Vous êtes sur la page 1sur 14

ASKEP BELL PALSY

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan
tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer
yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat
tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita
hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus
VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.Gejala ini
disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang
tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar penyakit bells palsy. Dan
agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit bells palsy.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.
b. Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.
c. Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.
d. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.
e. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy.
f. Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy
g. Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan prognosis bells palsy.
h. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang bells palsy.
i. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperwatan bells palsy yang diambil dari kasus.






C. METODE PENULISAN
Adapun metode penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui
pengumpulan literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode
presentasi supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika
Penulisan.
Bab II : Tinjauan teoritis terdiri dari Konsep Dasar Penyakit Bells palsy (Pengertian, anatomi,
etiologi, manifestasi klinik, parthway, prognosis penyakit, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan), dan Asuhan Keperawatan Bells palsy (Pengkajian,
Diagnosa Keperawatan, Rencana Asuhan Keperawatan dan Evaluasi).
BAB III: Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR PENYAKIT BELLS PALSY
A. ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik
Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus
III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis)
Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini
mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik
Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan
lidah.
4. Serabut somato-sensorik
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot
ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air
mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi
eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan
serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius
Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal
fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif
mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (Nervus V). hubungan sentralnya identik dengan saraf
trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian
leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus
VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus
internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf
yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan)

B. DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita
dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan
patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat
dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh
infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan).
Kelumpuhan nervus vasialis (N.Vll) adalah kelumpuhan otot wajah, sehingga wajah pasien
tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala sehingga
harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya untuk mementukan terapi dan prognosis.
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta. Hal 92-93)


Gambar 2.1 saraf-saraf yang berhubungan
C. ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain bell palsy antara lain:
1. Infeksi virus lain.
2. Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.
3. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
4. Neurologis: sindrom Guillain-Barre.
5. Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6. Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta)

D. PATOFISIOLOGI
Bells plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang radang dan
edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang
menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit.
Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi
nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan
kelamahan otot wajah atau otot wajah pada sisi yang terkena.


























E. PARTHWAY




M. Temporal

Inflamasi saraf VII

Edema, saraf terjepit

Nutrien dan listrik (abnormal)

Bell palsy











- Hambatan komunikasi verbal
- Gangguan citra tubuh
- Gangguan konsep diri
- Gangguan menelan





F. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral
Kelemahan otot wajah ipsilateral
Kerutan dahi menghilang ipsilateral
Tampak seperti orang letih
Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
Hidung terasa kaku
Sulit berbicara
Sulit makan dan minum
Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )
Saliva yang berlebihan atau berkurang
Pembengkakan wajah
Berkurang atau hilangny rasa kecap
Nyeri didalam atau disekitar telinga
Air liur sering keluar
2. Gejala Pada Mata Ipsilateral
Sulit atau tidak mampu menutup mata
Air mata berkurang
Kelopak mata bawah jatuh
Sensitif terhadap cahaya
3. Residual
Mata terlihat lebih kecil
Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
Senyum yang asimetris
Spasme hemifasial pascaparalitik
Otot hipertonik
Sinkenesia
Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau baal pada wajah
yang bias disebabkan oleh iritasi N. V. (Dewanto, George. 2009)
G. DIAGNOSIS
Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang terkena. Ketika
pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar . ketika pasien diminta
tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi kesisi yang berlawanan dari
yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada posisi yang lumpuh.
Pada saat berusa menutup mata, bola mata seolah bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini
disebut fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata.
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan
pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi
atau terauma, penurunan sensisbilitas rasa nyeri didaerah auricular posterior. Pasien dengan
paralisis otot stapedius mengalami hiverakusis. (Dewanto, George. 2009)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Non-farmakologis
a. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata,
plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral
kelopak mata atas dan bawah).
b. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke
atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi
melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat
dalam 14 hari onset.
c. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi,
pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat
empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
1) Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2
set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
2) kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat,
mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di
depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol,
dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak
minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
3) kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
4) strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah
karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak
dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada
strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk
melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2. Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis
Bell s palsy.
a. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis
pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi
cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan
terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi
dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis
oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan
dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1
000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan
pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.

