Vous êtes sur la page 1sur 143

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014

ISSN 2089-8460

i

Pengantar Redaksi

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni merupakan salah satu institusi
akademik yang berkonsentrasi pada ilmu pendidikan bahasa dan seni. Dinamika
ilmu pendidikan bahasa dan seni amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah
untuk menghimpun dan menyosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan bahasa
dan seni tersebut. Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika,
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya
melalui jurnal Stilistetika yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan Mei dan
Nopember. Apa yang ada di tangan pembaca budiman saat ini merupakan jurnal
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014.
Jurnal Stilistetika ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi ini selain
disebarkan secara internal dalam kampus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni,
juga didistribusikan pada komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal Stilistetika
kali ini memuat sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen,
mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, dan sebuah artikel ilmiah dari
dosen luar kampus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, yakni STIKES Bina
Usadha Bali dan sebuah artikel ilmiah dari mahasiswa ISI Yogyakarta. Adanya
sumbangan tulisan dari luar kampus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal Stilistetika ini menjadi wahana yang baik untuk
membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan
saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutya.


R e d a k s i





Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

ii

Halaman
Pengantar Redaksi ......................................................................................... i
Daftar Isi ....................................................................................................... ii

Community Values In The Maintenance Of Balinese Language: A Covert
Policy Analysis In Banjar Taman, Esa Pekraman Ubud, Gianyar-Bali
I Putu Andre Suhardiana, S. Pd., M. Pd. ...................................................... 1

Syntactic Analysis of Locative Prepositional Phrase in English-Indonesian
Text with Reference To The Voyagers and Its Translation Sebuah
Sandiwara: Para Penjelajah
Ni Luh Gede Liswahyuningsih, S.S., M.Hum. ............................................... 14

Analisis Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional
Pendidikan di Tinjau dari Cipp (Contexs, Input, Process, Product)
Luh De Liska, S.Pd., M.Pd. ........................................................................... 32

Pemerolehan Bahasa Kedua pada Balita Hasil dari Pernikahan Cross
Marriage Jerman-Indonesia Usia 2,5 Tahun
Ni Komang Purwaningsih, S.S. ..................................................................... 48

Membahasakan Objek melalui Pendekatan Observasi
Agus Mediana Adipura ....................................................................................... 63

Variasi Kalimat pada Karangan Siswa Kelas X SMA Negeri 7 Denpasar
Tahun Pelajaran 2011/2012
Ni Putu Arik Purnami ................................................................................... 79

Peningkatan Kemampuan Membaca Puisi melalui Teknik Pemodelan oleh
Siswa Kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Komang Triana Dewi Wulandari .................................................................. 95

Kemampuan Memainkan Drama dengan Naskah Buatan Kelompok Siswa
Kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Kadek Puspita Dewi ...................................................................................... 107

Kemampuan Melukis Objek Buah-Buahan pada Media Kertas dengan
Mengunakan Pastel oleh Siswa Kelas X Tata Boga SMK Pariwisata
Dalung Tahun Pelajaran 2013/2014
I Ketut Budana .............................................................................................. 117

Kemampuan Menarikan Tari Kreasi Metangi dalam Kegiatan
Ekstrakurikuler Siswa Kelas VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan Tahun
Pelajaran 2013/2014
Luh Gede Laras Sita ..................................................................................... 130
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

1

COMMUNITY VALUES IN THE MAINTENANCE OF BALINESE
LANGUAGE: A COVERT POLICY ANALYSIS IN BANJ AR TAMAN,
DESA PEKRAMAN UBUD, GIANYAR-BALI

By
I PutuAndre Suhardiana, S. Pd., M. Pd.
Indonesian and Local Language and Literature Education Department
The Faculty of Language and Art IKIP PGRI Bali
Email: holmes_87@rocketmail.com

Abstract
Community values as a covert language policy play a crucial role in
maintaining mother language in the globalization era. This descriptive qualitative
research aimed at finding the community values of people in banjar Taman, Ubud
in maintaining Balinese language. This research also aimed at investigating the
factors that influence the community values towards the language maintenance. It
was found that the use of mother tongue language in social interaction in banjar
Taman, Ubudwas still maintained well. Based on the interview and observation,
some of the research subjects started to use mixed language with their children.
However, when they went back to the social interaction and activities, they still
used Balinese language. It was because of the community values held by people in
banjar Taman, Ubud. The cultural and religion activities were the major factors
why Balinese language could be well maintained. The existence of Palace of
Ubud (PuriUbud) in that area was another factor which influences the
maintenance of Balinese language in banjar Taman, Ubud, Bali.

Keywords: language policy, language maintenance, community values

Abstrak
Nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam kebijakan bahasayang
tersembunyi memainkan peran penting dalam mempertahankan bahasa ibu di era
globalisasi. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-
nilai komunitas orang-orang di banjar Taman, Ubud dalam mempertahankan
bahasa Bali. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyelidiki faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai-nilai masyarakat terhadap pemeliharaan bahasa. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa dalam
interaksi sosial di banjar Taman, Ubud masih terpelihara dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, beberapa subjek penelitian mulai
menggunakan bahasa campuran dengan anak-anak mereka. Namun, ketika mereka
kembali ke interaksi social dan kegiatan, mereka masih menggunakan bahasa
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

2

Bali. Itu karena nilai-nilai kemasyarakatan yang dicoba untuk dilestarikan oleh
orang-orang di banjar Taman, Ubud. Kegiatan budaya dan agama merupakan
faktor utama mengapa bahasa Bali dapat terpelihara dengan baik. Keberadaan
Istana Ubud (Puri Ubud) di daerah itu adalah faktor lain yang mempengaruhi
pemeliharaan bahasa Bali di banjar Taman, Ubud, Bali.

Kata Kunci: Nilai-nilaikebijakanbahasa, pemeliharaanbahasa , masyarakat :

1. Introduction
Language plays an important role in developing and maintaining
relationships between people in society. Language is close related to power,
class, status, solidarity, accommodation, face, gender, and
politeness (Wardhaugh, 2002). Particularly in relation to class and status,
dominant language will be preferred to be used even in the daily activities and
family activities. By using dominant language, they will show themselves coming
from higher class or status. Besides, the multicultural society can be a basic reason
of people in using dominant language. In this case, dominant language refers to
Bahasa Indonesia or Indonesian language. To be able to communicate with other
people from other areas, like Javanese, Sundanese, Sasaknese, or Balinese, people
will tend to use Indonesian. In this case seems like mother language is left behind
in which it will lead to language shift even scarcity language.
Balinese language which had become minority language seemed to be less
in use in society. Based on the observation in several schools in Denpasar and
Gianyar, it was seen that almost all students speak in Indonesianwith their friends,
teachers, and families. Musgrave (2011) stated that Indonesian censuses
conducted in 1971, 1980, and 1990 showed an increase in the number of people
who speak Indonesian as their first language, especially among the young
generation, and a decline in the number of people who speak local languages as
their first language. In addition, the fact that Bali became prior tourism destination
in Indonesia made people more interested in learning English. To provide more
evidences towards this issue, an observation in social media Facebook and
Twitter was done. Here, several people from different educational backgrounds,
status, and ages posted comments to express their feeling or to inform
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

3

somethingmostly using Indonesian and English. In short, the use of Balinese
language had shifted to the use of Indonesian and English in Balinese societies.
In multilingual societies, the major concerns were how to develop and
maintain the societys language resources and how to meet the societys and
individuals language related needs. Because of that, all languages in a community
or society had to be accommodated in a language policy, no matter their status,
demographic strength and distribution, economic strength, state of development,
sociolinguistic vitality, functions, legal status, estimation, geographical
distribution, readiness for literacy and numeracy, etc. (Emenanjo, in Musgrave
2011).However, it was in contrast with the governments plan to eliminate local
language from the local content curriculum of elementary school. Minister of
Education and Culture, Mohammad Nuh, aligned the local language would not be
eliminated from the curriculum (Indonesia News, January 3
rd
2013). According to
him, the curriculum clearly listed in art and culture subject including arts, regional
culture, and craft and local language was part of it. It means that the chance for
students to learn and communicate in local language was diminishing.
Based on the explanation above, Balinese language in Bali was closing to
be endangered language and it should be preserved. It is because Balinese
language is part of Balinese culture. Maintaining Balinese language became
Balinese people responsibilities including the government. It was close related to
language policy applied in that area. The language policy in this banjar is
categorized as covert policy since there is no written legal document regulating
the use of language. However, the values growing in the society brought big
impacts to the maintenance of Balinese language. Further, this mini research
presented the kinds of communitys values and how those values affected the
community policy and practices. The present research aimed to answer these two
research questions (1) What kind of values washeld by community in
banjarTaman, desapekramanUbud related to the maintenance of Balinese
language and (2) what factors are influencing the values held by people in banjar
Taman desapekramanUbud towards the maintenance of Balinese language.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

4

2. Theoretical Frameworks
2.1 Sociolinguistics
Sociolinguistics is study of a relationship between language and society
(Holmes, 2001). The sociolinguistics deals with explaining why we speak
differently in different social context and factor such as, class, ethnicity, age, and
sex. This study is concerned with the identifying the social functions of language
and the ways it is used to convey social meaning. Sociolinguistics is also the study
about dialects, languages in contact, language and education, and language in use
(Fromkin in Holmes, 2001). Chaer in Hamida (2011) explains that sociolinguistics
is the study about sociology and linguistics. In vice versa, Wardhough (2002)
states that sociolinguistics and sociology are different studies.
The sociolinguistics will be concerned with investigating the
relationship between language and society with the goal of better
understanding of the structure of language and of how languages
function in communication; the equivalent goal in the sociology of
language will be to discover how social structure can be better
understood through the study of language, e.g., how certain
linguistics features serve to characterize particular social
arrangement.

Whereas Spolsky in Trudgill (1983) describes that sociolinguistics is the
study the relation between language and society, between the uses of language and
the social structures in which the user of language live.
From those statements above, it can be concluded that sociolinguistics is
the branch of linguistics and deals with the relation of society and language. The
sociolinguistics cannot be separated from the social meaning and of language use.
This study concerns when and for what purpose does somebody speak what kind
of language or what variety with whom.

2.2 Language and Society
Language incorporates social values. What is of value to society is
incorporated into language to produce standards, ideals and goals (Heath, 2011).
Society changes when that which is of value to society changes. Social changes
produce changes in language.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

5

However, social changes affect values in ways that have not been
accurately understood. Social values are only the same as linguistic values when
the society is a stable and unchanging one. Once society starts changing, then
language change produces special effects.

2.3 Language and Social Class
Social class refers to the hierarchical distinctions (or stratification)
between individual or groups in societies or cultures. Different social class use
different linguistic varieties. People can be classified into some groups of social
class which is determined largely by considering several aspects as follows:
1) Income (economic)
It deals with wealth, including the ownership of land, property,
means of production, and so on.
2) Occupation
It determines the individuals profession. For instance work as
doctors, lawyers, farmers, fishermen, etc.
3) Education
Viewed from education background, this determiner indicates
whether the individual has graduated his postgraduate or just graduated
from Junior or Senior High School. In other words, it reveals that those
individual has a good background of education or not.
4) Race
It describes whether someone belongs to European, Mongolia,
Polynesia, etc.
5) Religion
There are many religion exist in the world, such as Muslim, Hindu,
Christian, etc.
6) Age
It classified people into young and old.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

6

The social class is the result of social stratification. It is a term used to
refer to any hierarchical ordering of group within a society (society grouping).
Since the society was grouped into several classes by the existence of social
stratification, therefore social classes were created. Social classes are not merely a
label of society. It simply aggregates of people with similar social and economic
characteristic and also social mobility. Depart from this fact, many linguists
considers that it becomes more difficult to describe a particular variety. So, it is
proposed that the more heterogeneous the society, the more heterogeneous its
language.

2.4 Balinese Language
Balinese language is a branch of the Austronesian language Sundik and
more specifically of the Bali-Sasak subsidiaries. This language is primarily
spoken in the island of Bali, the island of Lombok to the west, and a bit on the
east end of the island of Java. Bali has its own language usage levels, for example,
there are so-called Bali Alus, Madya Bali and Bali Rude. Its smooth-spoken
formal used for example in the traditional village-level meetings, woo women, or
between low-caste people with a higher caste.
Balinese language consists of a number of speech levels. They are mainly
affected by the caste exist in Bali. Further, the choice of the language will be
associated with the caste of the people involved in communication.

2.4.1 Caste
The term caste in Bali is adapted from India but it is not similar actually.
As explained in background previously that the application of castes in Bali was
affected by Warnafrom Hinduism. There are four Warnawhich is called
CaturWarna, divides Hinduism into four groups based on their occupation in
parallel horizontal form.
Catur Warna Kuciptakan menurut pembagian dari guna (sifat)
dan karma (pekerjaan). Meskipun Aku sebagai penciptanya,
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

7

ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan. (Bhagavadgita IV.
13 as cited in Titib, 2005).
From the statement above, Warnais determined by guna and karma. Guna
stands for the talent and behavior of someone, while karma is related to the job.
Viewed from Warna, the society then, is classified into four occupational
categories namely Brahmana (Priest), Ksatria (Kings, Warriors, Governments),
Weisya (Traders, Sellers), and Sudra (Farmers, Servants, Labors). However, these
social stratifications or so-called as caste, becomes misleading in Balinese society.

2.4.2 Balinese Speech Levels
Balinese language has levels system in which the speech levels is called
Anggah-Ungguhin Basa. Kersten (in Hamida, 2011:2) pointed that Balinese
language can be classified into five levels, namely BasaKasar (Low language),
BasaMadya (Middle language), BasaIpun (Humble language), BasaSinggih
(Refined language), and BasaAlus (Honorific language). However, Kersten then
republished his book with several revisions. In his revision, he stated six
classification of Balinese language, such as: BasaKasar (Low language)
BasaBiasa (Familiar language), BasaMadya (Middle language), BasaAlusSor
(Humble language), BasaSinggih (Refined language), and BasaAlus (Honorific
language).
2.5 Community Values in Bali
Community values in Bali are closely related to cultural values. Cultural
values are affected by domains where the people are involved in communication.
According to Titib (2005), the values are involving:
1. Etiquette: manners habits which agreed within the interaction between
humans in the group.
2. Nguopin: mutual cooperation.
3. Ngayah or ngayang: community service for religious purposes.
4. Manners: indigenous relations in polite society against those of different
sex.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

8

According to Titib (2005) cultural values cannot be separated with the
Hindu influence on Balinese culture. This is in line with the term of Hindus
culture as the soul of Bali.It is inevitable that the influence of Hinduism and
Indian culture in Bali such a magnitude, it is evident from the various
archaeological heritages as revealed by Swellengrebel in Titib (2005), namely:
primary sources are inscriptions issued by the kings in impressive number written
on stones and metal (copper). The inscriptions are about the kings and his
ministers in relation with the administration of the central government and the
people in the villages, rules in the fields of religious, rules related to irrigation,
taxation, and so forth. Other sources are the ancient relics, statues and artifacts.
Based on Swellengrebelsstatement above, the religious life can be studied
through the sources mentioned above. In addition, the sources of the manuscripts
(papyrus) are quite numerous. The values or Hinduism are internalized in
individual and social behavior, and also in the form of physical matters such as
sacred buildings in temples, the house layout, desapekraman (traditional villages
in Bali which are ruled by the values of Hinduism), etc.

2.6Language Policy
Language policy is mainly related to decisions (rules, regulations and
guidelines) about the status, use, domains and territories of language and the
rights of speakers under questions. Language policy consists of three major
elements, namely (1) language practice, which focuses on how language practices
are done; (2) language management, which means any form of formulation or
proclamation of an explicit plan or policy to modify or influence a language
practice; and (3) language beliefs, which are the beliefs about language and
language use that lie behind each policy.
According to Sciffmanas cited in Hamida (2011), language policy can be
dividedinto two, namely:
1) Covert Language policy
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

9

Overt policies state explicitly the rights of any or all linguistics
groups to the use of their language in whatever domains they specify.
(explicit, specific, formalized, codified, manifest, de jure)
Example: UUD 1945, UU No. 24 tahun 2009 (constitutes)
2) Covert Language Policy
Covert policies do not mention any language policy in any
written legal documents, administrative code, etc. (implicit, informal,
unstated, de facto, grass-roots, latent)
Example: belief, culture, custom
2.7Language Maintenance
Language maintenance is the effort to prevent and maintain languages
from becoming unknown, loss, and dead. Language loss is the loss of a first or
second language or a portion of that language by individuals. Speakers who
routinely use more than one language may not use either of their languages in
ways which are exactly like that of a monolingual speaker.
Factors contributing to language shiftas stated by Holmes(2001) are listed below.
1) Economic, social and political factors including the reasons of people
to shift the language for the sake of jobs, migration, seeking
information in broader area, and to establish good relationship between
states or countries.
2) Demographic factors including to whom to talk, in what situation, and
where it can be performed. If the demographic factors are in a small
number, it will speed up the language shift.
3) Attitudes and values towards certain language will slower the language
shift. When certain language is less valued, it will increase the speed of
language shift.




Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

10

3. Research Methods
The present research used qualitative research method since it aimed at
gaining a descriptive data about the community value towards the language
maintenance.
The research subjects in this research were five people in banjar Taman
desapekramanUbudas an example of global area which were taken from different
caste, educational background, and occupation. Their interaction within the family
members and communities was analyzed to be able to determine the values held
by people in banjar Taman desapekramanUbud related to the maintenance of
Balinese language.
Research instruments in this research involving the researcherhimself as
the main instrument interview guide, observation sheet, tape recorder, and note
book. To gather the data, several methods were usedsuch as observation,
interview, recording, and note taking.
Further, the data will be analyzed in using Miles and Huberman model.
Miles and Huberman model consists of four steps, such as data collection, data
reduction, data display and conclusion drawing/verification.

4. Findings
Based on the interview with Bendesa, he stated that there was no written
document which regulates the use of Balinese in society. However, he stated
several activities conducted in Ubud obliged the community to speak Balinese.
Here are the contexts in which community keep using Balinese language in social
interaction.
1) Etiquette: manners habits which agreed within the interaction between
humans in the group.
2) Nguopin: mutual cooperation.
3) Ngayah or ngayang: community service for religious purposes.
4) Manners: indigenous relations in polite society against those of
different sex.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

11

5) Paruman: meeting which involved all community in banjar Taman
Ubud.
6) Bendesaelection: the election of bendesato have a new leader, Balinese
is still used to moderate the process of the election program.
Furthermore, after the end of the election, the new bendesawill give a
short speech in Balinese about his winning.
7) Tangkil: coming to the palace of Ubud (PuriUbud) to ask for help
related to any religious activities. PuriUbud has close relationship and
brings a big impact to all communities in Ubud.
8) Cultural ceremonies and performance: the cultural ceremonies and
performances are frequently held in Ubud since they are part of
tourism offered by Ubud. The performances like cak, barong, wayang
(puppet), arja, etc.should be performed in Balinese language.
Eventhough the visitors were mostly coming from other countries, the
communities in Ubud in doing performance are still maintaining to use
Balinese language.

Based on the interview and observation towards those four
subjects, some of them start to use Indonesian to their kids and relatives.
Some values have been degrading. The value of the family may decrease;
however, the values in the community interaction can be still maintained.
Based on the result of the research, the community values obliged the
communities to use Balinese in the communication. the interesting facts
found in the research that, cultural and religious activities in Bali are
closely related to the existence of PuriUbud.
Based on the interview with these subjects, PuriUbud hold stronger
power than the Regent himself. People in banjar Taman and in Ubud
generally get free access to PuriUbud. They are given rights to utter their
problem and PuriUbud will try to solve their problem. PuriUbud is well
known as BendesaAgung which lead all the bendesainUbud. As stated
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

12

previously, PuriUbud holds bigger power rather than the Regent even
though officially PuriUbuds Position is lower than the Regent.
Based on the interview with the bendesa, the power of PuriUbud is
due to its historical value. The king living in PuriUbud previously,
regulate all the system and people in Ubud in such good way, he could
bring welfare for his citizens. Because of that, until this time, PuriUbud
still get higher position in people in Ubud and people need to speak
Balinese to be able to interact withPuriUbud.
The strong community values as stated previously can maintain the
Balinese language in society even though their family values towards
Balinese language has been decreasing.

5. CONCLUSION
Language maintenance is the effort to prevent and maintain languages
from becoming unknown, loss, and dead. The phenomenon in Bali has shown
that Balinese language has started to be leaving behind. However, Ubud can
maintain the use of Balinese language in social interaction. It is due to the strong
community values held by banjar Taman Ubud community. Community values
are some values embraced by the community as a decision basis in running the
day-to-day life. The value of the community, especially in terms of the values in
using mother language will lead to the maintenance of mother language. This
value can be said as a covert policy with the purpose of maintain mother language.

References
Baron, Dennis. (2005). Language and Society. PBS: Public Broadcasting service
http://www.pbs.org/speak/words/sezwho/socialsetting/ (January 2013).

Heath, Ian. (2011). Language and society.A modern thinker.http://www.modern-
thinker.co.uk/6%20-%20language%20and%20society.htm (January
2013)
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

13

Hamida, Layli. (2011) Family Values in The Maintenance Of Local/Home
Language. In: International Seminar Language Maintenance and Shift.
ISSN: 2088-6799, 2 Juli 2011, Hotel Pandanaran Semarang.

Holmes, J. (2001). An Introduction to Sociolinguistics, London/New York:
Longman.

Indonesia News. (2013). Education Minister: Regional Language Will Not Be
Removed. Edition: January 3, 2013.

Maharani, S. A. I. PemertahanBahasaIbu di KalanganRemajapadaLingkunganPuri
di KabupatenGianyar. (unpublished thesis).

Musgrave, Simon. (2011). Language Shift and Language Maintenance in
Indonesia.http://users.monash.edu.au/~smusgrave~/publication/LMLS-
Indonesia-Musgrave.pdf.

Tinggen, I Nengah. 1986. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Rhika Dewata.

Titib, I Made. 2005. Nilai-nilaiBudaya Bali Universal. Parisada Hindu
Dharma.http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task
=view&id=497&Itemid=79 (January 2013).

Trudgill, Peter. (1983). Sociolinguistics.An Introduction to Language and
Society.Harmondsworth: Penguin Books.

Wardhaugh, Ronald. (2002). An Introduction to Sociolinguistics (Fourth Edition).
Oxford: Blackwell Publishing.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

14

SYNTACTIC ANALYSIS OF LOCATIVE PREPOSITIONAL
PHRASE IN ENGLISH - INDONESIAN TEXT WITH
REFERENCE TO THE VOYAGERS AND ITS
TRANSLATION SEBUAH SANDIWARA:
PARA PENJELAJAH

Oleh
Ni Luh Gede Liswahyuningsih, S.S.,M.Hum.

ABSTRACT
Translation becomes important in this globalization era since each country
has its own language and each language in the world has its own grammatical
construction. In the translation process, a translator should understand the surface
structure of language. The surface structure of language refers to the actual words,
phrases, clauses, sentences, paragraphs constructed the text either written or
spoken. The locative prepositional phrase as one element of language surface
structure is important to be understood because locative prepositional phrase will
give a clear information of the activities done in a place. The translation of
locative prepositional phrase can be done based on the procedure of translation
process. The structure of locative prepositional phrase can be varied so it is also
necessary to discuss about the syntactical form of the locative prepositional
phrase.
Keywords: Translation, syntactical analysis, locative prepositional phrase
ABSTRAK
Penerjemahan sangatlah penting di era globalisasi ini karena setiap negara
memiliki bahasa masing-masing dan setiap bahasa di dunia memiliki konstruksi
gramatikalnya masing-masing. Dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah
harus memahami struktur permukaan bahasa. Struktur permukaan bahasa tersebut
mengacu pada kosakata, frase, klausa, kalimat, paragraf yang menyusun teks baik
tertulis maupun lisan. Frase preposisi lokatif sebagai salah satu bagian struktur
permukaan bahasa sangatlah penting untuk dipahami karena frase preposisi lokatif
akan memberikan informasi yang jelas tentang tempat dilakukannya suatu
kegiatan. Penerjemahan frase preposisi lokatif dapat dilakukan berdasarkan
prosedur proses penerjemahan. Struktur frase preposisi lokatif dapat bervariasi
sehingga penting untuk dibahas mengenai bentuk sintaksis frase preposisi lokatif
tersebut.
Kata kunci: Penerjemahan, analisis sintaksis, frase preposisi lokatif


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

15

INTRODUCTION
Every language in the world has its own grammatical construction which
is difference each other both in lexical and syntactical forms of the way it is
expressed. No two languages are ever sufficiently similar to be considered as
representing the same social reality or even about culture. This is also applied to
Indonesian and English which have different characteristics in the grammatical
construction. English as the international language becomes the most important
language in the world. Therefore, translation has an important part in transferring
the message from Indonesian into English or vice versa. Bell (1991: 7) states that
translation is transferring the message of the source language into the target
language in various ways as long as the original meaning can be conveyed to the
reader.
In fact, translation faces many problems because of the influencing of the
culture and the context of situation to the language structure. Translating a
language does not enough only knowing the sound and the meaning of words but
it is more deeply knowing the surface and the deep structure of the language
influenced by the context of the situation. Translation involves a board studies
such as linguistic and cultural studies. Translation can be defined as a process of
transforming a piece of linguistic work into another language. Therefore, it is
important for translators to consider a detailed understanding of the surface
structure of language.
Discussing the surface structure of language refers to the actual words,
phrases, clauses, sentences, paragraphs constructed the text either written or
spoken. Phrases as part of language structure is necessary to be analyzed to
consider a detailed understanding of their functions in the sentence especially in
the process of translation of English text into Indonesian. One of the important
phrases in English is prepositional phrase, which is translated into Indonesian
especially locative prepositional phrase. The study of locative prepositional phrase
will support translators to give a clear description of the activities done in a place.
This study analyzes about the syntactical and lexical forms of the English locative
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

16

prepositional phrases and its equivalent in Indonesian. Besides, this study also
discusses about the procedures used by the translator in translating the English
locative prepositional phrase into Indonesian. The data are taken from the
translation book entitled The Voyagers in English version and its translation
into Indonesian Sebuah Sandiwara: Para penjelajah.
THEORITICAL FRAMEWORK
THEORY OF TRANSLATION
Catford (1964: 20) states that translation is the replacement of representation of
text in one language by a representation of equivalence text in a second language.
Meanwhile, Larson (1998) states that translation is a process of transferring the
meaning of the source language into the receptor language in the form of the
surface structure of a language. Translation is concerned with a study of the
lexicon, grammatical structure, communication situation and cultural context of
the source language text in order to determine its meaning. He divides translation
into two types. The first one is form-based translation and the second one is
meaning-based translation. Form-based translation is a form of translation that is
mainly according to the form of the source language and it is commonly known as
literal translation. This type of translation is very useful for the study of the source
language. But, on the other hand, it is not so helpful for the speakers of the
receptor language. It has a little value of communication in term of transforming
from one language into another. Meanwhile, meaning-based translation is a type
of translation that attempts to make every effort to transform the meaning of the
source language text in the natural forms of the receptor language and it is usually
called as idiomatic translation.
Vinay and Darbelnet (in Venuti, 2000: 84-93) proposed seven procedures
of establishing equivalence. They are:


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

17

a. Borrowing
Borrowing is the translation method which uses foreign terms in
translating a term from the source language into the target language, to
overcome a gap in term of meaning. This procedure means that one
language borrows an expression form from another language.
b. Calque
Calque is a special kind of borrowing whereby a language borrows an
expression form of another and then the form is translated literary in terms
each of its elements.
c. Transposition
Transposition is a translation process which involves replacing one word
class with another without changing the meaning of the message. The
transposition can also be applied in a language form. There are two types
of transposition; they are obligatory transposition and optional
transposition. Obligatory transposition is applied when the target language
has no different choices due to the language concepts, while optional
transposition is applied when there is an opportunity to choose different
language forms to make the product of translation sound more stylistic and
understandable.
d. Literal Translation
Literal translation is also known word-for-word translation. It is direct
transfer of a source language (SL) text grammatically and idiomatically
appropriate in the target language (TL) text.
e. Modulation
Modulation is a translation process in which there is a variation of form of
the message. The variation is obtained by a change in the point of view.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

18

f. Equivalence
Equivalence is applied when there are two text which have the same
situation but those texts are using completely different stylistic and
structural methods.
g. Adaptation
Adaptation is a translation process which is adapted if there is situation
being referred to by the source language (SL) message but is unknown in
the target language (TL) culture.
Nida (1975:27) argues that there are three conditions that can be used as
basic principles of translation, they are the loss of information, the addition of
information and the skewing of information.
a. Loss of information
In the translation process, the translation of items from the source
language does not explain the whole information into the target language
or is not translated and transferred into the target language.
b. Gain of information
The translation of items from the source language into target language is
with addition of extra information
c. Skewing of information
The translation of items from the source language is not the exact
equivalent which means it is skewed in the target language.
THEORY OF SYNTAX
Syntactic rules determine the correct order of words in a sentence.
Sentences are more than words placed on after another like beads on a string. The
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

19

words of a sentence can be divided into subgroups and so on, until only single
word remains.
A sentence has a subject and a predicate, and the syntactic rule determine
the linear order of words and their hierarchical structure, that is, how the words
are grouped into structural constituents.
THE PHRASE
Words tend to cluster and function as a unit. Cluster of words which do
not form sentences are called phrases. A phrase is a unit potentially composed of
two or more words; but which does not have the prepositional characteristic of a
sentence. Phrases typically, but not always, function as elements of sentences.
Phrases are characterized as having a head word and various modifiers indicating
quality, quantity, possessor, augmentation, negation, etc. Several kinds of phrases
are:
1. Noun phrases:
a. A determiner (a, an, the) and one or two descriptive adjectives
modifying a noun: the girl, a beautiful girl.
b. A possessor, either a possessive pronoun or possessive phrase
modifying a noun: his book, the dolls dress.
2. Adjective phrase consists of an adjective modified by an adverb: very
small.
3. Adverb phrase consists of an adjective modified by very: very high.
4. Verb phrase consists of one or more auxiliary verb plus the main verb;
is flying, have been doing.
5. Prepositional phrase constructed by a preposition with a modifier of
noun phrase; in the morning, to the park.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

20

The possible modifications found in noun phrase can be in form of qualifiers,
descriptive, quantifiers, possessors, determiners, demonstratives.
PREPOSITIONAL PHRASE
Prepositional phrase consists of a preposition followed by a prepositional
complement, which is characteristically a noun phrase or a Wh-clause or V-ing
clause (Quirk,et al., 1985:657). For example: in the market, at the bus stop, on the
book, from what the lecture said, by completing the thesis. Sneddon (1996:189-
194) categorized the preposition into:
a. Locative preposition indicates position and direction, they are in, at, on
(di) that indicate the action occurs in the place, to (ke) indicates
movement toward, and from (dari) indicates movement away.
b. Apart from locative preposition, there are many other prepositions, they
are; for (untuk, bagi, guna, buat), with (dengan), about/ concerning
(tentang, mengenai), by (oleh), until (sampai), like (seperti), without
(tanpa), towards (terhadap), together with (beserta), after (sesudah,
setelah, sehabis), before (sebelum), during (selama), and between
(antara).
LOCATIVE PREPOSITIONAL PHRASE
Sneddon (1996) states that locative prepositional phrase indicates position
and direction. The preposition shows that the action occurs in the place indicated
by the following noun or noun phrase. In Indonesian, the three locative
prepositions (at, in and on) which can be translated into Indonesian as di or
sometimes pada; can also combined with a set of locative noun which indicate
location in relation to the following noun. These locative noun include; atas (top/
above); dalam (inside); depan (front), bawah (beneath), samping (side), etc. For
example: di atas meja (on a table), di depan rumah (in front of the house).

