Vous êtes sur la page 1sur 22

1

LATAR BELAKANG MASALAH



Dengan adanya perkembangan ekonomi dan bisnis serta para pelaku
bisnis dimana era globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia
dalam free market dan free competition.
Untuk memperlancar dan menyehatkannya, maka bangsa-bangsa dunia
menyusun multi national agreement dengan tujuan mewujudkan
ekonomi yang mampu mendukung perkembangan perdagangan
internasional yang bebas.
Secara konvensional perkembangan kegiatan ekonomi dan bisnis
seperti dalam perdagangan , perbankkan , proyek pertambangan, minyak
dan gas, energy, infrastruktur, dan sebagainya yang tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa (dispute) antar pihak yang terlibat.
Sengketa-sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi
yang tidak efisien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan
biaya produksi yang meningkat.
Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai perkembangan
ekonomi yang pesat dengan dilatar belakangi dengan kekayaan sumber
daya alam yang dimiliki oleh Indonesaia seperti minyak bumi, emas, batu
bara, dan juga iklim yang sesuatu untuk usaha perkebunan, serta tersedia
banyaknya angkatan kerja.
Pada kurun waktu yang sama pemerintah Indonesia merencanakan
untuk mengembangkan penanaman modal asing dibidang swasta dengan


2

menerbitkan kebijak-bijakan pengurangan atau pembatasan permodalan
asing .
Sehubungan dengan hal tersebut diatas banyak sekali pelaku bisnis
swasta maupun asing mengalami permasalahan sengketa sengketa yang
secara lajimnya diproese melalui litigasi yang merupakan sarana akhir
untuk mencapai alternatif penyelesaian sengketa.
Menghadapi liberalisasi perdagangan perlu adanya sistim
penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat sehingga dengan
kebutuhan tersebut diatas lembaga yang dapat diterima didunia bisnis
untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dengan biaya murah ,
penyelesaian secara litigasi, dalam praktek terdapat alternatif penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.
Sebagai tindak lanjut adanya sengketa yang bersifat lintas batas
Negara dan meningkatnya kebutuhan akan arbitrase maka atas
perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya pemerintah
Indonesia mengundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999 Undang-
Undang No, 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa.
Landasan hukum arbitrase di Indonesia bertitik tolak dari Pasal 377
Herzien Inlandsch Reglement ( HIR ) atau Pasal 705 Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg) yang berbunyi:
jika orang Indonesia dan timur asing menghendaki perselisihan
mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti
perkara peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa
Eropa.


3


P E R U M U S A N

Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang
Susunan Kekuasaan dan jalannya pengadilan Mahkamah Agung di
Indonesia Pasal 15, diistilahkan dengan wasit, Arbiter dalam
Arbitration Act 1950 Negara Inggris, selain menggunakan istilah
Arbitrator juga dipakai istilah Umpire yang pengertiannya sama
dengan Scheidsman dalam bahasa Balanda. Istilah dalam pengertian
ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau arbiter tunggal.
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, arbitrase
didefinisikan sebagai berikut:
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau
lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
lembaga arbitrase
Dalam Black Law Dictionary , arbitrase diartikan sebagai berikut:
Aperson cbosen decide a controversy: an arbitrator,
referee, Aperson bound to decide according to the rules of law
and equality, as distinguished from and arbitrator, so that it be
according to the judgment of a sound man. See arbitrator.



4


Arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian
sengketa(disputes) perdata (private) diluar pengadilan ( non
litigation ) dengan dibantu oleh seorang atau beberapa orang
pihak ketiga (arbiter ) yang bersifat netral yang diberi
kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan
sengketa yang sedang mereka hadapi.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada
perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause) yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak, baik sebelum maupun setelah timbulnya
sengketa.
R. Subekti memberikan pengertian arbitrase sbb:
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa
para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau
tunjuk tersebut.
Frank Alkoury dan Eduar Elkoury
Definisinya arbitrase sbb:
Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak
secara suka rela yang ingin agar perkaranya diputus oleh jurusita
yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan
mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para


