0 évaluation0% ont trouvé ce document utile (0 vote)
48 vues22 pages
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang masalah arbitrase di Indonesia. Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada persetujuan para pihak.
2. Terdapat beberapa jenis arbitrase seperti ad hoc dan institusional. Arbitrase memiliki manfaat seperti menjaga kerahasiaan, hemat waktu dan biaya, serta putusan yang mengikat.
3. Perjanjian arbitrase
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang masalah arbitrase di Indonesia. Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada persetujuan para pihak.
2. Terdapat beberapa jenis arbitrase seperti ad hoc dan institusional. Arbitrase memiliki manfaat seperti menjaga kerahasiaan, hemat waktu dan biaya, serta putusan yang mengikat.
3. Perjanjian arbitrase
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang masalah arbitrase di Indonesia. Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada persetujuan para pihak.
2. Terdapat beberapa jenis arbitrase seperti ad hoc dan institusional. Arbitrase memiliki manfaat seperti menjaga kerahasiaan, hemat waktu dan biaya, serta putusan yang mengikat.
3. Perjanjian arbitrase
Dengan adanya perkembangan ekonomi dan bisnis serta para pelaku bisnis dimana era globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia dalam free market dan free competition. Untuk memperlancar dan menyehatkannya, maka bangsa-bangsa dunia menyusun multi national agreement dengan tujuan mewujudkan ekonomi yang mampu mendukung perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Secara konvensional perkembangan kegiatan ekonomi dan bisnis seperti dalam perdagangan , perbankkan , proyek pertambangan, minyak dan gas, energy, infrastruktur, dan sebagainya yang tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute) antar pihak yang terlibat. Sengketa-sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efisien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan biaya produksi yang meningkat. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai perkembangan ekonomi yang pesat dengan dilatar belakangi dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesaia seperti minyak bumi, emas, batu bara, dan juga iklim yang sesuatu untuk usaha perkebunan, serta tersedia banyaknya angkatan kerja. Pada kurun waktu yang sama pemerintah Indonesia merencanakan untuk mengembangkan penanaman modal asing dibidang swasta dengan
2
menerbitkan kebijak-bijakan pengurangan atau pembatasan permodalan asing . Sehubungan dengan hal tersebut diatas banyak sekali pelaku bisnis swasta maupun asing mengalami permasalahan sengketa sengketa yang secara lajimnya diproese melalui litigasi yang merupakan sarana akhir untuk mencapai alternatif penyelesaian sengketa. Menghadapi liberalisasi perdagangan perlu adanya sistim penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat sehingga dengan kebutuhan tersebut diatas lembaga yang dapat diterima didunia bisnis untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dengan biaya murah , penyelesaian secara litigasi, dalam praktek terdapat alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sebagai tindak lanjut adanya sengketa yang bersifat lintas batas Negara dan meningkatnya kebutuhan akan arbitrase maka atas perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya pemerintah Indonesia mengundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999 Undang- Undang No, 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Landasan hukum arbitrase di Indonesia bertitik tolak dari Pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement ( HIR ) atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berbunyi: jika orang Indonesia dan timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti perkara peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
3
P E R U M U S A N
Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan jalannya pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia Pasal 15, diistilahkan dengan wasit, Arbiter dalam Arbitration Act 1950 Negara Inggris, selain menggunakan istilah Arbitrator juga dipakai istilah Umpire yang pengertiannya sama dengan Scheidsman dalam bahasa Balanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau arbiter tunggal. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, arbitrase didefinisikan sebagai berikut: seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase Dalam Black Law Dictionary , arbitrase diartikan sebagai berikut: Aperson cbosen decide a controversy: an arbitrator, referee, Aperson bound to decide according to the rules of law and equality, as distinguished from and arbitrator, so that it be according to the judgment of a sound man. See arbitrator.
4
Arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian sengketa(disputes) perdata (private) diluar pengadilan ( non litigation ) dengan dibantu oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter ) yang bersifat netral yang diberi kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause) yang dibuat secara tertulis oleh para pihak, baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa. R. Subekti memberikan pengertian arbitrase sbb: Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Frank Alkoury dan Eduar Elkoury Definisinya arbitrase sbb: Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara suka rela yang ingin agar perkaranya diputus oleh jurusita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para
5
pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Bahwa arbitrase adalah 1. Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Non litigation). 2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat secara tertulis, baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa. 3. Dalam proses penyelesaiannya. Para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang disebut dengan istilah arbiter. 4. Arbiter atau wasit dapat dipilih langsung para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan negeri atau suatu lembaga arbitrase. 5. Keputusan yang diberikan arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding. JENIS-JENIS ARBITRASE Arbitrase mengacu pada konfensi-konfensi internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL ARBITRATION RULES. Antara lain: 1. Arbitrase Ad Hoc ( Volunter ) Adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut.