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

21

DATA ANALYSIS
Locative prepositional phrases usually contain a preposition followed by
noun or noun phrase. Locative preposition indicates position and direction, they
are in, at, on that indicate the action occurs in the place, to indicates
movement toward, and from indicates movement away.
a. PP with preposition from
Source Language Text Target Language Text
From a garden of flowers it had become
a jungle of thorns.
Dari sebuah taman bunga, tempat ini
berubah menjadi hutan berduri.


The locative prepositional phrase in source language text is from a garden
of flowers which has the constitution of preposition (from) + noun phrase (a
garden of flowers). In Target Language Text, the equivalent of locative
prepositional phrase is dari sebuah taman bunga which contains preposition
(dari) + noun phrase (sebuah taman bunga). Those locative prepositional phrases
have the same construction whether in the source language or the target language,
which consist of a preposition followed by a noun phrase. However, they are
different in the constitution of noun phrase. It can be syntactically depicted as
follow.







From a garden of flowers
PP1

P NP1
from
D NP2
a
N1 PP2
garden

P N2
of flowers
Dari sebuah taman bunga
PP

P NP1
dari
D NP2
sebuah
N1 N2
taman bunga

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

22

The tree diagram shows that the preposition from is translated literally
into dari indicating movement away. The noun phrase in English prepositional
phrase consists of article (a) + noun (garden) + prepositional phrase which
contains preposition (of) + noun (flowers). While the noun phrase in the target
language consists of article (sebuah) + noun (taman) + noun (bunga). It is clearly
seen that there is loss of information in the translation of noun phrase. The
information of preposition of in the noun phrase of source language is lost in the
target language. This is caused by the changing of grammatical construction of the
source language into target language.
b. PP with preposition to
Source Language Text Target Language Text
He could travel instantaneously to any
part of the remotest space, or even
beyond.
Ia sanggup berpergian setiap saat
dengan cepat sekali ke tempat yang
paling jauh sekalipun.

The locative prepositional phrase in source language text is to any part of
the remotest space which has the constitution of preposition (to) + noun phrase
(any part of the remotest space). In target language text, the equivalent of locative
prepositional phrase is ke tempat yang paling jauh which contains preposition
(ke) + noun phrase (tempat yang paling jauh). Those locative prepositional
phrases consist of a preposition followed by a noun phrase. However, they have
different constitution in the noun phrase. It can be seen in the tree diagram below.






ke tempat yang paling jauh
PP

P NP
ke
N AdjP1
tempat
D AdjP2
yang

paling jauh






to any part of the remotest space
PP1

P NP1
to
D NP2
any
N PP2
part
P NP3
of
the remotest space


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

23

It is clearly seen that the translation procedures used in the translation
process are literal translation and loss of information. The tree diagram shows that
the preposition to is translated literally into ke indicating movement toward.
Loss of information is clearly seen on the translation of noun phrase any part of
the remotest space, which is translated into tempat yang paling jauh. The noun
phrase in source language consists of article (any) + noun (part) + prepositional
phrase which contains preposition (of) + noun phrase (the remotest space). While
the noun phrase in the target language consists of noun (tempat) + adjective
phrase (yang paling jauh). It is clearly seen that there is loss of information in the
translation of noun phrase. The information of noun phrase any part, preposition
of are lost in the target language. This is caused by the changing of grammatical
construction of the source language into target language.
Source Language Text Target Language Text
In fact, his only aim was to see that the
universe kept functioning peacefully,
and whenever it got out of order he
would act quickly to restore it to its
original condition.

Bilamana ada suatu kerusakan, ia cepat
bertindak untuk mengembalikannya
seperti semula.

The locative prepositional phrase in source language text is to its original
condition which has the constitution of preposition (to) + noun phrase (its
original condition). In target language text, the locative prepositional phrase is
translated into seperti semula which contains adverbial (seperti) + adverbial
(semula). The locative prepositional phrases of source language text consist of a
preposition followed by a noun phrase. However, it is translated into adverbial
phrase. It can be seen clearly in the tree diagram below.



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

24






The tree diagram shows that the procedure used in the translation process
is transposition since the prepositional phrase to its original condition is translated
into adverbial phrase seperti semula. This procedure is used in this translation
process to make the product of translation sound more stylistic and understanable.
c. PP with preposition in
Source Language Text Target Language Text
These beings who were called Sha
Ligraams, lived immersed in an ocean
of golden red illumination, they swam
in this light, like fish in a sea of silence.
Mereka, disebut Sha Ligraam, dan
hidup dalam samudera cahaya ini
seperti ikan ikan di dalam laut yang
tenang.


There are two locative prepositional phrases in the example above. The
locative prepositional phrase in source language text are in an ocean of golden
red illumination which has the constitution of preposition (in) + noun phrase (an
ocean of golden red illumination) and in a sea of silence which consists of
preposition (in) + noun phrase (a sea of silence). In target language text, the
equivalent of locative prepositional phrases are dalam samudera cahaya ini
which contains preposition (dalam) + noun phrase (samudera cahaya ini) and di
dalam laut yang tenang which contains preposition (di) + noun phrase (dalam laut
yang tenang). Those locative prepositional phrases consist of a preposition
followed by a noun phrase. However, they have different constitution in the noun
phrase. It can be syntactically depicted as follow.
to its original condition
PP

P NP1
to
Pro NP2
its
Adj N
original condition
seperti semula
AdvP

Adv Adv
seperti semula
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

25














It is clearly seen that the translation procedures used in the translation
process are literal translation, loss of information and gain of information. The
first tree diagram shows that the preposition in is translated literally into dalam
indicating action occurs in the place. Loss of information is clearly seen on the
translation of noun phrase an ocean of golden red illumination, which is translated
into samudera cahaya ini. The noun phrase in source language consists of article
(an) + noun (ocean) + prepositional phrase which contains preposition (of) + noun
phrase (golden red illumination). While the noun phrase in the target language
consists of noun (samudera) + noun (cahaya) + article (ini). It is clearly seen that
there is loss of information in the translation of noun phrase. The information of
article an and preposition of are lost in the target language. Besides loss of
information, there is also gain of information of the article ini in the target
in a sea of silence
PP

P NP1
in
D NP2
a
N PP
sea
P N
of silence

di dalam laut yang tenang
PP

P NP1
di
N1 NP2
dalam
N2 AdjP
laut
D Adj
yang tenang


dalam samudera cahaya ini
PP

P NP1
dalam
N1 NP2
samudera
N2 D
cahaya ini
in an ocean of golden red illumination
PP1

P NP1
in
D NP2
an
N PP2
ocean
P NP3
of
golden red illumination


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

26

language. Literal procedure is also used in the translation of the noun phrase
golden red illumination which is idiomatically translated into cahaya. The second
tree diagram shows that the preposition in is translated into di indicating action
occurs in the place. Loss of information occurs in the article a which is left
translated in the target language. Gain of information can be seen in the
preposition di which is added by noun dalam. This is caused by the changing of
grammatical construction of the source language into target language.
d. PP with preposition at
Source Language Text Target Language Text
And in the very center, at the top of the
whole population of Sha Ligraams
there dwelt the most incredibly
powerful and beautiful being of all.
Di titik pusat, berdiri di puncak dari
seluruh umat Sha Ligraam Sha
Ligraam ini berdiamlah setitik cahaya
yang paling cemerlang diantara seluruh
cahaya lainnya yang ada.

The locative prepositional phrase in source language text is at the top of
the whole population of Sha Ligraams which has the constitution of preposition
(at) + noun phrase (the top of the whole population of Sha Ligraams). In target
language text, the locative prepositional phrase is translated into di puncak dari
seluruh umat Sha Ligraam which contains preposition (di) + noun phrase
(puncak dari seluruh umat Sha Ligraam). Those locative prepositional phrases of
source language text and target language text consist of a preposition followed by
a noun phrase. It can be syntactically depicted as follow.






Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

27

















The procedures used in the translation process of this sentence are literal
translation, and loss of information. The tree diagram shows that the preposition
at is translated literally into di indicating action occurs in the place. The noun
phrase in English prepositional phrase consists of article (the) + noun (top) +
preposition (of) + article (the) + adjective (whole) + noun (population) +
preposition (of) + noun (Sha Ligraams). While the noun phrase in the target
language consists of noun (puncak) + preposition (dari) + article numeral
di puncak dari seluruh umat Sha Ligraam
PP

P NP
di
N PP
puncak
P NP
dari
D NP
seluruh
N N
umat Sha Ligraams
at the top of the whole population of Sha Ligraams
PP1

P NP1
at
D NP2
the
N PP2
top
P NP3
of
D NP
the
Adj NP
whole
N PP
population
P N
of Sha Ligraams



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

28

(seluruh) + noun (umat) + noun (Sha Ligraam). Loss of information can be seen
in the translation of noun phrase the whole population of Sha Ligraams in which
the article the and preposition of are lost in the target language. This is caused by
the changing of grammatical construction of the source language into target
language.
e. PP with preposition on
Source Language Text Target Language Text
There, on the surface of the planet, he
saw two Sha Ligraams shining up at
him.
Nun disana, di atas permukaan planet,
ia melihat dua Sha Ligraam yang
bersinar ke arahnya.

The locative prepositional phrase in source language text is on the surface
of the planet which has the constitution of preposition (on) + noun phrase (the
surface of the planet). In target language text, the locative prepositional phrase is
translated into di atas permukaan planet which contains preposition (di) + noun
phrase (atas permukaan planet). Those locative prepositional phrases of source
language text and target language text consist of a preposition followed by a noun
phrase. It can be seen in the tree diagram below.









on the surface of the planet
PP

P NP
on
D NP
the
N PP
surface
P NP
of
D N
the planet


di atas permukaan planet
PP

P NP1
di

N1 NP2
atas

N2 N3
permukaan planet



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

29

The procedures used in the translation process of this sentence are literal
translation, loss and gain of information. The tree diagram shows that the
preposition on is translated literally into di indicating action occurs in the place.
The noun phrase in English prepositional phrase consists of article (the) + noun
(surface) + preposition (of) + article (the) + noun (planet). The noun phrase in the
target language consists of noun (atas) + noun (permukaan) + noun (planet). Loss
of information can be seen in the translation of noun phrase the surface of the
planet into atas permukaan planet in which article the and preposition of are lost
in the target language. Gain of information can be seen in the use of noun atas in
the target language.
f. PP with preposition into
Source Language Text Target Language Text
When one of the body-suits which they
wore began to lose its functionality,
usually after a hundred and fifty years
or so, the Sha Ligraam inhabiting it
would sit down with it quite calmly and
would quickly jump through power of
thought into a newly made body into
another vehicle.
Jika satu dari pakaian yang mereka
pakai mulai kehilangan fungsinya,
biasanya setelah kira-kira seratus
limapuluh tahun, Sha Ligraam yang
berdiam di dalamnya akan duduk
tenang dan dengan kekuatan batinnya
segera meloncat ke dalam badan baru
ke dalam kereta yang lainnya.

The first locative prepositional phrase in source language text is into a
newly made body which constitute of preposition (into) + noun phrase (a newly
made body). In target language text, the locative prepositional phrase is translated
into ke dalam badan baru which contains preposition (ke dalam) + noun phrase
(badan baru). The second locative prepositional phrase is into another vehicle
which has constitution of preposition (into) + noun phrase (another vehicle). In
traget language text, it is translated into ke dalam kereta yang lainnya which
consists of preposition (ke dalam) + noun phrase (kereta yang lainnya). Those
locative prepositional phrases of source language text and target language text
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

30

consist of a preposition followed by a noun phrase. It can be syntactically depicted
as follow.











It is clearly seen that the translation procedures used in the translation
process are literal translation, loss of information and gain of information. The
first tree diagram shows that the preposition into is translated literally into ke
dalam indicating movement toward. Loss of information is clearly seen on the
translation of noun phrase a newly made body, which is translated into badan baru
and noun phrase another vehicle which is translated into kereta yang lainnya. The
noun phrase of the first prepositional phrase in source language consists of article
(a) + adverbial (newly) + adjective (made) + noun (body). Its translation into
Indonesian consists of noun (badan) + adjective (baru). Meanwhile, the noun
phrase of the second prepositional phrase in source language consists of article
(another) + noun (vehicle). Its translation into Indonesian consists of noun (kereta)
+ article (yang) + noun (lainnya). It is clearly seen that there is loss of information
into a newly made body
PP

P NP
into
D NP
a
Adv NP
newly
Adj N
made body
ke dalam badan baru
PP

P NP
ke dalam

N Adj
badan baru
into another vehicle
PP

P NP
into

D N
another vehicle
ke dalam kereta yang lainnya
PP

P NP
ke dalam
N AdjP
kereta
D Adj
yang lainnya

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

31

in the translation of noun phrase. The information of article a and adjective made
are lost in the target language of the first prepositional phrase. Besides loss of
information, there is also gain of information in the second prepositional phrase,
such as the article yang in the target language. This is caused by the changing of
grammatical construction of the source language into target language.
CONCLUSION
Based on the study above, we can see that the translator may use more
than one procedure in translating English locative prepositional phrase into
Indonesian. The locative prepositional phrase usually constructed by preposition
and followed by noun phrase. Between source language and target language, there
usually occurs different in the noun phrase elements.
REFERENCES
Bell, R.T. 1991. Translation and Translating Theory and Practice. London:
Longman Inc.
Catford, J.C. 1964. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford
University Press.
Larson, M. 1998. Meaning-Based Translation. Boston: University Press of
America, Inc.
Nida, E.A. 1975. Language Structure and Translation. California: Stanford
University Press.
Prakash, Surya (ed.). 1981. The Voyagers. West Germany: Spiritual University
Press.
Prakash, Surya (ed.). 1996. Sebuah Sandiwara: Para Penjelajah. Jakarta: Brahma
Kumaris.
Quirk, et al. 1985. A comprehensive Grammar of the English Language. New
York: Longman Group, Ltd.
Radford, A. 1988. Transformational Grammar. Cambridge: Cambridge
University Press.
Sneddon, J.M. 1996. Indonesian Reference Grammar. Brisbane: Griffith
University.
Venuti, L. 2000. The Translation Studies Reader. London: Routledge.



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
32

ANALISIS STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2013
TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DI TINJAU DARI CIPP
(Contexs, I nput, Process, Product)
Oleh
Luh De Liska, S.Pd., M.Pd.
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis pelaksanaan standar
pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 2013 di tinjau dari CIPP (Contexs, Input, Process, Product). Penilaian
terhadap output dan outcome. Penilaian hasil belajar masih terbatas pada output
pembelajaran, belum menjangkau outcome dari program pembelajaran. Output
pembelajaran yang dinilai aspek kognitif dan aspek afektif.Model CIPP
berorientasi pada suatu keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko
Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa, the CIPP approach is based on the
view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.
Pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi
untuk memperbaiki.komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context,
input, process, product.

Kata Kunci : standar pendidikan dan tenaga kependidikan, CIPP (context, input,
process, product.

Abstract
This study aimed at determining the analysis of the implementation of the
standards of teachers and educational personnel based on Government
Regulation No. 32 Year 2013 based on the review of the CIPP (Context, Input,
Process, Product). Assessment of outputs and outcomes. Assessment of learning
outcomes is still limited to the output of learning, not reaching the learning
outcomes of the program yet. Output learning assessed was also still focused on
cognitive aspects, whereas affective aspects have received less attention. CIPP
model was oriented at a decision. According to Stufflebeam, (1993: 118) in
EkoPutroWidoyoko revealed that, "The CIPP approach is based on the view that
the most important purpose of evaluation is not to PROVE but improve." The
concept offered by Stufflebeam with the view that an important purpose of
evaluation is not to prove, but to improve.

Keywords: standard of education and education personnel, CIPP (context, input,
process, product)

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
33

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan nasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini diperkuat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga Negara
Indonesia berhak memperoleh pengajaran (pendidikan).Ini mengandung arti
bahwa negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi
pendidikan setiap warga negaranya guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa.Pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan,
pendidikan berjalan baik apabila pendidikan mampu berperan secara sebagaimana
mestinya, konteksual dan dengan baik dalam menjawab sekaligus memenuhi
kebutuhan masyarakat serta tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Untuk
mencapai hal tersebut, maka diperlukan suatu sistem atau perangkat pendidikan.
Penilaian terhadap hasil belajar selama ini pada umumnya juga terbatas
padaoutput, sedangkan outcome jarang tersentuh kegiatan penilaian.Keberhasilan
program pembelajaran seringkali hanya diukur dari penilaianhasil belajar siswa,
sedangkan bagaimana kualitas proses pembelajaran yangtelah berjalan kurang
mendapat perhatian. Penilaian hasil belajar masihterbatas pada output
pembelajaran, belum menjangkau outcome dariprogram pembelajaran. Output
pembelajaran yang dinilai juga masihterfokus pada aspek kognitif, sedangkan
aspek afektif kurang mendapatperhatian. Istilah lain, penilaian hasil pembelajaran
selama ini hanyaberfokus pada hard skill atau academic skill, kurang
memperhatikanpenilaian personal skil dan social skill.
Pelaksanaan proses belajar mengajar, merupakan kejadian atauperistiwa
interaksi antara pendidik dan peserta didik yang diharapkanmenghasilkan
perubahan pada peserta didik, dari belum mampu menjadimampu, dari belum
terdidik menjadi terdidik, dari belum kompeten menjadikompeten. Inti dari proses
belajar mengajar adalah efektivitasnya. Tingkatefektivitas pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh perilaku pendidik danperilaku peserta didik. Perilaku pendidik
yang efektif, antara lainmengajarnya jelas, menggunakan variasi metode
pembelajaran,menggunakan variasi media atau alat peraga pendidikan,
antusiasme, memberdayakan peserta didik, menggunakan konteks sebagai
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
34

saranapembelajaran (contextual-teaching and learning), menggunakan
jenispertanyaan yang membangkitkan, dan lain sebagainya. Sedang
perilakupeserta didik, antara lain motivasi atau semangat belajar,
keseriusan,perhatian, karajinan, kedisiplinan, keingintahuan, pencatatan,
pertanyaan, senang melakukan latihan soal, dan sikap belajar yang positif.

2. LANDASAN TEORI
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented
evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu
administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut
Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa,
the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of
evaluation is not to prove but improve. Konsep tersebut ditawarkan oleh
Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan
membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.Berikut ini akan di bahas komponen atau
dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product.
2.1.Context Evaluation (Evaluasi Konteks)
Stufflebeam (1983 : 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi
konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang
dimilki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan
dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safrudin menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk
menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi,
populasi
dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
2.2. I nputEvaluation (Evaluasi Masukan)
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
35

Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan.
Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana
dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia,
2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai
prosedur dan aturan yang diperlukan.
2.3.ProcessEvaluation (Evaluasi Proses)
Worthen & Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan bahwa,
evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : 1) do detect or predict in
procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to
provide information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the
procedure as it occurs . Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau
memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap
implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai
rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi
data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan
program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana
rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan
menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada
apa (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, siapa (who) orang yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab program, kapan (when) kegiatan akan
selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh
kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan
rencana.
2.4.ProductEvaluation (Evaluasi Produk/Hasil)
Sax (1980 : 598) dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi
produk/hasil adalah to allow to project director (or techer) to make decision of
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
36

program . Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek
atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir,
maupun modifikasi program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (2000
:14) dalam Eko Putro Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu
membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun
apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.
3. PEMBAHASAN
3.1 Standar Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Di Tinjau Dari CIPP(Contexs, I nput,
Process, Product)
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.Berdasarkan konsideran dalam peraturan ini, perubahan peraturan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu diselaraskan dengan dinamika
perkembangan masyarakat, lokal, nasional, dan global guna mewujudkan fungsi
dan tujuan pendidikan nasional, serta perlunya komitmen nasional untuk
meningkatkan mutu dan daya saing bangsa. Setelah mencermati isi PP No. 32
Tahun 2013 ini, melihat perubahan-perubahan yang dilakukan tampaknya lebih
cenderung berkaitan dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan kurikulum dan
key area pembelajaran (standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
dan standar penilaian). Beberapa pasal dalam PP No. 19 tahun 2005 yang dihapus
pun tampak lebih menggambarkan konsekuensi dari isi pasal-pasal. Sementara
untuk pasal yang berkaitan dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan secara
esensial tampaknya tidak banyak perubahan yang signifikan.
Dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2013, bahwa Standar Pendidik
dan Tenaga Kependidikan adalah kriteria mengenai pendidikan prajabatan dan
kelayakan maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pemaparan ringkas
mengenai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Pendidik harus memiliki
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
37

kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkantujuan pendidikan
nasional.Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud adalah tingkat pendidikan
minimal yang harus dipenuhi olehseorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah
dan/atausertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan
perundangundanganyang berlaku.Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjangpendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usiadini
meliputi:Kompetensi pedagogik ;Kompetensi kepribadian;Kompetensi
profesional; danKompetensi sosial.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses
yangdilaksanakan secara dinamis dan berkesinambungan dalam
rangkameningkatkan kualitas pendidikan dan berbagai faktor yang
berkaitandengannya, dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara efektif
danefisien. Sistem pembelajaran sebagai bagian integral dari sistem
kegiatanpendidikan, merupakan fenomena yang harus diperbaiki dan
dikembangkanoleh pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan. Hal ini
menyangkutkurikulum, metode, media pengajaran, materi pengajaran, kualitas
pengajar,evaluasi pembelajaran, dan lain sebagainya sehingga tercipta sistem
pengajaran yang baik dan berorientasi ke masa depan.
Secara visual, sekolah sebagai sistem dapat digambarkan, Jika kita ingin
menganalisis, kita mulai dari outcome, output, proses, input, dan berakhir pada
konteks. Sebaiknya, jika kita ingin melakukan langkah pemecahan persoalan atau
menyiapkan, maka arahnya terbalik, yaitu dimulai dari konteks, input, proses,
output, dan berakhir pada outcome (cara berpikir sistem yang runtut), Kualitas dan
Inovasi, Efektifitas, Produktifitas, Efisiensi Internal, Efisiensi Eksternal. Evaluasi
menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, Product) yang dikembangkan
oleh Daniel Stufflebeam, adalah sebagai berikut : (1) konteks pendidikan, (2)
Input Pendidikan, (3) proses pendidikan, (4) produk pendidikan, (5) outcome
pendidikan.
3.2 Konteks Pendidikan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
38