5

pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat.
Bahwa arbitrase adalah
1. Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(Non litigation).
2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada
kesepakatan para pihak yang dibuat secara tertulis, baik
sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.
3. Dalam proses penyelesaiannya. Para pihak dibantu oleh
seorang pihak ketiga yang netral yang disebut dengan istilah
arbiter.
4. Arbiter atau wasit dapat dipilih langsung para pihak dapat
juga ditunjuk oleh pengadilan negeri atau suatu lembaga
arbitrase.
5. Keputusan yang diberikan arbiter atau wasitnya bersifat
final dan binding.
JENIS-JENIS ARBITRASE
Arbitrase mengacu pada konfensi-konfensi internasional
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL
ARBITRATION RULES. Antara lain:
1. Arbitrase Ad Hoc ( Volunter )
Adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah
maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat
selesainya sengketa tersebut.


6

Pembentukan Arbitrase Ad Hoc ini didasarkan pada kesepakatan para
pihak yang bersengketa.
2. Arbitrase Institusional
Pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase institusional disebut
dengan istilah Permanent Arbitral Body yaitu :
Suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi
tertentu yang bersifat tetap atau permanen.
Arbitrase Instutisional dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Arbitrase institusional nasional
penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase
yang dialakukan didalam satu atau Negara dimana unsur-
unsur yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas
yang sama .
Arbitrase bersifat nasional apabila:
- Unsur-unsur yang terdapat didalam perjanjian
arbitrasenya hanya bersifat nasional.
- Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat
dari kawasaan atau teritorialnya.
Contoh arbitrase institusional nasional :
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang
didirikan oleh Kamar Dagang dan Industry
Indonesia ( Kadin ).
b. The Netherlands Arbitration Institute, pusat
Arbitrase Nasional Negara Belanda.


7

c. The Japanese Commercial Arbitration
Association sebagai pusat arbitrase nasional
Jepang dalam lingkungan Kadin Jepang.
2. Arbitrase Institusioanl Internasional :
Penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang
dapat dilakukan diluar ataupun didalam suatu Negara
salah satu pihak yang bersengketa dimana unsur-unsur
yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang
berbeda satu sama lain.
3. Arbitrase Institusional Regional :
Lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan dan
yurisdiksinya berwawasan regional .
Manfaat arbitrase :
1. Dijamin kerahasian sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
proseduril dan administrative .
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinanannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta
latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase.
a. Putusan arbiter merupakan putusan final yang mengikat
para pihak dan dengan melalui tata cara sederhana
ataupun dapat dilaksanakan


8

Manfaat lainnya
Arbitrase hemat waktu, hemat biaya, sangat relative tergantung
dari peraturan prosedur arbitrase yang digunakan dan sifat yang
koperatif.
Perjanjian Arbitrase pasal 1 angka 3 UU No. 30/1999
Suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tergantung
dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Bentuk-bentuk klausula arbitrase dan persetujuan arbitrase diatur
dalam peraturan yang lama RV, Pasal 615 ayat 3 dan pasal 618 :
1. Klausula arbitrase sesuai dengan prinsip Pactum de
Compromittende pasal 7 UU no,30/1999.
Klausula yang berbentuk tersebut diatas tidak terpisahkan dari
perjanjian pokok, lebih memberikan kepastian hukum dan
menghindarkan para pihak dari mengenai keberadaan klausula
arbitrase.
2. Akta kompromi:
Diatur dalam pasal 9 UU no. 30/1999
Menyatakan bahwa persetujuan arbitrase tentang sengketa
yang timbul haruslah dibuat dalam bentuk tertulis dan ditanda
tangani kedua belah pihak atau persetujuan tersebut dibuat
dihadapan notaris dalam hal para pihak tidak mampu
menandatangani dalam bentuk akta kompromis.




