Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit.No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh. Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
1|Page

Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448. Bila dilihat prevalensi penderita trauma kepala cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun, hal ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat . Supaya lebih meningkatkan pengetahuan tentang trauma kepala, sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dan maksimal dibidangnya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari trauma kepala ? 2. Apa saja klasifikasi dari trauma kepala ? 3. Apa saja etiologi dari trauma kepala ? 4. Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala ? 5. Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala ? 6. Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala ? 7. Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala ? 8. Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan. 1.3.2. Tujuan Instruksional Khusus Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran penderita yang mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut :

2|Page

1. Anatomi dan fisiologi kepala 2. Pengertian trauma kepala 3. Etiologi trauma kepala 4. Klasifikasi trauma kepala 5. Patofisiologi trauma kepala 6. Manifestasi klinik trauma kepala 7. Penatalaksanaan trauma kepala 8. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawaratan trauma kepala

3|Page

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi 2.1.1 Anatomi Kepala 1. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu ; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 2. Tulang tengkorak Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 3. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : a. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

4|Page

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). b. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. c. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 4. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5|Page

5. Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.. 6. Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). 7. Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis..

2.1.2 Fisiologi Kepala Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
6|Page

Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie .Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.

2.2 Definisi Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala.

2.3 Etiologi Mekanisme Terjadinya Kecederaan Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tibatiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
7|Page

mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009). Penyebab Trauma Kepala Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut : a. Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995). b. Jatuh Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah. c. Kekerasan Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

2.4 Klasifikasi Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas : 1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi

8|Page

yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak. 2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi : 1. Fraktur tengkorak ; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. 2. Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak. 3. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi : Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi : 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat 2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

2.5 Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

9|Page

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2 : 1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal 2. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran

penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).

Aspek patologis Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan
10 | P a g e

subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.

2.6 Mekanisme Klinis Gejala : 1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat 2. Muntah proyektil 3. Papil edema 4. Kesadaran makin menurun 5. Perubahan tipe kesadaran 6. Tekanan darah menurun, bradikardia 7. An isokor 8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan Tipe / macam Trauma kepala antara lain : 1. Trauma kepala terbuka Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai : a. Merobek duramater -----LCS merembes b. Saraf otak c. Jaringan otak Gejala fraktur basis : a. Battle sign b. Hemotympanum c. Periorbital echymosis d. Rhinorrhoe e. Orthorrhoe
11 | P a g e

f. Brill hematom. 2. Trauma kepala tertutup a. Komosio Cidera kepala ringan. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali. Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit dan tanpa kerusakan otak permanen. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah. b. Kontosio Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difus gangguan lokal yang mengakibatkan perdarahan. Gejala : 1. Gangguan kesadaran lebih lama 2. Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi 3. Gejala TIK meningkat 4. Amnesia retrograd lebih nyata. c. Hematom epidural Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal dan frontal. Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus. Katagori talk and die. Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang). Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip. d. Hematom subdural Perdarahan antara duramater dan arachnoid. Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis. Akut : Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dengan cidera otak & medulla oblongata. PTIK meningkat, Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat. Sub Akut : Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK meningkat --- kesadaran menurun. Kronis : Ringan, 2 minggu - 3 - 4 bulan. Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia. e. Hematom intrakranial
12 | P a g e

Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio. Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak.

2.7 Komplikasi 1. Koma 2. Seizure 3. Infeksi 4. Kerusakan saraf, seperti hilangnya kemampuan kognitif, Penyakit Alzheimer dan Parkinson.

2.8 Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional. Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale Glasgow Coma Scale Respon membuka mata (E) Buka mata spontan Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara Buka mata bila dirangsang nyeri Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 4 3 2 1 Nilai

13 | P a g e

Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon motorik (M) Mengikuti perintah Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3 Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak .Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi. Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting.. 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

14 | P a g e

2.9 Data statistik Pengukuran keluaran penderita cedera kepala berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% . Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidung), berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal). Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit . Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala . Untuk keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975).

2.10 Penatalaksanaan 2.10.1 Tindakan dan terapi Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,

15 | P a g e

Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat. Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak. Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervicalspinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
16 | P a g e

dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan duajalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll's eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea. Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>. Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.

2.10.2 Rencana pemulangan 1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan 2. Ajarkan keluarga untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara
17 | P a g e

3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat 4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang 5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik 6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman 7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal 8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial

18 | P a g e

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 PENGKAJIAN Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut : 3.1.1 Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab. 3.1.2 Riwayat kesehatan Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang. 3.1.3 Riwayat penyakit dahulu dan keluarga Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien. 3.1.4 Pemeriksaan Fisik Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. 3.1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala 1. Obat-obatan : Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma. 2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi. 3. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
19 | P a g e

4. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol. 5. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak. 6. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya. 7. Pembedahan

3.1.6 Pemeriksaan Penujang 1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. 2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis 5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang. 6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil 7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak 8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. 9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial 10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial 11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
20 | P a g e

Penatalaksanaan Konservatif : a. Bedrest total b. Pemberian obat-obatan c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran) Prioritas Perawatan : a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak b. Mencegah komplikasi c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi. Tujuan : a. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap b. Komplikasi tidak terjadi c. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain d. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan e. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.

3.2

DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah : 1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak 2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum 3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odem otak 4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma) 5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien. 6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer

21 | P a g e

3.3

INTERVENSI 1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal. Rencana tindakan : a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik. b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume. c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas. d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat

mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi. e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator. 2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada. Rencana tindakan : a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.

22 | P a g e

b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia. d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum. 3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan Odem otak Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik. Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial. Rencana tindakan : a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan intracranial e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).

3.4

Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah

direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.

3.5

Evaluasi Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.

23 | P a g e

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul. 2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian trauma kepala. 3. Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi). 4. Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.

4.2

Saran 1. Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih bekerja sama dalam pembuatan makalah asuhan keperawatan Trauma Kapitis. 2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktif meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan Trauma Kapitis. 3. Untuk dosen supaya lebih banyak lagi memberikan pengetahuan tentang Gawat Darurat.

24 | P a g e

DAFTAR KEPUSTAKAAN American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei 2001 [31 Agustus 2007]; Diunduh dari

: http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 68597. Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient. Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112 Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens]. Diunduh dari:http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. GrawHill. 31-38. Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal. Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Trauma kepala,Jakarta: EGC Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September 2007] volume 8; [8 screens]

25 | P a g e

Vous aimerez peut-être aussi