Berkaitan dengan meningkatnya persaingan dalam bidang pendidikan,
terjadi pula perubahan pada perilaku konsumen, dalam hal ini yang dimaksud
adalah masyarakat (orangtua dan siswa), maupun dunia usaha.Karena banyaknya
pilihan, konsumen kini menjadi semakin banyak tuntutan, baik mengenai kualitas
lulusan dan biaya pendidikan maupun fasilitas pendidikan.Dalam situasi
lingkungan yang penuh dengan dinamika ini, manajemen pendidikan harus dapat
menciptakan organisasi yang mampu memberikan pelayanan yang memuaskan
kepada dan masyarakat pada umumnya dan objek pendidikan (Siswa dan
orangtua) khususnya.Saat yang bersamaan dapat pula bersaing secara efektif
dalam konteks lokal, nasional bahkan dalam konteks global. Dengan kata lain
dunia pendidikan kini dituntut untuk mengembangkan manajemen strategi dan
operasi yang pada dasarnya banyak diterapkan dalam dunia usaha, sebagai
langkah antisipatif terhadap kecenderungan baru guna mencapai dan
mempertahankan posisi bersaingnya, sehingga nantinya dapat menghasilkan
manusia yang memiliki sumber daya manusia berkualitas yang sesuai dengan
kebutuhan zaman, maka konteksnya harus sesuai dengan tuntutan pengembangan
diri dan peluang tamatan, dukungan pemerintah dan masyarakat, landasan hukum,
tanggap terhadap kemajuan IPTEKS, kebijakan, nilai dan harapan masyarakat,
otonomi pendidikan, dan tuntutan globalisasi.
3.3 Input Pendidikan
Tahap berikutnya, yakni Input Pendidikan yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Mutu yang jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan
kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu.
b. Sumberdaya Tersedia dan siap sumberdaya merupakan input penting yang
diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa
sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak
berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak
akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
39

sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang peralatan,
perlengkapan, bahan) sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti
apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan
sumberdaya manusia. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk
menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap.
Hal ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi
sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya
yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah
yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi. Staf merupakan jiwa
sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu
(kompoten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya
jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya tinggi, maka
kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan
keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang tinggi.Sekolah yang mempunyai
dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta
didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi
yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru
memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat
mencapai tingkat yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan
sumberdaya pendidikan yang ada disekolah. Sedang peserta didik juga
mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi
sesuai dengan bakat dan kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga
unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah
selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
e. Fokus pada Pelanggan (khususnya Siswa). Pelanggan, terutama siswa,
harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input
dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk
meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini
semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
40

benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan
dari siswa.
f. Input manajement sekolah yang memiliki input manajemen yang memadai
untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan
mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen.
Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala
sekolah mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang
dimaksud meliputi; tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis,
program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan
(aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk
bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien
untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. Dapat
di simpulkan bahwa Input Pendidikan adalah segala sesuatu yang harus
tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang
dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan
sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses, misalnya ketenagaan,
kurikulum, peserta didik, biaya, organisasi, administrasi, peranserta
masyarakat, kultur sekolah dan sub komponen, regulasi, sarana dan
prasarana.
3.4 Proses Pendidikan
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik
proses antara lain :
a. Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi. Sekolah yang
memiliki efektivitas proses belajar mengajar yang tinggi. Ini ditujukkan
oleh sifat proses belajar mengajar yang menekankan pada pemberdayaan
peserta didik, proses belajar mengajar bukan sekadar memorisasi dan
recall, penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logis), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang
apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
41

dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh
peserta didik (pathos).
b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat. Kepemimpinan Kepala Sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program
yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala
sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan
yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif atau
prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah
tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah,
terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib. Sekolah memiliki lingkungan
(iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar
mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena
itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman,
nyaman tertib melalui (pengupayaan faktor-faktor yang dapat
menumbuhkan iklim sekolah. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah
sangat penting sekali.
d. Pegelolaan Tenaga Kependidikan Yang Efektif. Tenaga kependidikan,
terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan
wadah. Sekolah yang menyadari tentang hal ini. Pengelolaan tenaga
kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan,
evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa,
merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
e. Sekolah Memiliki Budaya Mutu. Budaya mutu tertanam di sanubari semua
warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh
profesionalisme.
f. Sekolah Memiliki Teamwork Yang Kompak, Cerdas, Dan Dinamis.
Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang dituntut, karena
output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil
individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
42

individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari
warga sekolah.
g. Sekolah memiliki Kewenangan (kemandirian). Sekolah memiliki
kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga
dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak
selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah
harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h. Partisipasi Yang Tinggi Dari Warga Dan Masyarakat. Sekolah yang
memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat
merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa
makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-
memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa
tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
i. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen. Keterbukaan
atau transparansi dalam pengelolan sekolah merupakan karakteristik
sekolah yang ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol.
j. Sekolah Memiliki Kemauan Untuk Berubah (psikologis dan pisik).
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua
warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu
saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik
maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya
diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu
peserta didik.
k. Sekolah Melakukan Evaluasi Dan Perbaikan Secara
Berkelanjutan.Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar, untuk
memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah.
Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka
meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
43

dan secara terus-menerus merupakan kebiasan warga sekolah. Tiada hari
tanpa perbaikan.
l. Sekolah Responsif Dan Antisipatif Terhadap Kebutuhan. Sekolah selalu
tanggap /responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi
peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan
menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya
mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput
bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Memiliki Komunikasi Yang Baik. Sekolah yang efektif umumnya
memiliki komunikasi yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga
sekolah-masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka
keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai
tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu komunikasi yang
baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas,
sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh
warga sekolah.
n. Sekolah Memiliki Akuntabilitas. Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung
jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program
yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang
dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan
masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat
menilai apakah program telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau
tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan
kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong
untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang.
Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu
memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap
tidak memenuhi syarat.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
44

o. Sekolah Memiliki Kemampuan Manajemen Sustainabilitas. Sekolah yang
efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya
(sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya.
Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program yang
telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-
program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas
pendanan dapat ditunjukan oleh kemampuan sekolah dalam
mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar
jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari
masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari
pemerintah.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses
disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam
pendidikan (tingkat sekolah) proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat
kepentingan tinggi dibandingkan dengan proses-proses yang lain.
3.5 Produk Pendidikan
Output merupakan kinerja sekolah.Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah
yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah.Kinerja sekolah dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas
kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu
output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa,
menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai
Ujian Semester, Ujian Nasional, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi
non-akademik, seperti misalnya, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian,
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
45

keterampilan, dan kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi
oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pada umumnya, output dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic,
achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (non-academic
achivement).Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja,
lomba mata pelajaran, cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional,
induktif, dedukatif, dan ilmiah).Output non-akademik, misalnya keingintahuan
yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang
tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan, kerajinan
prestasi oleh raga, kesenian, dan kepramukaan.
3.6 OutcomePendidikan
Hasil jangka panjang merupakan dampak jangka panjang terhadap
individu, sosial, sikap, kinerja, semangat, sistem, penghasilan, pengembangan
karir, kesempatan pendidikan, kerja, pengembangan dari lulusan untuk
berkembang, dan mutu pada umumnya. Manajemen sekolah berada pada seluruh
komponen sekolah sebagai sistem, yaitu pada konteks, input, proses, output,
outcome, dan dampak karena manajemen berurusan dengan sistem, mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian hingga sampai
pengontrolan/ pengevaluasian. Kepemimpinan berada pada komponen manusia,
baik pendidik dan tenaga kependidikan, maupun pada peserta didik, karena
kepemimpinan berurusan dengan banyak orang.
4. PENUTUP
Salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah
melalui program pembelajaran, dan evaluasi merupakan salah satu faktor penting
program pembelajaran.Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut,
pelaksanaan evaluasi harus menjadi bagian penting dan dilaksanakan secara
berkesinambungan.Di samping evaluasi berguna bagi pimpimam sekolah sebagai
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
46

upaya untuk memotret sistem pendidikan yang menjadi tanggungjawabnya,
evaluasi juga dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa untuk belajar lebih
giat lagi, dan juga untuk mendorong guru agar lebih meningkatkan kinerja dalam
berkarya sebagai pendidik profesional. Dengan demikian, evaluasi tidak hanya
terfokus pada penilaian hasil belajar semata, melainkan pula perlu didasarkan
pada penilaian terhadap input maupun proses pembelajaran itu sendiri. Manfaat
utama dari pelaksanaan evaluasi pendidikan adalah meningkatkan kualitas
pembelajaran. Kualitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor, seperti: guru,
siswa, pengelola sekolah (Kepala Sekolah, karyawan dan Dewan/Komite
Sekolah), lingkungan (orangtua, masyarakat, sekolah), kualitas pembelajaran, dan
kurikulum. Usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui
peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Meningkatnya
kualitas pembelajaran yang dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan akan
mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Usaha peningkatan kualitas
pendidikan akan berlangsung dengan baik manakala didukung oleh kompetensi
dan kemauan para pengelola pendidikan untuk melakukan perbaikan secara terus-
menerus menuju kearah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009).

Stufflebeam, D.L.H Mckee dan B. Mckee. 2003. The CIPP Model for Evaluation.
Paper presented at the 2003 Annual Conference of the Oregon
Program Evaluation Network (OPEN ). Portland, Oregon.
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan :Pedoman
Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan
ketiga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009).
Tayibnapis, F.Y. 2000.Evaluasi Program. Rineka Cipta. Jakarta
Peraturan PemerintahRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005.Standar
Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
47

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan.

Worthen dan Sanders ( 1979 : 129 ) Dalam Blog Djumaidi Lababa
Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran :Prinsip, Teknik, dan Prosedur, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2009).
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
48

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
PADA BALITA HASIL DARI PERNIKAHAN CROSS MARRI AGE
JERMAN-INDONESIA USIA 2, 5 TAHUN
oleh
Ni Komang Purwaningsih, S.S.
STIKES Bina Usada Bali
Email: purwacham89@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemerolehan bahasa kedua pada balita
usia 2,5 tahun dengan menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas (pemerolehan
bahasa kedua) serta variabel terikat (efektivitas berbahasa, yaitu seberapa besar balita
tersebut dapat menghasilkan kata-kata dalam bahasa keduanya). Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dimana data dikumpulkan melalui observasi
langsung. Data yang diperoleh dari observasi selanjutnya dianalisis.
Berdasarkan hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga,
kognisi (proses memeroleh pengetahuan), pola komunikasi dalam keluarga, jumlah
keluarga serta kedwibahasaan (pemakaian dua bahasa) sangat memengaruhi proses
pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa kedua pada balita tersebut ditandai dengan
kata-kata yang dihasilkan meliputi kata untuk menunjukkan subjek/orang, kata benda,
kata sifat, kata kerja dan kata keterangan. Kemampuannya menghasilkan kata-kata
sesuai dengan karakteristik pemerolehan bahasa pada usia tersebut.

Abstract
This study was aim at analyzing the second language acquisition of two years
old baby by implementing two kinds of variables such as independent variable
(second language acquisition) and dependent variable (language efectivity, as much
language which can be produced by the baby). This research used qualitative
approach whereas the data was collected through direct observation. Data obtained
from observation was then analyzed.
Based on the observation, it can be concluded that family environment,
cognitive (the process of language acquisition), communication pattern in the family,
the number of familys member and also bilingualism could influence the process of
language acquisition. It was evidenced from the words produced by the baby
including subject, noun, adjective, verb and adverb. Her ability in producing the
language was appropriate to the characteristic of language acquisition for the baby
of two years old.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
49

1. PENDAHULUAN
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa
merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari yang dapat
digunakan untuk menyampaikan ide, pikiran, perasaan atau informasi kepada orang
lain, baik secara lisan maupun tulisan. Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa
(dalam bahasa Inggris: language acquisition) merupakan suatu proses perkembangan
bahasa manusia. Pemerolehan bahasa sebagai suatu proses yang berlangsung di dalam
otak balita, Chaer (2009:167), dimana mereka mendapatkan kemampuan untuk
menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk berkomunikasi. Dua faktor
utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor nurture dan
faktor nature. Nature merupakan pemerolehan bahasa yang sudah ada sejak lahir
sedangkan nurture merupakan pemerolehan bahasa yang dipengaruhi oleh
lingkungan secara alami. Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti pada
bahasa lisan atau manual seperti pada bahasa isyarat.
Masa bayi atau balita (di bawah lima tahun) adalah masa yang paling
signifikan dalam kehidupan manusia. Mulai masa inilah balita mulai belajar
mengenal bahasa dari sekitarnya. Pemerolehan bahasa pada balita dapat dikatakan
mempunyai ciri kesinambungan yang diawali dengan pemerolehan ucapan satu kata
sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Pemerolehan bahasa setiap balita
yang satu tentunya berbeda dengan balita yang lainnya karena setiap balita memiliki
kemampuan untuk menangkap atau memeroleh bahasa yang berbeda-beda.
Dalam penelitian ini akan mengkaji proses pemerolehan bahasa kedua,
Bahasa Indonesia, oleh seorang balita berusia 2,5 tahun yang bernama Poppy Putri
Legelli. Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah
pemerolehan bahasa kedua yang dialami oleh balita tersebut serta bagaimana
karakteristik pemerolehan bahasa yang terjadi pada balita tersebut serta faktor apa
sajakah yang berpengaruh dalam pemerolehan bahasa kedua pada balita tersebut?


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
50

2. METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini yaitu seorang anak balita perempuan berusia 2,5
tahun yang bernama Poppy Putri Legelli. Poppy berasal dari keluarga yang
mengalami cross-marriage atau perkawinan dua negara. Ayahnya berasal dari Jerman
dan ibunya berasal dari Indonesia, tepatnya berasal dari Bali. Dalam masa
pertumbuhannya, Poppy dibesarkan dalam lingkungan yang bilingual dimana
keluarga ibunya berbahasa Indonesia dan ayahnya menggunakan bahasa Jerman.
Pada awalnya sejak dia lahir sampai berumur 6 bulan dia tinggal di Bali dan
lingkungan sekitarnya berbahasa Indonesia. Namun pada usia tersebut Poppy belum
dapat mengucapkan kata-kata, belum mampu menggunakan bahasa dalam arti yang
sebenarnya dan belum bisa membedakan beberapa ucapan orang dewasa seperti
layaknya bagaimana perkembangan pemerolehan bahasa pada usia di bawah 1 tahun
yang diutarakan oleh Eimas (1985: 2) sehingga dia belum bisa memproduksi bahasa
ibunya.
Saat usia 6 bulan sampai 2,5 tahun, Poppy berada di Jerman dan bahasa yang
digunakan tersebut lebih cenderung menggunakan bahasa Jerman dalam kehidupan
sehari-harinya, mengingat tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia dalam lingkungan
keluarganya di Jerman. Selain itu, di sekolah anak tersebut berkomunikasi dengan
teman-teman dan gurunya menggunakan bahasa Jerman. Oleh karena itu, ibunya pun
menggunakan bahasa Jerman saat berbicara dengan Poppy sambil mempraktekkan
bahasanya.
Namun saat kembali ke Bali, Poppy sudah mulai bisa mengucapkan kalimat
sederhana dan kata-kata dalam bahasa Jerman dengan begitu lancar meskipun kata-
kata atau kalimat yang dihasilkan tidak begitu jelas pengucapannya. Sementara dia
sekarang berada dalam lingkungan baru dimana keluarga yang ada di Bali tidak bisa
berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman. Oleh karena itu, muncullah proses
pemerolan bahasa kedua yakni bahasa Indonesia. Poppy kemudian memeroleh dua
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
51

bahasa yakni Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Poppy dapat memahami makna
kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia yang diucapkan oleh keluarganya di Bali
namun dalam menghasilkan kata, dia cenderung lebih berbahasa Jerman.
Dalam penelitian ini anak tersebut diamati perkembanganya dalam
pemerolehan bahasa keduanya selama 2 bulan yaitu dari bulan November hingga
Desember 2012 dimana dia melakukan liburan akhir tahun dan tinggal bersama di
lingkungan keluarganya di Bali yang berbahasa Indonesia.

Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan hal yang dikaji dalam penelitian tersebut. Objek
atau variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel independen dan variabel
dependen. Variabel independen (bebas) adalah variabel yang memengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Jadi,
variabel independen dalam penelitian ini adalah pemerolehan bahasa kedua. Variabel
dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Jadi, variabel dependen dalam penelitian ini adalah efektivitas
berbahasa, yaitu seberapa besar balita tersebut dapat menghasilkan kata-kata dalam
bahasa keduanya.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan atau pendekatan kualitatif. Dalam
penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan mempelajari, menganalisis,
menafsirkan dan menarik simpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Dengan
demikian, penelitian ini akan menggambarkan dan mendeskripsikan seberapa besar
pemerolehan bahasa kedua yang dialami oleh Poppy.

Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu rumah di Kabupaten Badung. Penelitian
ini menggunakan metode observasi (metode simak) dan metode cakap. Metode simak
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
52

yang dilakukan dengan cara merekam kemudian mentranskripsikan hasil simakan
yang diperoleh. Sedangkan metode cakap dilakukan dengan peneliti terlibat
percakapan dengan Poppy selaku objek penelitian secara langsung.

3. LANDASAN TEORI
Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua
Tarigan, (1988:243) mengatakan bahwa, Pemerolehan bahasa adalah suatu
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan dengan peniruan-
peniruan akan ucapan-ucapan orang dewasa, sejalan dengan perkembangan usia anak
tersebut. Pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memeroleh bahasa lain
setelah terlebih dahulu menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya (bahasa
ibu).
Kedwibahasaan seseorang di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dilihat
dari kemampuannya menggunakan dua bahasa atau lebih. Sebelum seseorang
menguasai dua bahasa atau lebih, yang pertama kali memengaruhi bahasa seseorang
umumnya adalah bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya
diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Dalam rentang waktu
selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian seseorang akan mempelajari bahasa
kedua. Menurut Wikipedia, pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang
belajar bahasa kedua disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua
merujuk kepada apa yang seseorang lakukan. Bahasa kedua atau B2 biasanya
mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu mereka, yang juga
disebut bahasa pertama atau B1.


1.2 Karakteristik Pemerolehan Bahasa Balita
Karakteristik pemerolahan bahasa pada balita (Eimas, 1985:2) dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
53

a. Karakteristik pemerolehan bahasa balita umur 0-1 tahun yaitu: lebih banyak
bersuara daripada menangis, mulai mengucapkan huruf-huruf vokal saat
menangis, menirukan suara saat ditimang dengan mendekut serta bersuara atau
berteriak tidak senang sebagai cara lain dari menangis
b. Karakteristik pemerolehan bahasa balita umur 1-2 tahun yaitu: menirukan suara
celotehan atau kata-kata yang dikenalnya, menyampaikan keinginan/kebutuhan
dengan bersuara, mempuntai 20 kosa kata fungsional menggunakan kata depan
serta menggunakan 2 kombinasi kata untuk membentuk kalimat
c. Karakteristik pemerolehan bahasa anak umur 2-3 tahun yaitu: menggunakan kata-
kata jamak yang teratur, menggunakan kombinasi 3 kata untuk membentuk
kalimat, menjawab pertanyaan sederhana apa, dimana, mengulang kalimat yang
terdiri dari lima kata, mengidentifikasi kejadian sederhana saat ditanya serta
menggunakan kalimat dengan 4 kata.
d. Karakteristik perkembangan bahasa anak umur 3-4 tahun yaitu: menyebutkan
nama depan dan nama belakangnya, menyebutkan 3 kejadian/peristiwa umum,
menceritakan pengalaman sederhana, mulai mengajukan pertanyaan yang
terencana, konsisten dalam menggunakan kalimat lengkap, bertanya dengan
menggunakan variasi kata: siapa, apa, dimana, dsb, bercerita dengan
menggunakan gambar serta mampu menjawab pertanyaanjika....lalu apa?
e. Karakteristik perkembangan bahasa anak umur 4-5 tahun yaitu dapat
menggunakan kata sambung tapi, dapat mendefinisikan kata-kata yang
sederhana, dapat menceritakan perbedaan suatu benda serta dapat menyebutkan
kota asalnya.

4. PEMBAHASAN

4.1 Pemerolehan Bahasa Kedua yang Dialami Oleh Poppy
Pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua di
samping bahasa ibu mereka. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih,
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
54

yang pertama kali memengaruhi bahasa seseorang umumnya adalah bahasa ibu.
Bahasa ibu yang merupakan bahasa pertama biasanya diperoleh dalam lingkungan
keluarga atau masyarakat. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya
kemudian seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Poppy mendapatkan bahasa
pertamanya di lingkungan keluarga kemudian diperkuat lagi dengan komunikasi yang
dilakukannya di sekolah serta di dalam lingkungan masyarakat di Jerman, namun
bahasa kedua (bahasa Indonesia) diperoleh saat dia berada di Bali dengan lingkungan
yang baru yang berbeda dengan lingkungannya di Jerman setelah berusia 2,5 tahun.

4.2 Karakteristik Pemerolehan Bahasa yang dialami Poppy

Karakteristik pemerolehan bahasa balita umur 0-1 tahun di atas (Eimas,
1985:2) jika dikaitkan dengan pemerolehan bahasa kedua yang dialami Poppy, benar
dikatakan jika pada usianya 0-6 bulan dia berada di Bali, dia tidak bisa menghasilkan
kata-kata dalam bahasa Indonesia karena pada usia tersebut Poppy hanya bisa
menangis, yang merupakan cara yang biasa dilakukan oleh bayi untuk berkomunikasi
dan melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya. Selain itu dia hanya bisa
mendekut (dengan ciri-ciri tertawa), babbling, bersuara atau berteriak ketika merasa
tidak senang sebagai cara lain dari menangis.
Selain itu, karakteristik bahasa yang terjadi pada Poppy, pada usia 1-2,5
tahun, dia sudah bisa menirukan suara celotehan atau kata-kata yang dikenalnya,
menghasilkan lebih dari 20 kosa kata, menggunakan kata depan, menggunakan
kombinasi kata (2-4 kata) untuk membentuk kalimat, menjawab
pertanyaan sederhana apa, dimana, mengulang kalimat yang terdiri dari lima kata,
mengidentifikasi kejadian sederhana saat ditanya dalam bahasa Jerman meskipun
kata-kata yang dihasilkan tidak begitu jelas. Karakteristik ini memengaruhi
bagaimana dia memeroleh bahasa keduanya karena pada usia 1-2,5 tahun dia sudah
bisa menirukan kata-kata yang diucapkan oleh keluarga yang ada di Bali dalam
Bahasa Indonesia.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
55

4.3 Kata - Kata yang Dihasilkan oleh Poppy dalam Bahasa Kedua
Beberapa pendapat mengatakan bahwa anak memperluas bahasanya dengan
jalan menambahkan kata-kata yang dikuasainya pada kata atau gabungan kata yang
diucapkan melalui peniruan dan keberanian mengucapkan termasuk proses
komprehensi. Anak mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan yang bersifat
nonlinguistik melalui lingkungannya. Informasi itu dikumpulkan melalui penglihatan
(eyes), pendengaran (ears), pembauan (nose), pengecapan (tongue) dan penyentuhan
(skin) yang kemudian dimanipulasikan dalam wujud bunyi bahasa pada tahun-tahun
pertama kehidupannya (Clark dan Clark, 1977:422).
Hal inilah yang terjadi dalam proses pemerolehan bahasa kedua Poppy.
Selama Poppy tinggal di Bali pada usianya 2,5 tahun, dia diajarkan menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Proses ini berlangsung selama 2 bulan
tepatnya pada bulan November sampai dengan bulan Desember tahun 2012. Pada
minggu pertama dan kedua di Bali, Poppy hanya bisa memproduksi bahasa Jerman
walaupun lingkungan tempat tinggalnya di Bali mengajarkan dia berbahasa
Indonesia. Pada minggu ketiga dimana Poppy biasa bergaul dengan sepupunya Putu
Dea yang berusia 9 tahun dan Dek Tha yang berusia 4 tahun, serta keluarganya yang
lain, dia selalu diajak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan dicampur dengan
bahasa Jerman yang diucapkan oleh Poppy. Saat itulah Poppy mulai bisa
menghasilkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia sampai pada akhirnya dia bisa
menghasilkan kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia selama 2 bulan dia tinggal
di Bali.
Kata-kata yang dihasilkan oleh Poppy dalam percakapan yang dilakukannya
dengan orang yang mengasuhnya di lingkungan keluarga di Bali kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan kategori kata sebagai berikut:
A. Menyebutkan Subjek / Orang
1. Untuk memanggil ibunya, Poppy lebih sering mengucapkan kata sayang atau
mama sayang dan kata ini sangat jelas terucap olehnya karena ibunya biasa
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
56

memanggil Poppy sayang padanya. Hal ini menyebabkan Poppy meniru kata
sayang tersebut.
2. Mama : Poppy sayang, ini kakek.
Poppy : Kek..
Awalnya poppy memanggil kakeknya dengan sebutan opha dalam bahasa
Jerman, saat di Bali dia diajarkan menyebut kakek namun Poppy hanya bisa
menghasilkan kata kek saja.
3. Untuk memanggil Dek Tha dan Putu Dea, Poppy biasanya menyebut kamu
karena dia sering mendengarkan lagu Koboy Junior yang berjudul Eeaa dan
mendengar komunikasi Dek Tha yang berbicara menirukan adegan di televisi.
B. Kata Benda
1. Saat ingin minum air, Poppy mengatakan wasser yang dilanjutkan dengan
bahasa Indonesia aing mama. Aing untuk menunjukkan kata air.
2. Kakeknya sering mengajarkan menyebutkan nama-nama bagian tubuh, namun
Poppy biasa menyebut bahasa Jerman terlebih dahulu yang diikuti bahasa
Indonesia. Setelah lama hampir memasuki satu setengah bulan di Bali dia
tidak lagi menyebutkan kata-kata dalam bahasa Jerman. Berikut dijabarkan
beberapa kata yang sering diucapkan oleh Poppy:
a. Hare : ambut, yang dimaksud adalah rambut
b. Backe : pipi, yang dimaksud adalah pipi
c. Nase : idung, yang dimaksud adalah hidung
d. Hnde : angan, yang dimaksud adalah tangan
e. Fsse : akik, yang dimaksud adalah kaki
3. Saat melihat binatang, Poppy langsung menyebut :
a. bulung yang dimaksud adalah burung tanpa menyebutkan bahasa Jerman
karena di Bali dia sering bertemu dengan burung-burung yang dipelihara
oleh Om Gede di rumah dibandingkan dengan lingkungannya di Jerman.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
57

b. Bebek (kuak-kuak) yang dimaksud adalah bebek. Saat menyebutkan
bebek, pasti dilanjutkan dengan menyebut kwak-kwak sesuai dengan
suara bebek yang didengarnya.
c. Yam (kuk-kuk) yang dimaksud adalah ayam dengan menyebut kuk-kuk
sesuai dengan suara ayam yang didengarnya.
4. Saat Poppy diajak bermain, dia sering menyebut benda-benda yang
digunakannya bermain seperti:
a. Ball (bahasa Jerman) bola, Poppy sering lupa dengan kata bola karena
dia sering mengucapkan ball di Jerman.
b. Eda yang digunakan untuk menunjuk kata sepeda.
5. Saat Poppy diajak latihan menulis oleh kakeknya dia diajarkan beberapa kata
seperti: buku (diucapkan butu), pensil (namun kata yang dihasilkan Poppy
adalah pencing)

C. Kata sifat
1. Saat Poppy berjalan di halaman rumah dan kakinya kepanasan karena tidak
memakai sandal, dia mengatakan:
Poppy: Auaaiss anas (bahasa Jerman: Autsch, heiss)
Maksudnya yaitu, Aduh panas
2. Saat Poppy diajak membuka kulkas oleh Dek Tha, Poppy meniru ucapan Dek
Tha.
Dek Tha: aduh dingin ya Oppy
Poppy : Aua, kal ingin (bahasa Jerman: Autsch, kalt)
3. Saat Poppy marah dia biasa melontarkan eee, kamu nakang
Nakang yang dimaksud untuk menyatakan kata nakal.
4. Saat makan, sering diajak mengucapkan kata enak. Melalui tahap menirukan
pengucapan kata tersebut dalam frekuensi yang cukup sering sehingga dia
menjadi lancar mengucapkannya
Putu Dea: Poppy ini yogurt
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
58

Poppy : mmmmmlecker (bahasa Jerman yang berarti enak)
Putu dea : enak.
Poppy : enak

D. Kata kerja
1. Poppy: Aua, mama oppy bekk lili
(bahasa Jerman: Autsch, mama Poppy kaka, really)
(bahasa Indonesia: Aduh, mama. Poppy BAB, sungguh)
Mama : ayo sayang, sini ke kamar mandi
Dari percakapan tersebut, Poppy ingin mengatakan dia BAB (buang air besar)
seperti kata-kata yang sering diucapkan oleh dek Tha saat dia ingin buang air
besar. Jadi Poppy ingat kata tersebut, karena pengucapannya belum jelas dia
mengucapkan bekk
2. Saat Poppy ingin keluar dari kamar tidurnya setelah bosan bermain di tempat
tidur, dia berkata uaa yang maksudnya keluar.
Poppy: Mama, laus. (bahasa Jerman: mama raus)
(dalam bahasa Indonesia berarti mama keluar)
Mama : Poppy keluar?
Poppy : uaa mama, plis
3. Poppy : Odah.. aua cucu atuh (bahasa Jerman: Autsch, Milch runten
fallen) Maksudnya: susu jatuh
Odah : ya dilap sekarang
4. Poppy: imang.tiken.minum
Maksudnya: Poppy ingin minum
Bi Mang: Iya, ini airnya.
5. Putu Dea: Poppy mandi
Poppy : (saat di bak mandi) pegang..es oten (fest halten)
Maksudnya: pegang erat supaya dia tidak jatuh dari bak
6. Poppy : yok.lenenali (bahasa Jerman: rennen artinya lari)
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
59

Maksudnya: Poppy mengajak berlari
7. Poppy: odahonen (bahasa Jerman : offnen buka)
Odah: Apa Poppy, odah tidak mengerti
Poppy : ukak odahukak odah, plis
Saat dialog ini Poppy mengerti saat neneknya mengatakan dia tidak mengerti
lalu Poppy pasti menyebutkan dalam bahasa Indonesia ukak yang
maksudnya adalah menyebutkan kata buka.
8. Saat dia bertengkar dengan Dek Tha dan membuat Dek Tha menangis dia
pasti mengatakan angis.

