Vous êtes sur la page 1sur 6

ACARA 6 BENTUK LAHAN ASAL DENUDASIONAL I.

TUJUAN Memahami konsep tentang bentuklahan asal denudasional, proses pembentukannya serta mengenali bentuklahan asal proses denudasional melalui pengamatan pada peta topografi, foto udara maupun pengamatan di lapangan. DASAR TEORI Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cenderung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar membentuk dataran nyaris (pineplain). Denudasi meliputi dua proses utama, yaitu pelapukan dan perpindahan material dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan gerak masa batuan (mass wasting). (Eko Haryono, 2003) 1. Pelapukan (weathering) Pelapukan (weathering) adalah proses berubahnya sifat fisik dan kimia batuan di permukaan dan atau dekat permukaan bumi tanpa disertai perpindahan material (insitu). Pelapukan dapat dibedakan menjadi pelapukan fisik, pelapukan kemis, dan pelapukan biotik. Pelapukan fisik merupakan proses pecahnya batuan menjadi ukuran yang lebih kecil tanpa diikuti oleh perubahan komposisi kimia batuan. Pelapukan kimia merupakan proses berubahnya komposisi kimia batuan sehingga menghasilkan mineral sekunder. Air dan temperatur memegang peranan penting dalam pelapukan kimia, sehingga pelapukan kimia terjadi secara intensif di daerah tropis. Pelapukan biologis terjadi baik secara fisik maupun kemis karena dipicu oleh organisme. Produk dan proses pelapukan antara lain: Batuan yang kompak setelah mengalami proses pelapukan akan menjadi hancuran batuan yang disebut dengan regolit. Pergerakan air dan unsur dalam menyebabkan regolit mengalami diferensiasi membentuk profil pelapukan. Proses pembentukan profil pelapukan inilah yang selanjutnya dikenal dengan pedogenesis atau proses pembentukan tanah. Bongkahan batu secara individu apabila tersingkap akan lapuk dan terkelupas seperti kulit bawang (spheroidal weathering). Selain menghasilkan profil pelapukan, proses pelapukan yang didominasi oleh pelapukan kimia menghasilkan mineral-mineral sekunder berbagai mineral lempung tergantung pada kondisi iklim. Mineral lempung yang terbentuk selama proses pelapukan sangat tergan- tung pada mineralogi batuan dan intensitas pelindian (leaching). Pelindian adalah proses perpindahan larutan dalam tanah. Palindian yang terjadi terjadi apabila curah hujan besar dan kondisi drainase tanah baik, sebaliknya pelindihan yang lemah apabila curah hujan kecil. Faktor pengontrol pelapukan adalah batuan induk, aktivitas organisme, topografi, dan iklim. Batuan induk dalam hal ini yang mengontrol proses pelapukan adalah mineralogi, kekar dan porositas. Aktivitas organik akan meningkatkan keasaman tanah yang selanjutnya mempercepat senyawa dan palapukan kemis. Topografi mempengaruhi drainase permukaan dan dekat permukaan, daerah yang datar dan sering tergenang mempunyai tingkat

II.