(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and Management in
Primary Care. IDI)
I. KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat
diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell s palsy, adalah
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh
atau beberapa muskulus fasialis.
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimuli normal).
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menye-babkan:
a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat
memejamkan mata.
b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi
yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi
makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock like)pada
wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi
lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu.
2012. Bells Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)


J. PROGNOSIS
1. Perjalanan alamiah Bell s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf
substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell s palsy sembuh Total
dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.
2. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele
yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah
- Palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabe-tes, adanya nyeri hebat post
aurikular, gangguan penge-capan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell s palsy, bukti
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras
yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
- Paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan to-tal), pemberian kortikosteroid
dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and Management in
Primary Care. IDI)
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat
(SSP).
2. Pemeriksaan MRI
Dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau
untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.
3. Pemeriksaan neurofisiologi
Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu
sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
Mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG).
Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-
predictive-value(PPV) 100% dan negative-predictive-value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas
yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential(CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis.
5. Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Pemanjangan gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat
karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas
pemeriksaan ini rendah. Abnor-malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT BELLS PALSY
A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan Bells Palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2. Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.
Disini harus di Tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, atau tambah buruk. Pada pengkajian klien Bells palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit
dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya,
maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya
bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

3. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia
vaskuler, otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves
zoster ), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini. Pengkajian pemakaian obat-
obatan yang sering di gunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data besar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4. Pengkajian psiko-sosio spiritual
Pengkajian spikologis klien Bells palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku
klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon
emosi tehadap kelumpuhan otot wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul ketakutan atau
kecacatan, rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme
koping yang secara sadar digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui dan perubahan perilaku
akibat stres.
Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak
pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukann dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perseektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defesit neurologi
dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

5. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Balls
palsy biasanya di dapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
a. B1(breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak
batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi pernapasan
dalam batas normal. Palpasi biasanya traktil premitus seimbang kanan dan kiri. perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Askultasi tidak terdengar bunyi napas
tambahan.
b. B2(blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama
yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
c. B3(brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkaian pada sistem lainnya.
1) Tingkat Kesadaran
Pada Bells palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
Fungsi Serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bells palsy biasanya status
mental klien mengenai perubahan.

2) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien Bells palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos ).
Saraf V. Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VII. Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali adema nervus fasialis di
tingkat faranem stilomastedeus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda timpani
menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX Dan X. Paralisis Otot orofaing, kesukaran berbicara, mengunya, dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang
tajam.
3) Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control keseimbangan
dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.
4) Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex
pada respons normal.
5) Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering di
temukan Tic Fasialis.
6) Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kalainan.
d. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien Bells palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot otot
mengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
f. B6 (bone )
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.





B. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan konsep diri (citra diri ) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3. Kurangnya pengetahuan kesehatan diri sendiri yang berhubungan dengan informanasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

C. Rencana intervensi
Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Tanda objektif : Dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

Tujuan : Konsep diri klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif.

Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya. Intervensi awal bias
mencegah distress psiklogis pada klien.

Bantu klien menggunakan mekanisme koping ysng positif.
Mekanisme koping yng positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif
terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan.

Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktifitas yang diharapkan.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Libatkan sistem pendukung dalam perawatan klien. Kehadiran sistem pendukung
meningkatkan citra diri klien.


Cemas yang berhubungan dengan proknosis penyakit dan perubahan kesehatan
Tujuan : Kecemasan hilang atau berkurang.
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasai penyebab atau faktor yang
mempengaruhi, dan menyatakan ansietas berkurang / hilang.

Intervensi Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien dan, lakukan tindakan bila
menunjukan prilaku merusak. Reaksi verbal /nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi,
marah, dan gelisah.
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat. Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkat control sensasi klie. Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan )
dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri ), yang positif membantu latihan relaksasi
dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon balik yang positif.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya. Dapat mengalihkan
ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberi waktu untuk mengekspresikan
perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman
yang di pilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca akan menurunkan
perasaan terisolasi.


Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang tidak
ade kuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan : Dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihat kan kemampuan
pemahaman yang ade kuat tentang penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil : Klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa
yang telah didiskusikan.

Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar, tingkat kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.
Indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan, serta untuk evaluasi
lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawat. Meningkatkan kesadaran
kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan. Meningkatkan kerja
sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping pengobatan. Dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari
pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/ kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.
Member kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dam mengurangi kecemasan.






BAB IV
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Bells palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan
pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi nervus fasialis
perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan
kalau perlu operasi





















DAFTAR PUSTAKA

o Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bells Palsy, Diagnosis and Management
in Primary Care. IDI
o Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
o Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
o Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
o Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
o Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
o Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit.
Indeks: Jakarta
o Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
o Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi