman trabekular; (C) Snowballs Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011.

42

Uveitis posterior adalah inflamasi lapis koroid bola mata. Gejalanya adalah berupa penglihatan buram, terutama bila mengenai daerah sentral makula, bintik terbang (floater), vitreous keruh, mata jarang menjadi merah, tidak sakit dan fotofobia, infiltrat dalam retina dan koroid, edema papil, perdarahan retina, dan vascular sheathing. Uveitis posterior meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Gejala selain di atas adalah kehilangan lapangan pandang atau skotoma, penurunan tajam penglihatan yang mungkin parah. Ablasio retina walaupun jarang, paling sering terjadi pada uveitis posterior, jenisnya bisa traksional, regmatogenosa, atau eksudatif.2,4

Gambar 34. Tanda uveitis posterior. (A) Retinitis; (B) Koroidits; (C) Vaskulitis Sumber: Kanski J. J., Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. Edition 7 th. Elsevier: 2011

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan hanya untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding terutama untuk penyakit yang berhubungan dengan panuveitis, beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan contohnya adalah :
Tabel 4: pemeriksaan penunjang

1. Darah lengkap 3. Laju endap darah 5. Rontgen thorax 7. Tes mantoux

2. Serologi sifilis 4. Human Leukocyte Antigen (HLA)Behet dan VKH 6. Serum Angiotensin Converting Enzyme (ACE)sarkoidosis 8. Time Domain Optical Coherence Tomography (TD-OCT)

9. Fluorescein Angiography (FA) pada fundus identifikasi adanya inflamasi aktif dari pembuluh darah retina, yaitu vaskulitis seperti yang terlihat pada infeksi tuberkulosis, sarkoidosis, penyakit Behcet, dan sifilis.
Sumber: Bansal R, Gupta V, Gupta A.Current approach in the diagnosis and management of panuveitis. Indian J Ophthalmol.2010.58: 4554

43

Gambar 35. Time Domain Optical Coherence Tomography (TD-OCT) Sumber: http://www.healio.com/ophthalmology/journals/osli/%7Ba50c7092-2e6f-4f1b-b0ff-

78278ae18b10%7D/optical-coherence-tomography-in-pediatric-ophthalmology-current-roles-andfuture-directions dan http://www.medscape.com/viewarticle/771518_2

Pada beberapa etiologi dimana diagnosis klinis dapat ditegakkan, sebaiknya terapi segera dimulai sambil menunggu hasil pemeriksaan yang spesifik. Gold standard dari pemeriksaan ini adalah kultur untuk mendiagnosis adanya infeksi bacterial, tetapi cara ini sulit dilakukan dengan menggunakan cairan okular atau spesimen jaringan, maka dapat diggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mencari adanya agen infeksius. PCR sudah banyak digunakan dalam membantu diagnosis dari uveitis, termasuk uveitis viral, infeksi bacterial intraokular, infeksi endoftalmitis, penyakit mata akibat protozoa. Pemeriksaan laboratorium darah lainnya seperti fungsi hati dan fungsi ginjal biasanya hanya dilakukan saat pasien sedang dalam masa pengobatan untuk melakukan evaluasi terhadap efek samping dari obat.21
44