E. Kata Keterangan
1. Saat Poppy terbangun dari tidurnya, dia pasti menanyakan mamanya dengan
mengatakan, Wo, mamamana mama
kata wo (bahasa Jerman) langsung diterjemahkan mana yang menunjukkan
kata dimana.
2. Saat Poppy diajak bermain petak umpet oleh Dek Tha dan Putu Dea, dia sering
mengucapkan kata berikut:
Poppy : sayang, wo bist du? (bahasa Jerman: schatzi, wo bist du)
Yang dimaksud Poppy adalah sayang, dimana kamu?
Dek Tha: ye.darrrrrrrr
Poppy : dot .tu (sambil tepuk tangan)
(bahasa jerman: dort yang artinya di situ)
(maksudnya adalah kamu ada di situ dan tepuk tangan karena dia
berhasil menemukan Dek Tha)

4.4 Faktor Faktor yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua
Secara rinci dapat diidentifikasi sejumlah faktor yang memengaruhi
pemerolehan bahasa, yaitu:
a. Kognisi (Proses Memeroleh Pengetahuan)
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
60

Tinggi rendahnya kemampuan kognisi individu akan memengaruhi cepat
lambatnya perkembangan bahasa individu. Ini relevan jika dikatakan bahwa
terdapat korelasi yang signifikan antara pikiran dengan bahasa seseorang. Dari
penelitian yang dilakukan terhadap Poppy terlihat balita tersebut memiliki tingkat
kognisi yang cukup tinggi. Hal itu terlihat dari minggu ketiga dia di Bali dia
sudah menguasai beberapa kata dalam bahasa Indonesia dan bisa menghasilkan
kata-kata tersebut meskipun tidak begitu jelas pengucapannya.
b. Pola Komunikasi Dalam Keluarga
Dalam suatu keluarga yang pola komunikasinya banyak arah akan mempercepat
perkembangan bahasa si anak. Jadi dengan sering dilatih dalam keluarga
seseorang bisa cepat memeroleh bahasanya. Begitu juga halnya dengan situasi
dimana Poppy tinggal sekarang, dengan sering dilatih menggunakan bahasa
Indonesia, dia menjadi terlatih menggunakan bahasa keduanya.
c. Jumlah Anak Atau Jumlah Keluarga
Suatu keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga, perkembangan bahasa
anak lebih cepat karena terjadi komunikasi yang bervariasi dibandingkan dengan
yang hanya memiliki anak tunggal dan tidak ada anggota lain selain keluarga inti.
Dalam penelitian ini, Poppy berada dalam keluarga besar yang berjumlah lebih
dari 10 orang, sehingga terjadi komunikasi yang bervariasi yang menyebabkan
Poppy cepat mengadopsi kata-kata baru dalam Bahasa Indonesia.
d. Kedwibahasaan (Pemakaian dua bahasa)
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menggunakan lebih dari satu bahasa
akan lebih bagus dan lebih cepat perkembangan bahasanya dibandingkan anak
yang hanya menggunakan satu bahasa saja karena anak terbiasa menggunakan
bahasa secara bervariasi. Pada penelitian ini yang berhubungan dengan balita,
tampak bahwa memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk
menguasai bahasa dan dengan dibantu nurture maupun pengaruh dari lingkungan
seperti orang tua atau saudaranya, sehingga balita tersebut mampu
mengembangkan bekal bawaannya sampai akhirnya ia dapat menggunakan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
61

bahasa dengan sempurna. Dengan demikian tampak bahwa setiap anak
mempunyai language acquisition device (LAD) yaitu kemampuan alamiah untuk
berbahasa. Selanjutnya dapat dikatakan pula bahwa antara sifat pemerolehan
bahasa nature dan nurture ternyata yang satu tidaklah lebih penting dari yang lain
karena tanpa satu sama lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik
bahkan dapat menemui kegagalan.

5. KESIMPULAN

Dari pembahasan permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika
memeroleh bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa anak dimulai dari lingkungannya
terutama lingkungan keluarga, ini disebut pemerolehan bahasa pertama yang terjadi
di dalam kehidupan awal anak. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat
seseorang memperoleh bahasa lain setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas
tertentu bahasa ibu (bahasa pertama)
Dalam penelitian di atas, seorang balita bernama Poppy dapat menghasilkan
beberapa kata dalam bahasa Indonesia setalah berumur 2,5 tahun saat dia berada di
Bali. Adapun kata yang dihasilkan oleh Poppy yaitu kata untuk menunjukkan
subjek/orang, kata benda, kata sifat, kata kerja dan kata keterangan. Kemampuannya
menghasilkan kata-kata tersebut sesuai dengan karakteristik pemerolehan bahasa
yang sesuai dengan usianya yaitu: sudah bisa menirukan suara celotehan atau kata-
kata yang dikenalnya, menghasilkan lebih dari 20 kosa kata, menggunakan kombinasi
kata (dua kata) untuk membentuk kalimat, menjawab pertanyaan sederhana apa,
dimana serta mengidentifikasi kejadian sederhana.
Faktor-faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa kedua yaitu: kognisi
(proses memeroleh pengetahuan), pola komunikasi dalam keluarga, jumlah anak atau
jumlah keluarga, kedwibahasaan (pemakaian dua bahasa). Selain itu dikatakan pula
baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting dalam
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
62

pemerolehan bahasa karena saling mendukung keberadaan yang lain. Memiliki
kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak
banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya,
tanpa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika
manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun
tentunya kenyataan bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang
sama-sama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa manusia sebaiknya
memerlukan lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun
eksperimen terhadap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari
bahasa yang merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Brewer, Ann Jo. 1995. Introduction to Early Childhood Education: Preschool
Through Primary Grades. Universiti Utara Malaysia

Clark, Herbert H. & Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language: An
Introduction to Psycholinguistics. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Eimas, Peter D. 1985. The Perception of Speech in Early Infancy. New York:
Scientific American.

Language Acquisition. (On-line): http//en. wikipedia.org/wiki/ Language acquistion.
Diakses 24 Desember 2012.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Malang: FKIP Unisma.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

63

MEMBAHASAKAN OBJEK MELALUI PENDEKATAN OBSERVASI
Oleh

Agus Mediana Adipura
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian
Fakultas Seni Rupa, Minat Studi Seni Murni, ISI Yogyakarta

Abstrak
Ide dan visual merupakan hal yang penting dalam sebuah karya seni rupa,
seorang seniman melakukan beberapa metode dalam tahapan perwujudan karyanya,
salah satunya pengamatan terhadap objek maupun subjek. Disini penulis ingin
memaparkan hasil pengamatan terhadap objek yang berdampak pada pencapaian ide
maupun visual dalam penciptaan karya seni rupa, disamping itu juga dapat membuka
peluang imajinasi dan tingkat pemahaman yang lebih dalam tentang sebuah objek
yang diamati. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori observasi sebagai
landasan dalam penelitian sebuah objek.
Objek yang digunakan sebagai bahan penelitian atau observasi dalam projek
ini ialah objek ikan. Pemilihan objek ikan dilatar belakangi oleh pengalaman pribadi
tentang sebuah ketertarikan terhadap hal-hal yang cenderung menjijikkan.
Ketertarikan terhadap hal menjijikkan tersebut dipengaruhi oleh sesuatu yang terjadi
pada tubuh penulis yaitu keluarnya keringat berlebihan pada telapak tangan dan kaki
sehingga menyebabkan bau yang tidak sedap dan hal-hal yang cenderung
menjijikkan. Hal tersebut mempengaruhi keinginan untuk mengobservasi sebuah
proses pembusukan dari sebuah objek, dalam hal ini yaitu objek ikan.
Dalam kegiatan observasi terdapat beberapa gejala yang menarik, seperti efek
visual dan perubahan warna pada objek dari setiap prosesnya. Perubahan efek visual
yang terjadi tidak dapat diprediksi sebelumnya sehingga dapat memberi berbagai
kemungkinan ide menarik yang tak terduga. Kegiatan observasi dapat mempengaruhi
perwujudan karya seni seorang perupa dalam segi visual, disamping itu juga dapat
memberikan pemahaman dari sudut pandang yang berbeda sehingga dapat
menciptakan karya seni rupa yang unik, menarik dan juga memiliki kesan originalitas
yang baik.

Kata kunci: observasi, objek ikan, originalitas


Abstract
The idea and visual are important things in the making process of artwork, an
artist should take some methods in processing his embodiment of artwork, one of
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

64

them is the observation into object or subject. Here, the writer would like to explain
the observation into the object which gives impact on an achievement of idea and
visual in creating artwork, besides, it can also gives a chance to imagination and
deeper comprehension of the observed object. In this research, the writer uses the
theory of observation as a base of an object research.
The object used as material research or observation in this project is fish. The
selection of fish as the object in this project is motivated by a personal experience of
an interest to disgusting things. It is affected by something happened to the writers
body that his sweat comes out exaggeratedly on flat of both hand and foot then it
causes bad smell. Those affect the writers desire to observe the process of object
decomposition, in this case is fish.
There are some interesting phenomenons in the process of observation, such as
visual effect and color changing on the object. The change of visual effect cant be
predicted previously therefore it gives many possibilities of unpredictable interesting
ideas. The observation can affect the embodiment of artists artwork in visual side.
Besides, it can give comprehension from different point of views so that the artist can
create interesting unique artwork which has a good originality impression.

Key words: observation, fish object, originality

Pendahuluan
Penciptaan karya seni rupa diwarnai dengan perkembangan kreativitas
seorang seniman, hampir semua karya seni yang diciptakan seorang seniman
mengarah pada sebuah penemuan dan orisinalitas seorang perupa. Dapat dilihat
melalui perkembangan sejarah seni rupa dari masa pra sejarah hingga seni rupa
modern karya seni tercipta dari pengendapan batin seorang seniman yang
kemudian diolah melalui teknis dan pengalaman seniman. Sesuatu yang menarik
yang dilakukan oleh seorang seniman pada zaman renesans yang dapat dilihat
pada film-film dokumenter yaitu Leonardo da vince melakukan penelitian
terhadap tubuh manusia yang sekaligus memberi dampak pada ilmu anatomi tubuh
manusia, rasa ingin tahu tersebut direalisasikan walaupun pada zaman itu
merupakan sebuah pelanggaran.
Objek merupakan hal yang penting dalam sebuah penelitian. Pemilihan
sebuah objek tentu memiliki latar belakang, ketertarikan, ataupun cerita yang kuat
dibalik sebuah objek yang dipilih. Dalam penelitian ini yang menjadi objek
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

65

penelitian adalah seekor ikan laut atau ikan pindang dipengaruhi oleh beberapa
cerita dan sebuah ketertarikan tersendiri terhadap karakter dan tekstur yang
dimiliki oleh objek ikan.
Objek ikan memiliki kekuatan karakter warna dan tekstur yang sangat
menggugah hati nurani penulis. Sebuah keindahan yang terdapat dan yang terlihat
dalam objek ikan merupakan keindahan objektif. Seperti yang tertulis dalam buku
Trilogi Seni, kita begitu saja merasa senang tanpa alasan lain kecuali melihat atau
mendengar sesuatu. Contohnya, kita merasa senang ketika memandang seorang
gadis cantik bukan karena gadis cantik itu adalah tetangga kita yang baik dan
bukan pula karena kita telah mencocokkannya dengan resep-resep tertentu,
misalnya bahwa matanya seperti bintang timur, hidungnya seperti dasun tunggal
dan lain sebagainya. Begitu kita lihat kita langsung senang. (Soedarso Sp,
2006:12)
Keindahan objek ikan mampu memberi inspirasi dan dapat mendorong
keinginan penulis untuk memvisualkannya kedalam karya seni. Ketertarikan
seorang terhadap suatu objek tentu memiliki alasan yang menjadi latar belakang
sebuah ketertarikan. Keseharian penulis menjalani kehidupan diiringi dengan
sebuah gejala yang terjadi pada tubuh penulis yaitu beberapa bagian seperti
telapak tangan dan kaki penulis mengeluarkan keringat yang berlebihan, hingga
saat ini penulis belum memeriksakan hal ini ke medis. Keluarnya keringat ini
memiliki dampak dalam pergaulan seperti, pengalaman pribadi ketika bermain
ketempat salah satu teman yang lantainya beralaskan keramik tangan dan kaki
penulis mengeluarkan keringat sehingga keramik tersebut menjadi kotor dan juga
dalam hal melepas sepatu dan kaos kaki akan menimbulkan dampak bau yang
tidak sedap. Permasalahan ini terkadang membuat penulis merasa minder dalam
pergaulan, sentilan kata-kata ejekan tentang keringat dan aroma bau yang khas
sangat dekat dengan keadaan penulis
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

66

Perjalanan keseharian penulis sangat dekat dengan hal-hal yang berbau
kotor, jorok dan kadang menjijikkan. Hal ini disebabkan oleh selengekan teman-
teman dalam pergaulan dan diimbangi dengan sikap penulis yang mengikuti alur
itu dalam artian penulis tidak berusaha menutup-nutupi dan mengalihkan keadaan
yang terjadi. Dengan terbentuknya keadaan itu sadar maupun tidak sudut pandang
maupun selera visual penulis dalam kehidupan berkesenian sangat dipengaruhi
oleh unsur-unsur itu seperti kesan jorok, kotor, dan menjijikkan yang tentu juga
memiliki karakter tekstur, warna dan kesan visual yang dapat dirasakan dan
mampu memberi daya tarik tersendiri.
Landasan Teori
Pengertian Tentang Observasi
Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan
sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap
kejadian-kejadianyang langsung (Bimo Walgito, 1987:54)
Observasi adalah suatu tehnik untuk mengamati secara langsung maupun
tidak langsung gejala-gejala yang sedang /berlangsung baik di dalam sekolah
maupun di luarsekolah (Djumhur, 1985:51). Observasi sebagai alat pengumpul
data adalah pengamatan yang memiliki sifat-sifat Ssebagai
berikut(depdikbud:1975:50):
1. dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan lebih dulu.
2. direncanakan secara sistematis.
3. hasilnya dicatat dan diolah sesuai dengan tujuannya.
4. dapat diperiksa validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
5. bersifat kwantitatif.
Macam-macam Observasi
1. Menurut peranan observer
a. Observasi Partisipan: observasi di mana observer ikut aktif didalam kegiatan
observee.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

67

b. Observasi Non Partisipan: observasi dimana observer tidak ikut aktif di
dalam bagian kegiatan observee (hanya mengamati dari jauh).
c. Observasi Kuasi partisipasi : observasi dimana observer seolah-olah turut
berpartisipasi yang sebenarnya hanya berpura-pura saja dalam kegiatan
observee.
2. Menurut situasinya
a. Free Situation : adalah observasi yang dijalankan dalam situasi bebas, tidak
ada hal-hal atau faktor-faktor yang membatasi jalannya observasi.
b. Manipulated Stuation : adalah observasi yang situasinya dengan sengaja
diadakan. Sifatnya terkontrol ( dalam pengontrolan observer )
c. Partially Controlled Situation : adalah campuran dari keadaan observasi
free situation dan manipulated situation.

3. Menurut sifatnya
a. Observasi Sistematis : adalah observasi yang dilakukan menurut struktur
yang berisikan faktor-faktor yang telah diatur berdasarkan kategori, masalah
yang hendak di observasi.
b. Observasi Non Sistematis : adalah observasi yang dilakukan tanpa struktur
ataurencana terlebih dahulu, dengan demikian observer dapat menangkap
apa saja yang dapat di tangkap.
Alat Pencatat Observasi
1. Anecdotal Records : merupakan cara untuk melengkapi observasi, dalam
mengadakan observasi pengamat dapat melakukan pencatatan tentang kejadian
yang berlaku dengan suatu kasus atau individu.
2. Check List : adalah suatu daftar pengamatan, dimana observer tinggal
memberikan tanda check atau tanda-tanda lain terhadap ada tidaknya aspek-
aspek yang diamati.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

68

3. Rating Scale : adalah alat pengumpul data yang dipergunakan dalam observasi
untuk menjelaskan, menggolongkan, menilai individu atau situasi.
4. Mechanical Deviaces ( pencatatan dengan alat ) : dengan kemajuan tehnologi,
memungkinkan observer menggunakan alat-alat yang lebih sempurna untuk
mengadakan observasi, misalnya dengan alat potret, tape recorder dan lain-lain.

Cara Mencatat Hasil Observasi
1. Pencatatan secara langsung ( 0n the spot ) yaitu mencatat semua kejadian yang
terjadi pada saat itu juga.
2. Pencatatan sesudah observasi berlangsung.
3. Mencatat hasil observasi dengan menggunakan key words/key symbol.
Merupakan paduan dari cara langsung dan tidak langsung.

Langkah-langkah Observasi
1. Menentukan tujuan
2. Menentukan objek
3. Mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan.
4. Mulai mengadakan observasi.
5. Mengadakan pencatatan data.
6. Menyusun laporan.

Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Observasi
1. Menentukan materi atau objek apa yang akan diobservasi
2. Menentukan cara/teknik apa yang akan dipergunakan
3. Menentukan cara dalam mencatat hasil observasi
4. Dalam menyusun laporan harus di bedakan antara data dan interprestasi.


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

69

Materi Observasi
Materi observasi tergantung pada maksud dan tujuan dalam melaksanakan
observasi.

Hal-hal yang Mempengaruhi Kecermatan Hasil Observasi
1. Ada tidaknya prasangka observer tentang obyek yang diobservasi.
2. Kemampuan fisik observer dalam melakukan observasi.
3. Kemampuan observer untuk mengingat dan memusatkan perhatian.
4. Kemampuan observer dalam menghubungkan fakta satu dengan fakta lainnya
yang timbul selama observasi.
5. Kemampuan observer untuk menggunakan alat pencatat observasi.
6. Kemampuan observer untuk memahami situasi keseluruhan dari hal-hal yang
diamati.
7. Ketepatan dalam menggunakan alat pencatat.

Keterbatasan Observasi
1. Banyak hal yang tidak dapat diungkap dengan observasi. Misalnya kehidupan
pribadi seseorang yang sangat dirahasiakan.
2. Apabila obyek observasi tahu bahwa dia sedang diobservasi, ia dapat
melakukan kegiatannya dengan tidak wajar.
3. Observasi banyak tergantung dari faktor yang tidak terkontrol.
4. Faktor subyektif observer sukar dihindarkan.
5. Timbulnya suatu kegiatan / kejadian yang hendak diobservasi tidak dapat
dipastikan sehingga observer sukar menentukan waktu yang tepat untuk
melakukan observasi.



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

70

Kelebihan Observasi.
1. Observasi merupakan teknik yang langsung dapat digunakan untuk
memperhatikan berbagai gejala. Banyak aspek tingkah laku manusia ataupun
situasi yang hanya dapat diteliti melalui observasi langsung.
2. Observasi memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu
gejala atau kejadian yang penting.
3. Observasi sangat baik dipergunakan sebagai teknik untuk melengkapi dan
mencek fakta atau data yang diperoleh dengan alat pengumpul data lain.
4. Dengan observasi observer tidak memerlukan bahasa verbal untuk
berkomunikasi dengan obyek yang ditelaah.
Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan
pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala
atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi
dibutuhkan untuk dapat memehami proses terjadinya wawancara dan hasil
wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan
adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi
subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat
memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.
Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah
mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung,
orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari
perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Menurut
Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting, namun sering
dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Dengan
demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena :
A. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal
yang diteliti akan atau terjadi.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

71

B. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada
penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk
mendekati masalah secara induktif.
C. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian
sendiri kurang disadari.
D. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang
karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara
terbuka dalam wawancara.
E. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif
terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan
menjadi bagian dari data yang pada giliranya dapat dimanfaatkan untuk
memahami fenomena yang diteliti.

Tujuan Penelitian
Ide dasar penciptaan menurut A.A Djelantik diawali dengan timbulnya
suatu dorongan yang dialami oleh seorang seniman. Dorongan itu bisa datang
dari luar diri seniman karena melihat sesuatu, tetapi juga bisa timbul dari dalam
hati sanubari seniman. Dorongan yang spontan serta secara sadar timbul dalam
diri seniman disebut dengan motivasi, dan dorongan yang tidak disadari
kemunculannya, hanya bisa merasakan desakan, dorongan keras, kegelisahan,
seolah-olah dipaksa untuk menciptakan sesuatu demikian disebut impuls.
(A.A.M. Djelantik,2001:64)
Sebuah penelitian tentu memiliki tujuan sebagai pijakan. Berikut ini akan
dipaparkan tujuan penelitian sebagai berikut;
1. Untuk memahami lebih dalam sebuah objek yang diteliti sehingga dapat
memahami objek dengan lebih detil.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

72

2. Melalui observasi seorang seniman dapat menemukan pemahaman dan hal-hal
yang tidak diduga atau dapat dikatakan memperlebar sudut pandang terhadap
objek
3. Dalam kegiatan observasi imajinasi seorang seniman dapat lebih berkembang
sehingga karya yang diciptakan lebih inovatif, unik dan tentunya memiliki
orisinalitas yang tinggi.

Pembahasan
Nilai-nilai keindahan setiap individu sangat berbeda-beda. Dalam hal ini
penulis sendiri mempunyai suatu ketertarikan terhadap hal yang menjijikan atau
mempunyai kesan yang kumuh. Dalam sebuah kesan tersebut penulis dapat
melihat sebuah keindahan tersendiri, yang dapat dilihat dari warna yang muncul
pada objek, bentuk maupun proses pembusukan yang terjadi pada objek. Dilihat
dari warna yang hadir dalam objek penulis melihat beberapa keindahan-
keindahan tersendiri, warna yang begitu artistik dan dapat dilihat bahwa warna
itu mengalami sebuah proses perubahan sehingga terlihat warna yang terkesan
tidak sederhana.
Untuk melakukan observasi penulis membeli seekor ikan laut yang sudah
melalui proses pengawetan terlebih dahulu. Pada awalnya ikan tersebut
mempunyai warna yang cenderung monokrom abu-abu silver dan ditambah
kesan merah dan kuning pada bagian tengah tubuh dan memiliki bentuk yang
utuh juga. Pada proses pengamatan perubahan objek ikan penulis menutup ikan
tersebut dengan tudung saji sehingga ikan terhindar dari tikus yang dapat
menggangu proses ini.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

73


Gb.01 Ikan laut yang sudah beberapa jam dari tempat pengawetan
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra
Beberapa jam setelah diletakkan diatas karung goni sebagai alas (agar cairan
dari ikan terlihat dan warna dari karung goni tersebut juga menarik) dari dalam
tubuh ikan sudah mulai hidup organisme-organisme berukuran kecil berupa
belatung dalam jumlah yang cukup banyak dan ikan tersebut sudah mengeluarkan
berupa cairan yang mulai menimbulkan bau.


Gb. 02 Proses pembusukan ikan pada hari kedua
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra
Hari berikutnya, tubuh ikan tersebut sudah mulai berubah karena digerogoti
belatung-belatung tersebut. Ukuran belatung menjadi lebih besar. Perubahan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

74

warna pada ikan ini pada hari kedua menjadi lebih pekat dan muncul warna-warna
yang sebelumnya tidak terdapat pada tubuh ikan tersebut diantaranya terdapat
kesan warna kecoklatan dan warna-warna busuk yang berada pada bagian tengah
tubuh ikan tersebut. Pada bagian tubuh ikan juga mulai muncul motif bintik-bintik
yang memenuhi beberapa bagian tubuh ikan tersebut
Melihat perubahan-perubahan yang terjadi, penulis menjadi semakin tertarik
untuk mencari tahu lebih dalam karena ternyata tanpa disadari, proses
pembusukan ikan memunculkan sesuatu yang memiliki nilai artistik yang tinggi
baik dalam segi warna maupun bentuknya.

Gb. 03 Munculnya bintik-bintik berwarna cokelat pekat pada beberapa bagian ikan
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra

Gb. 04 Proses pembusukan ikan pada hari ketiga
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

75

Bentuk ikan sudah semakin habis dimakan belatung. Susunan durinya sudah
banyak terlepas dari bentuk rangka aslinya. Mata ikan semakin menghitam dan
terjadi kerusakan pada isi kepala terutama dagu yang menyatu dengan perut. Pada
hari ketiga ini, ikan sudah kehilangan organ dalamnya karena organ dalam ikan
hancur dan terurai menjadi lembek bahkan sudah berbentuk cairan. Kerusakan
bentuk ikan ini semakin memperjelas kesan artistik yang dicari oleh penulis.

Gb. 05 Proses pembusukan ikan pada hari ketiga
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra
Pada hari keempat di siang hari, daging pada badan ikan habis dimakan
belatung. Durinya berserakan karena sudah tidak ditopang oleh rangka yang utuh.
Bagian rangka kepala termasuk kulit insang dan mulut masih utuh hanya saja
isinya sudah tidak ada lagi. Daging pada ekor tersisa sedikit saja. Sebagian cairan
terserap pada goni dan sebagian lainnya mengering pada kulit ikan yang tersisa.
Pada fase ini nilai artistik nampak pada bagian cairan yang mengering pada kulit
ikan, hal tersebut terlihat sangat fokus dan menjadi daya tarik tersendiri karena
cairan-cairan lainnya sudah habis terserap karung goni.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

76


Gb. 06 Proses pembusukan ikan pada hari keempat di siang hari
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra

Ketika pada malam hari penulis mengamati kembali, ikan sudah benar-benar
habis digerogoti. Daging yang melekat pada duri sudah habis sama sekali. Bagian-
bagian kepala sudah terurai menjadi serpihan kecil. Yang tersisa hanya bagian
ekor dan sisa kepala yang terlalu keras untuk dimakan oleh belatung. Sisa tersebut
setelah seharian tidak terurai mengalami perubahan warna yang terkesan coklelat
ochre dan terdapat kesan warna gelap yang menyebar visual tersebut juga
merupakan bagian artistik yang sangat menarik penulis dan warna tersebut juga
sering hadir dalam karya lukis yang penulis buat.

Gb. 07 hari ke empat pada malam hari
Sumber: dokumentasi Agus Mediana Adiputra
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

77

Setelah hari selanjutnya tidak terjadi perubahan pada tubuh ikan dan juga
belatung itu ikut menghilang hanya terdapat beberapa belatung didekat ikan yang
sudah tidak bergerak. Nilai-nilai artistik dalam sebuah benda atau objek yang
sudah melalui proses pengendapan dan terkontaminasi begitu dapat menarik
perhatian penulis. Hal tersebut seakan-akan mempunyai nilai perjalanan yang
istimewa karena untuk mencari nilai artistik seperti itu membutuhkan waktu untuk
berproses. Hal tersebut menginspirasi penulis dalam segi teknis yang sering
penulis gunakan berupa, warna, goresan, dan juga efek yang terdapat dalam hal
diatas menjadi modal tampilan dalam karya seni penulis.

Simpulan dan Saran
Dalam melakukan kegiatan observasi sebiknya memanfaatkan sudut pandang
yang lebih kritis terhadap objek observasi, sehingga setiap gejala yang terjadi atau
nampak dapat diamati dengan detil. Dalam penciptaan karya seni kegiatan
observasi ini dapat memberi dorongan inspirasi dan merangsang imajinasi seniman
dan juga melatih kepekaan seorang seniman dalam mengamati objek maupun
gejala atau proses.
Tentang pentingnya observasi sempat disinggung bahwa makna suatu karya
seni baru ada manakala karya seni itu dibayangkan sebagai ruang imajiner untuk
dimasuki, lalu potensi,potensi virtual yang ada didalamnya diamati dan ditanyakan
atau boleh dibilang bahwa seni itu baru ada ketika ia diamati, sebelum diamati ia
tidak ada padahal ada (M. Dwi Marianto, 2011; 67) Kalimat itu dapat
menegaskan bahwa kegiatan observasi merupakan hal yang penting untuk dapat
melihat sesuatu menjadi benar-benar ada.

Daftar Rujukan
Cassirer, Ernst. (1987), Manusia dann Kebudayaan, Sebuah Esesnsi Tentang
Manusia, Gramedia, Jakarta.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

78

Marianto, M. Dwi. (2011), menempa quanta mengurai seni, Badan Penerbit
Institut Seni Yogyakarta, Yogyakarta.
SP, Soedarso, (2000), Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, CV. Studio
Delapan Puluh Interprise, Jakarta.
Tedjoworo, H. (2001), Imaji dan Imajinasi, Kanisius, Yogyakarta.

Lampiran Karya Seni













Tentang Rasa 2013
Ikan Pindang, Cat Akrilik, Foto Objek,













Ikan Berkarat 2013
cat minyak, kanvas, besi, pada panel, 60x180cm
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

79

VARIASI KALIMAT PADA KARANGAN SISWA
KELAS X SMA NEGERI 7 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2011/2012

oleh
Ni Putu Arik Purnami, NIM. 2008.II.1.0010
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Abstrak
Menulis memiliki fungsi penting dalam berkomunikasi karena seseorang
dapat mengorganisasikan ide-idenya, serta menuangkannya dalam formulasi
ragam bahasa tulis. Salah satunya adalah karangan/karya tulis siswa. Adanya
variasi kalimat dalam sebuah karangan akan mempengaruhi kualitas dan efektif
atau tidaknya karangan tersebut. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan,
diperoleh hasil antara lain: (1) berdasarkan pembukaannya, kalimat pada karangan
siswa teridentifikasi dalam empat variasi, (2) berdasarkan polanya, kalimat pada
karangan siswa teridentifikasi dalam tiga variasi, (3) berdasarkan jenisnya,
kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam sembilan jenis, (4) berdasarkan
bentuk aktif-pasifnya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam 2 variasi
bentuk.

