Vous êtes sur la page 1sur 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pemfigoid bulosa adalah penyakit kulit yang tergolong dalam kelompok
dermatosis vesikubola kronik. Dermatitis Vesikobulosa kronik ditandai terutama oleh
adanya vesikel dan bula. Grup pemfigoid mencakup grup heterogen dari penyakit
autoimun akuisita dengan pembentukan bula supepidermal.
2,,6
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen
komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan
antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone.
1,2
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di
lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran
basal. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen
hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).
1
Pemfigoid bulosa sering mengenai orang orang lansia yang berumur 65
tahun lebih. Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti namun diperkirakan imunitas
tubuh yang menurun pada kondisi tubuh orang lansia dengan reaksi autoimun
terhadap antibodi yang dibuat oleh tubuh menyebabkan kejadian kasus ini terbanyak
pada orang berusia lansia.
6











2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun yang bersifat kronik, terletak
pada lapisan subepidermal dengan gambaran kulit yang melepuh yang jarang
melibatkan selaput lendir. Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya imunoglobulin G
(IgG) autoantibodi spesifik untuk hemidesmosomal bulosa pemfigoid antigen BP230
(BPAg1) dan BP180 (BPAg2). BP antigen 2 adalah antibodi patogen.
1


2.2 INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Pemfigoid bulosa telah dilaporkan terjadi di seluruh dunia. Di Prancis dan
Jerman, kejadian yang dilaporkan adalah 6,6 kasus per juta orang per tahun. Di
Eropa, pemfigoid bulosa diidentifikasi sebagai yang paling umum subepidermal
penyakit autoimun kronik.
1,3
Dalam sebuah studi kohort berbasis populasi, kejadian pemfigoid bulosa ditemukan
4,3 kasus per 100.000 orang-tahun di Inggris.
1
Timbulnya pemfigoid bulosa dapat berupa subakut atau akut, sifat lesi yang luas,
kulit yang melepuh dan tegang. Pruritus sering timbul dan mungkin satu-satunya
manifestasi penyakit, terutama pada pasien yang lebih tua. Pada beberapa pasien,
lepuh muncul setelah timbul lesi urtikaria persisten.
5

Pemfigoid bulosa telah dilaporkan setelah beberapa, penyakit kulit kronis
inflamasi nonbullous, seperti lichen planus dan psoriasis. Pemfigoid bulosa telah
dilaporkan dipicu oleh radiasi ultraviolet, terapi sinar-x, dan paparan terhadap
beberapa obat. Obat terkait yang dihubungkan dengan penyebab pemfigoid bulosa
termasuk furosemide, ibuprofen dan agen anti-inflamasi nonsteroid lainnya,
kaptopril, penisilamin, dan antibiotik. Pemfigoid bulosa dilaporkan pernah terjadi
setelah vaksinasi, terutama pada anak-anak.
5


3

Mortalitas / Morbiditas
Pemfigoid bulosa adalah penyakit peradangan kronis. Jika tidak diobati,
penyakit ini dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan
periode remisi spontan dan eksaserbasi. Pada kebanyakan pasien yang dirawat,
pemfigoid bulosa dapat bertahan selama 1,5-5 tahun. Pasien dengan penyakit agresif
atau luas, yang memerlukan dosis tinggi kortikosteroid dan agen imunosupresif, dan
orang-orang dengan imunitas dasar yang lemah lebih tinggi pula kemungkinan
menderita penyakit ini dengan risiko kematian yang tinggi pula. Karena usia rata-rata
pada awal pemfigoid bulosa adalah sekitar 65 tahun, pasien yang lebih muda dengan
pemfigoid bulosa sering memiliki kondisi penyakit berbeda daripada yang umum
pada orang lebih tua, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap efek samping
kortikosteroid dan agen imunosupresif.
1,3
Pemfigoid bulosa dapat berakibat fatal, terutama pada pasien yang lemah.
Penyebab tersering kematian adalah karna infeksi dengan sepsis yang berkaitan
dengan pengobatan. Pasien yang menerima kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan beresiko efek samping menderita ulkus peptikum, perdarahan
gastrointestinal, agranulositosis, dan diabetes.
5
Pemfigoid bulosa melibatkan mukosa di 10-25% pasien. Pasien yang terkena
mungkin memiliki asupan oral terbatas yang disebabkan disfagia. Erosi sekunder
akibat pecahnya vesikel terasa menyakitkan dan dapat membatasi aktivitas hidup
sehari-hari pasien. Lepuhan kulit pada telapak tangan dan telapak kaki juga dapat
mengganggu fungsi sehari-hari pasien.
5
Lesi pemfigoid bulosa biasanya sembuh tanpa bekas luka atau pembentukan
milia. Dalam sebuah survei pasien dilakukan di pusat medis Universitas Midwest
Amerika Serikat tidak ada perbedaan tercatat angka kematian yang diharapkan pada
223 pasien pemfigoid bulosa dibandingkan dengan populasi umum.
5


