Vous êtes sur la page 1sur 29

KONSEP FRAKTUR COSTAE

1. Definisi

Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang
memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan
yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.
Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan
yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Fraktur
costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping
itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian
khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat
jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur.

2. Etiologi

Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena
tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka
setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa
dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut.Dari keduabelas pasang costa
yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan
karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami
fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit,
sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur
oleh karena sangat mobile.

Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Disebabkan trauma
Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur
costa antara lain: Kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki,
jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat
perkelahian.
Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa :Luka
tusuk dan luka tembak

Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena
luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela
iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa
adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila
terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus
neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis,
subklavia),bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula

b. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa ,terutama akibat gerakan
yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena
adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur,seperti pada gerakan
olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf.

3. Klasifikasi
a. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :
Fraktur simple
Fraktur multiple
b. Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat :
o Fraktur segmental
o Fraktur simple
o Fraktur comminutif
c. Menurut letak fraktur dibedakan :
o Superior (costa 1-3 )
o Median (costa 4-9)
o Inferior (costa 10-12 ).
d. Menurut posisi :
o Anterial
o Lateral
o Posterior.
e. Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula
o Akibat dari tenaga yang besar
o Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru,
pembuluh darah besar
o Mortalitas sampai 35%.
f. Fraktur Costae tengah (4-9) :
o Peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa
komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan.
o MRS jika pada observasi
o Penderita dispneu
o Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
o Penderita berusia tua
Memiliki preexisting lung function yang buruk.
g. Fraktur Costae bawah (10-12) :
Terkait dengan resiko injury pada hepar dan spleen

4. Patofisiologi
Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah
depan,samping ataupun dari arah belakang.Trauma yang mengenai dada biasanya
akan menimbulkan trauma costa,tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa
pada dinding dada,maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa.
Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa
pada tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi
apabila energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costa
tersebut.Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan
belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costa,dimana
pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah.
Fraktur costa yang displace akan dapat mencederai jaringan sekitarnya
atau bahkan organ dibawahnya.Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai
a.intercostalis ,pleura visceralis,paru maupun jantung ,sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya hematotoraks,pneumotoraks ataupun laserasi jantung.

5. Manifestasi Klinis

a. Sesak napas
Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke
rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan
jaringan pada rongga dada lalu dapat terjadi pneumothoraks dan
hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan ventilasi sehingga
menyebabkan terjadinya sesak napas.

b. Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea
Pada fraktur costa terjadi gangguan pernapasan yang disertai
meningkatnya penimbunan CO2 dalam darah (hiperkapnia) yang
bermanifestasi menjadi sianosis.



c. Nyeri tekan pada dinding dada
Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke
rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan
jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga
menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada dinding dada.
d. Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan
Rasa takut dan cemas yang dialami pada pasien fraktur costa
diakibatkan karena saat bernapas akan bertambah nyeri pada dada.
e. Adanya gerakan paradoksal

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen standar
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu
diagnosis hematothoraks dan pneumothoraks ataupun contusio pulmonum,
mengetahui jenis dan letak fraktur costae. Foto oblique membantu diagnosis
fraktur multiple pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks harus
dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk
identifikasi fraktur iga.
b. EKG
c. Monitor laju nafas, analisis gas darah
d. Pulse oksimetri

7. Penatalaksanaan

Berdasarkan letak fraktur maka dapat dibagi menjadi:
a. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
b. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks,
pneumotoraks)
c. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
Bronchial toilet
Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas
darah
Cek Foto Ro berkala

Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot
merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan
rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan
pengisapan endotrakeal.
Berdasarkan tahapan penatalksanaan:
a. Primary survey
o Airway dengan kontrol servikal
Penilaian:
o Perhatikan patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
o Penilaian akan adanya obstruksi
Management:
o Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
o Bersihkan airway dari benda asing.