Kata kunci : Variasi, pembukaan, pola, jenis, aktif-pasif

Abstract
Writing has an important function in communication since someone can
organize his or her ideas, and apply it in the formulation of varied written
language, such as in the form of students essay/paper. The existence of sentence
variation in an essay will affect the quality and effectiveness of the essay. Based
on the conducted processing data, the results obtained are: (1) based on the
opening, the sentences in students essays are identified in four variations, (2)
based on the pattern, the sentences in students essays are identified in three
variations, (3) based on the type, the sentences in students essays are identified
in nine types, (4) based on the form of active-passive, the sentences in students
essays are identified in two variations.

Key words: Variation, opening, pattern, type, active-passive

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah
menulis. Menulis sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun di sekolah karena melalui tulisan, seseorang dapat menyusun
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

80

dan mengorganisasikan ide-idenya, serta menuangkannya dalam formulasi ragam
bahasa tulis dan konvensi penulisan lainnya.
Pembuatan karangan sudah tentu sangat berkaitan dengan kalimat karena
karangan terbentuk dari serangkaian kalimat yang tersusun secara sistematis dan
logis. Karangan yang baik tentunya dibangun oleh kalimat yang baik pula.
Adanya variasi kalimat dalam sebuah karangan akan mempengaruhi kualitas dan
efektif atau tidaknya karangan tersebut. Kita dituntut untuk mampu memproduksi
kalimat dengan baik. Banyak kalimat yang kita produksi setiap harinya, baik
ketika berbicara maupun menulis. Namun demikian, tidak semua orang mengerti
dan memahami seluk beluk kalimat. Akibatnya timbul pertanyaan, apakah
kalimat-kalimat yang kita hasilkan sudah memenuhi syarat sebagai kalimat yang
benar (gramatikal) ataukah belum. Di lapangan juga penulis menemukan bahwa
siswa seringkali mengabaikan penggunaan kalimat pada pembuatan karangannya.
Hal ini penulis cermati ketika melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di
SMA Negeri 7 Denpasar. Ketika mengajarkan materi mengarang, penulis melihat
kurang bervariasinya kalimat yang digunakan oleh siswa dalam karangannya. Hal
ini juga diperkuat oleh pendapat guru bidang studi bahasa Indonesia di sekolah
tersebut, yang menyatakan bahwa siswa kelas X kesulitan memvariasikan kalimat
dalam membuat sebuah karangan. Berdasarkan hasil observasi awal, diperoleh
hasil bahwa aspek pelajaran bahasa yang paling tidak disukai siswa adalah
menulis atau mengarang. Hal ini diakibatkan karena siswa merasa tidak berbakat
serta tidak tahu untuk apa dan bagaimana harus menulis.
Berdasarkan hal-hal tersebutlah, penulis merasa tertarik mengadakan
penelitian dengan judul Variasi Kalimat pada Karangan Siswa Kelas X SMA
Negeri 7 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012. Penelitian ini diharapkan
nantinya akan memberikan sumbangsih pada proses belajar-mengajar di sekolah
tersebut dalam peningkatan kemampuan siswa untuk memvariasikan kalimat-
kalimatnya ketika membuat sebuah karangan. Dengan demikian, hal ini tentu akan
memudahkan guru bidang studi bahasa Indonesia mengajarkan materi mengarang
di dalam kelas.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

81

1.2 Landasan Teori
Landasan teori merupakan hasil abtraksi dan sintesis teori berdasarkan
kajian pustaka yang dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti. Landasan teori
dapat membantu peneliti dalam menentukan arah dan tujuan penelitian serta
membantu peneliti dalam memilih konsep-konsep yang tepat (Ruddyanto,
2008:45).
Sehubungan dengan hal tersebut, landasan teori yang dipakai dalam
penelitian ini adalah (1) pengertian kalimat, (2) unsur-unsur kalimat, (3) variasi
kalimat, (4) pengertian karangan, (5) asas-asas mengarang yang efektif, dan (6)
jenis-jenis karangan.

1.2.1 Pengertian Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang berupa klausa, yang dapat
berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan mengungkapkan pikiran yang
utuh, yang dapat diwujudkan secara lisan maupun tulisan. Struktur kalimat
minimal terdiri dari dua bagian yang saling mengisi yakni subjek (S) dan predikat
(P).

1.2.2 Unsur-Unsur Kalimat
Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang dalam buku-buku tata bahasa
Indonesia lama lazim disebut jabatan kata dan kini disebut peran kata, yaitu
subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (pel.), dan keterangan (ket.).
Kalimat bahasa Indonesia baku minimal terdiri dari dua buah kata. Kedua kata
tersebut ada yang menduduki subjek dan ada yang menduduki predikat sedangkan
unsur lain (objek, pelengkap, dan keterangan) dapat wajib hadir, tidak wajib hadir,
atau wajib tidak hadir dalam suatu kalimat. Putrayasa (2010:21) menjelaskan
bahwa unsur wajib dalam sebuah kalimat terdiri atas konstituen kalimat yang
tidak dapat dihilangkan, sedangkan unsur tidak wajib terdiri atas konstituen
kalimat yang dapat dihilangkan. Konstituen ini merupakan satuan-satuan yang
membentuk suatu konstruksi.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

82

Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah subjek, predikat, objek,
pelengkap, dan keterangan. Kelima unsur tersebut memang tidak selalu bersama-
sama ada dalam satu kalimat. Kadang-kadang sebuah kalimat terdiri atas subjek
dan predikat (S-P), subjek-predikat-objek (S-P-O), subjek-predikat-pelengkap (S-
P-Pel) ,subjek-predikat-objek-keterangan (S-P-O-K), subjek-predikat-keterangan
(S-P-K), atau subjek-predikat-pelengkap-keterangan (S-P-Pel-K).

1.2.3 Variasi Kalimat
Kevariasian kalimat dapat menghindarkan seorang pembaca atau
pendengar dari kebosanan. Hal ini artinya seseorang dalam berkomunikasi
dituntut untuk memilih kata, frase, klausa, kalimat, bahkan paragraf yang
bervariasi. Salah satu ciri kalimat dikatakan efektif adalah kevariasian kata dan
struktur sehingga menghasilkan kesegaran bahasa (Widjono, 2007: 161).
Kevariasian ini tidak ditemukan dalam kalimat demi kalimat atau pada
kalimat-kalimat yang dianggap sebagai struktur bahasa yang berdiri sendiri. Ciri
kevariasian akan diperoleh jika kalimat yang satu dibandingkan dengan kalimat
yang lain. Sebuah alinea terasa hidup dan menarik bila kalimat-kalimatnya
bervariasi dalam hal panjang atau pendeknya, jenisnya, aktif-pasifnya, polanya,
atau gayanya. Putrayasa (2009:65) mengungkapkan kemungkinan variasi kalimat
antara lain: (1) variasi dalam pembukaan kalimat, (2) variasi dalam pola kalimat,
(3) variasi dalam jenis kalimat, dan (4) variasi dalam bentuk aktif-pasif.
Variasi dalam pembukaan kalimat, yaitu sebuah kalimat dapat dimulai atau
dibuka dengan (1) frase keterangan (waktu, tempat, cara), (2) frase benda, (3)
frase kerja, dan (4) partikel penghubung. Variasi dalam pola kalimat, yaitu
bervariasi dalam pola penempatan unsur-unsur kalimat. Variasi dalam pola
kalimat meliputi tiga variasi, yaitu struktur utama, struktur inversi parsial, dan
struktur inversi total. Variasi dalam jenis kalimat, yaitu variasi dalam penggunaan
jenis kalimat yang beragam. Variasi dalam jenis kalimat meliputi sembilan jenis,
yakni kalimat tunggal, kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat,
kalimat majemuk campuran, kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah,
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

83

kalimat langsung, kalimat tidak langsung. Variasi dalam bentuk aktif-pasif terbagi
menjadi dua bentuk variasi, yakni bentuk aktif dan bentuk pasif.

1.2.4 Pengertian Karangan
Karangan adalah hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis
dan diungkapkan dengan berbagai unsur bahasa yang dapat dibaca dan dimengerti
oleh masyarakat.

1.2.5 Asas-Asas Mengarang yang Efektif
Asas-asas yang sangat efektif untuk menghasilkan suatu karangan yang
baik perlu dipahami, dimengerti, dan dilaksanakan oleh setiap penulis dalam
melakukan kegiatan mengarang. Keenam asas mengarang yang dimaksud antara
lain: (1) kejelasan/clarity, (2) keringkasan/conciseness, (3) ketepatan/correctness,
(4) kesatupaduan/unity, (5) pertautan/coherence, dan (6) penegasan/emphasis.
Berikut akan diuraikan keenam asas tersebut.

1.2.6 Jenis-Jenis Karangan
Sebuah karangan ditulis dengan sejumlah pertimbangan. Pertimbangan-
pertimbangan itu juga berlaku dalam penentuan topik karangan (Suparno,
2003:3.4). Menurut Kuntarto (2007: 224) jenis-jenis karangan berdasarkan isi
dikelompokkan menjadi lima jenis. Kelima jenis karangan tersebut antara lain: (1)
narasi, (2) deskripsi, (3) eksposisi, (4) argumentasi, dan (5) persuasi.

1.3 Wawasan Tujuan Penelitian
Setiap penelitian atau kegiatan tentunya memiliki tujuan yang ingin
dicapai. Tujuan penelitian merupakan harapan yang ingin dicapai melalui
penelitian. Adanya tujuan inilah yang menentukan arah dan gerak kegiatan atau
penelitian. Tujuan yang jelas akan dapat dijadikan sebagai suatu landasan kerja
dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menentukan suatu kebenaran
sehingga penelitian menjadi sistematis dan terarah dengan pasti. Berkenaan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

84

dengan itu, tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni tujuan umum dan
tujuan khusus. Keduanya akan diuraikan satu persatu pada bagian berikut.

1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan
menulis siswa, terutama dalam memvariasikan kalimat pada pembuatan sebuah
karangan.

1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan masalah yang diteliti, hal-hal yang menjadi tujuan khusus
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui variasi kalimat pada karangan siswa kelas X SMA Negeri
7 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 ditinjau dari pembukaannya.
2. Untuk mengetahui variasi kalimat pada karangan siswa kelas X SMA Negeri
7 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 ditinjau dari polanya.
3. Untuk mengetahui variasi kalimat pada karangan siswa kelas X SMA Negeri
7 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 ditinjau dari jenisnya.
4. Untuk mengetahui variasi kalimat pada karangan siswa kelas X SMA Negeri
7 Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 ditinjau dari bentuk aktif-pasifnya.

2. METODE
2.1 Desain Penelitian
Pengolahan data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif.
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan dianalisis
secara deskriptif. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:12), penelitian kualitatif
dalam kegiatannya, peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data
dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Deskriptif kualitatif adalah
metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti
sesuai dengan apa adanya dengan tujuan menggambarkan secara sistematis fakta
dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

85

2.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 7
Denpasar tahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari sepuluh kelas, yaitu X1 46
orang, X2 44 orang, X3 47 orang, X4 46 orang, X5 45 orang, X6 47 orang, X7 47
orang, X8 47 orang, X9 46 orang, dan X10 45 orang. Jumlah populasi dalam
penelitian ini adalah 460 siswa yang terdiri dari 229 laki-laki dan 231 perempuan.
Penelitian ini termasuk penelitian sampel karena tidak semua dari subjek
penelitian akan dikenakan tindakan karena mengingat waktu dan biaya yang
sangat terbatas.
Penelitian ini menggunakan penelitian sampel dengan menggunakan
rumus penentuan sampel yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael, untuk
tingkat kesalahan 1%, 5%, dan 10% (dalam Sugiyono, 2008: 86-87) seperti
berikut ini.
S =
2
. N. P. Q
d
2
(N-1) +
2
. P. Q
Keterangan:

2
(dengan dk = 1) = harga tabel chi-kuadrat untuk tertentu
P = Q = proporsi dalam populasi = 0,5
d = ketelitian (error) = 0,05
S = jumlah sampel
N = jumlah populasi
Berdasarkan rumus di atas, besar sampel dalam penelitian ditentukan
dengan perhitungan seperti di bawah ini:
S = 2, 706. 460. 0,5. 0,5
0,05
2
(460-1) + 2,706. 0,5. 0,5
= 311, 19
0,0025. 459 + 0,6765
= 311, 19
1,1475 + 0,6765
= 311, 19
1,824
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

86

= 170, 6 dibulatkan menjadi 171
Perhitungan sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan tingkat
kesalahan 10%. Pertimbangan yang digunakan adalah makin besar tingkat
kesalahan, maka akan semakin kecil jumlah sampel yang diperlukan dan
sebaliknya, makin kecil tingkat kesalahan, maka akan semakin besar jumlah
anggota sampel yang diperlukan sebagai sumber data (Sugiyono, 2008:86). Dari
tabel chi-kuadrat diketahui dengan dk 1 adalah 2,706 sehingga dengan
menggunakan rumus Isaac & Michael diperoleh sampel sejumlah 171 orang.
Teknik pengambilan sampel akan dilakukan dengan dua cara, yaitu sampel
proporsional (proportional sampling) dan sampel random (random sampling).

2.3 Peengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes. Tes yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes tulis dengan bentuk penugasan. Adapun
langkah-langkah yang ditempuh dalam mengumpulkan data dengan metode tes
adalah (1) penyusunan tes, (2) pelaksanaan tes, dan (3) penilaian hasil tes
(Nurkancana, 1992:57).

2.4 Analisis Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.
Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan menampilkan sebuah
karangan dengan menganalisis kalimat-kalimatnya untuk menentukan variasi yang
terdapat pada karangan tersebut. Dalam penyajian data, tidak semua kalimat yang
terbentuk dari hasil karangan siswa dijadikan bahan penelitian. Kalimat-kalimat
yang struktur gramatikalnya salah dibuang untuk mempermudah dalam proses
menganalisis. Miles dan Huberman dalam bukunya Qualitative Data Analysis
yang diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi ke dalam Analisis Data
Kualitatif (1992:16) menyatakan bahwa analisis data kualitatif terdiri dari tiga
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Ketiga alur yang dimaksud adalah
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Ketiga alur
tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

87

2.4.1 Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang dikumpulkan
berdasarkan catatan-catatan tertulis selama observasi berlangsung (Miles dan
Huberman, 1992:16). Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahan membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Tegasnya, reduksi data dalam penelitian ini mencakup empat tahap
kegiatan antara lain: (1) pengkodean data, (2) pembuangan data, (3) identifikasi
data, dan (4) klasifikasi data. Keempat kegiatan ini akan diuraikan secara rinci
pada bagian berikut.

2.4.2 Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.
Miles dan Huberman (1992:17) membatasi penyajian data sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
Penyajian data yang baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis
kualitatif yang valid. Sajian data dalam penelitian ini, tidak hanya dilakukan
dalam bentuk deskripsi naratif, akan tetapi dilengkapi dengan

2.4.3 Menarik Simpulan/Verifikasi
Tahapan terakhir adalah penyimpulan. Penarikan simpulan dalam
penelitian kualitatif dilakukan selama proses penelitian berlangsung, mulai dari
tahap pengumpulan data sampai penyusunan laporan hasil penelitian secara
komprehensif. Penyimpulan dilakukan berdasarkan hasil klasifikasi dan analisis
mengenai karangan siswa.




Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

88

3. HASIL
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka hasil penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1). Berdasarkan pembukaannya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi
dalam empat variasi, yakni frase keterangan, frase benda, frase kerja, dan
partikel penghubung. Dari 2850 buah atau sebesar 99,8% variasi kalimat
dalam pembukaannya ditemukan 1258 buah atau sebesar 44,1% frase
keterangan, 1302 buah atau sebesar 45,6% frase benda, 231 buah atau sebesar
8,1% frase kerja, dan 59 buah atau sebesar 2,1% frase partikel penghubung.
Jumlah variasi kalimat dalam pembukaannya yang paling banyak muncul
dalam kalimat adalah frase benda, sedangkan variasi kalimat dalam
pembukaannya yang paling sedikit muncul adalah frase partikel penghubung.
2). Berdasarkan polanya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam tiga
variasi, yakni struktur utama, struktur inversi parsial, dan struktur inversi
total. Dari 2854 buah atau 100% variasi kalimat dalam polanya ditemukan
1570 buah atau sebesar 55% struktur utama, 1170 buah atau sebesar 41%
struktur inversi parsial, 116 buah atau sebesar 4,1% struktur inversi parsial
total. Variasi kalimat dalam polanya yang lebih banyak muncul pada kalimat
siswa adalah variasi struktur utama, yakni S-P-O-K, S-P-O, S-P-Pel, S-P-O-
Pel, S-P-Pel-K, sedangkan yang paling sedikit muncul adalah variasi struktur
inversi total.
3). Berdasarkan jenisnya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam
sembilan jenis variasi, yakni kalimat tunggal, kalimat majemuk setara,
kalimat majemuk bertingkat, kalimat majemuk campuran, kalimat berita,
kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat langsung, dan kalimat tidak
langsung. Dari 2854 buah atau 100% variasi kalimat dalam jenisnya
ditemukan 967 buah atau sebesar 33,9% kalimat tunggal, 714 buah atau
sebesar 25% kalimat majemuk setara, 653 buah atau sebesar 22,9% kalimat
majemuk bertingkat, 335 buah atau 11,7% kalimat majemuk campuran, 42
buah atau 1,5% kalimat berita, 46 buah atau sebesar 1,6% kalimat tanya, 7
buah atau 0,2% kalimat perintah, 53 buah atau sebesar 1,9% kalimat
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

89

langsung, dan 31 buah atau sebesar 1,1% kalimat tidak langsung. Jenis
kalimat yang paling banyak muncul adalah kalimat tunggal, sedangkan jenis
kalimat yang paling sedikit muncul adalah kalimat perintah.
4). Berdasarkan bentuk aktif-pasif, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi
dalam dua bentuk variasi, yakni bentuk aktif dan bentuk pasif. Dari 801 buah
atau 28,1% variasi kalimat dalam bentuk aktif-pasif ditemukan 597 buah atau
sebesar 21% bentuk aktif dan 204 buah atau sebesar 7,1% bentuk pasif.
Bentuk aktif lebih banyak digunakan siswa daripada bentuk pasif.

4. PEMBAHASAN
Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan pada hasil analisis dalam tiap-
tiap klasifikasi data sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini. Untuk
mendapatkan sajian pembahasan yang lebih integratif dan komprehensif, beberapa
data yang ditemukan akan dibahas satu per satu sebagai berikut.

4.1 Pembahasan Hasil Analisis Variasi Kalimat Berdasarkan Pembukaannya
Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa jumlah variasi kalimat dalam
pembukaannya, yang paling banyak muncul dalam kalimat adalah frase benda.
Hal ini dikarenakan sebuah kalimat yang disusun oleh siswa sebagian besar selalu
diawali oleh unsur subjek. Subjek sebuah kalimat sebagian besar berupa frase
benda. Variasi kalimat dalam pembukaannya yang paling sedikit muncul adalah
frase partikel penghubung. Hal ini disebabkan oleh kesalahan siswa yang
seringkali menggunakan partikel penghubung yang salah dalam sebuah kalimat.
Siswa cenderung mempergunakan partikel penghubung antarklausa untuk
mengawali sebuah kalimat, bukan menggunakan partikel penghubung
antarkalimat.

4.2 Pembahasan Hasil Analisis Variasi Kalimat Berdasarkan Polanya
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa variasi kalimat
dalam polanya yang lebih banyak muncul pada kalimat siswa adalah variasi
struktur utama, yakni S-P-O-K, S-P-O, S-P-Pel, S-P-O-Pel, S-P-Pel-K. Siswa
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

90

cenderung terbiasa memulai sebuah kalimat diawali dengan subjek yang diikuti
oleh predikat, objek, dan adverbial secara berurutan. Variasi struktur inversi total
paling sedikit muncul pada kalimat-kalimat siswa karena siswa cenderung
kesulitan dan belum terbiasa dalam membuat sebuah kalimat yang diawali dengan
frase predikat.

4.3 Pembahasan Hasil Analisis Variasi Kalimat Berdasarkan Jenisnya
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jenis kalimat yang paling banyak
muncul pada kalimat siswa adalah kalimat tunggal. Hal ini sesuai dengan
pola/struktur kalimat yang paling sering digunakan siswa, yakni struktur utama
kalimat. Siswa lebih mudah menuangkan ide/gagasannya menggunakan kalimat
tunggal. Penggunaan kalimat tunggal yang banyak tidak berarti menjadikan
kalimat-kalimat pada karangan siswa tidak menarik. Adanya variasi penggunaan
struktur/pola kalimat menjadikan kalimat-kalimat tersebut tidak membosankan
untuk dibaca. Jenis kalimat yang paling sedikit muncul adalah kalimat perintah.
Siswa cenderung jarang menggunakan kalimat perintah untuk menuangkan
ide/gagasannya.

4.4 Pembahasan Hasil Analisis Variasi Kalimat Berdasarkan Bentuk Aktif-
Pasif
Dari hasil analisis yang telah dilakukan tersebut, dapat diketahui bahwa
kalimat dalam bentuk aktif lebih banyak muncul. Hal ini dikarenakan siswa lebih
sering dan terbiasa mempergunakan kalimat yang diawali dengan subjek yang
melakukan sebuah pekerjaan. Pelaku atau subjek pada kalimat siswa lebih banyak
melakukan tindakan atau dikenakan pada objek.

5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data sebagaimana telah
diuraikan, dapat ditarik beberapa simpulan yang pada intinya merupakan jawaban
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

91

atas masalah-masalah penelitian yang telah dirumuskan. Simpulan-simpulan
tersebut adalah sebagai berikut.
1) Berdasarkan pembukaannya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi
dalam empat variasi, yakni frase keterangan, frase benda, frase kerja, dan
partikel penghubung. Dari 2850 buah atau sebesar 99,8% variasi kalimat
dalam pembukaannya ditemukan 1258 buah atau sebesar 44,1% frase
keterangan, 1302 buah atau sebesar 45,6% frase benda, 231 buah atau sebesar
8,1% frase kerja, dan 59 buah atau sebesar 2,1% frase partikel penghubung.
Jumlah variasi kalimat dalam pembukaannya yang paling banyak muncul
dalam kalimat adalah frase benda, sedangkan variasi kalimat dalam
pembukaannya yang paling sedikit muncul adalah frase partikel penghubung.
2) Berdasarkan polanya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam tiga
variasi, yakni struktur utama, struktur inversi parsial, dan struktur inversi
total. Dari 2854 buah atau 100% variasi kalimat dalam polanya ditemukan
1570 buah atau sebesar 55% struktur utama, 1170 buah atau sebesar 41%
struktur inversi parsial, 116 buah atau sebesar 4,1% struktur inversi parsial
total. Variasi kalimat dalam polanya yang lebih banyak muncul pada kalimat
siswa adalah variasi struktur utama, yakni S-P-O-K, S-P-O, S-P-Pel, S-P-O-
Pel, S-P-Pel-K, sedangkan yang paling sedikit muncul adalah variasi struktur
inversi total.
3) Berdasarkan jenisnya, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi dalam
sembilan jenis variasi, yakni kalimat tunggal, kalimat majemuk setara,
kalimat majemuk bertingkat, kalimat majemuk campuran, kalimat berita,
kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat langsung, dan kalimat tidak
langsung. Dari 2854 buah atau 100% variasi kalimat dalam jenisnya
ditemukan 967 buah atau sebesar 33,9% kalimat tunggal, 714 buah atau
sebesar 25% kalimat majemuk setara, 653 buah atau sebesar 22,9% kalimat
majemuk bertingkat, 335 buah atau 11,7% kalimat majemuk campuran, 42
buah atau 1,5% kalimat berita, 46 buah atau sebesar 1,6% kalimat tanya, 7
buah atau 0,2% kalimat perintah, 53 buah atau sebesar 1,9% kalimat
langsung, dan 31 buah atau sebesar 1,1% kalimat tidak langsung. Jenis
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

92

kalimat yang paling banyak muncul adalah kalimat tunggal, sedangkan jenis
kalimat yang paling sedikit muncul adalah kalimat perintah.
4) Berdasarkan bentuk aktif-pasif, kalimat pada karangan siswa teridentifikasi
dalam dua bentuk variasi, yakni bentuk aktif dan bentuk pasif. Dari 801 buah
atau 28,1% variasi kalimat dalam bentuk aktif-pasif ditemukan 597 buah atau
sebesar 21% bentuk aktif dan 204 buah atau sebesar 7,1% bentuk pasif.
Bentuk aktif lebih banyak digunakan siswa daripada bentuk pasif.

5.2 Saran-Saran
Sebagai tindak lanjut atas simpulan di atas, peneliti mengungkapkan
beberapa saran sebagai berikut.
1) Sebagian besar siswa masih salah dalam menggunakan partikel penghubung
untuk mengawali sebuah kalimat. Siswa seringkali kurang tepat
menggunakan partikel penghubung antarkalimat. Oleh karena itu, guru
bahasa Indonesia di sekolah tempat penelitian ini dilaksanakan hendaknya
memberikan materi mengenai partikel penghubung antarkalimat agar siswa
lebih terampil.
2) Kepada guru bahasa Indonesia disarankan agar lebih memberikan
pendalaman materi mengarang dan memperbanyak latihan-latihan mengarang
dengan bentuk-bentuk variasi kalimat yang ada sehingga karangan siswa akan
bervariasi dan tidak membosankan.
3) Siswa disarankan untuk lebih banyak berlatih dalam menyusun kalimat yang
bervariasi dalam struktur inversi total karena siswa masih banyak yang
menggunakan struktur utama kalimat.
4) Siswa disarankan untuk memperluas penggunaan kalimatnya sehingga tidak
hanya kalimat tunggal yang mendominasi karangannya.
5) Dalam memvariasikan kalimat pada pembuatan sebuah karangan, disarankan
kepada siswa untuk melakukan variasi secara benar, baik itu variasi dalam
pembukaan kalimat, pola kalimat, jenis kalimat, atau pun bentuk aktif-
pasifnya.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

93

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Azwar. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa Struktur Internal, Pemakaian, dan
Pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2011. Ragam Bahasa Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Gie. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Andi.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi.
Kurniari, Nyoman. 2012. Analisis Pemakaian Bahasa dalam Karangan Berbahasa
Bali Siswa Kelas XI SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2011/2012.
Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Bidang
Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni. IKIP PGRI Bali.
Miles Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Netra. 1974. Metodelogi Penelitian. Singaraja: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Udayana.
Priyanthini, Nitra. 2011. Analisis Kesalahan Pemakaian Bahasa Indonesia dalam
Laporan Perjalanan Karya Wisata Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Denpasar
Tahun Pelajaran 2010/2011. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia dan Daerah, Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. IKIP PGRI Bali.
Putrayasa. 2007. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: Refika
Aditama
Putrayasa, Ida Bagus. 2009. Jenis Kalimat dalam Bahasa Indonesia.Bandung:
Refika Aditama.
Putrayasa. 2010. Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran). Bandung:
Refika Aditama.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

94

Ramadhan, Achmad. 2012. Korelasi Antara Kemampuan Menyusun dan
Menganalisis Kalimat Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Banjarangkan,
Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2011/2012. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni.IKIP PGRI Bali.
Ramlan, M. 1987. Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.
Ruddyanto, dkk. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Denpasar: Departemen
Pendidikan Nasional Pusat Bahasa.
Santeri, Nyoman. 2010. Pola Kalimat Tunggal Siswa Kelas V SD Negeri 3
Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011. Skripsi. Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Bidang Ilmu Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. IKIP
PGRI Bali
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Suparno dan Mohammad Yunus. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Suyitno, Imam. 2011. Karya Tulis Ilmiah (KTI). Bandung: Refika Aditama
Widjono. 2007. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Zainurrahman. 2011. Menulis dari Teori Hingga Praktik (Penawar Racun
Plagiarisme). Bandung: Alfabeta.
Zuriah, Nurul. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

95

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PUISI MELALUI TEKNIK
PEMODELAN OLEH SISWA KELAS XI IPA SMA PGRI 6 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2013/2014

oleh
Komang Triana Dewi Wulandari, NIM 2009.II.1.0025
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan membaca
puisi siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014pada
tujuan umumnya, dan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui respon siswa
terhadap penerapan teknik pemodelan. Jenis penelitian yang dilakukan berupa
tindakan kelas dengan subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6
Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 28 orang. Penelitian ini
dilakukan dengan rancangan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam
dua siklus tindakan. Metode pengolahan data menggunakan metode statistik
deskriptif. Data dikumpulkan dengan metode tes dan observasi.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa, melalui
penerapan teknik pemodelan dapat meningkatkan keterampilan membaca puisi
siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian terjadi peningkatan dari pelaksanaan refleksi
awal dengan skor sebesar 1795 dengan nilai rata-rata 64,1, pada siklus I skor
sebesar 1945 dengan nilai rata-rata 69,4, dan siklus II skor sebesar 2315 dengan
nilai rata-rata 82,7. Terkait dengan simpulan di atas guru disarankan untuk
menerapkan metode pemodelan dalam pengajaran membaca puisi.