6
Pembentukan Arbitrase Ad Hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. 2. Arbitrase Institusional Pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase institusional disebut dengan istilah Permanent Arbitral Body yaitu : Suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu yang bersifat tetap atau permanen. Arbitrase Instutisional dibagi menjadi tiga kelompok : 1. Arbitrase institusional nasional penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase yang dialakukan didalam satu atau Negara dimana unsur- unsur yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang sama . Arbitrase bersifat nasional apabila: - Unsur-unsur yang terdapat didalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional. - Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasaan atau teritorialnya. Contoh arbitrase institusional nasional : a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industry Indonesia ( Kadin ). b. The Netherlands Arbitration Institute, pusat Arbitrase Nasional Negara Belanda.
7
c. The Japanese Commercial Arbitration Association sebagai pusat arbitrase nasional Jepang dalam lingkungan Kadin Jepang. 2. Arbitrase Institusioanl Internasional : Penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan diluar ataupun didalam suatu Negara salah satu pihak yang bersengketa dimana unsur-unsur yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain. 3. Arbitrase Institusional Regional : Lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan regional . Manfaat arbitrase : 1. Dijamin kerahasian sengketa para pihak. 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduril dan administrative . 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinanannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. a. Putusan arbiter merupakan putusan final yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara sederhana ataupun dapat dilaksanakan
8
Manfaat lainnya Arbitrase hemat waktu, hemat biaya, sangat relative tergantung dari peraturan prosedur arbitrase yang digunakan dan sifat yang koperatif. Perjanjian Arbitrase pasal 1 angka 3 UU No. 30/1999 Suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tergantung dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Bentuk-bentuk klausula arbitrase dan persetujuan arbitrase diatur dalam peraturan yang lama RV, Pasal 615 ayat 3 dan pasal 618 : 1. Klausula arbitrase sesuai dengan prinsip Pactum de Compromittende pasal 7 UU no,30/1999. Klausula yang berbentuk tersebut diatas tidak terpisahkan dari perjanjian pokok, lebih memberikan kepastian hukum dan menghindarkan para pihak dari mengenai keberadaan klausula arbitrase. 2. Akta kompromi: Diatur dalam pasal 9 UU no. 30/1999 Menyatakan bahwa persetujuan arbitrase tentang sengketa yang timbul haruslah dibuat dalam bentuk tertulis dan ditanda tangani kedua belah pihak atau persetujuan tersebut dibuat dihadapan notaris dalam hal para pihak tidak mampu menandatangani dalam bentuk akta kompromis.
9
AZAS SEPARABILITY Perjanjian arbitrase walaupun dapat merupakan bagian suatu perjanjian (Klausula arbitrase) namum kedudukannya dari segi daya lakunya terpisah dari perjanjian yang bersangkutan dan dari terjadinya berbagai peristiwa tertentu. MACAM-MACAM KLAUSULA ARBITRASE 1. Klausula Arbitrase Umum (general): Apabila didalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan nyata dikatakan bahwa semua sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Contoh yang bersifat umum : - Klausula arbitrase Korea - Klausula arbitrase Bani 2. Klausula arbitrase yang bersifat khusus adalah: yang didalamnya ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa yang menjadi obyek sengketa arbitrase sengketa. Contohnya yang bersifat khusus: - Klausula arbitrase UNCITRAL.Artinya suatu klausula arbitrase yang obyek sengketanya terbatas, yaitu sesuai dengan kesepakatan sepihak Pasal 10 perjanjian arbitrase tidak menjadi batal karena: a. Meninggal salah satu pihak b. Bangkrutnya salah satu pihak
10
c. Novasi d. Insolvensi salah satu pihak e. Pewarisan f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. h. Berakhirnya atau batalnya penjanjian pokok. KOMPETENSI ABSOLUT Diatur dalam Undang-Undang NO 30/1999 kewenangan arbiter secara mutlak Pasal 3 : Menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa pada pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11: Menegaskan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke pengadilan negeri. KELEMAHAN DAN KEUNGGULAN LEMBAGA ARBITRASE A. Kelebihan dan keuntungannya lembaga arbitrase : 1. Kewenangan yang diberikaan kepada arbiter untuk memutus sengketa berdasarkan keadilanan dan kepatutan (Ex aequo et bono) artinya arbiter dalam memeriksa dan memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek
11
hukum semata tetapi juga harus memperhatikan kehendak keinginan dari masing-masing pihak. 2. Diatur dalam pasal 31 ayat 1 UU no.30/1999 yang menyatakan para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. B. Kelemahannya lembaga arbitrase Berkepekara melalui lembaga arbitrase justru rumit dan berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang dan juga biaya yang relative mahal. Faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penyelesaiannya sengketa ,melalui arbitrase ini: 1. Adanya perbedaan kepentingan sehingga sangat sulit mempertemukan kehendak para pihak sehingga proses negosiasi sering mengalami dead lock. 2. Dengan diberikannya kebabasan yang begitu besar bagi para pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan arbiter atau majelis arbitrase sehingga penyelesaian sengketa bertele-tele dan tidak efisien. 3. Dengan diratifikasinya konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia secara yuridis Indonesia terikat konvensi tersebut. Sehingga sering tidak sejalan dengan realitas yang
12
ada, dengan kata lain bisa efektif apabila ada kemauan yang baik dari aparat penegak hukum (pemerintah) untuk menegakkan hukum (Law enforcement). 4. Keterkaitan lembaga pengadilan dalam proses arbitrase menjadikan penyelesaiannya panjang dan lama. Sehingga jelas merugikan para pihak yang sering terombang-ambing dikarenakan tidak diberikan kepastian atas permohonan putusan arbitrase tersebut. 5. Tidak adanya otoritas yang diberikan kepada lembaga arbitrase untuk mengeksekusi putusannya sendiri juga merupakan polemic dalam dunia arbitrase sebab sekalipun proses penyelesaian sengketanya berjalan lancar kalau pelaksanaan putusan sendiri tidak dapat dieksekusi menjadi sia- sia. MACAM-MACAM PRINSIP UMUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE: 1. Prinsipnya cepat dan hemat biaya diatur dalam Undang- Undang kekuasaan kehakiman No.14/1970. Tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 al : yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman pada azas cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan berbelit-belit.
13
Pasal 48 ayat (1) UU no 30/1999 menyebutkan: pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau mejelis arbiter terbentuk . Faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat dan hemat al : - Diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri proses beracaranya, sehingga prosedur yang singkat dan cepat akan mendukung penyelesaian secara efisien serta hemat biaya. - Pada umumnya pihak-pihak arbitrase adalah subyek hukum yang memiliki itikat baik untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. - Berperkara diluar pengadilan akan menyelesaikan sengketa secara cepat singkat dan tepat hal ini dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang bertele-tele yang biasanya terjadi pada lembaga pengadilan. - Keputusan arbitrase tersebut tertutup upaya hukum baik banding maupun kasasi menjadi final dan binding. - Pasal 60 Undang-Undang arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak. - Pasal 61 undang-undang arbitrase: Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara suka rela, putusan dilaksanakan
14
berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. - Pasal 62 ayat (2) undang-undang arbitrase: Ketua pengadilan negeri untuk penolakan eksekusi putusan secara liminitatif al : a. Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya. b. Putusan arbiter bertentangan dengan kesusilaan. c. Putusan arbitrase bertentangan dengan kepentingan umum . d. Putusan tidak memenuhi syarat-syarat.
2. Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan artinya : Pemberian putusan yang didasarkan pada hukum semata akan menghasilkan pihak-pihak yang kalah dan menang (win-lose) Undang-Undang no. 30 tahun 1999 pasal 56 yaitu : - Arbiter atau mejelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. - Para pihak dapat menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak
15
3. Prinsip sidang tertutup untuk umum ( Disclosure ) Diatur dalam Pasal 27 UU No.30 tahun 1999 yang berbunyi: Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau mejelis arbitrase dilakukan secara tertutup
SIFAT PUTUSAN ARBITRASE ADALAH FINAL DAN MENGIKAT SERTA PROSES PEMERIKSAANNYA YANG TERTUTUP UNTUK UMUM (DISCLOUSURE) Adapun contoh-contoh dari lembaga arbitrase ini antar lain: 1. Court Of Arbitration of the International Chambar of Commerce ( ICC ). Merupakan pusat arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada tahun1919. 2. The International Center For Settlement of Investment Disputes ( ICSID ). Arbitrase ini adalah badan arbitrase bersifat internasional yang mengatur sengketa investasi berskala internasional. 3. United Nation Commession on International Trade law ( UNCITRAL ).
16
P E M B A H A S A N
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA VS PT. CEMEN MEXICO Sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Cemen Mexico, berawal dari ketiadaan kesepakatan di antara mereka mengenai realisasi put option dari PT. Semen Gresik kepada PT. Cemen Mexico hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu sampai pada 14 Desember 2001. Put Option tersebut timbul dari pembelian 14 % saham PT. Semen Gresik milik Pemerintah Indonesia oleh PT. Comen Mexico dengan hak Opsi. Tidak terlaksananya Put Option tersebut hingga batas waktu yang ditentukan, menurut PT. Cemen Mexico merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian jual beli bersyarat ( Conditional Sale And Purchase Agreement/ CSPA ) yang mereka sepakati dengan Pemerintah Indonesia selaku pemegang saham mayoritas pada PT. Semen Gresik.Perjanjian jual beli bersyarat tersebut ditanda tangani pada tanggal 17 September 1998. Kegagalan pelaksanaan Put Option ini disebabkan beberapa faktor, antara lain susahnya mempertemukan kesepakatan antar Pemerintah Indonesia dan PT. Cemen Mexico khususnya mengenai harga saham yang ditawarkan, perbedaan penafsiran tentang CSPA, adanya permintaan Spin-off dari PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa, gejolak dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi, Conflict Of Interest di antara para pihak, penyelesaian utang-utang perusahaan, berlarut-
17
larutnya penyelesaian laporan keuangan PT. Semen Gresik karena belum selesainya laporan keuangan PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa, penyelesaian para Stake Holders serta tekanan politik. Selain itu, untuk PT. Semen Padang masalah lainnya berkenan dengan Corporate Guarantee yang dikeluarkan oleh PT. Semen Gresik atau utang PT. Semen Padang kepada kreditornya,. Paling tidak rencana PT. Semen Padang atas Spin-off tersebut perlu berkonsultasi dengan kreditornya PT. Semen Padang. Hal penting lainnya adalah bagaimana mendapatkan persetujuan pemegang saham minoritas PT. Semen Gresik di pasar modal, yang tentu keberatan dengan rencana Spin-off PT. Semen Padang tersebut. Hal ini dikarenakan Spin-off dapat menurunkan nilai saham PT. Semen Gresik. Dalam kelanjutannya persoalan Spin-off PT. Semen Padang ini kemudian mereda. Adanya permintaan Spin-off dari PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa dari PT. Semen Gresik didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan Spin-off ini PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa akan lebig bisa mandiri. Keadaan ini diharapkan dapat mendorong perkembangan perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi daerah setempat yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. PT. Semen Gresik keberatan atas rencana pemisahan ( Spin-off ) tersebut karena menyangkut pemilikan saham kedua perusahaan pada PT. Semen Gresik, di mana 25,49% sahamnya dipegang PT. Cemen Mexico. Oleh sebab itu, Spin-off PT. Semen Padang ini akan menurunkan harga saham PT. Semen Gresik di Pasar Modal. Dikatakan demikian,
18
karena hal ini dengan sendirinya akan menurunkan produk PT. Semen Gresik secara keseluruhan bersama-sama dengan PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa. Implikasi lain yang mungkin ditimbulkan sebagai akibat rencana Spin-off ini adalah menurunnya harga saham PT. Semen Gresik di pasar modal sebagai imbas dari berkurangnya pendapatan PT. Semen Gresik dan berkurangnya asset perusahaan yang bersangkutan. Persoalan lain yang juga krusial adalah masalah dana untuk mengambil alih saham (Spin-off) tersebut oleh Pemerintah daerah. Hal ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah. PT. Cemen Mexico sebelum membawa sengketa ke ICSID telah menawarkan beberapa solusi, antara lain PT. Cemen Mexico akan membeli saham Pemerintah Indonesia di PT. Semen Gresik agar mereka menjadi pemegang saham mayoritas pada perusahaan tersebut, atau sebaliknya Pemerintah Indonesia membeli saham PT. Cemen Mexico di PT. Semen Gresik. Solusi lain yang ditawarkan oleh PT. Cemen Mexico adalah mengakuisisi 51% saham Pemerintah Indonesia di PT. Semen Gresik, atau Pemerintah Indonesia mengambil alih 25% saham PT. Cemen Mexico, atau PT. Cemen Mexico menambah modal ke PT. Semen Gresik. Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam merealisasikan CSPA ini menurut PT. Cemen Mexico adalah suatu bukti bahwa pemerintah tidak berhasil melindungi kepentingan investornya. Padahal, menurut PT. Cemen Mexico, berdasarkan pada perjanjian jual beli bersyarat sebelumnya, pemerintah harus melepaskan kepemilikan sahamnya
19
sehingga PT. Cemen Mexico menjadi pemilik mayoritas saham PT. Semen Gresik. Kebuntuan penyelesaian Put Option ini, kemudian menjadikan PT. Cemen Mexico membawa sengketa ini ke ICSID pada 10 Desember 2003, yang kemudian diterima dan terdaftar di ICSID pada 27 Januari 2004. Tindakan PT. Cemen Mexico membawa sengketa ini ke ICSID didasarkan pada salah satu klausula yang terutang dalam CSPA, yang menyatakan bahwa apabila dalam pelaksanaan perjanjian jual beli bersyarat (put- option) timbul sengketa, akan diselesaikan melalui arbitrase. Dalam proses penyelesaian sengketa ini oleh ICSID, Pemerintah Indonesia dan PT. Cemen Mexico kemudian sepakat untuk menyelesaikannya secara bersama-sama di luar sidang (Settlement out of court). Hal ini ditandai dengan pembatalan sidang ICSID oleh PT. Cemen Mexico, yang seyogianya diselenggarakan pada 11 Januari 2005. Adapun tuntutan ganti kerugian yang dituntut oleh PT. Cemen Mexico terhadap Pemerintah Indonesia (PT Semen Gresik) dalam tuntutannya di ICSID adalah sebesar US$ 400 juta. Dalam perjalanannya, yaitu pada 12 Januari 2005 tuntutan PT. Cemen Mexico terhadap PT. Semen Gresik ini kemudian ditunda. Pemerintah dalam upayanya menyelesaikan sengketa ini menawarkan beberapa opsi. Salah satu opsi yang ditawarkan Pemerintah, yaitu pemerintah membeli seluruh saham PT. Cemen Mexico di PT. Semen Gresik atau sebaliknya PT. Cemen Mexico membeli saham pemerintah di PT. Semen Gresik. Selain opsi yang ditawarkan pemerintah tersebut di atas, pemerintah juga dengan menggunakan Right og First Refusal nya memutuskan
20
untuk membeli saham PT. Cemen Mexico di PT. Semen Gresik tersebut. Rencana pemerintah ini kemudian ditolak oleh PT. Cemen Mexico melalui suratnya tertanggal 14 Juni 2006. Adapun alasan penolakan PT. Cemen Mexico atau tawaran pemerintah adalah PT. Cemen Mexico telah mencapai persetujuan penjualan saham dengan Rajawali Group. Saham yang diperjualbelikan itu mencapai 24,9% atau setara dengan nilai US$337 juta.
KESIMPULAN
1. Menurut Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase), pasal 1 ayat (1) : Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2. Kenyataannya eksekusi putusan abitrase tidak semudah membalik telapak tangan. Pasal 61 UU Abitrase mengatur kalau eksekusi dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan negeri apabila ada pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Selanjutanya, berdasarkan Pasal 62 UU Arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu dokumen, ruang lingkup, dan kompentensi dari arbitrase yang dipilih.
21
Artinya, Pengadilan Negeri tidak diperkenankan untuk memeriksa pokok perkaranya lagi. Tugasnya hanya mengijinkan atau menolak eksekusi. Kalau menolak, alasannya hanya yang secara limitative ditentukan dalam Pasal 62 ayat (2) diantaranya apabila putusan arbitrase melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap penolakan eksekusi karena alasan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (2) tidak ada upaya hukum apapun.
Untuk putusan arbitrase internasional, eksekusi hanya dapat dilaksanakan oleh Pengadialan Negeri Jakarta Pusat setelah putusan tersebut dideponir (didaftarkan) di Panitera. 3. Dengan banyaknya kasus dalam skala internasional masalah utama yang sering dipersoalkan adalah menangani eksekusi putusan arbitrase asing internasional di Indonesia,pengadilan Indonesia sering kali dicap enggan untuk melasksanakan atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing dengan alasan bahwa putusan yang bersangkutan bertentangan dengan kepentingan umum ( Public Policy ). 4. Permasalahan yang sering muncul dalam ruang lingkup nasional dan beberapa kasus-kasus pihak pebisnis swasta nasional , asing dan pemerintah, dikarenakan sering adanya komplin karena mengingat kemampuan arbiter dalam menjalankan praktek arbitrase oleh para pihak yang bersengketa kurangnya trampil, pengetahuannya, sehingga
22
akan berakibat penundaan atau tidak dilaksanakannya keputusan arbitrase. 5. Terkait kondisi tersebut maka arbitrase yang merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidaklah memberkan kemudahan dan keuntungan bagi para pihak.