2.7 TATALAKSANA Penatalaksanaan uveitis mempunyai 3 sasaran utama yaitu untuk mencegah komplikasi yang mengancam penglihatan, untuk meredakan keluhan pasien dan ketika memungkinkan, untuk menyembuhkan penyakit yang mendasari sehingga proses evaluasinya melalui tahapan sebagai berikut:22 1) Diagnosis dan tatalaksana dari agen kausatif spesifik 2) Terapi nonspesifik 3) Terapi dari kondisi yang terkait 4) Terapi suportif 2.7.1 MEDIKAMENTOSA Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat pilihan untuk kebanyakan jenis uveitis. Mereka menghambat proses inflamasi dengan menekan metabolisme asam arakidonat dan aktivasi sistem komplemen. Pada panuveitis, kedua jenis kortikosteroid topikal dan sistemik sama-sama dibutuhkan. Berdasarkan keparahan dari penyakitnya, prednisolon oral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari. Seiring inflamasi yang mereda, dilakukan pengurangan dosis kortikosteroid secara berkala 5-10 mg/minggu setelah 2-4 minggu dari permulaan terapi. Ketika mata sudah tenang, pasien diberikan dosis rumatan antara 2,5-10 mg prednisolon setiap hari. Dosis rendah kortikosteroid untuk waktu yang lama juga dibutuhkan sebagai terapi rumatan di VKH dan SO.22 Respon normal terhadap terapi kortikosteroid dapat terinterupsi oleh rekurensi dari uveitis pada kasus dimana pada kasus-kasus tersebut dosis kortikosteroid tetes ditingkatkan selain meningkatkan dosis kortikosteroid oral ke dosis tinggi kembali. Kasus unilateral dapat diberikan percobaan injeksi kortikosteroid depot periokular ke rongga subtenon posterior. Efek samping dan komplikasi dari kortikosteroid oral dan tetes harus dievaluasi setiap kali pasien datang berobat seperti glaukoma sekunder, katarak subkapsular posterior, meningkatnya kemungkinan infeksi (okular atau sistemik), hipertensi, ulkus gaster, diabetes, obesitas, gangguan pertumbuhan, osteoporosis dan psikosis. 22

45

Agen Imunosupresan Tiga kelas utama dari imunosupresan yang digunakan secara luas selain penggunaan glukokortikoid adalah antimetabolit, inhibitor sel T dan alkylating agent. Antimetabolit termasuk azathioprine, methotrexate, dan mycophenolate mofetil (MMF). Inhibitor sel T termasuk cyclosporine dan tacrolimus. Alkylating agent termasuk cyclophosphamide dan chlorambucil. Ketika kortikosteroid tidak cukup untuk mengontrol inflamasi okular, diberikan agen imunosupresan. Mekanisme kerja utamanya adalah dengan membunuh secara cepat klon limfosit yang membelah diri yang menyebabkan inflamasi. Indikasi dari terapi ini pada panuveitis adalah inflamasi yang berat yang mengancam penglihatan, inflamasi kronis yang tidak berespon terhadap kortikosteroid, relaps yang sering dari uveitis, intoleransi atau kontraindikasi dari kortikosteroid sistemik. Klinisi harus mendiskusikan kepada pasien termasuk efek samping dari terapi. 22 Obat-obat ini digunakan hanya setelah klinisi dapat mengeksklusi agen infeksius yang mungkin menjadi penyebab uveitis. Sindrom VKH dan SO adalah kondisi uveitis yang biasanya resisten terhadap kortikosteroid atau membutuhkan terapi jangka panjang kortikosteroid. Pada kondisi tersebut, obat ini digunakan sebagai terapi lini kedua atau sebagai steroid-sparing agent sebagai terapi lini pertama. Semua pasien dievaluasi untuk hemoglobin, hitung jenis (leukosit dan platelet), fungsi hepar dan ginjal untuk mengeksklusi kontraindikasi terapi sebelum memulai terapi dan setiap 4 minggu setelah mendapatkan obat ini. Obat imunosupresan dosis rendah seperti azathioprine dan methotrexate (MTX) juga diberikan sebelum pembedahan intraokular untuk mengontrol inflamasi selama waktu yang panjang, dan mempertahankannya setelah pembedahan untuk hasil yang lebih baik. 22 Cyclosporine dan azathioprine ditemukan sebagai agen yang efektif pada tatalaksana penyakit Behet pada randomized controlled trials, dimana efektivitas dari agen lain ditemukan pada studi kasus tidak terkontrol. 22