Kata kunci: membaca puisi, teknik pemodelan.


Abstract
The general purpose of this research is to improve the ability in reading
poetry by students class XI Science SMA PGRI 6 Denpasar academic year
2013/2014, and the specific purposes are to determine the students' response to
the application of modeling techniques. This type of research is conducted in the
form ofa classaction, while the research subjects were students of class XI Science
High School PGRI6 Denpasar academic year 2013/2014, totally 28 people. This
study was conducted with the design of classroom action research conducted in
two cycles of action. The method of processing data used descriptive statistical
methods. Data collected by the method of test and observation.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

96

Based on the analysis of data, it can be concluded that, through the
application of modeling techniques could improve the poetry reading skills of
students of class XI Science SMA PGRI 6 Denpasar academic year 2013/2014. It
can be seen from the results of the study. There was an increase of the score from
the implementation of the early reflection with a score of 1795 with an average
value of 64.1 into a score in the first cycle of 1945 with an average value of 69.4,
and then into the score in the second cycle of 2315 with an average value 82.7.
Related to the above conclusions, theacers are advised to apply the modeling
method in teaching the reading poetry lesson.

Keywords: readingpoetry, modeling techniques


1. Pendahuluan
Dalam pengajaran bahasa Indonesia terdapat empat aspek kebahasaan
yaitu, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut
merupakan suatu kesatuan yang harus diajarkan secara terpadu dan harus
diajarkan secara bersamaan karena masing-masing aspek saling mempengaruhi.
Dari keempat aspek tersebut keterampilan membaca merupakan kegiatan yang
tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia yang sudah menjadi kebutuhan
hidup sehari-hari. Tarigan (dalam Saddhono dan Slamet, 2012 : 64) memberikan
pengertian membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis
melalui media kata-kata/bahasa tulis. Kegiatan membaca juga termasuk dalam
kegiatan apresiasi sastra, kegiatan ini seperti membaca karya sastra seperti
puisi.Pengajaran puisi mempunyai tujuan membina apresiasi puisi karena secara
tidak langsung pembaca diarahkan untuk mengenali, memahami, memberi
pengertian, memberi penghargaan, berpikir kritis dan memiliki kepekaan rasa
dalam membaca puisi.
Latar belakang dalam penelitan ini adalah bahwa peneliti melihat banyak
persoalan yang sering kali muncul ketika seorang guru harus menyajikan
pembelajaran puisi di kelas. Kadangkala guru ragu dengan cara penyajian yang
dilakukan saat mengajarkan puisi tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru kelas
XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar, diperoleh informasi bahwa banyak siswa yang
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

97

belum bisa membaca puisi dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya kendala dan
keterbatasan yang dihadapi seperti: (1) kurangnya strategi mengajar guru dalam
pelajaran membaca puisi, dalam hal ini guru hanya menggunakan metode
ceramah, (2) metode yang digunakan guru kurang tepat, (3) tidak ada media yang
digunakan guru pada saat pembelajaran membaca puisi, (4) jumlah alokasi waktu
yang kurang yaitu hanya diajarkan dalam dua kali pertemuan, (5) sebagian besar
siswa membaca puisi denga datar tanpa melakukan variasi tekanan dan
membacanya secara tergesa-gesa, dan (6) minat siswa terhadap pembelajaran
membaca puisi rendah.
Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Apakah penggunaan metode pemodelan dapat meningkatkan kemampuan
membaca puisi pada siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar tahun
pelajaran 2013/2014?,dan (2) bagaimanakah respon siswa terhadap
pembelajaran puisi dengan menggunakan teknik pemodelan?.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca puisi siswa kelas XI IPA
SMA PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 pada tujuan umumnya, dan
tujuan khususnya adalah untuk mengetahui respon siswa kelas XI IPA SMA
PGRI 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 terhadap penerapan teknik
pemodelan.

2. Landasan Teori
2.1 Pengertian Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning/CTL)
Elaine B. Johnson (dalam Rusman, 2011 : 187) mengatakan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk
menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Pembelajaran kontekstual adalah
suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna
dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-
hari siswa.Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

98

dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa
berusaha mempelajari konsep seklaigus menerapkan dan mengaitkannya dengan
dunia nyata.

2.2 Prinsip Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning/CTL)
Setiap model pembelajaran, disamping memiliki unsur kesamaan,juga ada
beberapa perbedaan tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik
khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu pula
dalam membuat desain (skenario) yang disesuaikan dengan model yang
diterapkan.
Menurut Rusman (2010 : 193198) ada tujuh prinsip pembelajaran
kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu:
1. Konstruktivisme (Constructivism)
2. Menemukan (Inquiry)
3. Bertanya (Questioning)
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
5. Pemodelan (Modeling)
6. Refleksi (Reflection)
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

2.3 Pemodelan (Modeling)
Berdasarkan penerapan yang dilaksanakan melalui pendekatan kontekstual
atau Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas, maka dalam pembelajaran
membaca puisi digunakan teknik pemodelan untuk mencapai tujuan pembelajaran
efektif. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,
mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan
melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Pemodelan dapat
berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
Dengan kata lain model itu dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu, dan
sebagainya. Dengan begitu, guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

99

Adanya model dalam pembelajaran akan membantu siswa untuk berpikir kritis.
Siswa akan terbantu dengan mengamati model yang disediakan, sehingga siswa
lebih memahami materi yang diajarkan. Siswa tidak hanya menerima informasi
dari guru, tetapi siswa juga dapat menggali informasi dari model yang disediakan.

2.4 Apresiasi Sastra
Menurut Efendi (dalam Antara, 1985 : 26) menyatakan apresiasi sastra
adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh
penghargaan, kepekaan pikiran, kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
cipta sastra. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa apresiasi
sastra adalah suatu perhatian dengan penuh kesadaran terhadap cipta sastra yang
melibatkan penglihatan, pendengaran dan perasaan untuk merespon, menanggapi,
dan menikmati dengan penuh gairah dan hasrat karya sastra sehingga timbul
kepekaan, penghargaan dan pikiran kritis terhadap sastra.

2.5 Pengertian Puisi
Menurut Ensiklopedia Indonesia N-Z : 1147 (dalam Tarigan, 1993 : 4)
kata puisi berasal dari bahasa Yunani potesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti
yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi
hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat yang tertentu
dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan.
Sedangkan menurut (Kosasih, 2008 : 31) puisi adalah bentuk karya sastra yang
tersaji secara monolog, menggunakan kata-kata yang indah dan kaya akan makna.
Keindahan puisi ditentukan oleh diksi, majas, rima, dan iramanya.

2.6 Membaca Puisi
Menurut Tarigan (dalam Saddhono dan Slamet, 2012 : 64) membaca
adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-
kata/bahasa tulis.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

100

1) Aspek-aspek Dalam Membaca Puisi
Membaca puisi merupakan kegiatan membaca indah.Untuk itu pembaca
harus memperhatikan aspek-aspek penilaian dalam membaca puisi. Adapun
aspek-aspek yang dinilai dalam membaca puisi, antara lain: 1) vokal, 2) jeda, 3)
intonasi, 4) ekspresi/mimik, 5) penampilan.

3. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian.Metode
merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu
tercapai atau tidaknya tujuan yang akan diinginkan kini bergantung pada metode
yang digunakan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
setting penelitian, (2) subjek dan objek penelitian, (3) prosedur penelitian, (4)
metode pengumpulan data, (5) analisis data, dan (6) indikator keberhasilan.

3.1 Metode Pengolahan Data
Pada umumnya dalam Penelitian Tindakan Kelas tidak jauh berbeda
dengan prinsip pengumpulan data pada jenis penelitian formal. Pada umumnya
dalam PTK, baik data kualitatif maupun kuantitatif dimanfaatkan untuk
menggambarkan perubahan pada kinerja guru, hasil prestasi siswa, perubahan
kinerja siswa dan perubahan suasana kelas (Arikunto,dkk, 2011 : 127). Dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode tes dan metode
observasi.

3.1.1 Metode Tes
Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu
tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok
anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak
tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak lain
atau dengan nilai standar yang ditetapkan (Nurkancana, 1992 : 34). Dalam
penelitian ini, peneliti menugaskan setiap siswa untuk membaca sebuah puisi di
depan kelas kemudian memberikan penilaian dengan mempertimbangkan aspek-
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

101

aspek dalam pembacaan puisi seperti: vokal, jeda, intonasi, ekspresi, dan
penampilan

3.1.2 Metode Observasi
Metode observasi adalah metode yang dilakukan untuk mengumpulkan
informasi tentang proses pembelajaran yang dilakukan guru sesuai dengan
tindakan yang disusun (Sanjaya, 2009 : 79). Sebelum observasi tersebut
dilaksanakan, peneliti hendaknya menetapkan terlebih dahulu aspek-aspek
perilaku siswa selama proses pembelajaran seperti, minat siswa, perhatian siswa,
dan keaktifa siswa dalam mengikuti proses pembelajaran membaca puisi
menggunakan teknik pemodelan. Hasil observasi ini dapat digunakan sebagai
suatu acuan apakah suatu tindakan dapat dikembangkan dan dilanjutkan ke siklus
berikutnya atau perlu dilakukan revisi atau diubah total.

3.2 Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam mengolah data adalah
metode statistik deskriptif.Metode statistik deskriptif adalah suatu teknik dalam
mengolah data dengan menggunakan rumus-rumus statistik, selanjutnya data
tersebut dideskripsikan secara sistematis serta dibuat kesimpulan umum. Statistik
deskriptif dapat digunakan untuk mengolah karakteristik data yang berkaitan
dengan menjumlah, merata-rata, mencari titik tengah, mencari presentase, dan
menyajikan data yang menarik, mudah dibaca, dan diikuti alur berpikirnya (grafik,
tabel, chart) (Arikunto,dkk, 2011 : 131132). Tahapan-tahapan dalam
pengolahan data yang akan digunakan adalah, (1) mengubah skor mentah menjadi
skor standar, (2) menentukan kriteria predikat kemampuan siswa, (3) menentukan
predikat respon siswa. (4) mencari skor rata-rata, (5) menarik kesimpulan.

4. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik pemodelan dapat
meningkatkan kemampuan membaca puisi siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6
Denpasar tahun pelajaran 2013/2014. Selain itu respon siswa juga mengalami
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

102

peningkatan. Meningkatnya kemampuan membaca puisi dan respon siswa siklus I
dan siklus II dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Perbandingan Hasil Kemampuan Membaca Puisi Siswa
No Nama Siswa
Refleksi
Awal
Nilai
Siklus
I
Nilai
Siklus
II
Kategori Ket
1 Indri Sofia
Wahyuni
80 85 95 Meningkat Tuntas
2 Ricky Pasek N Puti 80 85 95 Meningkat Tuntas
3 Yoga Kusuma W I
Putu
75 80 95 Meningkat Tuntas
4 Wolfharditia
Oktaviana Nita
60 65 90 Meningkat Tuntas
5 Dyani Dewi Ni
Made
75 75 90 Meningkat Tuntas
6 Ayu Julyastari Ni
Made
60 70 85 Meningkat Tuntas
7 Dwi Gunantari Ni
Made
60 75 85 Meningkat Tuntas
8 Lilik Ari Rusita
Dewi Ni Putu
60 70 85 Meningkat Tuntas
9 Yolanda Aprilia
Faradila
60 65 85 Meningkat Tuntas
10 Deni Yuliantari Ni
Komang
60 75 85 Meningkat Tuntas
11 Eko Wacika I Gusti
Ngurah
70 70 85 Meningkat Tuntas
12 Mony Pebri Yanti
Kadek
70 75 85 Meningkat Tuntas
13 Mulyani Ni Made 70 70 85 Meningkat Tuntas
14 Ratna Dewi Putu 65 70 85 Meningkat Tuntas
15 Trisna Suandayani
Komang
70 75 85 Meningkat Tuntas
16 Yulia Eka Maharani 55 60 85 Meningkat Tuntas
17 Dwi Yudiastari
Kadek
75 75 80 Meningkat Tuntas
18 Intan Meika Putri
Ida Ayu
55 65 80 Meningkat Tuntas
19 Sahadewi I Gusti
Agung Made
60 65 80 Meningkat Tuntas
20 Trisillia Mulyawati
Anggraeni
60 65 80 Meningkat Tuntas
21 Septia Made Ni
Putu
60 65 75 Meningkat Tuntas
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

103

22 Adi Sumertayasa I
Putu
65 65 75 Meningkat Tuntas
23 Arjuniawan Bagus
Gede
50 55 75 Meningkat Tuntas
24 Ayu Swandary Ni
Kadek
55 65 75 Meningkat Tuntas
25 Bagus Aryanto
Ketut
60 65 75 Meningkat Tuntas
26 Parwata I Gede 70 70 75 Meningkat Tuntas
27 Tri Budi Atmojo 55 60 75 Meningkat Tuntas
28 Wira Aditya I Dewa
Gede
60 65 75 Meningkat Tuntas
Jumlah Skor 1.795 1.945 2.315
Rata-rata 64,1 69,4 82,7
Tabel 2. Perbandingan Respon Siswa dari Siklus I dan Siklus II
No Nama Siswa
Respon
Siklus I
Respon
Siklus II
Kategori Keterangan
1 Ayu Julyastari Ni
Made
83,3 91,7 Meningkat Tuntas
2 Dwi Gunantari Ni
Made
75 83,3 Meningkat Tuntas
3 Indri Sofia Wahyuni 66.7 91,7 Meningkat Tuntas
4 Lilik Ari Rusita Dewi
Ni Putu
58,3 83,3 Meningkat Tuntas
5 Ricky Pasek N Puti 58,3 91,7 Meningkat Tuntas
6 Septia Made Ni Putu 66.7 83,3 Meningkat Tuntas
7 Wolfharditia
Oktaviana Nita
66.7 83,3 Meningkat Tuntas
8 Yoga Kusuma W I
Putu
66.7 91,7 Meningkat Tuntas
9 Yolanda Aprilia
Faradila
66.7 83,3 Meningkat Tuntas
10 Ayu Swandary Ni
Kadek
75 83,3 Meningkat Tuntas
11 Bagus Aryanto Ketut 83,3 75 Meningkat Tuntas
12 Deni Yuliantari Ni
Komang
75 91,7 Meningkat Tuntas
13 Dwi Yudiastari
Kadek
83,3 75 Meningkat Tuntas
14 Dyani Dewi Ni Made 75 83,3 Meningkat Tuntas
15 Eko Wacika I Gusti
Ngurah
58,3 75 Meningkat Tuntas
16 Intan Meika Putri Ida
Ayu
58,3 75 Meningkat Tuntas
17 Mony Pebri Yanti 66.7 83,3 Meningkat Tuntas
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

104

Kadek
18 Mulyani Ni Made 66.7 83,3 Meningkat Tuntas
19 Parwata I Gede 66.7 75 Meningkat Tuntas
20 Ratna Dewi Putu 66.7 75 Meningkat Tuntas
21 Sahadewi I Gusti
Agung Made
66.7 91,7 Meningkat Tuntas
22 Tri Budi Atmojo 58,3 83,3 Meningkat Tuntas
23 Trisillia Mulyawati
Anggraeni
58,3 83,3 Meningkat Tuntas
24 Trisna Suandayani
Komang
66.7 83,3 Meningkat Tuntas
25 Wira Aditya I Dewa
Gede
66.7 75 Meningkat Tuntas
26 Yulia Eka Maharani 66.7 75 Meningkat Tuntas
27 Adi Sumertayasa I
Putu
75 75 Tetap Tuntas
28 Arjuniawan Bagus
Gede
75 75 Tetap Tuntas
Jumlah Skor 1916,8 2.299,8
Rata-rata 68,4 82,1


5. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis data menunjukan penggunaan teknik pemodelan
dapat meningkatkan kemampuan membaca puisi siswa kelas XI IPA SMA PGRI
6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata
siswa dari skor refleksi awal 64,1, rata rata skor pada siklus I mengalami
peningkatan menjadi 69,4 dan rata-rata skor pada siklus II kembali mengalami
peningkatan menjadi 82,7 dengan kategori baik. Peningkatan respon siswa
diperkuat oleh nilai rata-rata respon siswa pada sikluas I adalah 68,4, pada siklus
II meningkat menjadi 82,1 dengan ketegori baik. Peningkatan ini tidak hanya
ditunjukan oleh rata-rata kelas, tetapi juga oleh siswa secara individual.Secara
individual pada siklus I siswa yang memperoleh predikat nilai baik sebanyak
sembilan orang, yang memperoleh predikat nilai cukup sebanyak delapan belas
orang, dan satu orang memperoleh predikat nilai kurang.Pada siklus II, siswa yang
memperoleh predikat nilai sangat baik sebanyak enam orang, yang memperoleh
predikat nilai baik sebanyak dua belas orang dan yang memperoleh predikat nilai
cukup sebanyak sepuluh orang.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

105

Jadi, dengan menggunakan teknik pemodelan, kemampuan membaca puisi
siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 dapat
meningkat.Hal ini terlihat dari adanya peningkatan hasil kemampuan membaca
puisi siswa pada siklus II.Hasil penelitian ini juga menunjukan adanya respon
positif terhadap teknik pemodelan dalam pembelajaran membaca puisi dan
hipotesis dapat diterima.

6. Simpulan Dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapatlah disimpulkan sebagai berikut.
1) Kemampuan siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014, dalam membaca puisi meningkat. Hal ini terbukti dari nilai rata-
rata yang diperoleh siswa tersebut mengalami peningkatan dari tiap siklusnya.
Pada siklus I skor rata-rata siswa 69,4% dengan predikat cukup. Pada siklus II
skor rata-rata kemampuan membaca puisi siswa meningkat menjadi 82,7%
dengan predikat baik.
2) Pembelajaran membaca puisi melalui teknik pemodelan mendapat respon
yang positif dari siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014. Hal ini dapat dibuktikan dari respon siswa yang setiap siklusnya
mengalami peningkatan. Pada siklus I respon siswa menunjukan skor rata-rata
68,4 dengan predikat cukup dan pada siklus II respon siswa menunjukan skor
rata-rata 82,1 dengan predikat baik
Jadi penggunaan teknik pemodelan dapat meningkatkan kemampuan
membaca puisi siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014.Hal ini terlihat dari adanya peningkatan hasil kemampuan membaca
puisi siswa pada siklus II.Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya respon
positif terhadap teknik pemodelan dalam pembelajaran membaca puisi.

2. Saran
Saran-saran yang dapat diajukan sehubungan dengan hasil penelitian
tindakan kelas dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca puisi melalui
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

106

teknik pemodelan pada siswa kelas XI IPA SMA PGRI 6 Denpasar Tahun
Pelajaran 2013/2014 adalah sebagai berikut.
1. Secara umum penggunaan teknik pemodelan mampu meningkatkan
kemampuan siswa dalam membaca puisi. Maka dari itu guru disarankan untuk
mencoba menggunakan teknik pemodelan dalam upaya meningkatkan
keterampilan membaca puisi siswa.
2. Guru hendaknya dapat mengarahkan siswa untuk melakukan latihan-latihan
secara intensif dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca puisi.
3. Karena kegiatan ini sangat bermanfaat bagi guru dan siswa, maka diharapkan
kegiatan ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia khususnya dalam pengajaran membaca puisi.


DAFTAR RUJUKAN

Antara, IGP. 1985. Apresiasi Puisi (Acuan Pengajaran Apresiasi Sastra).
Denpasar : CV. Kayumas.

Kosasih, E. 2008.Apresiasi Sastra Indonesia.Jakarta : Nobel Edumedia.

Nurkancana, Wayan dan Sunartana, PPN. 1992. Evaluasi Hasil Belajar.Surabaya
: Usaha Nasional.

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Saddhono, Kundharu dan Slamet, St.Y.2012. Meningkatkan Keterampilan
Berbahasa Indonesia (Teori dan Aplikasi).Bandung : CV. Karya Putra
Darwati.

Sanjaya, H. Wina. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Kencana Prenada
Medi Group.

Suharsimi, Arikunto et.al. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi
Aksara.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa.


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460
107

KEMAMPUAN MEMAINKAN DRAMA DENGAN NASKAH BUATAN
KELOMPOK SISWA KELAS XI IPS SMA N 6 DENPASAR TAHUN
PELAJARAN 2013/2014
oleh
Kadek Puspita Dewi, 2009.II.2.0321
Program studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Bali

Abstrak
Dengan memperlajari sastra banyak manfaat yang akan diperoleh siswa.
Penggunaan bahasa Bali yang digunakan dalam sastra secara tidak langsung akan
memupuk rasa ingin tau serta mendalami bahasa Bali itu sendiri.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini antara lain (1) Bagaimanakah
kemampuan siswa kelas XI IPS SMA Negeri 6 Denpasar tahun pelajaran
2013/2014 dalam menulis sebuah naskah drama berbahasa Bali, (2)
Bagaimanakah kemampuan siswa kelas XI IPS SMA Negeri 6 Denpasar tahun
pelajaran 2013/2014 dalam memainkan drama berbahasa Bali dengan naskah
buatan kelompok, (3) Kesulitan- kesulitan apakah yang dialami siswa kelas XI
IPS SMA N 6 Denpasar dalam memerankan tokoh drama berbahasa Bali dengan
naskah buatan kelompok, (4) Faktor-faktor apakah penyebab kesulitan yang
dialami oleh siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014
dalam memerankan drama berbahasa Bali dengan naskah buatan kelompok.
Tujuan dari penelitian ini, yaitu ikut serta dalam upaya membina, memelihara,
mengembangkan serta mempraktekkan penggunaan bahasa Bali dan menjaga
kebudayaan masyarakat Bali
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori meliputi : (1)pengertian
apresiasi sastra, (2) tujuan apresiasi sastra, (3) manfaat pengajaran apresiasi sastra,
(4) tahapan-tahapan apresiasi sastra, (5) pengertian menulis kreatif, (6) tahapan-
tahapan menulis naskah drama, (7) pengertian drama, (8) istilah-istilah drama, (9)
istilah-istilah drama, (10) unsur-unsur drama, (11) teknik bermain drama, (12)
aspek-aspek yang dinilai dalam penulisan naskah drama, (13) aspek yang dinilai
dalam memainkan tokoh drama.
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan empat metode,
(1) metode penentuan subjek penelitian. Penentuan subjek penelitian
menggunakan populasi, (2) metode pendekatan subjek penelitian, pendekatan
subjek pada penelitian ini menggunakan pendekatan empiris, (3) metode
pengumpulan data.
Kemampuan siswa memainkan drama dengan naskah buatan kelompok siswa
kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 tergolong baik
dengan skor rata-rata pada kegiatan menulis naskah 84 serta skor rata-rata pada
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

108

kegiatan memainkan tokoh drama adalah 76. Skor yang diperoleh sudah sesuai
dengan KKM yang ditentukan SMA N 6 Denpasar yaitu 75.

Kata kunci : menulis naskah drama berbahasa Bali, memainkan tokoh drama

Abstract
By studying literature, many benefits could be obtained by students. Using
Balinese language in literature will indirectly foster curiosity to know and explore
the Balinese language itself.
The problems discussed in this study include (1) How is the ability of students
class XI IPS SMAN 6 Denpasar academic year 2013/2014 writing a drama script
in Balinese language, (2) How is the ability of students of class XI IPS SMAN 6
Denpasar academic year 2013 / 2014 in the role-play Balinese language with
script made by group, (3) what difficulties are faced by students of class XI IPS
SMA N 6 Denpasar in portray Balinese-language drama with the script made by
group, (4) what factors cause difficulties are faced by the students of class XI IPS
SMA N 6 Denpasar academic year 2013/2014 in portray Balinese language
drama with script made by group. The objectives of this study are to take part in
the effort to build, maintain, develop and practice the use of the Balinese
language and maintain the Balinese culture.
This study used some theories include: (1) understanding of literature
appreciation, (2) the purpose of literary appreciation, (3) the benefits of teaching
literature appreciation, (4) the stages of literary appreciation, (5) understanding
of creative writing, (6) stages of writing drama script, (7) sense of drama, (8) the
terms of drama, (9) the terms of drama, (10) the elements of drama, (11) drama
playing technique, (12) the aspects assessed in writing drama script, (13) aspects
which assessed in play a drama character.
The method used in this research was four methods, (1) the method of
determining the research subject that is population method, (2) subject approach
that is an empirical approach, (3) the method of data collection.
The ability of role-play with script made by group by students class XI IPS
SMA N 6 Denpasar academic year 2013/2014 quite good with an average score
84 on script writing activity as well as the average score on activity play a drama
character is 76. Scores obtained are in accordance with the prescribed MCC
SMA N 6 Denpasar that is 75.

Keywords: writing Balinese drama script, playing drama characters





Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

109

PENDAHULUAN
Menurut Tarigan (2008:1) Pendidikan bahasa mencakup empat aspek
ketrampilan bahasa yang meliputi: (1) ketrampilan menyimak/mendengarkan
(listening skills), (2) ketrampilan berbicara (speaking skills), (3) ketrampilan
membaca (reading skills), (4) ketrampilan menulis (writing skills). Keempat
ketrampilan ini hendaknya dapat diterapkan di lingkungan formal dan lingkungan
nonformal.
Peningkatan mutu pendidikan dalam ranah formal dengan menyempurnakan
kurikulum yang berlaku. Perubahan kurikulum dilakukan demi kesempurnaan
pendidikan, dengan mengarahkan alokasi waktu belajar untuk pendidikan bahasa
Bali. Alokasi waktu ini diharapkan mampu menambah serta menekankan
penggunaan dan kegemaran akan bahasa Bali. Namun hasil belajar yang telah
diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan. Pelajaran bahasa Bali seakan
berjalan di tempat. Begitu pula dengan di SMA N 6 Denpasar, hasil pendidikan
bahasa Bali belum menunjukkan perubahan dan peningkatan.
Keadaan di lapangan cenderung mengarah pada ketakutan dan rasa enggan
siswa untuk mengikuti pelajaran bahasa Bali mereka lebih memilih untuk diam di
luar kelas bahkan istirahat di kantin walaupun jam pelajaran bahasa Bali sudah
dimulai. Mereka beranggapan, penggunaan bahasa Bali tidak memberikan
manfaat yang nyata pada kegiatan di usia mereka, selain itu mereka beranggapan
pelajaran bahasa Bali sulit dan rumit untuk dipelajari dan dipahami. Kesulitan ini
terlihat pada pemahaman dan penerapan aksara Bali, penulisan dan membaca
aksara Bali lebih rumit dibandingkan membaca dan menulis bahasa Inggris, hal
ini tidak hanya mengarah pada pemahaman aksara Bali melainkan pada materi
pelajaran lainnya yaitu pada bidang sastra.
Kesusastraan Bali terbagi atas dua pembagian, yaitu kesusastraan Bali Purwa
dan kesusastraan Bali Anyar. Kesusastraan Bali Purwa terbagi lagi menjadi
kesusastaan lisan dan tulisan. Sedangkan kesusastraan Bali Anyar terdapat materi
puisi, prosa serta drama. Dalam materi drama terdapat memerankan atau
memainkan teks drama.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

110

Pelajaran mendramatisasikan drama sesungguhnya sangat menyenangkan,
selain dapat meningkatkan kemampuan berbicara, mendramatisasikan drama juga
mampu meningkatkan rasa percaya diri bagi siswa ketika berhadapan dengan
banyak orang.
Dalam penelitian ini, topik yang diangkat ialah memainkan drama berbahasa
Bali dengan naskah buatan kelompok. Topik ini dirasa tepat untuk dibahas dalam
penelitian ini karena sangat menantang dalam berseni peran disamping itu
menantang pula dalam memainkan imajinasi ketika menyusun sebuah naskah.
Kemampuan membaca tanpa menghayati peran dirasakan belum cukup dalam
menghayati bahasa, namun dalam memainkan drama dibutuhkan latihan serta
unsur gerak pemain dalam memainkan peran mereka masing-masing. Pemahaman
mengenai bahasa Bali juga sangat dibutuhkan ketika menulis naskah drama dan
memerankannya.
Hal ini yang menjadi pertimbangan bagi penulis untuk mengangkat topik ini,
demi meningkatkan penggunaan bahasa Bali dikalangan remaja, selain itu
sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti mengenai kemampuan
memainkan drama berbahasa Bali dengan naskah buatan kelompok.
Adapun landasan teori yang digunakan sebagai penjelasan wawasan kerangka
berpikir untuk mengarahkan seluruh penelitian ini adalah:
Pengertian Menulis Kreatif
Berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh setiap manusia tentunya memiliki
potensi untuk berkembang sejauh kita memiliki keinginan serta kemauan untuk
mengembangkan ketrampilan tersebut. Salah satu ketrampilan dasar dalam
berbahasa ialah menulis. Menurut Hugo Hartig (dalam Tarigan,2008:25-26)
menyatakan bahwa Penulisan kreatif atau penulisan yang bertujuan kreatif ialah
tujuan yang erat hubungannya dengan tujuan pernyataan diri. Tetapi keinginan
kreatif di sini melebihi pernyataan diri, dan melibatkan dirinya dengan
keinginan mencapai norma artistik, atau seni yag ideal, seni idaman. Tulisan yang
bertujuan mencapai nilai-nilai artistic, nilai-nilai kesenian.