9


AZAS SEPARABILITY
Perjanjian arbitrase walaupun dapat merupakan bagian suatu
perjanjian (Klausula arbitrase) namum kedudukannya dari segi daya
lakunya terpisah dari perjanjian yang bersangkutan dan dari
terjadinya berbagai peristiwa tertentu.
MACAM-MACAM KLAUSULA ARBITRASE
1. Klausula Arbitrase Umum (general):
Apabila didalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan nyata
dikatakan bahwa semua sengketa yang timbul dalam pelaksanaan
suatu perjanjian akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Contoh yang bersifat umum :
- Klausula arbitrase Korea
- Klausula arbitrase Bani
2. Klausula arbitrase yang bersifat khusus adalah:
yang didalamnya ditentukan secara spesifik atau jelas tentang
apa-apa yang menjadi obyek sengketa arbitrase sengketa.
Contohnya yang bersifat khusus:
- Klausula arbitrase UNCITRAL.Artinya suatu klausula
arbitrase yang obyek sengketanya terbatas, yaitu
sesuai dengan kesepakatan sepihak
Pasal 10 perjanjian arbitrase tidak menjadi batal karena:
a. Meninggal salah satu pihak
b. Bangkrutnya salah satu pihak



10

c. Novasi
d. Insolvensi salah satu pihak
e. Pewarisan
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada
pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut.
h. Berakhirnya atau batalnya penjanjian pokok.
KOMPETENSI ABSOLUT
Diatur dalam Undang-Undang NO 30/1999 kewenangan arbiter secara
mutlak Pasal 3 :
Menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa pada pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.
Pasal 11:
Menegaskan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan
hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termuat dalam perjanjian ke pengadilan negeri.
KELEMAHAN DAN KEUNGGULAN LEMBAGA ARBITRASE
A. Kelebihan dan keuntungannya lembaga arbitrase :
1. Kewenangan yang diberikaan kepada arbiter untuk
memutus sengketa berdasarkan keadilanan dan kepatutan
(Ex aequo et bono) artinya arbiter dalam memeriksa dan
memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek


11

hukum semata tetapi juga harus memperhatikan kehendak
keinginan dari masing-masing pihak.
2. Diatur dalam pasal 31 ayat 1 UU no.30/1999 yang
menyatakan para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas
dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang
digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
B. Kelemahannya lembaga arbitrase
Berkepekara melalui lembaga arbitrase justru rumit dan
berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang
dan juga biaya yang relative mahal.
Faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penyelesaiannya
sengketa ,melalui arbitrase ini:
1. Adanya perbedaan kepentingan sehingga sangat sulit
mempertemukan kehendak para pihak sehingga proses
negosiasi sering mengalami dead lock.
2. Dengan diberikannya kebabasan yang begitu besar bagi para
pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan arbiter
atau majelis arbitrase sehingga penyelesaian sengketa
bertele-tele dan tidak efisien.
3. Dengan diratifikasinya konvensi New York 1958
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
di Indonesia secara yuridis Indonesia terikat konvensi
tersebut. Sehingga sering tidak sejalan dengan realitas yang


12

ada, dengan kata lain bisa efektif apabila ada kemauan yang
baik dari aparat penegak hukum (pemerintah) untuk
menegakkan hukum (Law enforcement).
4. Keterkaitan lembaga pengadilan dalam proses arbitrase
menjadikan penyelesaiannya panjang dan lama. Sehingga
jelas merugikan para pihak yang sering terombang-ambing
dikarenakan tidak diberikan kepastian atas permohonan
putusan arbitrase tersebut.
5. Tidak adanya otoritas yang diberikan kepada
lembaga arbitrase untuk mengeksekusi putusannya
sendiri juga merupakan polemic dalam dunia
arbitrase sebab sekalipun proses penyelesaian
sengketanya berjalan lancar kalau pelaksanaan
putusan sendiri tidak dapat dieksekusi menjadi sia-
sia.
MACAM-MACAM PRINSIP UMUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE:
1. Prinsipnya cepat dan hemat biaya diatur dalam Undang-
Undang kekuasaan kehakiman No.14/1970. Tercantum
dalam Pasal 4 ayat 2 al :
yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan
hukum di Indonesia berpedoman pada azas cepat, tepat,
sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan
berbelit-belit.