46

Terapi Suportif Siklopegik diberikan untuk mengurangi nyeri akibat spasme badan siliar. Terbentuknya sinekia posterior dicegah dengan memberikan agen midiatrikum. Atropin diberikan pada serangan akut untuk mempertahankan dilatasi pupil. 22 Strategi Baru Obat biologis diperkenalkan sebagai terapi alternatif untuk uveitis yang rekalsitran 15 tahun yang lalu dengan hasil yang memuaskan. Obat biologis ini adalah antibodi monoklonal dan reseptor sitokin tertentu. Obat biologis yang digunakan sekarang ini adalah anti-tumor necrosis factor- (TNF- ), antibodi reseptor sitokin dan interferon- (IFN- ). Obat-obat ini dipercaya mempunyai potensi anti inflamasi yang lebih tinggi dibanding imunosupresan konvensional dan diajukan sebagai terapi lini kedua setelah kegagalan terapi imunosupresan konvensional untuk penatalaksanaan uveitis refrakter, khususnya penyakit Behet okular. 22 Anti-Tumor Necrosis Factor- TNF- adalah sitokin inflamasi ditemukan pada model binatang dari uveitis. Tiga agen TNF- yang dapat ditemukan di pasaran adalah infliximab, adalimumab, dan etanercept. Infliximab dan adalimumab adalah imunoglobulin monoklonal G1 (IgG1) terhadap TNF-. Kedua obat ini membentuk ikatan stabil dengan bentuk larut dan transmembran dari TNF-. Etanercept adalah bentuk larut dimerik dari reseptor TNF- p75 dan membentuk ikatan lebih tidak stabil khususnya dalam bentuk transmembran. Agen anti TNF- semakin dibuktikan sebagai terapi yang efektif untuk mengontrol uveitis. Infliximab ditemukan efektif untuk mengurangi inflamasi pada sekitar 80% uveitis yang refrakter dengan beberapa efek samping yang serius. Namun infus berkala setiap 4-8 minggu diperlukan untuk mencegah rekurensi. Pada penyakit Behet, respon terhadap infliximab cukup cepat, dapat timbul 24 jam setelah infus diberikan, bahkan pada pasien yang mengalami rekurensi walaupun sudah ditekan sistem imunnya dengan agresif. Adalimumab dibetikan sebagai injeksi subkutan sebanyak 40 mg dalam interval seminggu-2 minggu. 22

47

Etanercept diberikan tiap 2 minggu sebagai infeksi subkutan sebanyak 25 mg dan ditemukan lebih tidak efektif dari kedua agen sebelumnya.22 Salah satu komplikasi fatal dari terapi anti- TNF- adalah tuberkulosis diseminata. Skrining untuk tuberkulosis laten dapat negatif karena pasien-pasien ini sudah diberikan imunosupresan lain yang dapat memberikan hasil negatif palsu pada tes tuberkulin dan fokus primernya dapat ekstrapulmoner. 22 2.7.2 PEMBEDAHAN Vitrektomi Vitrektomi pada uveitis dimulai pada akhir 1970 untuk kepentingan diagnosistik dan untuk mengobati infeksi. Vitrektomi diagnostik dikombinasi dengan PCR dapat meningkatkan secara signifikan lingkup diagnostik pada uveitis yang sebelumnya diduga idiopatik dan sering dapat menghasilkan diagnosis pada kasus yang kompleks oleh opasitas medis bola mata dan kelainan lainnya yang menjadikan pemeriksaan biasa yang tradisional sulit atau tidak mungkin dilakukan. Vitrektomi dapat digunakan untuk kepentingan terapeutik ketika uveitis tetap timbul walaupun terapi medis dengan kortikosteroid dan imunosupresan lain telah diberikan maksimal, ketika kehilangan penglihatan timbul karena komplikasi dari inflamasi jangka panjang seperti badan kaca yang mengalami opasifikasi yang hebat, jaringan parut menarik badan siliar menyebabkan edema makuler sistoid, membran epiretinal, dan kekeruhan kapsul lensa posterior atau lepasnya jaringan retina akibat traksi. 22 Vitrektomi menghilangkan sejumlah besar limfosit, debris inflamasi, kompleks imun, dan autoantigen. Prosedur ini juga meningkatkan penetrasi uvea terhadap selsel anti inflamasi. Selain memberikan akses yang lebih baik untuk ekstraksi material lensa yang mengalami katarak dengan kapsul posterior, pendekatan kombinasi dari lensektomi pars plana dan vitrektomi memberikan akses yang lebih mudah untuk manuver intraokular dan mencegah pembentukan membran siklitik. Komplikasi dari prosedur ini dapat ringan atau berat dan termasuk perdarahan, katarak, glaukoma, infeksi, lepasnya retina atau kebutaan.22