Ras
Tidak ada predileksi rasial jelas.
1
Seks
Insiden pemfigoid bulosa diperkirakan sama banyaknya pada pria dan wanita.
1,5
4

Umur
Pemfigoid bulosa terutama mempengaruhi orang lanjut usia dengan usia rata-rata
pada awal 65 tahun. Pemfigoid bulosa onset masa kanak-kanak telah ada dilaporkan
dalam literatur. Dikatakan bahwa pemfigoid bulosa pada anak- anak dapat sembuh
sendiri.
1

2.3 ETIOLOGI
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan respon
humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen: antigen PB 180 (PB180,
PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230 atau PBAG1.
3
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita
menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi
membahayakan. Untuk alasan yang tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi
untuk suatu jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem
kekebalan menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari
serat menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan berikutnya dari kulit
(epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi yang menyebabkan kerusakan
pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit.
4,5
Tidak ada penyebab khusus yang memicu timbulnya PB, namun beberapa faktor
dikaitkan dengan terjadinya PB. Sebagian kecil kasus mungkin dipicu obat seperti
furosemide, sulphasalazine, penicillamine dan captopril. Suatu studi kasus
menyatakan obat anti psikotik dan antagonis aldosterone termasuk dalam faktor
pencetus Pemfigoid Bulosa. Belum diketahui apakah obat yang berefek langsung
pada sistem imun, seperti kortikosteroid, juga berpengaruh pada kasus Pemfigoid
Bulosa. Sinar ultraviolet juga dinyatakan sebagai faktor yang memicu PB ataupun
memicu terjadinya eksaserbasi PB. Beberapa faktor fisik termasuk suhu panas, luka,
trauma lokal, dan radioterapi dilaporkan dapat menginduksi PB pada kulit normal.
5



5

2.4 ANATOMI


Gambar 1: Anatomi kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis atas :
stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan
stratum basal.
2
Anatomi yang terlibat pada penyakit Pemfigoid Bulosa adalah stratum basale.
Stratum basal terdiri atas sel sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada
perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan
epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel berbentuk
kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran basalis,
terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel sel basal
dengan membrana basalis.
1



6

2.5 PATOFISIOLOGI

Gambar 2 :Mekanisme pembentukan bula di Pemfigoid Bulosa (PB).
Gambar atas menggambarkan beberapa struktur protein membran
basal epidermis yang berfungsi sebagai autoantigen utama dalam
penyakit kulit autoimun subepidermal bulosa. Autoantigens utama
pada pasien PB adalah antigen PB 230 (PB230) dan antigen PB 180.
Autoantibodi PB terakumulasi dalam jaringan dan mengikat antigen
pada membran basal.
1,2

Pasien dengan PB mengalami respon sel T autoreaktif untuk PB180 dan
PB230, dan ini mungkin penting untuk merangsang sel B untuk menghasilkan
autoantibodi patogen.
1
Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula
subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi
komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan
pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9
dan neutrofil elastase.
1,2
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun
seluler dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.
7

Antigen PB merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone)
epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal
dengan membrane basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.
1,2
Terdapat dua jenis antigen Pemfigoid Bulosa yaitu dengan berat molekul
230kD disebut PBAg1 (Pemfigoid Bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD
dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada PB180.

Terbentuknya bula akibat komplemen yang beraktivasi melalui jalur klasik
dan alternatif, yang kemudian akan mengeluarkan enzim yang merusak jaringan
sehingga terjadi pemisahan epidermis dengan dermis.
1
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada
pemfigus bulosa terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan
lamina densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya
tarikan filament dan hemidesmosom.
1
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi
terhadap antigen Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal
mengaktifkan jalur klasik komplemen. Aktifasi komplemen menyebabkan
kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mas
menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor
kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast
mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel
inflamasi dominan di membran basal pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan
gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin
berkontribusi terhadap pembentukan bula.
1






8

2.8 DIAGNOSA
A. GAMBARAN KLINIS
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-
bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai
parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria,
ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-
spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.
4

Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada
kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria
dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar.
Bula tampak tegang, diameter 1 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan.
selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali
memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan
dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran
hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih jarang, miliar. Keterlibatan mukosa
mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus
dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien,
didapatkan eosinofilia darah perifer.
4
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik.
Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara
sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa
gatal kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Tanda Nikolsky tidak dijumpai
karena tidak ada proses akantolisis. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1
minggu, tidak seperti pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan
cepat.
4,6

Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau
9

yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat
bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok
dalam pola serpiginosa dan arciform.
3

Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.

Gambar 3: Pemfigoid Bulosa. Bula tegang diatas kulit yang eritema.

10


Gambar 4 : Pemfigoid Bulosa


Gambar 5: Pemfigoid Bulosa

11


Gambar 6: Pemfigoid Bulosa.