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

111

Tahapan-Tahapan Menulis Naskah Drama
1. Menentukan Tema
2. Menetukan Judul
3. Menentukan Tokoh
4. Menetukan Alur
5. Menentukan Dialog (Wawacang atau Kramagung)
6. Menentukan Babak dan Adegan

Pengertian Drama
Priyatni (2010: 182) menyatakan bahwa drama adalah salah satu bentuk
seni yang bercerita melalui percakapan dan action tokoh-tokohnya.
Karmini (2011:142) menyatakan bahwa kata drama berasal dari bahasa
Yunani, dram yang berarti gerak. Atau dalam bahasa Inggris drama sebagai action
atau a thing done. Demikianlah dari segi etimologisnya, drama mengutamakan
perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat
drama.
Hasanudin (dalam Cahyaningrum,2010:9-10) menyatakan bahwa meskipun
terdapat bermacam-macam definisi drama, ada satu hal yang tetap dan menjadi
ciri drama, yaitu penyampainannya yang dilakukan dalam bentuk dialog atau
aktion yang dilakukan para tokohnya. Apabila seseorang membaca suatu teks
drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut, mau tidak mau sang
pembaca juga harus membayangkan alur peristiwanya seperti yang terjadi di atas
pentas. Di samping itu, kekhususan genre ini terletak pada tujuan drama yang
memang ditulis pengarang untuk tidak hanya berhenti sebagai karya yang hanya
membeberkan peristiwa artistik imajinatif. Namun, karya tersebut memang
diteruskan sebagai kemungkinan yang dapat dipentaskan dalam penampilan gerak
konkret yang dapat disaksikan.




Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

112

Teknik Bermain Drama
1. Konsentrasi
2. Vokal
3. Gerak Tubuh Pemain
4. Ingatan Emosi
5. Irama

METODE
Dalam kegiatan pelaksanaan suatu penelitian, peneliti harus memuat latar
belakang dari penelitian tersebut kemudian merumuskan masalah yang tertuang dalam
latar belakang, sehingga dari rumusan masalah tersebut dapat dirumuskan tujuan yang
ingin dicapai oleh peneliti. Untuk memperoleh tujuan tersebut, seorang peneliti harus
merumuskan metode-metode yang tepat untuk digunakan dalam membahas permasalahan
yang diteliti. dibahas empat subbab yang meliputi (1) metode penentuan subjek
penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian, (3) metode pengumpulan
data, dan (4) metode pengolahan data
Metode penentuan subjek penelitian ini sangat berpengaruh pada subjek
penelitian. Sehingga keakuratan sebuah penelitian berpedoman pada pemilihan
metode yang tepat. Pada penelitian ini peneliti meneliti seluruh subjek penelitian
atau populasi.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2011:117).
Metode pendekatan subjek penelitian digunakan untuk mengadakan pendekatan
secara khusus kepada subjek penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Metode
pendekatan subjek penelitian terdiri dari dua metode, metode eksperimen dan metode
empiris. Sugiyono(2011,3) menyatakan bahwa empiris adalah cara-cara yang dilakukan
dapat diamati oleh indra manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahi
cara-cara yang digunkan.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

113

Namun, untuk memperoleh hasil yang maksimal perlu menggunkan
metode yang tepat dalam pengumpulan data penelitian. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan beberapa metode antara lain, (1) metode tes, (2) metode
observasi, (3) metode kuisioner, (4) metode wawancara.
Setelah terkumpulnya data hasil penilaian terhadap penampilan serta hasil kerja
siswa, maka dilaksanakan pengolahan data dengan beberapa langkah yaitu (1)
menentukan skor mentah menjadi skor standar, (2) menyekor kemampuan siswa
menulis naskah drama buatan kelompok serta menyekor kemampuan siswa
memainkan drama dengan naskah buatan kelompok, (3) menentukan kriteria
predikat siswa, (4) mengelompokkan kemampuan siswa, (5) mencari skor rata-
rata, (6) menarik kesimpulan.

HASIL PENGOLAHAN DATA
Berdasarkan hasil penghitungan data, diperoleh simpulan data tes,
kemampuan menulis naskah berbahasa Bali diperoleh skor rata-rata standar dari
siswa adalah 84. Sesuai dengan kriteria predikat yang telah dipaparkan pada bab
III dapat dikatakan skor standar tergolong baik. Dengan demikian kemampuan
menulis naskah drama berbahasa Bali Siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar
Tahun Pelajaran 2013/2014 tergolong baik.
Kemampuan memainkan tokoh drama berbahasa Bali diperoleh skor rata-
rata standar dari siswa adalah 76. Sesuai dengan kriteria predikat yang telah
dipaparkan pada bab III dapat dikatakan skor standar tergolong baik. Dengan
demikian kemampuan menulis naskah drama berbahasa Bali Siswa kelas XI IPS
SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 tergolong baik.
Berdasarkan data hasil kuisioner di atas dapat disimpulkan bahwa
kesulitan yang dialami ketika menulis sebuah naskah drama berbahasa Bali pada
siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar Tahun pelajaran 2013/2014 ialah gaya
bahasa sedangkan kesulitan yang dialami ketika memainkan tokoh dalam sebah
naskah drama pada siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014 ialah penghayatan.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

114

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa kelas XI IPS
SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 mengenai kemampuan
memainkan tokoh drama berbahasa Bali dengan naskah buatan kelompok
diketahui faktor penyebab kesulitan yang dialami oleh siswa. Faktor penyebab
kesulitan pada saat membuat naskah drama terletak pada gaya bahasa, dialog,
amanat, serta babak atau adegan, dikarenakan penggunaan bahasa Bali yang
masih sulit serta belum dimengerti oleh siswa sehingga menyulitkan saat
membuat naskah. Pada saat memainkan tokoh drama berbahasa Bali kesulitan
teletak pada penghayatan, penguasaan panggung serta intonasi dikarenakan
adanya rasa malu serta grogi saat pementasan drama.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan di lapangan telah diuraikan pada
bab IV, sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan dari penelitian ini. Simpulan
tersebut merupakan jawaban dari rumusan masalah yeng telah disampaikan pada
bab I. Adapun simpulan-simpulan tersebut antara lain:
1. Berdasarkan hasil penghitungan data pada bab IV, diperoleh simpulan data
tes, kemampuan menulis naskah berbahasa Bali diperoleh skor rata-rata
standar yang diperoleh 84 dengan KKM 75. Sesuai dengan kriteria
predikat yang telah dipaparkan pada bab III dapat dikatakan skor standar
tergolong baik. Dengan demikian kemampuan menulis naskah drama
berbahasa Bali Siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014 tergolong baik. Secara umum siswa mendapatkan kualifikasi
sangat baik sebanyak 38 orang (50%) serta yang mendapatkan kualifikasi
baik sebanyak 38 orang (50%). Sehingga secara keseluruhan siswa
dikualifikasikan tuntas menulis naskah drama berbahasa Bali.
2. Kemampuan memainkan tokoh drama berbahasa Bali diperoleh skor rata-
rata standar yang diperoleh 76 dengan KKM 75. Sesuai dengan kriteria
predikat yang telah dipaparkan pada bab III dapat dikatakan skor standar
tergolong baik. Dengan demikian kemampuan menulis naskah drama
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

115

berbahasa Bali Siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar Tahun Pelajaran
2013/2014 tergolong baik. Siswa yang medapatkan kualifikasi sangat baik
3 orang (4%), kualifikasi baik 53 orang (70%), kualifikasi cukup 20
orang(26%). Secara keseluruhan siswa yang dikualifikasikan tuntas
sebanyak 56 orang(74%) serta yang tidak tuntas sebanyak 20 orang (26%).
3. Kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014 dalam memainkan drama dengan naskah
buatan kelompok ialah dalam menyusun sebuah naskah drama kesulitan
lebih terletak pada gaya bahasa, dialog, alur cerita serta babak atau adegan.
Dalam memainkan tokoh drama berbahasa Bali juga mengalami kesulitan
yaitu terletak pada penghayatan, gerak tubuh serta penguasaan panggung.
4. Faktor-faktor penyebab kesulitan yang dialami oleh siswa kelas XI IPS
SMA N 6 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 dalam memainkan drama
dengan naskah buatan kelompok ialah disebabkan oleh kurangnya
kemampuan siswa dalam memahami bahasa Bali, kurangnya penggunaan
bahasa Bali dalam keseharian baik itu di lingkungan sekolah maupun
lingkungan masyarakat yang dominan menggunakan bahasa lain. Selain
itu, kurangnya pengetahuan siswa mengenai anggah ungguhing bahasa
Bali.


SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah disampaikan, berikut ini akan
disampaikan beberapa saran untuk meningkatkan kemampuan siswa memainkan
drama dengan naskah buatan kelompok siswa kelas XI IPS SMA N 6 Denpasar.
Adapun saran-saran tersebut antara lain:
1. Mengingat hasil penelitian yang dilakukan peneliti masih dikatagorikan baik,
maka diharapkan para guru agar lebih mengintensifkan pelajaran bahasa Bali
terutama pada kemampuan siswa dalam menulis naskah drama serta memainkan
tokoh drama berbahasa Bali, hal ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi siswa
agar lebih maksimal.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

116

2. Siswa yang telah memenuhi KKM diharapkan untuk mempertahankan
sedangkan siswa yang belum memenuhi KKM diharapkan untuk meningkatkan
pemahaman bahasa Bali, agar pembelajaran bahasa Bali khususnya sastra mampu
mengajak generasi untuk mau serta berminat mendalami bahasa Bali lebih jauh.
3. Guru serta kepala sekolah diharapkan dapat melaksanakan lomba-lomba sastra
Bali yang berkaitan dengan drama. Baik itu pementasan drama maupun
kreativitas penulisan naskah drama yang menarik. Sehingga melalui kegiatan
yang dilaksanakan secara intern oleh pihak sekolah mampu memupuk serta
mencari bibit-bibit sastra Bali.
4. Karena subjek serta objek penelitian yang yang dilakukan peneliti masih terbatas
maka diharapkan untuk peneliti yang ingin meneliti masalah ini disarankan
melakukan penelitian ulang dengan subjek serta objek yang lebih luas.

DAFTAR RUJUKAN

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori, Dan Penerapannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosan Fiksi Dan Drama.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

117

KEMAMPUAN MELUKIS OBJEK BUAH-BUAHAN PADA MEDIA
KERTAS DENGAN MENGUNAKAN PASTEL OLEH SISWA KELAS X
TATA BOGA SMK PARIWISATA DALUNG
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Oleh
I Ketut Budana, NIM 2009.II.3.0032
Program Studi Pendidikan Seni Rupa
Abstrak
Lukisan pastel merupakan lukisan yang cara pembuatannya menggunakan
teknik kering. Pastel tidak tergantung dengan peralatan dan zat pengencer tertentu,
karena pastel merupakan batangan kering yang dapat langung dipakai. Warna-
warna pastel hampir menyamai cat minyak, hanya saja kelemahannya tidak
menempel terlalu kuat pada media yang digunakan.
Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui kemampuan melukis objek
buah-buahan pada media kertas dengan menggunakan pastel oleh siswa kelas X
Tata Boga SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013/2014 dan (2) untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan melukis objek buah-
buahan pada media kertas dengan menggunakan pastel oleh siswa kelas X Tata
Boga SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013/2014.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Metode penentuan subjek
penelitian adalah sampel. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas X Tata Boga
SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013/2014, sebanyak 44 orang. Dalam
pendekatan subjek penelitian, metode yang digunakan adalah empiris.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tes. Aspek-
aspek yang dinilai dalam tes tersebut yaitu (1) garis, (2) bentuk, (3) warna, (4)
komposisi. Data yang didapatkan dari metode tes, selanjutnya dianalisis dengan
teknik statistik deskriptif.
Hasil penelitian melalui pengolahan data dari hasil tes yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata siswa yang diperoleh dari hasil
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

118

penjumlahan skor standar kemudian dibagi dengan jumlah sampel adalah 71,9
yang dibulatkan menjadi 72. Bila dilihat dari hasil perolehan nilai rata-rata siswa
dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan 70, maka
kemampuan melukis objek buah-buahan pada media kertas dengan menggunakan
pastel oleh siswa kelas X Tata Boga SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran
2013/2014, tergolong baik.
Kata-kata kunci : Melukis dengan pastel.
Pastelpaintingis apaintingmade by drytechnique. Pasteldoes notdepend on
thespecificequipment andsubstancesthinners, becausepastelis adrystickthatcanbe
useddirectly. Pastels and oilpaintare almost equal, however it has a weakness that
itdoes not stick stronglyon the used media.
This study aims(1) todetermine the ability ofpainting fruit objectsby using
pastel onpaper mediabystudentsclass XF&B Services in TourismVocational
School Dalungyear2013/2014and(2) todetermine the factorsthataffect the ability
ofpainting fruits objectsby using pastel onpaper mediabystudents class X, F&B
Services in TourismVocational School Dalungyearr2013/2014.
This study is afield research. It used sampling method as the method of
determiningthe subjects. The subjectswere studentsof class X, F&B Servicesin
TourismVocational School Dalungyear2013/2014, which were44people. It
usedempirical method in the subject approach. Collecting datain this studywas
conducted by usingtest. The aspectsassessedin these tests are (1) line, (2) shape,
(3) color, and (4) composition. The dataobtainedfromthe testmethod, then
analyzedbydescriptivestatistical techniques.
The results ofthe studythroughprocessing the dataoftest can be
concludedthat theaverage scoreof studentsis71.9which isrounded into72.It
isobtainedby dividing the total of standardscorewith the numberof samples.When
it is compared with the score of minimum completeness criteria 70, it means that
the ability of painting fruits objects by using pastel on paper media by students of
class X, F&B services in Tourism Vocational School Dalung year 2013/2014 can
be categorized good.


Key words: Paintingwithpastels.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam konsepsi pendidikan, secara teoritis gambaran tentang manusia
Indonesia telah tertuang secara jelas dalam rumusan tujuan Pendidikan Nasional
Indonesia, yakni membentuk manusia seutuhnya lahir dan batin. Menurut
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

119

Suryahadi (2008:31) dalam dunia pendidikan ada empat aliran yang berhubungan
dengan pengembangan pendidikan khususnya pendidikan seni. Pertama, paham
progressivisme yakni paham dalam pendidikan yang menekankan pada
kebebasan, keaktifan, dan kreativitas. Kedua, paham essensialisme memandang
bahwa budaya hanya merupakan salah satu dimensi dalam kehidupan manusia.
Ketiga, paham perenialisme menekankan bahwa akal budi manusia mempunyai
kedudukan yang amat penting, sehingga aktivitas pendidikan perlu mengupayakan
perkembangan seoptimal mungkin. Dalam aliran ini guru dipandang memiliki
kedudukan sentral. Keempat, paham rekonstruksionisme memandang manusia
sebagai mahluk sosial.
Pendidikan kesenian adalah salah satu program yang amat esensial dan
strategi bagi pembangunan bangsa. Apabila dilaksanakan secara intensif dan
efektif, pelajaran kesenian dapat menumbuhkan kesadaran estetis daya kreativitas,
dan yang terpenting dapat membentuk watak seseorang. Beberapa cabang
kesenian juga dapat membangkitkan kesadaran rasa sosial. Dalam hal ini pelajaran
kesenian di sekolah-sekolah umum maupun sekolah kejuruan yang bukan berbasis
seni (Sekolah Seni), cenderung kurang mendapatkan perhatian yang serius dan
posisi pelajaran ini dikatakan marginal (diterpinggirkan).
Dilihat dari media ungkapnya dan tata penyajiannya, kesenian dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu (1) seni rupa, (2) seni tari,
(3) seni musik, (4) seni teater (Setiawati. dkk, 2007:1-92). Salah satu cabang yang
diungkapkan dalam permasalahan ini adalah seni lukis yang merupakan bagian
dari seni rupa. Seni lukis merupakan salah satu cabang dari seni rupa yang
memiliki kapasitas untuk menampung ide, ekspresi, atau pemaknaan kembali
seseorang atas dunianya melalui garis, warna, dan bahkan tekstur yang dibuat
pada bidang datar (Mofit, 2003:1). Dengan semakin meningkatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terlepas pula dari perkembangan
pendidikan kesenian khususnya seni rupa. Dalam hal ini seni lukis yang
merupakan salah satu cabang dari seni rupa juga mengalami perkembangan,
seperti berkembangnya berbagai aliran dalam seni lukis yakni : Realisme,
Ekspresionisme, Abstrak, Kubisme, Surealisme, dan Impresionisme.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

120

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis mengambil melukis
objek buah-buahan pada media kertas dengan menggunakan pastel , sebagai
objek penelitian adalah karena tingkat kesulitan dalam melukis buah-buahan
terletak pada spontanitas goresan dan keserasian objek yang dilukis, terlebih lagi
menggunakan bahan pastel / krayon yang teknik penggunaannya harus memiliki
kemahiran / keahlian untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang maksimal tentu didukung tempat yang sesuai
dimana objek penelitian dipelajari secara khusus. Dalam penelitian ini, tempat
yang penulis pilih adalah SMK Pariwisata Dalung, adalah sekolah kejuruan yang
mengusung seni budaya dalam kurikulumnya. Di SMK Pariwisata Dalung
terdapat dua jurusan yakni jurusan Akomodasi Perhotelan dan Tata Boga.
Penulis memilih untuk meneliti pada jurusan Tata Boga karena siswa pada
jurusan Tata Boga cenderung lebih sering bergelut dalam hal buah-buahan. Buah-
buahan tersebut disajikan secara utuh dengan diletakkan pada sebuah tempat baik
itu piring hias maupun keranjang hias, yang dikombinasikan dengan beberapa
buah-buahan yang lainnya sebagai hiasan, maupun dipercantik dengan mengubah
bentuknya menjadi ukiran buah-buahan (fruit carving). Hal ini akan lebih menarik
lagi apabila bisa dipindahkan kedalam media dua dimensi yang berupa lukisan,
sehingga siswa tidak hanya bisa menata buah secara riil saja, tetapi juga bisa
mewujudkan dalam bentuk seni lukis. Untuk mengetahui tingkat kemampuan
siswa dalam melukis, maka perlu dilakukan penelitian. Adapun penelitian yang
penulis lakukan berjudul Kemampuan melukis objek buah-buahan pada media
kertas dengan menggunakan pastel oleh siswa kelas x tata boga Sekolah
Menengah Kejuruan Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013 /2014 .

Landasn teori
Untuk mencapai suatu tujuan dalam penelitian sangat diperlukan acuan
yang berupa landasan secara teoritis dari masalah yang diteliti agar peneliti
mempunyai pijakan dalam melaksanakan suatu penelitian. Berbicara masalah
kemampuan melukis dengan pastel, maka dalam landasan teoritis akan dijelaskan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

121

secara berturut-turut mengenai : 1) Pengertian kemampuan melukis, 2) Pengertian
seni lukis, 3) Pengertian pastel, 4) Sejarah perkembangan seni lukis pastel, 5)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan melukis dengan pastel, 6) Sarana
prasarana/media, 7) Unsur-unsur dalam melukis buah-buahan dengan pastel.
Wawasan Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian yang dilaksanakann pasti memiliki tujuan yang
hendak dicapai. Menetapkan tujuan adalah hal yang sangat mutlak dilakukan.
Sehingga proses penelitian akan berlangsung dengn teratur, terarah dan sistematis,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi tujuan umum dan
tujuan khusus.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan salah satu
cabang seni rupa, Siswa mampu melukis untuk mengembangkan berbagai teknik
yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan ciri khas tersendiri.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan
melukis objek buah-buahan pada media kertas dengan menggunakan pastel oleh
siswa kelas X Tata Boga SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2012/2013.

METODE
Desain Penelitian
Dalam metode penelitian ini, akan diuraikan mengenai petunjuk-petunjuk
serta langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh hasil penelitian
yang ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh kaarena itu penelitian yang
bersifat ilmiah harus memerlukan suatu metode sebagai pegangan dalam tahapan
kerja yang akan ditempuh. Dalam hal ini adapun metode-metode yang akan
dilakukan dalam penelitian ini yaitu (3.1) Metode penentuan subjek penelitian,
(3.2) Metode pendekatan subjek penelitian, (3.3) Metode pengumpulan data dan
(3.4) Metode pengolahan data.
Sampel
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

122

Menurut Sukandarrumidi (2002:53), Sampel adalah sebagian anggota
populasi yang memberikan keterangan atau data yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Dengan kata lain sampel adalah himpunan bagian dari populasi.
Kemudian menurut Narbuko, dkk, (2009:107), menyatakan bahwa sampel adalah
penelitian dengan menggunakan sebagian individu dari populasi sebagai subjek
penelitian. Dari pengertian ini, maka penelitian dengan menggunakan sampel bisa
dilakukan apabila subjek penelitiannya berjumlah diatas seratus individu, dengan
ketentuan dapat mewakili jumlah dari populasi.

Pengumpulan Data
Sesuai dengan data yang diperlukan yaitu data kuantitatif tentang
kemampuan belajar melukis menggunakan pastel pada media ketas dengan objek
buah-buahan pada siswa kelas X Tata Boga, maka metode yang digunakan untuk
mengumpulakan data yaitu metode tes. Sukandarrumidi (2002:71), menyatakan
tes adalah sutu cara untuk mengatakan suatu penelitian yang berbentuk tugas
yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan
nilai tentang tingkah laku atau prestasi siswa yang satu dapat dibandingkan
dengan nilai yang dicapai oleh siswa yang lain dengan nilai standar yang
ditetapkan.

Analisis Data
Analisis data tes penugasan dimaksudkan untuk mencari atau menghitung
dan menentukan skor rata-rata prestasi siswa dalam melukis objek buah-buahan
pada media kertas dengan menggunakan pastel. Untuk mendapatkan gambaran
yang jelas dari data di atas, maka akan dihitung skor rata-rata siswa. Untuk
menghitung skor rata-rata dimuat dalam tabel berikut ini.



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

123

Tabel Persiapan Menghitung Nilai Rata-rata dalam Kemampuan Melukis Objek
Buah-buahan pada Media Kertas dengan Menggunakan Pastel pada Siswa
Kelas X TB SMK Pariwisata Dalung Tahun Pelajaran 2013/2014
NO. X F Fx
1. 90 4 360
2. 85 3 255
3. 80 5 400
4. 75 6 450
5. 70 9 630
6. 65 10 650
7. 60 7 420
JUMLAH 44 3165
Keterangan :
X = Skor Standar
F = Jumlah frekuensi siswa
Fx = Skor Standar dikalikan jumlah frekuensi siswa
Berdasarkan skor yang dicapai oleh masing- masing siswa seperti yang
dimuat dalam tabel 4.6 di atas, maka dapat dihitung nilai rata-ratanya dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
M = fx
N
Keterangan :
M = nilai rata-rata
fx = jumlah skor standar
N = jumlah sampel
(Arikunto, 2012:301)

Diketahui :
N = 44
fx = 3165
M = ?



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

124

HASIL
Dengan rumus tersebut langkah selanjutnya adalah menghitung skor rata-
rata dengan memasukkan jumlah fx dan N yang sudah diketahui menggunakan
rumus di atas.
M = fx
N
M = 3165
44
M = 71.9
M = 72 ( dibulatkan )
Nilai rata-rata yang diperoleh dalam perhitungan di atas adalah 71,9 tetapi
karena bilangan tersebut berupa bilangan pecahan maka akan dilakukan
pembulatan. Jika pecahan nilai rata-rata berada pada bilangan 0,5 ke atas maka
pecahan nilai rata-rata tersebut dibulatkan, dan jika pecahan tersebut di bawah
bilangan 0,5 maka pembulatan tidak dilakukan. Nilai yang diperoleh dalam
perhitungan di atas adalah 71,9 dan dibulatkan menjadi 72 dimana nilai tersebut
berada dalam rentangan skor 71- 85. Mengacu pada pedoman kriteria predikat
pada BAB III, maka nilai rata-rata siswa kelas X TB SMK Pariwisata Dalung
tahun pelajaran 2013/2014 di dalam melukis objek buah-buahan pada media
kertass dengan menggunakan pastel adalah berpredikat baik.

BAHASAN
Pengertian Pastel
Menurut Suryahadi (2008:139) pastel merupakan serbuk yang dilekatkan
dengan butir-butir pigmen dan dibentuk menjadi batangan-batangan yang rapuh.
Penggunaan pastel pada kertas yang memiliki permukaan yang bertekstur yang
cukup kasar seperti karton, dapat menahan partikel pastel. Warna-warna pastel
cemerlang, hampir menyamai cat minyak, hanya saja kelemahannya tidak
menempel terlalu kuat.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

125

Sejarah Perkembangan Seni Lukis Pastel
Sejarah penggunaan pastel pertama kali yang diketahui adalah oleh
Leonardo Da Vinci pada tahun 1495 pelukis ini dikenal baik dengan teknik
pastelnya. Selanjutnya pada abad 19, pastel dipopulerkan oleh pelukis Prancis
Edgar Degas dengan Mary Cassan yang juga memperkenalkan media pastel
kepada rekannya di Philadelphia dan Washington, hingga ke seluruh Amerika
Serikat.
Seorang tokoh yang pertama kali melukis dengan menggunakan teknik
pastel di Indonesia yaitu : Soenarto Pr adalah seorang pelukis yang setia dengan
idealismenya dalam dunia seni seperti yang pernah diucapkannya :
seni adalah universal dan untuk kemanusiaan, karena itu seni bisa dan mampu
menggugah semangat dan gairah hidup seluruh manusia, dimana pun dia berada.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di ASRI Yogyakarta tahun 1954, beliau
dan beberapa teman-temannya seperti Mulyadi W, Wardoyo, Soemadji dan
Soeharto Pr mendirikan Sanggar bambhu yang bersifat non politik pada 1 April
1959.