48

2.8 KOMPLIKASI Uveitis anterior dapat menyebabkan sinekia anterior dan posterior. Sinekia anterior dapat menghambat aliran aqueous humor pada sudut bilik mata dan menyebabkan glaukoma. Sinekia posterior ketika terjadi secara luas dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup sekunder karena menyebabkan seklusi pupil dan penonjolan dari iris ke depan (iris bombe). Penggunaan agresif dan dini dari kortikosteroid dan siklopegik memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi ini.2 Inflamasi bilik mata depan dan belakang keduanya menyebabkan kecenderungan untuk terjadinya penebalan lensa dan opasifikasi. Awalnya akan terjadi kelainan refraksi ke arah miopia, namun lama kelamaan timbul katarak dan menyebabkan visus tidak bisa dikoreksi. Penatalaksanaan dengan operasi katarak lebih baik dilakukan ketika inflamasi intraokular sudah terkontrol baik karena komplikasi intraoperatif dan paska operatif lebih besar pada pasien dengan uveitis yang aktif. Pengunaan agresif dari kortikosteroid lokal dan sistemik biasanya dibutuhkan untuk pasien ini sebelum, selama, dan paska operasi katarak.2

Gambar 36. Iris Bombe Sumber: http://www.eyeworld.org/article-uveitis--posterior-synechiae--lens-deposits--cme--prolongedpost-op-inflammation--and-secondary-glaucoma

49

Gambar 37. Edema makular sistoid Sumber: http://maculacenter.com/eye-disease/cme/ Edema makular sistoid adalah penyebab yang umum dari hilangnya penglihatan pada pasien dengan uveitis dan dapat terlihat pada pasien dengan uveitis anterior dan intermediate yang berat. Edema makular dalam jangka panjang atau rekuren dapat menyebabkan hilangnya visus secara permanen karena degenerasi sistoid. Angiografi fluoresen dan OCT dapat digunakan untuk mendiagnosa edema makular sistoid dan melakukan pemantauan respon terapi. Lepasnya retina termasuk bentuk traksional, rhegmatogen, dan eksudatif jarang timbul pada pasien dengan uveitis posterior, intermediate, atau panuveitis. Lepasnya retina yang eksudatif menandakan inflamasi koroid dan muncul terutama berhubungan dengan sindrom VKH, ofalmia simpatik, dan skleritis posterior dan berhubungan dengan retinitis berat atau vaskulitis retina.2 2.9 PROGNOSIS Uveitis umumnya terjadi berulang, sehingga penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan berkala untuk deteksi dini keluhan pada matanya. Hasil keluaran tergantung luas inflamasi dan atrofi yang terjadi. Apabila mengenai daerah makula dapat mengakibatkan gangguan penglihatan serius.

50

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 KESIMPULAN Panuveitis adalah inflamasi generalisata yang tidak hanya menyerang seluruh traktus uvea namun juga melibatkan retina dan badan kaca. Penyebab utama dari panuveitis adalah tuberkulosis, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatetik, penyakit Behet, dan sarkoidosis dengan kebanyakan kasus masih memiliki sebab yang belum diketahui jelas. Pengobatan utamanya adalah dengan menggunakan kortikosteroid topikal ataupun sistemik dengan lini kedua berupa agen imunosupresan dan agen biologis. Vitrektomi digunakan untuk indikasi diagnostik dan terapeutik. Secara umum jika dibandingkan dengan inflamasi daerah anatomis lain, panuveitis mempunyai hasil pengobatan yang umumnya buruk dikarenakan inflamasi yang meluas.