pelapukan dibandingkan daerah yang miring. Parameter iklim yang berpengaruh terhadap pelapukan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur secara langsung berpengaruh terhadap pelapukan fisik dan kemis. Proses pelapukan merupakan prasyarat bagi proses denudasi lainnya (erosi dan gerak masa batuan). Sebelum ada pelapukan proses erosi dan gerak masa batuan tidak akan terjadi. Intensitas erosi dan gerak masa batuan yang lebih besar daripada intensitas pelapukan menyebabkan tersingkapnya batuan dasar, sebaliknya intensitas erosi dan gerak masa batuan yang lebih kecil dari intensitas pelapukan menghasilkan tanah yang tebal. 2. Gerakan Massa Batuan (Mass Wasting) Gerak masa batuan adalah proses perpindahan material permukaan bumi secara gravitatif menuruni lereng. Perpindahan dapat terjadi secara cepat maupun lambat dengan material yang terpindahkan bervariasi dari tanah hingga bongkahan batuan. Tiga jenis utama gerakan massa tanah atau batuan, yaitu luncuran (slide), aliran (flow) dan jatuhan (heave). Luncuran, merupakan gerakan perpindahan blok massa tanah atau batuan secara alami dari bagian tertinggi lereng yang curam ke arah bagian kaki lereng. Gerakan perpindahan massa tanah dan batuan tersebut memiliki kecepatan yang cukup tinggi (cepat), sehingga menimbulkan kerusakan pada lereng yang dilalui. Faktor pengaruh terjadinya luncuran disebabkan oleh lereng yang curam dan sedikit pengaruh air. Aliran, merupakan gerak perpindahan massa tanah atau batuan yang dipengaruhi oleh faktor air dengan kecepatan yang relatif cepat, sehingga tidak menampakkan kerusakan. Gerakan massa tanah atau batuan berupa aliran biasanya terjadi pada kemiringan lereng landai dan memiliki gerakan kejadian yang tidak bersamaan serta terhenti jika kemiringan lereng mulai mendatar. Jatuhan, merupakan gerak perpindahan massa tanah atau batuan yang dipengaruhi oleh faktor gaya gravitasi, biasanya terjadi pada lereng yang sangat terjal (hampir tegak lurus). Gerak jatuh massa tanah atau batuan memiliki kecepatan relatif lambat dan berlangsung pada daerah yang tidak luas. 3. Erosi Erosi adalah proses pengikisan terhadap permukaan bumi oleh hujan hujan, sehingga partikel - partikel permukaan bumi berpindah terangkut oleh aliran air atau sungai. Jika kecepata aliran tenang dan memiliki kecepatan yang rendah, maka perpindahan partikel-partikel hasil pengikisan tersebut tidak menunjukkan telah terjadi erosi, sedangkan jika kecepatan aliran meningkat, maka erosi berlangsung dengan cepat. Selaras dengan kondisi aliran tersebut, maka jenis erosi dapat dibedakan menjadi : Erosi permukaan (sheet erosion) : berlangsung akibat dari limpasan air permukaan yang tidak terpusat (terkonsentrasi) dan biasanya berlangsung pada saat hujan mulai berlangsung, sehingga curah hujan yang jatuh dipermukaan tanah mulai mengalir. Erosi alur (riil erosion) : berlangsung ketika limpasan air permukaan mulai bergabung membentuk alur, sehingga aliran permukaan terpusat membentuk suatu alur dan pengikisan terjadi pada alur - alur dari suatu aliran tersebut disertai dengan torehan terhadap dinding alur dan dasar alur. Erosi parit (gully erosion) : ukuran yang reltif besar dibanding erosi

permukaan dan erosi alur. Kenampakan pada foto udara sangat jelas, sehingga erosi parit dapat dipetakan dengan skala peta sedang sampai besar. Menurut Strahler dalam Pamela (2012) ada enam tahapan stadium evolusi bentuklahan, antara lain : Stadium Awal : Proses erosi masih lemah ditandai dengan kerapatan aliran sangat jarang, relief halus, dan lembah dangkal Stadium Muda Awal : Adanya proses pelapukan batuan, mulai terjadi proses erosi walaupun belum intensif, dan dominasi erosi vertikal. Stadium Muda Akhir : Mulai terbentuk igir-igir walau belum intensif. Permukaan asli masih terlihat, dan pembentukan alur-alur sungai lebih intensif Stadium Dewasa Awal : Igir-igir terbentuk secara intensif, permukaan asli sudah tidak terlihat. Terjadi proses pelebaran lembah, sehingga merupakan tahapan relief maksimum (pembentukan relief terjadi paling intensif) Stadium Dewasa Penuh : Kondisi relief mulai rendah, proses pelebaran lembah lebih intensif dibandingkan pendalaman lembah dan proses planasi terjadi intensif. Mulai terbentuk sungai meander pada sungai-sungai yang ada Stadium Tua : Bentuklahan telah mencapai kondisi hampir rata dan terbentuk peneplain. Kondisi permukaan bumi mendekati level dasar sehingga elevasi rendah dan reliefnya relatif halus. Bentuklahan asal proses denudasional (Eko Haryono, 2003) diantaranya : Bukit sisa (insleberg): merupakan bagian bukit yang mempunyai batuan resisten, pada umumnya batuan beku atau metamorf, mempunyai lereng terjal dengan permukaan halus maupun kasar tergantung pada karakteristik batuan. Bukit sisa dikellilingi oleh dataran planasi yang hasil proses denudasi. Dataran nyaris (pineplain): merupakan permukaan bumi yang hampir rata hingga bergelombang hasil porses denudasi yang lanjut. Bagian yang paling tinggi pada umumnya mempunyai lereng cembung, sedangkan bagian bawah berlereng cekung. Dataran nyaris terbentuk apabila proses diastrofisme atau volkanisme sudah tidak aktif. Tors bukit yang terpencar di pineplain, merupakan batuan inti keras (batuan beku atau metamorf yang keras) yang tersingkap. Pedimen merupakan lereng bawah perbukitan yang mengalami proses erosi permukaan, mempunyai lereng landai dengan lapisan kerikil atau krakal di permukaannya dari sisa material yang tidak tererosi. Bahadas dan playas atau accumulation glacies terletak di sebelah bawah pedimen merupakan akulamasi dari erosi dilereng atas perbukitan dan pedimen. Kipas merupakan akumulasi dari rombakan material lereng atas. Jenis material yang akumasi dapat berupa rombakan bongkahbongkah batu, rombakan hasil pelapukan fisik dengan ukuran pasir hingga keraka (scree), campuran tanah dan rombakan batuan dengan segala ukuran (koluvium), dan akkumulasi hasil erosi yang,

berukuran lanau hingga kerakal (alluvium). Kipas yang banyak dijumpai di Indonesia sebagian besar kipas alluvium dan kipas koluvium. Kipas rombakan batuan sedikit dijumpai di kaki-kaki perbukitan bebatuan kompak yang berlereng terjal.

