Vous êtes sur la page 1sur 10

Pengertian Akhlak dan Ruang Lingkup Akhlak

Kata Akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun ( ) yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segisegi persesuaian dengan perkataan khalqun ( ) yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq ( ) yang berarti sang pencipta, demikian pula dengan mkhluqun ( ) yng berarti yang diciptakan. Kata akhlak adalah jamak dari kata khalqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau pun khuluk kedua-duanya dijumpai pemakaiannya baik dalam Al Quran maupun Al Hadits, sebagai berikut: ( Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al Qalam: 4) ( ) :4)

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. Tirmidzi) Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk. Dalam pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M Abdullah Dirroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut: Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat). Menurut Istilah, akhlak adalah: 1. Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran danpertimbangan. 2. Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Selanjutnya menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu: 1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. 2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indahindah dan lain sebagainya. Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki satu kemiripan antara satu dengan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Pebuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.[1] Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan , aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu. Maarif ilmu akhlak adalah:

Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong dari padanya.[2] Di dalam Mujam al-Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah:

Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.[3] Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tata krama.[4] Ruang lingkup kajian ilmu ahklak Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk. Dengan demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut: Bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk.. [5] Dengan demikian terdapat akhlak yang bersifat perorangan dan akhlak yang bersifat kolektif. Jadi yang dijadikan objek kajian Ilmu Akhlak di sini adalah perbuatan yang memiliki ciriciri sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan. Sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara terus-menerus sehingga mentradisi dalam kehidupannya. Perbuatan atau tingkah laku yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan yang dijadikan garapan Ilmu Akhlak, dan tidak pula termasuk ke dalam perbuatan akhlaki. Dengan demikian perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang dilakukan dengan tidak senganja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan tidak atas dasar pilihan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: ( )

Bahwasanya Allah memaafkanku dan ummatku yang berbuat salah, lupa dan dipaksa. ( HR. Ibnu Majah dari Abi Zar ) Dengan memperhatikan keterangan tersebut di atas kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak terpaksa dan sungguh-sungguh, bukan perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-perbuatan yang demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk. Untuk menilai apakah perbuatan itu baik atau buruk diperlukan pula tolak ukur, yang baik atau buruk menurut siapa, dan apa ukurannya. Imam Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi empat macam, yaitu: 1. 2. Keburukan akhlak yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jahil ( ). Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jahil al-dhollu ( ). Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq ( ). Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada nya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq al-syarir ( ) .

3.

4.

Menurut Imam Al-Ghazali, tingkatan keburukan akhlak yang pertama, kedua dan ketiga masih bisa dididik dengan baik, sedangkan tingkatan keempat sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalu dibiarkan hidup, besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak.[6] Banyak sekali petunjuk dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlak manusia, antara lain anjuran untuk selalu bertobat, bersabar, bersyukur, bertawakal, mencintai orang lain, mengasihani serta menolongnya. Anjuran-anjuran itu sering didapatkan dalam ayatayat akhlak, sebagai nasihat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk.

Akhlaq Kepada Allah


Dari An Nawas bin Saman radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: Kebajikan itu keluhuran akhlaq[1] Hadits ini memiliki beberapa kandungan sebagai berikut: 1. Hadits ini menunjukkan urgensi akhlak dalam agama ini, karena nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitakan bahwa seluruh kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak. Dengan demikian, seorang yang baik adalah seorang yang luhur akhlaknya. Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah menjelaskan makna kata al birr (kebajikan) yang terdapat dalam hadits di atas. Beliau berkata,

2.

[Diantara makna al birr adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin. (Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah ta'ala, ) "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al Baqarah: 177).][2] Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al Baqarah tersebut, kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya meninggalkan laranganNya), serta berbuat kebajikan terhadap sesama makhluk Allah.

Kita juga bisa menyatakan, berdasarkan hadits An Nawwas radhiallahu anhu di atas-, bahwa seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap sesama adalah seorang yang berakhlak luhur, karena nabi shallallahu alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan keluhuran akhlak, dan pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai macam bentuk al birr. Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik terhadap Allah taala dan sesamanya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, . : : . [Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan mesti (mengandung kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama dalam bentuk perkataan dan perbuatan].[3] Terdapat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa makna keluhuran akhlak (akhlakul karimah) terbatas pada interaksi sosial yang baik dengan sesama. Hal ini kurang tepat, karena menyempitkan makna akhlakul karimah, silahkan anda lihat kembali penjelasan di atas.

Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan yang terkadang terucap dari seorang muslim, yang menurut kami cukup fatal, seperti perkataan, Si fulan yang non muslim itu lebih baik daripada fulan yang muslim atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar tatkala melihat kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim, kemudian dia membandingkan saudaranya tersebut dengan seorang kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan sesamanya. Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid kepada Allah, betapa pun buruk akhlaknya, betapapun besar dosa yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang kafir, yang berbuat syirik kepada Allah taala. Hal ini mengingat dosa syirik menduduki peringkat teratas dalam daftar dosa.

Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap sesama, namun dia tidak menyembah Allah atau tidak menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang dilakukannya, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan pondasi keluhuran akhlak, yaitu berakhlak yang baik kepada sang Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada dirinya dan seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid merupakan hak Allah kepada setiap hamba-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits Muadz bin Jabal radhiallahu anhu.[4] Hal ini pun dipertegas dalam hadits Aisyah radhiallahu anhu. Beliau bertanya kepada rasulullahshallallahu alaihi wa sallam, [Wahai rasulullah! Ibnu Jud'an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, "Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak."][5] Ibnu Judan adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada manusia tidak mampu menyelamatkannya dikarenakan dia tidak menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah dengan beriman dan bertauhid kepada-Nya. Telah disebutkan di atas bahwa bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan menauhidkan-Nya. Berdasarkan hal ini kita bisa menyatakan bahwa seorang yang mempersekutukan Allah dalam peribadatannya (berbuat syirik) adalah seorang yang berakhlak buruk, meski dia dikenal sebagai pribadi yang baik kepada sesama.

Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikenal akan kebaikannya kepada sesama manusia, jika dia berbuat syirik seperti memakai jimat[6], mendatangi dukun[7], menyembelih untuk selain Allah[8], mendatangi kuburan para wali untuk meminta kepada mereka[9], maka dia adalah seorang yang berakhlak buruk. Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan Syaikhul Islam Ibnu Tamiyahrahimahullah berikut,

["Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih dibarengi dengan tauhid yang benar itu masih lebih baik daripada tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan berbagai dosa."][10] Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap ringan perbuatan dosa dengan perkataan tersebut. Namun, beliau menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan menjauhi kesyirikan merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita sebelum menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya berada di bawah dosa syirik. Imbas lain dari penyempitan makna akhlak sebagaimana dikemukakan di atas adalah anggapan bahwa akhlak yang baik kepada manusia itu lebih penting daripada tauhid. Akibatnya, rata-rata materi dakwah para dai adalah berkutat pada upaya menyeru manusia untuk berbuat baik pada sesamanya dan menomorduakan dakwah tauhid, kalau tidak mau dikatakan bahwa mereka memang tidak pernah menyampaikan materi tauhid kepadamadu.

Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul Qayyim rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-hadits nabi seperti, Kebajikan itu keluhuran akhlaq ; Tidak ada amalan yang lebih berat apabila diletakkan di atas mizan daripada akhlak yang baik.; Apa karunia terbaik yang diberikan kepada hamba?, nabi menjawab. Akhlak yang baik.,mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa berakhlak baik kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada menauhidkan Allah taala secara mutlak. Di akhir artikel ini, kami kembali mengingatkan bahwa akhlak yang baik kepada Allah, itulah yang harus menjadi fokus perhatian dalam pembenahan diri kita, dan yang menjadi fokus utama adalah bagaimana kita berusaha membenahi tauhid kita kepada Allah. Jika kita memiliki interaksi yang baik dengan-Nya, dengan menauhidkan-Nya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya Allah taala akan memudahkan kita untuk berinteraksi yang baik (baca: berakhlak yang baik) dengan sesama. Itulah makna yang kami pahami dari sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam, ["Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang kemurkaan manusia, niscaya Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka kepadanya."][11]

DAFTAR PUSTAKA
http://ferdyjambi.wordpress.com/akhlak-dan-tasawuf/ http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/prioritas-utama-akhlaq-kepada-allah.html
[1] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, (Mesir-Daral-Kutubal-Mishriyah, cet. III. t.t.), hlm. 2-3. [2] Abd. Hamid Yunus, hlm. 436-437. [3] Ibrahim Anis. [4] Husin al Habsyi, Kamusal-Kautsar, (Surabaya: Assegaf, t.c.), hlm. 87. [5] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, hlm. 2. [6] Drs. Mahjudin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, Kalam Mulia Jakarta, 1991, hlm. 41. [7] Amhad Amin, hlm. 1. [1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3 [2] Ibid. [3]Ibid. hal. 44. [4] Ibid. Hal 44-5. [5] Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9 [6] Dr. H. Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181

[1] HR. Muslim: 2553. [2] Jamiul Ulum wal Hikam hlm. 252-253. Asy Syamilah. [3] Tahdzibus Sunan sebagaimana tertera dalam catatan kaki Aunul Mabud 13/91. [4] HR. Bukhari: 5912; Muslim: 30. [5] HR. Muslim: 214. [6] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang memakai jimat, sungguh dia telah berbuat syirik. (HR. Ahmad: 17458). [7] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan perkataannya, atau mengauli istrinya yang sedang haidh, menyetubuhi dubur istrinya, maka sesungguhnya dia telah berlepas diri dari ajaran yang diturunkan kepada

Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud: 3408; Tirmidzi: 135; dan selain mereka). [8] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Allah melaknat orang yang menyembelih (baca: memberikan sesajen) untuk selain Allah. (HR. Muslim: 1978). [9] Allah taala berfirman mengenai ucapan orang-orang musyrik, yang artinya, Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada Kami di sisi Allah. (Yunus: 18). [10] Al Istiqamah 1/466; Asy Syamilah. [11] HR. Ibnu Hibban: 276.

Vous aimerez peut-être aussi