3.2 SARAN Evaluasi klinis yang sistematis diperlukan untuk bisa memberikan diagnosis yang akurat dan terapi tepat dan efisien. Walaupun demikian, sampai sekarang masih banyak penyebab panuveitis yang masih idiopatik. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode yang lebih canggih untuk dapat mengetahui penyebab dari panuveitis lainnya, sehingga komplikasi dapat dicegah dengan segera.

51

DAFTAR PUSTAKA
1. Rosenbaum, Uveitis: Etiology, clinical manifestasions, and diagnosis.In: UpToDate, J.,Trobe J. (Ed),Romain P. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 2. Riordan-Eva, P., Whitcher, J., Vaughan, D., & Asbury, T. (2008). Vaughan & Asbury's general ophthalmology. New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Pub. 3. Tasman W., Jaeger W. A. Duanes ophthalmology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007. 4. Ilyas S., Yulianti S. R. Ilmu penyakit mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2008: 4-6 5. Kanski J.J.,Bowling B. Clinical ophthalmology: clinical approach. 7th ed.(2011).Elsevier: 6. Khurana A.K., (2012).Comperehensive ophthalmology.India 7. Nettleman, M.D.Onchocerciasis. updated July 2011, accessed on 11 desember 2013 in: http://emedicine.medscape.com/article/224309 8. Rolando,I., Olarte, L., Vilchez, G., Lluncor M., Otero,L., Paris,M, et al. Ocular manifestation associated with brucellosis: a 26 years experience in Peru.CID 2008;46:1338-45 9. Barghi,G., Pahlevan, M.A review on ophthalmic manifestations of brucellosis and reporting a case of ophthalmic brucellosis. Iran Red Crescent Med J 2011; 13(5):352-353 10. Arevalo,J.F., Garcia,R.A., Al-Dhibi, H.A., Sanchez,J.G., Suarez-Tata, L. Update on Sympathetic Ophthalmia. Middle East Afr J Ophthalmol. 2012 Jan-Mar; 19(1): 1321. 11. Tugal-Tutkun, I. Behet's Uveitis. Middle East Afr J Ophthalmol. 2009 Oct-Dec; 16(4): 219224. 12. Smith, E.L., Clinical manifestasion and diagnosis of Behet disease.In: UpToDate, Stone J.H. (Ed), Monica P. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 13. Smith, E.L., Pathogenesis of Behet disease.In: UpToDate, Stone J.H. (Ed), Monica P. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 14. Smith, E.L., Treatment of Behet disease.In: UpToDate, Stone J.H. (Ed), Monica P. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 15. Burkholder, B.M., Dunn, J.P., Multiple sclerosis associated uveitis. Expert Rev Ophthalmol.2012;7(6):587-594
52

16. Olek, M.J., Epidemiology and clinical features of multiple sclerosis in adults.In: UpToDate, Scarano F.G (Ed), Dashe J.F,. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 17. Olek, M.J., Diagnosis of multiple sclerosis in adults.In: UpToDate, Scarano F.G (Ed), Dashe J.F,. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 18. Olek, M.J., Treatment of progressive multiple sclerosis in adults.In: UpToDate, Scarano F.G (Ed), Dashe J.F,. (Ed), UpTodate,Waltham, MA,2013 19. Lehoang, P. Masquerade Syndrome. Diunduh dari:

http://www.euretina.org/.../MASQUERADE-SYNDROMES-Milan-2012.pdf(diakses 12 Desember 2013) 20. Nguyen, Q.D. Masquerade Syndrome. Diunduh dari http://

www.uveitis.org/docs/dm/masquerade_syndromes.pdf. (diakses 12 Desember 2013) 21. 22. Bansal R, Gupta V, Gupta A.Current approach in the diagnosis and management of panuveitis. Indian J Ophthalmol.2010.58: 4554.

53

Vous aimerez peut-être aussi