III.

ALAT DAN BAHAN Alat : kertas transparansi, OHP Marker, pensil, penggaris, kertas HVS Bahan : citra foto udara sebagian daerah Merapi skala 1 : 30.000 CARA KERJA 1. Menyiapkan alat dan bahan 2. Menentukan bentuklahan asal proses denudasional yang terdapat pada citra foto udara yang akan di delineasi. 3. Mendelineasi bentuklahan asal proses denudasional yang telah ditentukan dari citra foto udara yang telah dipilih ke kertas transparansi 4. Mendelineasi bentuklahan asal proses denudasional yang telah ditentukan dari citra foto udara yang telah dipilih ke kertas HVS dan diberi warna coklat untuk bentuklahan denudasional. 5. Mengidentifikasi kenampakan bentukan denudasional meliputi tenaga yang mempengaruhi, serta proses denudasi yang bekerja (erosional atau deposisional) 6. Mendeskripsikan hasil identifikasi pada tabel kenampakan bentukan asal denudasional HASIL PRAKTIKUM 1. Peta delineasi bentuklahan asal vulkanik (pada kertas transparansi) 2. Peta delineasi bentuklahan asal vulkanik (pada kertas HVS) 3. Tabel 6.1 : Tabel kenampakan bentuklahan denudasional PEMBAHASAN Suatu bentuklahan dapat diidentifikasi lewat sebuah citra foto udara, salah satunya adalah bentuklahan denudasional. Kunci interpretasi merupakan salah satu sarana yang dapat membantu interpreter dalam mengenali bentuklahan denudasional pada citra foto udara pankromatik hitam putih sekitar daerah Merapi dengan skala 1:30.000. Karakteristik bentuklahan denudasional yang terlihat di foto udara, umumnya topografi agak kasar sampai kasar tergantung tingkat dedudasinya, pola tidak teratur, banyak lembah-lembah kering dan erosi lereng/back erosion, penggunaan lahan tegalan dengan rona cerah, serta kenampakan longsor lahan lebih sering dijumpai. Bentuklahan denudasional ini terdapat pada bagian dataran kaki dari Gunung Merapi yangmerupakan sebuah bidang atau sisi yang berada dibawah kaki gunung, kondisi morfologinya cenderung datar. Daerah Merapi sendiri masih merupakan dataran tinggi dengan tingkat curah hujan yang tinggi. Hal ini menyebabkan tarjadinya berbagai erosi di beberapa tempat, erosi erosi tersebut mengalami sebuah proses, yakni proses erosi vertikal yang kuat pada bagian hulu akibat aliran lava/lahar dan curah hujan yang tinggi membentuk lembah-lembah sungai yang curam dan rapat yang dibatasi langsung oleh igir-igir yang runcing dengan pola mengikuti aliran

IV.

V.

VI.