Unsur-Unsur Dalam Melukis Objek Buah-Buahan Dengan Pastel
Dasar kesenirupaan yang diperlukan dalam melukis dengan menggunakan
pastel/krayon adalah pengetahauan mengenai medium seni, yang meliputi isi dan
tema karya seni, dan mencakup bahan baku yang digunakan untuk mengungkap
isi kelebihan dan kekurangan bahan tersebut. Melalui medium karya seni akan
memperoleh wujudnya yang kongkrit/lahiriah. Adapun unsur-unsur dalam
melukis buah-buahan dengan menggunakan pastel adalah (1) Garis, (2) Bentuk,
(3) Warna, (4) Komposisi.
Garis Garis
hanya berdimensi memanjang dan memendek, lurus, melengkung zigsag, dan
seterusnya. Garis muncul dari suatu titik yang bergeser kemudian meninggalkan
jejaknya, jejak menampakkan gabungan titik-titik yang bersambungan maka
terjadilah suatu garis (Sachari, 2006:109). Jadi kemampuan melukis dengan pastel
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

126

tergantung pada kemahiran membuat garis, kemampuan membuat garis
tergantung pada kemahiran teknik melihat garis pada objek, karena garis
merupakan bagian terpenting dalam proses penyelesaian bentuk lukisan.
Bentuk Sebelum mulai
menggambar buah-buahan sebaiknya diketahui terlebih dahulu bahwa bentuk
tersebut memiliki bentuk dasar. Dalam hal ini buah-buahan memiliki bentuk
dasar yang beraneka ragam mulai dari bentuk yang beraturan sampai pada bentuk
yang tidak beraturan. Bentuk merupakan wujud yang dibentuk oleh sekumpulan
garis dan bidang (Sadjiman,2005:69).
a) Bentuk geometris yaitu bentuk-bentuk tertentu yang terukur dan dapat
didefinisikan, seperti lingkaaran, bola, bujur sangkar, tebung, limas, dan
sebagainya. Sering juga dikatakan sebagai mentuk mutlak atau murni.
b) Bentuk organis, yaitu bentuk alamiah yang sudah mengalami perkembangan
tidak lagi terukur dan sukar di definisikan misalnya bentuk pohon, orang atau
kuda (Setiawati, dkk, 2008:11).
Warna
Mengapa suatu benda dapat dikenali dengan berbagai warna seperti merah, hijau,
kuning dan sebagainya, karena secara alami mata kita dapat menangkap cahaya
yang dipantulkan dari permukaan benda tersebut. Permukaan tekstur benda
memiliki daya resap warna-warna yang tinggi. Warna-warna yang terang jika
memantul pada permukaan yang licin akan memantulkan sinar kembali dengan
daya serap warna yang berkurang. Lain halnya terhadap benda yang memiliki
tekstur kuat dan padat, warna yang dimiliki adalah warna-warna seperti biru,
merah dan hijau. Disamping itu soal warna ditentukan juga oleh kekuatan sinar
yang diterima oleh benda tertentu. Akan lain kalau sinarnya lemah atau kuat,
seperti pada waktu musim hujan, mendung, pagi, siang, atau sore hari (Mofit,
2003:24).
Komposisi
Komposisi disebut juga susunan atau letak objek. Dalam melukis, jarak antara
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

127

objek yang satu dengan yang lainnya hendaknya tidak terpisah berjauhan,
sehingga objek lukisan tidak terlihat berat sebagaian (Sachari, 2006:70).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan
penyajian hasil penelitian mengenai kemampuan melukis objek buah-buahan pada
media kertas dengan menggunakan pastel oleh siswa kelas X Tata Boga SMK
Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013/2014, maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
Nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil penjumlahan skor standar
kemudian dibagi dengan jumlah sampel adalah 71,9 yang dibulatkan menjadi 72.
Berdasarkan nilai KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal ) yang ditetapkan 70, bila
dilihat dari hasil perolehan nilai rata-rata siswa, maka kemampuan melukis objek
buah-buahan pada media kertas dengan menggunakan pastel oleh siswa kelas X
Tata Boga SMK Pariwisata Dalung tahun pelajaran 2013/14, tergolong baik.

Saransaran
Sesuai dengan simpulan di atas, maka dapat disampaikan beberapa hal berupa
saran-saran sebagai bahan tindak lanjut yaitu sebagai berikut :
1. Meskipun hasil penelitian tergolong baik, tetapi masih ada beberapa siswa
yang kurang, oleh sebab itu siswa kelas X Tata Boga SMK Pariwisata
Dalung tahun pelajaran 2013/2014, diharapkan lebih banyak berlatih
membuat sketsa-sketsa, khususnya buah-buahan dan mengembangkan
teknik-teknik dari pastel baik dalam mengolah bahan, objek, maupun
menyusun setiap unsur-unsur seni rupanya.
2. Dalam proses pembelajaran khususnya pada materi melukis dengan
menggunakan teknik kering ( pastel ), guru bidang studi seni budaya ( seni
rupa ) SMK Pariwisata Dalung perlu memberikan contoh-contoh karya
yang dikerjakan dengan teknik kering ( pastel ), sehingga siswa dapat
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

128

termotivasi untuk mengerjakan tugasnya dan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa khususnya dalam bidang melukis dengan teknik kering
(pastel) dari prestasi yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Demikian saran-saran yang dianggap perlu untuk disampaikan dengan
harapan semoga bermanfaat bagi siswa dan guru pengajar seni budaya (seni rupa)
di SMK Pariwisata Dalung, sehingga kwalitas pendidikan dan prestasi siswa lebih
bermutu.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto,Suharsimi,dkk.2006.Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta:Bumi Aksara.
Arikunto,Suharsimi.2010.Prosedur Penelitian.Jakarta:PT.Rineka Cipta.
Arikunto,Suharsimi.2012.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Jakarta:Bumi
Aksara.
B.Uno,Hamzah,dkk.2009.Mengelola Kecerdasan Dalam
Pembelajaran.Jakarta:Bumi Aksara.
Berrill, Philip.2008.Panduan Melukis Dengan Pastel.Jakarta:Macanan Jaya
Cemerlang.
Ebdi, Sadjiman.2005.Dasar Dasar Tata Rupa Dan Desain.Yogyakarta:Arti Bumi
Intaran.
Harnawa.2003.Prestasi Belajar Melukis Manusia pada Siswa Kelas III SMPN 1
Blahbatuh.
Mofit.2003.Cara Mudah Menggambar.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Mardalis.1989.Penelitian Suatu Pendekatan Proposal.Jakarta:Bumi Aksara.
Narbuko,Cholid,dkk.2009.Metodologi Penelitian.Jakarta:Bumi Aksara.
Sukarma.2011.Prestasi Belajar Melukis Wajah dengan Teknik Pastel Oleh Siswa
Kelas XI Lukis Modern SMKN 1 Sukawati.
Swarnata.2012.Kemampuan Belajar Melukis Menggunakan Pastel Oleh Siswa
Kelas XI SMKN 1 Sukawati.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

129

Sumarsono,Sonny.2004.Metode Riset Sumber Daya Manusia.Yogyakarta:Graha
Ilmu
Sukandarrumidi.2006.Metodologi Penelitian.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.
Suryahadi, A.Agung.2008.Seni Rupa Menjadi Sensitive, Kreatif, Apresiatif dan
Produktif.Jakarta:Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan,
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
Setiawati, Rahmida dkk.2007.Seni Budaya 2.Bogor:Ghalia Indonesia Printing.
Sidik, Fajar.1991.Dinamika Proses Kreasi Kumpulan Sketsa.ISI Yogyakarta.
Simon,Howard.2004.Teknik Menggambar.Semarang:Dahara Prize.
Saud,Syaefudin.2009.Pengembangan Propesi Guru.Bandung:Alfabeta.
Sachari, Agus.2007.Seni Rupa Dan Desain SMA Jilid 1.Bandung:Erlangga.
Santo, Neddy, dkk.2012.Menjadi Seniman Rupa.Solo:Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
Susanto,Mikke.2011.Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa.Edisi
Revisi.Cetakan Ke-1.Yogyakarta:Dicti Art Lab,Bali:Jagat Art Space.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

130

KEMAMPUAN MENARIKAN TARI KREASI METANGI DALAM
KEGIATAN EKSTRAKURIKULER SISWA KELAS VII-VIII
SMP NEGERI 3 TABANAN
TAHUN PELAJARAN 2013/2014

oleh
Luh Gede Laras Sita, NIM 2009.II.4.0009
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Kemampuan
Menarikan Tari Kreasi Metangi dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Bagi Siswa Kelas
VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan Tahun Pelajaran 2013/2014. Sedangkan aspek
yang diteliti dalam penelitian ini meliputi aspek agem, tandang, dan tangkep.
Sedangkan usaha untuk mengetahui kemampuan siswa, maka di dalam penelitian
ini menggunakan beberapa teori sebagai acuan. Teori-teori yang diacu mencakup :
(1) Pengertian Kemampuan, (2) Pengertian Tari, (3) Klasifikasi Tari Bali, (4) Ciri
Khas tari Bali, (5) Pengertian dan Tujuan Ekstrakurikuler, (6) Tari Kreasi
Metangi, (7) Struktur Gerak dan Pola Lanatai Tari Kreasi Metangi, (8) Kostum
dan Tata Rias Tari Kreasi Metangi, (9) Dasar-dasar Tari Bali.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini digunakan metode-metode antara
lain (1) Metode Penentuan Subjek Penelitian, (2) Metode Pendekatan Subjek
Penelitian, (3) Metode Pengumpulan Data, (4) Metode Pengolahan Data. Dalam
pengolahan data metode yang digunakan adalah metode analisis statistik. Yang
merupakan populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII-VIII SMP
Negeri 3 Tabanan yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tari Bali, yang
berjumlah 57 orang siswa.
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan yaitu Kemampuan Menarikan Tari Kreasi Metangi Dalam kegiatan
Ekstrakurikuler Siswa Kelas VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan Tahun Pelajaran
2013/2014, diperoleh nillai rata-rata 87,80 (dibulatkan menjadi 88) tergolong
kategori baik sekali. Untuk itu disarankan agar para guru pengajar seni tari, perlu
meningkatkan pengajaran yang aktif dalam melatih gerak tari Bali, sehingga
interaksi belajar-mengajar tetap kondusif dan tercapainya tujuan yang optimal.

Kata Kunci : Kemampuan Menarikan Tari Kreasi Metangi


Abstract
This study aims to find out the capability of dancing a creative dance
Metangi in Extracurricular Activites by Students Class VII-VIII SMP 3
Tabanan Academic Year 2013/2014. While the aspects studied in this research
include aspects agem, tandang, and tangkep. Then, this study uses several
theories as reference to determine the ability of the studens. Those are : (1)
Definition of Ability, (2) Definition of Dance, (3) Classification of Balinese
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

131

Dance, (4) Characteristics of Balinese Dance, (5) Definition and Purpose of
Extracurricular, (6) Creative Dance, (7) Movement Structure and Floor Pattern
of Creative Dance Metangi, (8) Costume and Makeup of Creative Dance
Metangi, (9) Fundamentals of Balinese Dance.
This study used some methods to achieve the objectives of this study such
as: (1) Method of Determining Subjects, (2) Method of Subjects Approach, (3)
Research Methods, (4) Method of processing data. In processing data, it used the
method of statistical analysis. While the population of this study were all students
of class VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan who take part in Balinese dance
extracurricular, which is numbered 57 students.
Based on data analysis that has been done, it can be drawn a conclusion
that the capability of dancing creative dance Metangi in extracurricular
activities by students class VII-VIII of SMP Negeri 3 Tabanan academic year
2013/2014 can be categorized very good. It can be seen from the average score of
87,80 (rounded to 88).
Therefor it is recommended that the theachers of dance need to be more active in
Balinese dance training, so that the teaching-learning interaction can be
conducive and optimal.

Key words : Ability to Dance Creations Metangi


Latar Belakang Penelitian
Pendidikan merupakan proses yang terencana, bertujuan, sistematis,
terstruktur, dan terukur untuk membantu, mendorong, mengarahkan, dan
mengelola manusia menuju perbaikan dan peningkatan kemanusiaannya (Putra,
2012: 6). Salah satu dasar pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan
melewati generasi. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan yang
artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, dan
motivasi (Tilaar, 1999: 40). Dimana materi pelajaran muatan lokal pendidikan
seni tari berfungsi untuk melatih, mengembangkan potensi bakat seni dan
mendorong kreativitas untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari
baik untuk diri siswa maupun untuk lingkungannya dan pendidikan tari
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kepribadian siswa. Maka dari itu tari
Kreasi Metangi sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler ikut berperan untuk
melestarikan, mengembangkan dan menambah kreasi seni tari Bali. Seni
merupakan bermacam-macam perasaan, imajinasi, gambaran, khayalan,

Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

132

dorongan, naluri pikiran yang semuanya yang berpusat pada nilai estetis yang
diungkapkan didalamnya (Magnissuseno, 1992: 27).

Landasan Teori
1. Pengertian Kemampuan
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kesanggupan,
kecakapan, kekuatan, kekayaan (Poewardarminta, 2007 : 742). Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan dalam penelitian ini pengertian
kemampuan adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian yang
merupakan bawaan sejak lahir yang merupakan hasil latihan atau praktek dan
digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya.
Dengan demikian dalam penelitian ini kemampuan yang dimaksudkan tersebut
ialah mengenai kemampuan siswa menarikan tari Kreasi Metangi.


2. Pengertian Tari
Adapun beberapa definisi mengenai tari yang disampaikan oleh seniman
dan pakar tari yang memiliki pengertian yang sama. Tari adalah ekspresi jiwa
manusia yang diungkapkan melalui gerak-gerak ritmis yang indah (Soedarsono,
1972:4), sedangkan tari adalah gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama
kelamaan nampak mengarah kepada bentuk-bentuk tertentu (Artika, 1990:4). Seni
tari merupakan salah satu cabang kesenian yang dituntut secara kodrati manusia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tari merupakan salah satu
ekspresi jiwa manusia yang diuraikan melalui gerak-gerak ritmis dan indah
berirama diiringi dengan suara musik serta memiliki unsur keindahan.

3. Klasifikasi Tari Bali
Berdasarkan jenisnya Tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian
yaitu:
1) Jenis Tari Bali menurut fungsinya
Bandem, (1983:7), menggolongkan kesenian menjadi 3 jenis, yaitu:
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

133

a) Seni Tari Wali berfungsi sebagai tarian yang mengiringi suatu upacara
keagamaan. Contoh : Tari Rejang Dewa, Tari Baris Gede
b) Seni Tari Bebali adalah suatu tarian yang bisa digunakan sebagai
pengiring upacara agama baik dilakukan di pura maupun di luar pura
umumnya memakai lakon. Contoh : Tari Topeng, Tari Gambuh, dan Tari
Wayang Wong.
c) Seni tari Balih-balihan adalah suatu tarian yang dapat dipentaskan atau
ditonton baik itu dalam upacara agama maupun diluar upacara agama dan
mempunyai fungsi seni tari yang serius atau hiburan. Contoh : Tari Joged,
Drama Gong, Sendratari, dan Arja.
2) Jenis Tari Menurut Koreografinya
Atas dasar koregrafi (pola garapannya), dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Tari-tarian tradisional yaitu tari-tarian yang telah mengalami proses
perjalanan sejarah yang cukup panjang.
b) Tari-tarian kreasi baru yaitu jenis tari-tarian yang menentang aturan-
aturan serta pola-pola tradisi ( Dibia, 1977 :20).
3) Jenis Tari Bali Menurut Isi dan Temanya
1) Tari Pantomin adalah tari yang menirukan gerak dari suatu objek yang
berada diluar dirinya, peniruan yang dilakukan ada dari gerak binatang,
tumbuh-tumbuhan, alam dan kehidupan sehari-hari
Contoh: Tari tenun dan Tari Nelayan
2) Tari Erotis adalah tari yang mengandung unsure percintaan.
Contoh: Tari Oleg Tamulilingan
3) Tari Heroik adalah tari yang mempunyai latar belakang kepahlawanan.
Contoh: Tari Baris
4) Jenis-jenis tari menurut Bentuk Penyajiannya
Djayus, 1979:11, menyatakan jenis-jenis tari menurut bentuk penyajiannya
ada 3, yaitu (1) tari tunggal, (2) tari duet / berpasangan, (3) tari kelompok.
a) Tari Tunggal adalah tari yang ditarikan oleh satu orang saja. Contoh : tari
Margapati, Tari Truna Jaya, dan Tari Panji Semirang.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

134

b) Tari Duet / Berpasangan adalah tarian yang ditarikan oleh dua orang
penari, dimana setiap penari mempunyai peran yang berbeda tetapi saling
melengkapi atau berkaitan. Contoh : Tari Cendrawsih, Tari Oleg
Tamulilingan.
c) Tari Kelompok (masal) adalah tarian yang ditarikan secara berkelompok
atau grup sesuai dengan komposisi tarinya. Contoh : Tari Kidang Kencana,
Tari Kupu-kupu Tarum dan yang lainnya.

4. Ciri Khas Tari Bali
Mengutamakan ekspresi, sikap membuka pada beberapa anggota atau
bagian tubuh, adanya travesti (karya sastra atau seni yang dengan sengaja
menirukan gaya), bersifat dinamis senafas dengan musik pengiringnya, pada tari
pertunjukan pakaian tari pada umumnya sangat berbeda dengan pakaian sehari-
hari (Arini, 2012 : 62).

5. Pengertian dan Tujuan Ekstrakurikuler
Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan diluar mata pelajaran untuk
membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi bakat,
dan minat mereka. Kegiatan ekstrakurikuler sendiri memiliki tujuan yaitu
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta
didik, dan kondisi sekolah (Muslich, 2007: 35).

6. Tari Kreasi Metangi
Metangi artinya: banguneling. Dimana tari ini menceritakan
sekelompok petani yang melakukan aktifitas pertaniannya seperti nandur,
mejukut, ngerabuk, ngulah kedis, dan manyi karena mengingat kembali pada
Kabupaten Tabanan yang merupakan daerah Lumbung Beras dimana sektor
pertanian sebagai ujung tombak perekonomian masyarakat tempo dulu. Usaha
pelestarian pertanian, dengan mengingatkan pada prosesi petani yang
menyenangkan. Dengan harapan pertanian di Kabupaten Tabanan tetap ajeg dan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

135

lestari tidak terpinggirkan oleh perkembangan zaman saat ini. Tari Kreasi Metangi
merupakan tari kreasi yang terkonsep dalam bentuk tari rakyat. Tari ini ditarikan
oleh lima atau tujuh orang penari wanita yang dikemas dalam suatu pertunjukan.
Tari Kreasi Metangi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan tari kreasi
yang mengangkat tema rakyat lainnya. Hal ini tampak pada gerakan yang
ditampilkan serta properti yang digunakan.

7. Kostum dan Tata Rias Tari Kreasi Metangi
Kostum membantu peranan gerak dalam bentuk koreografi tari secara
utuh, juga mempunyai fungsi yang simbolis terutama pada tari-tarian tradisional.
Sedangkan rias membantu mewujudkan ekspresi muka penari, yang harus
dilakukan sebagaimana mestinya. Rias muka bukan sekedar bertujuan untuk
menjadikan penari berwujud cantik atau ganteng dan bukan sekedar merubah
wajah saja, tetapi harus betul-betul diselaraskan dengan peranan yang dibawakan
oleh penari (Artika, 1990 : 24-27).

8. Dasar-dasar Tari Bali
Djayus (1980 : 11), menyatakan bahwa Tari Bali secara garis besar terdiri
dari 3 faktor utama, yaitu:
1) Agem ialah sikap pokok yang mengandung suatu maksud tertentu, yaitu suatu
gerak pokok yang tidak berubah-ubah dari satu sikap pokok ke sikap pokok
yang lain.
2) Tandang ialah cara memindahkan suatu gerak pokok ke gerak pokok yang
lain, sehingga menjadi satu rangkaian gerak yang saling bersambungan .
Tandang terdiri dari abah yaitu perpindahan gerakan kaki menurut
komposisi tari, dan tangkis yaitu perkembangan tangan seperti luk naga
satru, nerudut, dan ngelimat.
3) Tangkep ialah mimik yang memancarkan penjiwaan tari, yaitu suatu ekspresi
yang timbul melalui cahaya muka.


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

136

METODE PENELITIAN
1. Metode Penentuan Subjek Penelitian
Metode Penentuan Subjek Penelitian adalah cara yang digunakan dalam
penelitian ilmiah untuk menentukan individu-individu yang akan dijadikan subjek
penelitian akan muncul apabila kita mengadakan penelitian lapangan. Untuk itu
subjek penelitian ini adalah seluruh siswa yang mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler tari Bali di SMP Negeri 3 Tabanan tahun pelajaran 2013/2014.

a. Populasi Penelitian
Arikunto, (2006:130), menyatakan populasi adalah keseluruhan subyek
penelitian. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian baik terdiri dari benda
yang nyata, abstrak, peristiwa maupun gejala yang merupakan sumber data dan
memiliki karakter tertentu dan sama (Sukandarrumidi, 2002 : 47). Sopiah, 2010 :
185, menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
subyek atau obyek dengan kwalitas karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa peserta ekstrakurikuler tari kreasi Metangi
kelas VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan Tahun pelajaran 2013/2014.
Jumlah populasi Siswa Kelas VII-VIII SMP Negeri 3 Tabanan Tahun Pelajaran
2013/2014 dalam Kegiatan Ekstrakurikuler.

NO KELAS LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 VII A - 8 8
2 VII B - 1 1
3 VII D - 4 4
4 VII E - 7 7
5 VII F - 2 2
6 VII G - 1 1
7 VII H - 4 4
8 VII I - 3 3
9 VII J - 6 6
10 VIII A - 4 4
11 VIII B - 1 1
12 VIII C - 2 2
13 VIII D - 3 3
14 VIII E - 3 3
15 VIII G - 3 3
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

137

16 VIII H - 5 5
Jumlah 57
Sumber : SMP Negeri 3 Tabanan, Bali
2. Sampel Penelitian
Arikunto, 2006:131, menyatakan bahwa sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti. Sampel artinya bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi (Sopiah, 2010:186). Sedangkan menurut
Sukandarrumidi, 2002:50, sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki
sifat-sifat yang sama dari objek yang merupakan sumber data. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sampel penelitian pada prinsipnya adalah bagian dari
populasi yang diambil oleh peneliti untuk mewakili populasi yang ada.

3. Metode Pendekatan Subjek Penelitian
a. Metode Empiris suatu cara pendekatan dimana gejala yang akan diteliti itu telah
ada secara wajar.
b. Metode Eksperimen yaitu suatu pensekatan, yang digunakan untuk mencari
pengaruh perlakuan tertentu. ( Sugiono,2010 : 6 ).

4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipakai adalah
metode tes yaitu tes tindakan, yaitu apabila respon yang diberikan oleh anak itu
berbentuk tingkah laku, jadi anak itu berbuat sesuai perintah atau pertanyaan yang
diberikan. Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanan tes antara lain:
Agem, Tandang, dan Tankep.

Nama Tarian
Aspek yang Dinilai
Jumlah
Agem Tandang Tangkep
Tari Kreasi
Metangi
30 30 40 100


Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

138

5. Metode Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Metode statistik deskriptif adalah sekumpulan metode yang berupaya
membuat ringkasan dan deskripsi data yang telah dikumpulkan, memungkinkan
peneliti untuk dapat membuat deskripsi nilai-nilai yang banyak dengan angka-
angka indeks yang simpel tapi penuh arti (Darmadi, 2011:268). Langkah-langkah
yang ditempuh dalam pengolahan data adalah:

a. Membuat Pedoman Konverensi
Pedoman konversi digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor
standar dengan norma absolute skala seratus. Skala seratus adalah sekala yang
bergerak antara nol sampai seratus. Sekala seratus disebut juga skala persentil.
Untuk mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar dengan norma
absolute skala seratus (persentil) digunakan rumus sebagai berikut:
P =
SMI
X
x 100
Keterangan :
P = Persentil
X = skor yang dicapai
SMI = Skor maksimal ideal
(Gunartha, 2009 : 74)
b. Mencari Skor Maksimal Ideal (MSI)
Skor maksimal ideal adalah skor tertinggi yang mungkin dicapai apabila
semua item dapat dijawab dengan benar. Adapun penilaian meliputi 3 aspek
seperti: agem, tandang, dan tangkep. Masing-masing aspek diberi bobot berbeda
sesuai dengan tingkat kesukaran, agem diberi bobot 30, tandang diberi bobot 30,
dan tangkep diberi bobot 40. Dengan demikian skor maksimal ideal
30+30+40=100.



Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

139

c. Mencari Skor Rata-rata
Untuk mengetahui nilai rata-rata siswa dalam pelajaran ekstrakurikuler
tari kreasi Metangi digunakan rumus sebagai berikut:
M =
Keterangan :
M = Mean (rata-rata)
= Epsilon (jumlah)
fx = Jumlah nilai
N = Jumlah subjek / sampel
(Nurkancana, 1992 : 174)


Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan data hasil tes di atas dapat diketahui bahwa dari aspek
penilaian: teknik agem skor terendah 25 dan skor tertinggi adalah 30, dari teknik
tandang skor terendah 25 dan skor tertinggi 30, sedangkan dari teknik tangkep
skor terendah adalah 25 dan skor tertinggi adalah 40. Berdasarkan hasil ini dapat
dilihat bahwa aspek tangkep memiliki tingkat kesulitan paling tinggi diantara tiga
aspek lainnya, dengan perbedaan-perbedaan poin dari pencapaian skor maksimal
aspek tangkep tersebut di atas. Dari hasil penelitian yang dilakukan di SMP
Negeri 3 Tabanan dapat di uraikan bahwa skor rata-rata yang dicapai oleh siswa
SMP Negeri 3 Tabanan dalam menarikan tari Kreasi Metangi adalah 87,80 yang
dibulatkan menjadi 88.

Simpulan
Dari hasil yang diperoleh di atas maka dapat disimpulkan siswa yang
berkategori baik berjumlah 21 orang, jika dipresentasekan menjadi 37%, siswa
yang berkategori baik sekali berjumah 33 orang, jika dipresentasekan menjadi
58%, dan siswa yang berkategori cukup berjumlah 3 orang, jika dipresentasekan
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

140

menjadi 5%. Dari simpulan diatas, populasi siswa yang dijadikan subjek
penelitian berjumlah 57 orang dinyatakan tuntas atau berhasil.

Saran
Dasar rangka meningkatkan mutu pelajaran seni tari Bali di SMP Negeri 3
Tabanan, maka berdasarkan kesimpulan di atas maka akan diajukan beberapa
saran sebagai berikut adalah:
1. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu dapat diketahui bahwa ada beberapa
siswa yang memiliki prestasi yang baik dalam mempelajari tari Kreasi
Metangi untuk itu perlu adanya pengembangan bakat bagi anak-anak yang
mengikuti pelajaran Seni, khususnya seni tari.
2. Dalam upaya menumbuh kembangkan motivasi siswa dalam belajar tari
Kreasi Metangi, dipandang perlu melibatkan siswa dalam berbagai lomba
seni tari khususnya tari Kreasi Metangi.
3. Untuk membantu mengembangkan bakat dan minat siswa dalam seni tari
Kreasi Metangi, maka pihak sekolah, masyarakat, orang tua, dan
pemerintah perlu menyediakan berbagai fasilitas belajar yang memadai.
4. Kepada guru pengajar seni tari, perlu ditingkatkannya pengajaran yang
aktif dalam melatih gerak tari Kreasi Metangi, sehingga interaksi belajar-
mengajar tetap kondusif dan tercapainya tujuan yang optimal.

DAFTAR RUJUKAN
Arini, Ni Ketut. 2012. Teknik Tari Bali. Yayasan Tari Bali Warini.
Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik,
Penerbit PT RINEKA CIPTA: Jakarta.
Artika, I Ketut, 1990. Pendidikan Seni Tari Untuk SMTA. Singaraja. Percetakan
Swadaya.
Bandem, I Made. 1996. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar : PT Bali Post Offeet
Budaya.
Dibia, Wayan. 1977. Perkembangan Seni Tari Di Bali. Proyek Sasana Budaya
Bali.
Stilistetika Tahun III Volume 4, Mei 2014
ISSN 2089-8460

141

Djayus, Nyoman. 1980. Teori tari Bali. CV. Sumber Mas Bali.
Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan.Alfabeta: Bandung.
Gunartha, I Wayan. 2009. Materi Kuliah Evaluasi Pembelajaran, Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan ( IKIP PGRI BALI ): Denpasar.
Magnissuseno, Franz. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Nurkancana dan Sunartana.1992. Evaluasi Hasil Belajar, Usaha Nasional: Surabaya.
Putra, Nusa. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan. PT RajaGrafindo.
Jakarta..
Poewardarminta, W.J.S.2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sukandarrumidi. 2002. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti
Pemula. Gadjah Mada University Press.
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tari
Tradisional di Indonesia , UGM : Yogyakarta.
Sopiah, E.M. Sangadji. 2010. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam
penelitian. ANDI Yogyakarta.
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Tilar, H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia.
PT Remaja Rosdakarya.

Vous aimerez peut-être aussi