b. Breathing dan ventilasi
Penilaian
Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak,
pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
Auskultasi thoraks bilateral
Management:
Pemberian oksigen
Pemberian analgesia untuk mengurangi nyeri dan membantu
pengembangan dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang
dikombinasi denganaspirin atau asetaminofen setiap 4 jam.
Blok nervus interkostalis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri berat
akibat fraktur costae
Bupivakain (Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di
sekitar n. interkostalis pada costa yang fraktur serta costa-costa di atas
dan di bawah yang cedera. Tempat penyuntikan di bawah tepi bawah
costa, antara tempat fraktur dan prosesus spinosus. Jangan sampai
mengenai pembuluh darah interkostalis dan parenkim paru
Pengikatan dada yang kuat tidak dianjurkan karena dapat membatasi
pernapasan.


c. Circulation dengan kontrol perdarahan
Penilaian
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
Mengetahui sumber perdarahan internal
Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
Periksa tekanan darah

Management:
o Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
o Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel
darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, golongan darah dan cross-
match serta Analisis Gas Darah (BGA).
o Beri cairan kristaloid 1-2 liter yang sudah dihangatkan dengan tetesan
cepat
o Transfusi darah jika perdarahan masif dan tidak ada respon os
terhadap pemberian cairan awal.
o Pemasangan kateter urin untuk monitoring indeks perfusi jaringan.

d. Disability
o Menilai tingkat kesadaran memakai GCS
o Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi.
e. Exposure/environment
o Buka pakaian penderita
o Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan temapatkan pada
ruangan yang cukup hangat.

Tambahan primary survey
o Pasang monitor EKG
o Kateter urin dan lambung
o Monitor laju nafas, analisis gas darah
o Pulse oksimetri
Pemeriksaan rontgen standar
Lab darah
Resusitasi fungsi vital dan re-evaluasi
Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal
Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta
awasi tanda-tanda syok.

Secondary survey
o Anamnesis AMPLE dan mekanisme trauma
o Pemeriksaan fisik
Kepala dan maksilofasial
Vertebra servikal dan leher
Thorax
Abdomen
Perineum
Musculoskeletal
Neurologis
Reevaluasi penderita

Rujuk
o Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk dirujuk.
o Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, dan kebutuhan penderita
selama perjalanan serta komunikasikan dnegan dokter pada pusat rujukan
yang dituju.
6. Penatalaksanaan umum untuk fraktur
Prinsip penanganan pada fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.

a. Reduksi
Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi atau
mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak asalnya. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah
dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih
untuk reduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada fraktur iga digunakan reduksi terbuka dengan fiksasi interna
yang digunakan dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah
dengan operatif untuk menghindari cacat permanen. Alat fiksasi interna yang
digunakan berupa pin, kawat, sekrup, plat. Indikasi Operasi (stabilisasi) pada
flail chest bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain seperti
hematotoraks.

b. Imobilisasi
Imobilisasi digunakan dengan mempertahankan dan mengembalikan
fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan, untuk itu pasien dengan fraktur iga dianjurkan untuk tidak
melakukan aktivitas fisik untuk sementara waktu. Perawat berpartisipasi
membantu segala aktivitas perawatan mandiri pasien. Pada fraktur iga tidak
dianjurkan dilakukan pembebatan karena dapat mengganggu mekanisme
bernapas.

a. Rehabilitasi
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan, mengoptimalkan serta
stabilisasi fungsi organ selama masa imobilisasi. Bersama ahli fisioterapi
secara bertahap dilakukan aktifitas fisik yang ringan hingga tahap pemulihan
fungsi organ terjadi.





















KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR COSTAE

Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
b. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
c. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,
istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian
yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat
dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan
gerak pasif/aktif.

4. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)

5. Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin
selama fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.

Mengurangi nyeri dan
mencegah malformasi.


Meningkatkan aliran balik
vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan
otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi
umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian
terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama.

Menurunkan edema dan

7. Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai indikasi.



Evaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
mengurangi rasa nyeri.


Menurunkan nyeri melalui
mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.

Menilai perkembangan
masalah klien.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria
akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara
rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi
akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.


3. Pertahankan letak tinggi
ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma
kompartemen.

4. Berikan obat antikoagulan
(warfarin) bila diperlukan.


5. Pantau kualitas nadi perifer,
aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan
kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi
yang normal.