sungai-sungainya. Proses denudasional yang juga dipengaruhi oleh adanya tenaga eksogen berupa degradasi pun akhirnya saling bekerjasama sehingga membentuk relief yang kasar dan membentuk igir-igir yang terbentuk semakin intensif diikuti proses pendalaman lembah dan kemudian pelebaran lembahnya. Pada citra foto udara pankromatik hitam putih sekitar daerah Merapi dengan skala 1:30.000 terdapat beberapa bentuklahan denudasional yaitu perbukitan denudasional, dataran nyaris atau peneplain, dan scarp. Perbukitan denudasional yang terlihat pada citra foto udara memiliki ronanya agak cerah karena dominasi unsur tanah sehingga banyak memantulkan energi gelombang elektromagnetik, bayangannya tidak terlalu tebal dan pendek karena perbukitannya tidak terlalu tinggi, tekstur yang kasar dan terlihat bergelombang, serta polanya yang tidak teratur. Perbukitan denudasional merupakan bentuklahan denudasional yang ada pada stadium muda akhir yang ditandai dengan terlihatnya igir-igir kecil membulat yang belum intensif pembentukannya serta terdapat lembahlembah yang masih dalam proses pendalaman sehingga belum terlalu lebar dan tajam karena proses erosi yang belum intensif. Perbukitan denudasional sendiri memiliki topografi berbukit dan bergelombang dengan lereng berkisar antara 15% hingga 55%, dan perbedaan tinggi antara 50 meter hingga kurang lebih 500 meter. Pada perbukitan denudasional proses yang dominan adalah pendalaman lembah sehingga bentuk lembah biasanya berbentuk V tajam, namun juga terjadi proses pengikisan sedang hingga kecil tergantung pada kondisi litologi, iklim, vegetasi penutup baik alami maupun buatan. Dataran nyaris atau Peneplain yang terlihat pada citra foto udara memiliki rona yang cerah, hampir tidak memiliki bayangan, polanya yang tidak teratur, teksturnya agak kasar hingga halus dengan topografi bergelombang-gelombang. Peneplain berada pada bentuklahan denudasional stadium tua yang terbentuk akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara terus menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut menurun ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hampir. Dataran nyaris dikontrol oleh batuan penyusunan yang mempunyai struktur berlapis (layer) dan apabila batuan penyusun tersebut masih dan mempunyai permukaan yang datar akibat erosi, maka disebut permukaan planasi. Kondisi permukaan bumi pun mendekati level dasar sehingga elevasinya terlihat menjadi rendah. Pada bentuklahan peneplain ini dapat pula berkembang dataran alluvial, sungai, meander dengan fenomena-fenomena terkait seperti terlihatnya gosong sungai. Gosong Sungai atau Bar Deposit adalah adalah endapan sungai yang terdapat pada tepi atau tengah dari alur sungai. Endapan pada tengah alur sungai disebut gosong tengah dan endapan pada tepii disebut gosong tepi, gosong sungai terbentuk oleh endapan brangkal, krakal, dan pasir,dll. Bentukan yang terbentuk akibat adanya proses sedimentasi yang terakumulasi di bagian tubuh sungai. Memiliki ciri reliefnya datar hingga berombak, dan dtruktur batuannya berlapis tidak kompak (dalam Aditya Mulawardhani. 2009) Scarp atau cliff pada citra foto udara tampak berada di dekat bentuklahan peneplain dengan rona yang agak cerah, polanya tidak teratur, tekstur yang kasar, dan bayangan yang sangat tajam karena merupakan daerah dengan kemiringan lereng

nyaris tegak yang terbentuk karena adanya gerak masa batuan. Scarp merupakan bentuklahan denudasional pada stadium muda awal. Proses yang sering terjadi di daerah scarp adalah jatuhan batu (rock fall) dan robohan lereng (topple). Besarnya cliff serta batuan yang hancur juga dapat mempengaruhi fragmen batuan pada bentuklahan kerucut talus (talus cones) atau kipas koluvial (coluvial van). Dampak dari proses eksogen adalah membentuk lahan asal denudasional. Erosi yang terjadi dapat mengakibatkan penurunan produktivitas tanah, pemandatan tanah, pendangkalan pada sumber air, perluasan daratan, dan pembalikan lapisan tanah. Untuk pelapukan mengakibatkan rusaknya struktur batuan dan tanah, pemicu mass wasting, menimbulkan habitat baru, dan degradasi lahan, sedangkan mass wasting berpengaruh terhadap terjadinya bahaya longsor dan sedimentasi pada bagian bawah. Sedimentasi pun berdampak pada pendangkalan dan pembentukan bentuklahan yang baru.

VII.

KESIMPULAN 1. Bentuklahan denudasional pada bagian dataran kaki dari Gunung Merapi berada dibawah kaki gunung dengan kondisi morfologinya cenderung datar. 2. Pada citra foto udara pankromatik hitam putih sekitar daerah Merapi dengan skala 1:30.000 terdapat beberapa bentuklahan denudasional yaitu perbukitan denudasional, dataran nyaris atau peneplain, dan scarp. 3. Perbukitan denudasional merupakan bentuklahan denudasional yang ada pada stadium muda akhir yang ditandai dengan terlihatnya igir-igir kecil membulat dan lembah-lembah yang masih dalam proses pendalaman. 4. Peneplain merupakan bentuklahan denudasional stadium tua yang terbentuk akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara terus menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut menurun ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hampir datar. 5. Scarp merupakan bentuklahan denudasional stadium muda awal daerah dengan kemiringan lereng nyaris tegak yang terbentuk karena adanya gerak masa batuan. 6. Potensi bencana dari bentuklahan denudasional diantaranya pendangkalan pada sumber air, perluasan daratan, pemicu mass wasting, degradasi lahan, longsor, dan pembalikan tanah.

VIII. DAFTAR PUSTAKA Haryono, Eko. 2003. Mulawardhani, Aditya. 2009. Bentang Alam Fluvial. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Pamela Siallagan, ivan r

Vous aimerez peut-être aussi