13

Pasal 48 ayat (1) UU no 30/1999 menyebutkan:
pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu
paling lama 180 hari sejak arbiter atau mejelis arbiter
terbentuk .
Faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan
cepat dan hemat al :
- Diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk
menentukan sendiri proses beracaranya, sehingga
prosedur yang singkat dan cepat akan mendukung
penyelesaian secara efisien serta hemat biaya.
- Pada umumnya pihak-pihak arbitrase adalah subyek
hukum yang memiliki itikat baik untuk sama-sama
menyelesaikan sengketa.
- Berperkara diluar pengadilan akan menyelesaikan
sengketa secara cepat singkat dan tepat hal ini
dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang
bertele-tele yang biasanya terjadi pada lembaga
pengadilan.
- Keputusan arbitrase tersebut tertutup upaya hukum
baik banding maupun kasasi menjadi final dan
binding.
- Pasal 60 Undang-Undang arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat
para pihak.
- Pasal 61 undang-undang arbitrase:
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara suka rela, putusan dilaksanakan


14



berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
- Pasal 62 ayat (2) undang-undang arbitrase:
Ketua pengadilan negeri untuk penolakan eksekusi
putusan secara liminitatif al :
a. Arbiter memutus melebihi kewenangan yang
diberikan kepadanya.
b. Putusan arbiter bertentangan dengan kesusilaan.
c. Putusan arbitrase bertentangan dengan
kepentingan umum .
d. Putusan tidak memenuhi syarat-syarat.

2. Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan
kepatutan artinya :
Pemberian putusan yang didasarkan pada hukum semata
akan menghasilkan pihak-pihak yang kalah dan menang
(win-lose)
Undang-Undang no. 30 tahun 1999 pasal 56 yaitu :
- Arbiter atau mejelis arbitrase mengambil putusan
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan.
- Para pihak dapat menentukan pilihan hukum yang
akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang
mungkin atau telah timbul antara para pihak


15



3. Prinsip sidang tertutup untuk umum ( Disclosure )
Diatur dalam Pasal 27 UU No.30 tahun 1999 yang
berbunyi:
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau mejelis
arbitrase dilakukan secara tertutup

SIFAT PUTUSAN ARBITRASE ADALAH FINAL DAN MENGIKAT SERTA
PROSES PEMERIKSAANNYA YANG TERTUTUP UNTUK UMUM
(DISCLOUSURE)
Adapun contoh-contoh dari lembaga arbitrase ini antar lain:
1. Court Of Arbitration of the International Chambar of
Commerce ( ICC ). Merupakan pusat arbitrase internasional yang
didirikan di Paris pada tahun1919.
2. The International Center For Settlement of Investment
Disputes ( ICSID ). Arbitrase ini adalah badan arbitrase bersifat
internasional yang mengatur sengketa investasi berskala
internasional.
3. United Nation Commession on International Trade law
( UNCITRAL ).




16


P E M B A H A S A N

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA VS PT. CEMEN MEXICO
Sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Cemen
Mexico, berawal dari ketiadaan kesepakatan di antara mereka mengenai
realisasi put option dari PT. Semen Gresik kepada PT. Cemen Mexico
hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu sampai pada 14 Desember
2001. Put Option tersebut timbul dari pembelian 14 % saham PT. Semen
Gresik milik Pemerintah Indonesia oleh PT. Comen Mexico dengan hak
Opsi.
Tidak terlaksananya Put Option tersebut hingga batas waktu yang
ditentukan, menurut PT. Cemen Mexico merupakan suatu pelanggaran
terhadap perjanjian jual beli bersyarat ( Conditional Sale And Purchase
Agreement/ CSPA ) yang mereka sepakati dengan Pemerintah Indonesia
selaku pemegang saham mayoritas pada PT. Semen Gresik.Perjanjian jual
beli bersyarat tersebut ditanda tangani pada tanggal 17 September 1998.
Kegagalan pelaksanaan Put Option ini disebabkan beberapa faktor,
antara lain susahnya mempertemukan kesepakatan antar Pemerintah
Indonesia dan PT. Cemen Mexico khususnya mengenai harga saham yang
ditawarkan, perbedaan penafsiran tentang CSPA, adanya permintaan
Spin-off dari PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa, gejolak dari
masyarakat tempat perusahaan beroperasi, Conflict Of Interest di
antara para pihak, penyelesaian utang-utang perusahaan, berlarut-


