Vous êtes sur la page 1sur 15

LAPORAN KASUS SINUSITIS

BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn.Z
Umur : 35 tahun
Tanggal lahir : 14 April 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Tanggal dirawat : 22 September 2010
Ruangan : Teratai ( kamar 4 )

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alonanamnesis pada tanggal 22 September 2010 jam 10.50 WIB.
i. KELUHAN UTAMA
OS mengeluh sering keluar cairan dari kedua rongga hidung sejak 3 bulan yang lalu
ii. KELUHAN TAMBAHAN
OS juga mengeluh sering berasa pusing sejak 3 bulan yang lalu. Pusing dirasakan seperti
tertusuk-tusuk dan kepala terasa berat. Batuk dan pilek terus menerus dan sering kambuh.
iii. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
OS sering batuk pilek berulang dan sering kambuh sejak 1 tahun yang lalu.
Namun sejak 3 bulan ini, pasien mengeluh keluar cairan dari kedua rongga hidungnya. Sekret
berwarna putih, bening, kental, berbau hamis dan pernah terdapat rembesan darah. Cairan lebih
sering keluar pada pagi hari.
Sering terasa ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorokan sejak 3 bulan terakhir
ini. Pasien juga sering berasa pusing seperti ditusuk- tusuk dan kedua rongga hidungnya
tersumbat. Kepala dirasakan berat terutama pada waktu bangun pada pagi hari. Tidak ada
keluhan demam, mual dan muntah.
iv. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat hipertensi (-), Riwayat Diabetes Mellitus (-), Riwayat penyakit Tuberkulosis (-),
Riwayat asma (+) pada usia sekitar 9 tahun tetapi tidak kambuh lagi, pasien mengaku pernah
sakit gigi dan pernah mendapatkan rawatan tambalan gigi. Tidak ada riwayat trauma dan pasien
belum pernah dirawat di Rumah Sakit.
v. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada ahli keluarga pasien yang menderita gejala yang sama. Bapa pasien sudah meninggal
akibat sesak napas. Ibu pasien masih hidup dan menderita hipertensi. Tidak ada riwayat penyakit
asma , dan tuberkulosis dalam keluarga.
vi. RIWAYAT PENGOBATAN
OS pernah mendapatkan rawatan untuk batuk pilek nya di klinik- klinik sejak 1 tahun yang lalu,
keluhan dirasakan membaik tetapi sering kambuh lagi. Tidak ada riwayat alergi obat.
vii. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien sering rutin olahraga, merokok (-), minum alkohol (-), pasien mengaku sering menjaga
kebersihan oralnya dengan sikat gigi setiap habis mandi.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS
a) KESADARAN : Compos mentis, tampak sakit sedang
b) TANDA VITAL
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 16x/menit
Suhu : 36,5C
c) KEPALA:
Normocephali, distribusi rambut hitam merata, tidak mudah dicabut.


d) MATA :
Konjungtiva anemis (- /-), Sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung(-/-), refleks cahaya tidak
langsung (-/-), pupil isokor (+/+)
e) HIDUNG :
Deviasi septum (-), mukosa hiperemis (+/+), sekret (+/+)
f) TELINGA :
Normotia, serumen (-), membrane timpani intak (+/+)
g) MULUT :
Sianosis (-), mukosa hiperemis (-), T
1
-T
1
simetris
h) LEHER :
Trakea lurus di tengah, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
i) JANTUNG:
BJI - BJII normal, regular, murmur (-), gallop ().
j) PARU :
Suara nafas vesikuler kanan kiri, ronchi (-/-) pada kedua apex paru, wheezing (-/-)
k) ABDOMEN :
Datar, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), udema (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, ginjal tidak teraba
l) EKSTREMITAS :
Akral hangat, motorik normal, udema (-)

B. STATUS LOKALIS THT :

i. TELINGA
Kanan Kiri
Daun telinga Normotia Normotia
Retroaurikular Nyeri tekan (-) , Sikatriks (-), Nyeri tekan (-) , Sikatriks (-)
fistel (-), Abses (-) fistel (-), Abses (-)
Liang telinga Tidak penuh serumen Tidak penuh serumen
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) (-)
Serumen (+) (+)
Membran timpani Intak
Reflex cahaya (+)
Intak
Reflex cahaya (+)
Nyeri tarik telinga (-) (-)
Nyeri tekan tragus (-) (-)

ii. HIDUNG :


iii. TENGGOROKAN
Kanan Kiri
Deformitas (-) (-)
Nyeri tekan :
- Pangkal hidung
- Pipi
- Dahi

(+)
(+)
(-)

(+)
(+)
(-)
Krepitasi (-) (-)
Vestibulum Lapang
Rambut (+)
Mukosa:Hiperemis (+)
Sekret (+)
Massa (-)
Lapang
Rambut (+)
Mukosa :Hiperemis (+)
Sekret (+)
Massa (-)
Septum deviasi (-) (-)
Dasar hidung Sekret (-)
Krusta (-)
Sekret (-)
Krusta (-)
Konka inferior Oedem (+)
Hiperemis (+)
Oedem (+)
Hiperemis (+)
Konka media Oedem (+)
Hiperemis (+)
Sekret (+)
Oedem (+)
Hiperemis (+)
Sekret (+)
Meatus media Sukar dinilai karena konka
media oedem dan hiperemis
Sukar dinilai karena konka
media oedem dan hiperemis
Arkus faring Simetris, massa (-)
Pilar anterior Simetris
Uvula Ukuran dan bentuk normal, letak lurus di tengah
Dinding faring Granula (-), cobble stone appearance (-)
Mukosa faring Hiperemis (-), post nasal drip (-) ,
massa (-), Pseudomembran (-), granul (-) , bercak-bercak putih (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium:
(a) Pemeriksaan darah lengkap
Nilai Nilai normal Keterangan
HGB 13,0 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal
HCT 34,8% 37-43% Normal
PLT 327 x 10
3
/mm
3
150-390x10
3
/mm
3
Normal
WBC 8,7 x 10
3
/mm
3
3,5-10,0 x 10
3
/mm
3
Normal
RBC 3,89 x 10
6
/mm
3
3,8-5,8 x 10
6
/mm
3
Normal
LED 38 47 Normal
MCV 86 fl 80-97 fl Normal
MCH 32,1 pg 26,5-33,5 pg Normal
MCHC 37,3 H g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal
PDW 11,6 % 10,1-15,0 % Normal



(b) Pemeriksaan kimia darah
Nilai Nilai normal Keterangan
Bilirubin total 0,21 mg/dl 0- 1.10 mg/dl Normal
SGOT 38/ul 38/ul Normal
SGPT 82/ul 41/ul Meningkat
Alkali fosfatase 59/ul 40-129/ul Normal
Ureum 36,3 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Creatinine 1,03 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal
Cholesterol 226 mg/dl 0 200 mg/dl Meningkat
Gula Darah Sewaktu 145 mg/dl 70-100 mg/dl Meningkat
Gula Darah 2 JPP 105 mg/dl <140 mg/dl Normal

c) pemeriksaan urin
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat jenis 1,015
PH 6
Tonsil T
1
T
1
, hiperemis -/-,kripta normal, detritus -/-
Gigi geligi Lengkap, Caries gigi (+) , tambalan (+) di molar II kanan bawah,
nyeri ketok (-)
KGB regional KGB tidak teraba membesar
Palatum Durum Simetris, massa (-)
Palatum Mole Simetris, massa (-), bercak-bercak keputihan (-)
Protein -
Reduksi -
Benda keton -
Bilirubin -
Urobilinogen -
Urobilin -
Protein kwantitatif -
Darah samar -
SEDIMEN
Lekosit
Eritrosit
Epitel

2-5 LPB
0-1 LPB
+



PEMERIKSAAN CT SCAN :

- Tampak perselubungan hipodens di sinus maksilaris kanan dan kiri dan ethmoidalis kanan dan
kiri.
- Kesan : sinusitis maksilaris dupleks dan sinusitis etmoidalis anterior dupleks

PEMERIKSAAN FOTO RONTGEN

Foto : AP thorax
Deskripsi : Diafragma di perpotongan sela iga-6, corakan bronkovaskuler di
kedua parahiler
Kesan : Jantung dan paru dalam batas normal

V. RESUME
Pasien bernama Tn. Z, 35 tahun datang dengan keluhan sering keluar cairan dari kedua rongga
hidung sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga berasa ada cairan yang turun dari belakang hidung ke
tenggorokan serta sering pusing seperti ditusuk- tusuk dan kedua rongga hidungnya tersumbat.
Kepala dirasakan berat terutama pada waktu bangun pada pagi hari. Tidak ada keluhan demam,
mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada kedua pipi dan pangkal hidung. Pada gigi
geligi terdapat caries gigi dan tambalan gigi molar II bawah. Pada rhinoskopi anterior ditemukan
mukosa hiperemis dengan sekret pada kedua rongga hidung. Konka inferior dan konka media
ditemukan hiperemis, dan oedema. Kesan pada pemeriksaan CT Scan adalah sinusitis maksilaris
dupleks dan sinusitis ethmoidalis anterior dupleks.

VI. DIAGNOSIS KERJA :
1. Sinusitis maksilaris dupleks dan sinusitis ethmoidalis anterior dupleks.
Dasar : pada anamnesis, pasien sering keluar cairan dari kedua rongga hidung, serta sering
pusing dan hidung tersumbat. Kepala dirasakan berat terutama pada waktu bangun pada pagi
hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada kedua pipi dan pangkal hidung. Pada
gigi geligi terdapat caries gigi dan tambalan gigi molar II bawah. Pada rhinoskopi anterior
ditemukan mukosa hiperemis dengan sekret pada kedua rongga hidung. Konka inferior dan
konka media ditemukan hiperemis, dan oedema. Kesan pada pemeriksaan CT Scan adalah
sinusitis maksilaris dupleks dan sinusitis ethmoidalis anterior dupleks.
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Rhinitis Alergi Kronis
Dasar yang mendukung : Pada anamnesis didapatkan serangan bersin berulang, keluar ingus (
rinore ) yang encer dan banyak, hidung tersumbat. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa
oedema, dan adanya sekret encer yang banyak
Dasar yang tidak mendukung : Hidung dan mata tidak gatal dan tidak ada lakrimasi. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan gejala khas rhinitis alergi kronik yaitu allergic shiner (
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder), allergic sallute ( menggosok
hidung karena gatal dengan punggung tangan ), dan allergic crease ( garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah ). Pada rinoskopi anterior mukosa tidak berwarna pucat atau livid.
2. Rhinitis Hipertrofi
Dasar yang mendukung : Hidung tersumbat, nyeri kepala dan gangguan tidur. Pada rinoskopi
anterior ditemukan hipertrofi konka inferior.
Dasar yang tidak mendukung : pada rinoskopi anterior tidak ditemukan permukaan konka
inferior yang berbenjol- benjol.
VIII. RENCANA TINDAKAN
i. FARMAKOLOGI
a. Antibiotika : ( Cravit ) Levofloxacin 1x1tab
b. Dekongestan : ( Rhinos SR ) pseudoephedrine HCL + Loratadine 2x1
c. Anti-inflamasi : (Mucostein ) Rebamipide 2x1 tab
ii. NONFARMAKOLOGI
1. Bed rest
2. Diet seimbang : meningkatkan pemakanan tinggi vitamin A,B,C dan E serta makanan tinggi
omega-3 ( ikan tuna,walnuts)
3. Pembedahan :
- Pembedahan Radikal
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal, yaitu mengangkat mukosa yang
patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi
Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus ethmoid dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan
dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal).Drainase sekret pada sinus frontal
dapat dilakukan dalam hidung (intranasal) atau dengan operasi dari luar (ekstra nasal) seperti
pada operasi Killian. Drainase sinus sphenoid dilakukan dari dalam hidung (intranasal).

- Pembedahan Tidak radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunkan endoskop
yang disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BESF). Prinsipnya ialah membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostia-meata yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi,
sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan
demikian mukosa sinus akan kembali normal.
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam







































BAB II
SINUS PARANASAL
2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL

Gambar 1: Rongga-rongga sinus paranasalis.
Sinus paranasalis merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus terletak di bagian depan pada wajah yaitu
dahi, di antara mata, dan pada tulang pipi. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari
invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan etmoid telah ada sejak anak
lahir,sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15-18 tahun
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udara hidung;
jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam
beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan
etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan
posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan
mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada
orang sehat, rongga terutama berisi udara
2.2. PEMBAGIAN SINUS PARANASAL
Pembagian sinus paranasalis antara lain :
1. SINUS MAKSILARIS

Gambar 2: sinus maksilaris
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8
ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15
ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semi lunaris
melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilari.
Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris








2. SINUS FRONTAL

Gambar 3: potongan sagital sinus frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari
sel-sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm
tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frotal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus
frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal adalah
bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri
supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri
carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari
nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus
3. SINUS ETHMOID

Gambar 4 : CT scan koronal sinus maksila dan sinus etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya
dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5
cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata
9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di postero- superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari sphenopalatina arteri. Inervasi mukosa
berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus
4. SINUS SPHENOID
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi
dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya
2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasai dari 5-7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah
superior terdapat fosa serebrimedia dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Suplai darah berasal dari arteri carotis internal daneksternal. Inervasi mukosa berasal dari nervus
trigeminus






2.3 PERDARAHAN DAN PERSARAFAN RONGGA HIDUNG

Gambar 5: perdarahan di rongga hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus berasal dari arteri karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilla interna.
Yang penting ialah arteri sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina mayor

Gambar 6: persarafan di hidung
Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus ethmoid
anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus(nervus V-1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapatkan persarafan sensoris
dari nervus maksilla melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping
memberikan persarafan ensoris juga memberikan persarafan vasomotor/otonom pada mukosa
hidung.Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari nervus maksilla (nervus V- 2),
serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut- serabut simpatis dari
nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas dari
ujung posterior konka media.

2.4 FUNGSI SINUS PARANASAL
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang
berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya
sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain :


1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari
shu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataanya sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ- organ yang dilindungi
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna
4. Membantu resonansi udara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas
udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonansi yang efektif
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus
6. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dalam udara





































BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINUSITIS


gambar 7: sinus paranasal di muka
3.1 DEFINISI SINUSITIS
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis diberi nama sesuai dengan
sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua
sinus paranasalis disebut pansunusitis. Sinus paranasal adalah suatu celah, rongga, atau kanal
antara tulang di sekitar rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat sinus yaitu sinus
maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi), dan
sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis bisa terjadi pada masing-masing sinus
tersebut tetapi yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris. Hal ini disebabkan sinus
maksila adalah sinus yang terbesar dan dasarnya mempunyai hubungan dengan dasar akar gigi,
sehingga dapat berasal dari infeksi gigi.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, bahkan dianggap
sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis menyerang
1 dari 7 orang dewasa di United States, dengan lebih dari 30 juta individu yang didiagnosis tiap
tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadinya
rhinosinusitis.Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak-
anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun. Infeksi saluran pernafasan
dihubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun
karena sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.Sinusitis maksila paling
sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya karena :
1. Ukuran: Sinus paranasal yang terbesar.
2. Posisi ostium: Posisi ostium sinus maksila lebih tinggi daripada dasarnya sehingga aliran
sekret / drainasenya hanya tergantung dari gerakan silia.
3. Letak ostium : Letak ostium sinus maksila berada pada meatus nasi medius di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
4. Letak dasar :Letak dasar sinus maksila berbatasan langsung dengan dasar akar gigi (prosesus
alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.

3.3 ETIOLOGI
Sinusitis dapat disebabkan oleh:
1. Bakteri : Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus group A,
Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram -, Pseudomonas.
2. Virus :Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus
3. Bakteri anaerob: fusobakteria
4. Jamur

3.4 PATOFISIOLOGI
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme
drainase di dalam sinus. Virus tersebut juga memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental,
yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Adanya bakteri
dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau
reinokulasi dari virus.Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di
dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri
anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktiviitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat ,
obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen.
3.5 FAKTOR PREDISPOSISI
i. Obstruksi mekanis : Deviasi septum, corpus alienum, polip, tumor, hipertrofi konka
ii. Infeksi ;
a. Rhinitis kronis dan rhinitis alergi yang menyebabkan obstruksi ostium sinus serta
menghasilkan banyak lendir yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.
iii. Adanya infeksi pada gigi
iv. Lingkungan berpolusi, udara dingan dan kering yang dapat merubah mukosa dan merusak
silia

3.6 GEJALA KLINIS
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun
pada pagi hari. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi dua, yaitu; gejala
subyektif (dirasakan) dan gejala obyektif (dilihat).
Gejala subyektif antara lain: demam, lesu, hidung tersumbat, sekresi lendir hidung yang kental
dan terkadang berbau, sakit kepala yang menjalar dan lebih berat pada pagi hari. Pada sinusitis
yang merupakan komplikasi penyakit alergi sering kali ditandai bersin, khususnya pagi hari atau
kalau dingin.
Gejala objektif kemungkinan ditemukan pembengkakan pada daerah bawah orbita (mata) dan
lama kelamaan akan bertambah lebar sampai ke pipi. Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala
yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala
tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:
1. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.
2. Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
3. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di
dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan,
berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
4. Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa
dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit
telinga dan sakit leher.
Gejala lainnya adalah: tidak enak badan, demam, letih, lesu, batuk, yang mungkin semakin
memburuk pada malam hari, hidung meler atau hidung tersumbat .
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus. Selaput lendir
hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning
atau hijau

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis diantaranya adalah :
1. Transiluminasi : sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap
2. Rontgen sinus paranasalis : sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa ; penebalan mukosa,
spasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi) gambaran air fluid level yang khas akibat
akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters. CT Scan, Sinoscopy,
3. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi

3.8 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterioir, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya ialah
adanya pus di meatus medius ( pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior ( pada sinusitis ethmoid posterioir dan sphenoid).Pada rinosinusitis akut,
mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus medius.CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan
dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagi penunjang diagnostis sinusitis
kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pre-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.

3.9 TERAPI
a. Sinusitis akut
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
- Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan
- Antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri
- Obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri.
Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai selama
waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan
pembengkakan pada saluran hidung).Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan
peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.
b. Sinusitis kronis
Diberikan antibiotik dan dekongestan.Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat
semprot hidung yang mengandung steroid.Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral
(melalui mulut).
Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman:
- Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas
- Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam
- Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya jalan untuk mengobati
sinusitis kronis adalah pembedahan.Pada anak-anak, keadaannya seringkali membaik setelah
dilakukan pengangkatan adenoid yang menyumbat saluran sinus ke hidung.Pada penderita
dewasa yang juga memiliki penyakit alergi kadang ditemukan polip pada hidungnya. Polip
sebaiknya diangkat sehingga saluran udara terbuka dan gejala sinus berkurang.Teknik
pembedahan yang sekarang ini banyak dilakukan adalah pembedahan sinus endoskopik
fungsional.
3.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
1. Radang amandel
2. Kelainan pada orbita ; Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang
berdekatan dengan mata, Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum,
Edema palpebra, Preseptal selulitis, Selulitis orbita tanpa abses, Selulitis orbita dengan sub atau
extraperiostel abses, Selulitis orbita dengan intraperiosteal abses, Trombosis sinus cavernosus
3. Kelainan intrakranial : Abses extradural, subdural, dan intracerebral, Meningitis, Encephalitis,
Trombosis sinus cavernosus atau sagital
4. Kelainan pada tulang : Osteitis, Osteomyelitis
5. Kelainan pada paru : Bronkitis kronik, Bronkhiektasis
6. Otitis media
7. Toxic shock syndrome
8. Mucocele, pyococele
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Efiaty Arsyad Soepardi, dkk. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi keenam. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Adam Boies H. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. 1997. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
3. Endoscopic Middle Meatal Antrostomy. Available
at http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1288/00005537-198708002-00001/abstract .
Accessed on 24th September 2010
4. Bedah sinus. Available at http://www.scribd.com/doc/8533063/Bab-a-3 . Accessed on
25th September 2010.

Vous aimerez peut-être aussi