Meningkatkan sirkulasi darah
dan mencegah kekakuan sendi.



Mencegah stasis vena dan
sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena
dan menurunkan edema kecuali
pada adanya keadaan hambatan
aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai
upaya profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan
masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien.


c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi
dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam
batas normal
INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan
napas dalam dan latihan batuk efektif.

2. Lakukan dan ajarkan
perubahan posisi yang aman sesuai
keadaan klien.

3. Kolaborasi pemberian obat
antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.



4. Analisa pemeriksaan gas
darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosit







5. Evaluasi frekuensi pernapasan
dan upaya bernapas, perhatikan adanya

Meningkatkan ventilasi
alveolar dan perfusi.


Reposisi meningkatkan
drainase sekret dan menurunkan
kongesti paru.

Mencegah terjadinya
pembekuan darah pada keadaan
tromboemboli. Kortikosteroid telah
menunjukkan keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan
peningkatan PCO2 menunjukkan
gangguan pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan
kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering
berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea
dan perubahan mental merupakan
tanda dini insufisiensi pernapasan,
stridor, penggunaan otot aksesori
pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis
sentral.
mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal.

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh
menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan
aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak
pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.




3. Berikan papan penyangga
kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan
diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.


Memfokuskan perhatian,
meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial.


Meningkatkan sirkulasi
darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot,
mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan
mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.

Mempertahankan posis
fungsional ekstremitas.



Meningkatkan kemandirian
5. Ubah posisi secara periodik
sesuai keadaan klien.



6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP.





8. Kolaborasi pelaksanaan
fisioterapi sesuai indikasi.


9. Evaluasi kemampuan
mobilisasi klien dan program imobilisasi.
klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien.

Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis,
penumonia)
Mempertahankan hidrasi
adekuat, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi.


Kalori dan protein yang
cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-
pertahankan fungsi fisiologis
tubuh.

Kerjasama dengan
fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara
individual.

Menilai perkembangan
masalah klien.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku
tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai
indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur
yang nyaman dan aman (kering, bersih,
alat tenun kencang, bantalan bawah siku,
tumit).

2. Masase kulit terutama
daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.


3. Lindungi kulit dan gips pada
daerah perianal


4. Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap kulit,
insersi pen/traksi.

Menurunkan risiko
kerusakan/abrasi kulit yang lebih
luas.



Meningkatkan sirkulasi
perifer dan meningkatkan kelemasan
kulit dan otot terhadap tekanan yang
relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan
integritas kulit dan jaringan akibat
kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan
masalah klien.

f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam

INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen
steril dan perawatan luka sesuai
protokol

2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas insersi
pen.

3. Kolaborasi pemberian
antibiotika dan toksoid tetanus sesuai
indikasi.




4. Analisa hasil
pemeriksaan laboratorium (Hitung
darah lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/serum/tulang)



5. Observasi tanda-tanda
vital dan tanda-tanda peradangan
lokal pada luka.

Mencegah infeksi
sekunderdan mempercepat
penyembuhan luka.

Meminimalkan
kontaminasi.



Antibiotika spektrum
luas atau spesifik dapat
digunakan secara profilaksis,
mencegah atau mengatasi
infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya
terjadi pada proses infeksi,
anemia dan peningkatan LED
dapat terjadi pada
osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi.

Mengevaluasi
perkembangan masalah klien.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria
klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL

1. Kaji kesiapan klien mengikuti
program pembelajaran.



2. Diskusikan metode mobilitas
dan ambulasi sesuai program terapi fisik.


3. Ajarkan tanda/gejala klinis
yang memerluka evaluasi medik (nyeri
berat, demam, perubahan sensasi kulit
distal cedera)

4. Persiapkan klien untuk
mengikuti terapi pembedahan bila
diperlukan.

Efektivitas proses
pemeblajaran dipengaruhi oleh
kesiapan fisik dan mental klien
untuk mengikuti program
pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi
dan kemandirian klien dalam
perencanaan dan pelaksanaan
program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan
klien untuk mengenali tanda/gejala
dini yang memerulukan intervensi
lebih lanjut.