17

larutnya penyelesaian laporan keuangan PT. Semen Gresik karena belum
selesainya laporan keuangan PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa,
penyelesaian para Stake Holders serta tekanan politik.
Selain itu, untuk PT. Semen Padang masalah lainnya berkenan dengan
Corporate Guarantee yang dikeluarkan oleh PT. Semen Gresik atau
utang PT. Semen Padang kepada kreditornya,. Paling tidak rencana PT.
Semen Padang atas Spin-off tersebut perlu berkonsultasi dengan
kreditornya PT. Semen Padang. Hal penting lainnya adalah bagaimana
mendapatkan persetujuan pemegang saham minoritas PT. Semen Gresik
di pasar modal, yang tentu keberatan dengan rencana Spin-off PT.
Semen Padang tersebut. Hal ini dikarenakan Spin-off dapat menurunkan
nilai saham PT. Semen Gresik. Dalam kelanjutannya persoalan Spin-off
PT. Semen Padang ini kemudian mereda.
Adanya permintaan Spin-off dari PT. Semen Padang dan PT. Semen
Tonasa dari PT. Semen Gresik didasarkan pada pertimbangan bahwa
dengan Spin-off ini PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa akan lebig
bisa mandiri. Keadaan ini diharapkan dapat mendorong perkembangan
perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat membantu pertumbuhan
ekonomi daerah setempat yang pada akhirnya dapat memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
PT. Semen Gresik keberatan atas rencana pemisahan ( Spin-off )
tersebut karena menyangkut pemilikan saham kedua perusahaan pada
PT. Semen Gresik, di mana 25,49% sahamnya dipegang PT. Cemen
Mexico. Oleh sebab itu, Spin-off PT. Semen Padang ini akan menurunkan
harga saham PT. Semen Gresik di Pasar Modal. Dikatakan demikian,


18

karena hal ini dengan sendirinya akan menurunkan produk PT. Semen
Gresik secara keseluruhan bersama-sama dengan PT. Semen Padang dan
PT. Semen Tonasa.
Implikasi lain yang mungkin ditimbulkan sebagai akibat rencana
Spin-off ini adalah menurunnya harga saham PT. Semen Gresik di pasar
modal sebagai imbas dari berkurangnya pendapatan PT. Semen Gresik
dan berkurangnya asset perusahaan yang bersangkutan. Persoalan lain
yang juga krusial adalah masalah dana untuk mengambil alih saham
(Spin-off) tersebut oleh Pemerintah daerah. Hal ini tentunya bukanlah
sesuatu yang mudah.
PT. Cemen Mexico sebelum membawa sengketa ke ICSID telah
menawarkan beberapa solusi, antara lain PT. Cemen Mexico akan
membeli saham Pemerintah Indonesia di PT. Semen Gresik agar mereka
menjadi pemegang saham mayoritas pada perusahaan tersebut, atau
sebaliknya Pemerintah Indonesia membeli saham PT. Cemen Mexico di
PT. Semen Gresik. Solusi lain yang ditawarkan oleh PT. Cemen Mexico
adalah mengakuisisi 51% saham Pemerintah Indonesia di PT. Semen
Gresik, atau Pemerintah Indonesia mengambil alih 25% saham PT.
Cemen Mexico, atau PT. Cemen Mexico menambah modal ke PT. Semen
Gresik.
Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam merealisasikan CSPA ini
menurut PT. Cemen Mexico adalah suatu bukti bahwa pemerintah tidak
berhasil melindungi kepentingan investornya. Padahal, menurut PT.
Cemen Mexico, berdasarkan pada perjanjian jual beli bersyarat
sebelumnya, pemerintah harus melepaskan kepemilikan sahamnya