Upaya pembedahan
mungkin diperlukan untuk
mengatasi maslaha sesuai kondisi
klien.





PATHWAY FRAKTUR COSTAE


























LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COSTAE


Penugasan ini disusun untuk memenuhi tugas individu profesi keperawatan









Oleh:



Maya Rachmah Sari
NIM. 0910723033





PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


















LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi descelarasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor
dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel sel syaraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila
kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala gejala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan
asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis
metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah
50 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari
cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,
fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

1. Klasifikasi cidera kepala
a. Cidera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi descelerasi rotasi )
yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cidera primer dapat terjadi :
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :
1). Hipotensi sistemik
2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Udema otak
5). Komplikasi pernapasan
6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :
a. Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang cabang arteri meningeal media yang
terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri
karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode
akut dapat terjadi dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.
3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan
















Gangguan seluruh kebutuhan
dasar (oksigenasi, makan,
minum, kebersihan diri, rasa
aman, gerak, aktivitas dll
Gangguan sel glia /
gangguan polarisasi
Kejang
Resiko trauma
Cedera kepala primer
-Komotio, Kontutio, laserasi cerebral
Cedera kepala sekunder
-hipotensi, infeksi general, syok, hipertermi,
hipotermi, hipoglikemi
Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK
Nyeri intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung
Kerusakan / Penekanan
sel otak local / Difus
Komotio cerebri
Kontutio cerebri
Lateratio cerebri
Penurunan ADO2, VO2, CO2,
Peningkatan katekolamin,
Peningkatan Asam Laktat
Gangguan kesadaran /
Penurunan GCS
Udema
cerebri
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien
dengan penanggungjawab.
c. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan,
adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan
sistem persyarafan maupun penyakit sistem sistem lainnya, demikian pula riwayat
penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam
berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

2) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.

3) Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive

4) Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5) Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

6) Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.

7) Nyeri / rasa nyaman
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih.

8) Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi, stridor ,
ronchi dan wheezing.

9) Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.

10) Intensitas sosial
O : Afasia, distarsia

e. Pemeriksaan penunjang
1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan
jaringan otak.

2) MRI
Digunakan sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) X Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis (
perdarahan / edema ), fragmen tulang.

6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

8) CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9) ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika
terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10) Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.

11) Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

f. Penatalaksanaan
Konservatif :
- Bedres total
- Pemberian obat obatan
- Observasi tanda yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan
dan rehabilitasi.

Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi
3). Kebutuhan sehari hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga
sebagai sumber informasi.

Prioritas Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena
adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).
2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan
pusat pernapasan di medulla oblongata.
3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses
desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi
anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.
5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.
6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring.
7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan sensoris.
8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau
kontinuitas yang rusak.
9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan
perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap
pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologi/tanda-tanda
kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2. Monitor GCS dan mencatatnya.
R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan
lokasi dari lesi.
3. Memonitor tanda-tanda vital.
R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan
tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intra kranial.
Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple trauma yang dapat
menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari
gangguan batang otak.
4. Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan
parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.
5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski.
R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan
merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari
gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal.
6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2
akan menunjang peningkatan ICP.
7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa.
R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes
insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.
8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari
penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena
cerebral dan meningkatkan ICP.
9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.
10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak
gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis
dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.
11. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam
abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek
nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurun dapat meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika
digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan
edema/resiko terjadi ICP.
15. Berikan cairan intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.
R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP.
16. Berikan Oksigen.
R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume
darah dan menaikkan ICP.
17. Berikan obat Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.
R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, dan
mengurangi edema cerebral dan ICP.
18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
19. Berikan analgesik dosis tinggi contoh : Codein.
R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP
tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.
20. Berikan Sedatif contoh : Benadryl.
R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.
21. Berikan antipiretik, contohnya : aseptaminophen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.

Vous aimerez peut-être aussi