19

sehingga PT. Cemen Mexico menjadi pemilik mayoritas saham PT. Semen
Gresik.
Kebuntuan penyelesaian Put Option ini, kemudian menjadikan PT.
Cemen Mexico membawa sengketa ini ke ICSID pada 10 Desember 2003,
yang kemudian diterima dan terdaftar di ICSID pada 27 Januari 2004.
Tindakan PT. Cemen Mexico membawa sengketa ini ke ICSID didasarkan
pada salah satu klausula yang terutang dalam CSPA, yang menyatakan
bahwa apabila dalam pelaksanaan perjanjian jual beli bersyarat (put-
option) timbul sengketa, akan diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam proses penyelesaian sengketa ini oleh ICSID, Pemerintah
Indonesia dan PT. Cemen Mexico kemudian sepakat untuk
menyelesaikannya secara bersama-sama di luar sidang (Settlement out
of court). Hal ini ditandai dengan pembatalan sidang ICSID oleh PT.
Cemen Mexico, yang seyogianya diselenggarakan pada 11 Januari 2005.
Adapun tuntutan ganti kerugian yang dituntut oleh PT. Cemen Mexico
terhadap Pemerintah Indonesia (PT Semen Gresik) dalam tuntutannya di
ICSID adalah sebesar US$ 400 juta. Dalam perjalanannya, yaitu pada 12
Januari 2005 tuntutan PT. Cemen Mexico terhadap PT. Semen Gresik ini
kemudian ditunda. Pemerintah dalam upayanya menyelesaikan sengketa
ini menawarkan beberapa opsi. Salah satu opsi yang ditawarkan
Pemerintah, yaitu pemerintah membeli seluruh saham PT. Cemen Mexico
di PT. Semen Gresik atau sebaliknya PT. Cemen Mexico membeli saham
pemerintah di PT. Semen Gresik.
Selain opsi yang ditawarkan pemerintah tersebut di atas, pemerintah
juga dengan menggunakan Right og First Refusal nya memutuskan


20

untuk membeli saham PT. Cemen Mexico di PT. Semen Gresik tersebut.
Rencana pemerintah ini kemudian ditolak oleh PT. Cemen Mexico melalui
suratnya tertanggal 14 Juni 2006. Adapun alasan penolakan PT. Cemen
Mexico atau tawaran pemerintah adalah PT. Cemen Mexico telah
mencapai persetujuan penjualan saham dengan Rajawali Group. Saham
yang diperjualbelikan itu mencapai 24,9% atau setara dengan nilai
US$337 juta.

KESIMPULAN

1. Menurut Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase (UU Arbitrase), pasal 1 ayat (1) :
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
2. Kenyataannya eksekusi putusan abitrase tidak semudah
membalik telapak tangan. Pasal 61 UU Abitrase mengatur
kalau eksekusi dilakukan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan negeri apabila ada pihak yang tidak melaksanakan
putusan arbitrase secara sukarela. Selanjutanya, berdasarkan
Pasal 62 UU Arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa
terlebih dahulu dokumen, ruang lingkup, dan kompentensi dari
arbitrase yang dipilih.



21

Artinya, Pengadilan Negeri tidak diperkenankan untuk
memeriksa pokok perkaranya lagi. Tugasnya hanya
mengijinkan atau menolak eksekusi. Kalau menolak, alasannya
hanya yang secara limitative ditentukan dalam Pasal 62 ayat
(2) diantaranya apabila putusan arbitrase melanggar
kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap penolakan eksekusi
karena alasan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (2) tidak ada
upaya hukum apapun.

Untuk putusan arbitrase internasional, eksekusi hanya
dapat dilaksanakan oleh Pengadialan Negeri Jakarta Pusat
setelah putusan tersebut dideponir (didaftarkan) di
Panitera.
3. Dengan banyaknya kasus dalam skala internasional masalah
utama yang sering dipersoalkan adalah menangani eksekusi
putusan arbitrase asing internasional di Indonesia,pengadilan
Indonesia sering kali dicap enggan untuk melasksanakan
atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing dengan
alasan bahwa putusan yang bersangkutan bertentangan dengan
kepentingan umum ( Public Policy ).
4. Permasalahan yang sering muncul dalam ruang lingkup
nasional dan beberapa kasus-kasus pihak pebisnis swasta
nasional , asing dan pemerintah, dikarenakan sering adanya
komplin karena mengingat kemampuan arbiter dalam
menjalankan praktek arbitrase oleh para pihak yang
bersengketa kurangnya trampil, pengetahuannya, sehingga


22

akan berakibat penundaan atau tidak dilaksanakannya
keputusan arbitrase.
5. Terkait kondisi tersebut maka arbitrase yang merupakan salah
satu alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan
tidaklah memberkan kemudahan dan keuntungan bagi para
pihak.

Vous aimerez peut-être aussi