Gambar 7: Pemfigoid Bulosa





12

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk menetapkan diagnosis pemfigoid bulosa, tes berikut harus dilakukan: analisis
histopatologi dari tepi kulit yang melepuh dan DIF studi pada kulit perilesional yang
normal. Jika hasil DIF positif, imunofluoresensi tidak langsung (IDIF) dilakukan
dengan menggunakan serum pasien. Substrat pilihan untuk IDIF adalah substrat kulit
manusia yang normal yang mengandung garam.
4,5

Studi imunofluoresensi langsung ( DIF )
Pada DIF menghasilkan dalam deposit in vivo terdapat antibodi dan imunoreaktan
lain sebagai pelengkap. Tes DIF biasanya menunjukkan IgG (70-90% pasien) dan
deposit C3 (90-100% dari pasien) dalam sebuah pita linear di perbatasan dermal dan
epidermal. Pola imunoreaktan ini sebenarnya tidak spesifik untuk pemfigoid bulosa
saja tetapi juga dapat dilihat pada pemfigoid sikatrisial dan epidermolisis bulosa
acquisita. Pemfigoid bulosa dapat dibedakan dari kondisi lain dengan menginkubasi
sampel biopsi kulit pasien dalam 1 mol / L garam sebelum melakukan teknik DIF.
Proses ini menyebabkan pembelahan sampai lamina lucida. DIF pada substrat garam
kulit mengungkapkan IgG di atap bula (sisi epidermal kulit) pada pasien dengan
pemfigoid bulosa, sedangkan pada pemfigoid sikatrisial dan edidermolisis bulosa
aquisita IgG melokalisasi ke dasar bula (sisi dermal kulit).
4,5

Lokasi terbaik untuk pengujian DIF adalah dengan menggunakan kulit perilesional
yang masih normal. Hasil positif palsu dapat diamati bila dilakukan pada kulit yang
lesi.
5
13


gambar 8. Pemeriksaan DIF Biopsi kulit perilesional pada pasien pemfigoid bulosa
untuk mendeteksi pita linear IgG yang terdeposit pada sepanjang batas dermal
epidermal.


Imunofluoresensi tidak langsung ( IIF )

Studi IDIF menunjukan sirkulasi IgG autoantibodi dalam serum pasien dengan
menargetkan komponen membran dasar kulit. 70% pasien dengan pemfigoid bulosa
memiliki autoantibodi yang beredar dan terikat pada lapisan-lapisan kulit. Titer
antibodi yang beredar tidak berkorelasi dengan perjalanan penyakit.
4,5
Pemeriksaan IDIF dapat digunakan untuk mendeteksi sirkulasi IgG autoantibodi
pasien yang terikat pada atap epidermis (lapisan epidermal) dari substrat kulit.
5


14


Gambar 9. IDIF yang dilakukan pada substrat kulit manusia normal yang
mengandung garam dengan serum dari pasien dengan pemfigoid bulosa mendeteksi
IgG beredar autoantibodi yang mengikat epidermis (atap) sisi membran basal kulit.

Pemeriksaan lain
1. HISTOPATOLOGI
Pemeriksaan histopatologis pada bula subepidermal. Ditemukan Infiltrat inflamasi
yang polimorfik, dengan dominasi sel eosinofil. Sel mast dan basofil mungkin
menonjol di awal perjalanan penyakit. Spesimen biopsi kulit yang lesi dapat
menunjukan infiltrat yang didominasi sel neutrofilk atau peradangan minimal.
1,2

2. IMUNOLOGI
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti
pita di BMZ (Base Membrane Zone).
2
Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga
C3, deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari
epidermis.
2





15

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Pemfigus vulgaris (PV), adalah sebuah penyakit autoimun yang serius,
dengan bulla, dapat bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membran mukosa
yang sering berakibat fatal kecuali diterapi dengan agen imunosupresif. Penyakit ini
adalah prototype dari keluarga / golongan pemfigus, yang merupakan sekelompok
penyakit bula autoimun akantolitik. Gambaran lesi kulit pada pemfigus vulgaris
didapatkan bula yang kendur di atas kulit normal dan dapat pula erosi. Membran
mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat dibagian mana saja
pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolisis
suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG dengan pola
interseluler.
3,4

Gambar 8: Lesi utama pemfigus vulgaris bula yang lembek.
16


Gambar 9: Pemphigus vulgaris. Erosions and flaccid bullae pada kulit normal.

Pemfigus foliaseus (PF)
Pemfigus foliaseus adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus dengan
akantolisis pada lapisan granulosum epidermis. Lesi kulit pada pemfigus foliaseus
berupa krusta dan adakalanya berupa vesikel yang kendur. Membran mukosa jarang
terlibat. Distribusi lesinya pada bagian tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh
yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat
gambaran akantolisis pada stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi
diperoleh IgG dengan pola intraseluler.
3,4

Pemfigus vegetans (PVeg)
Memberikan gambaran lesi berupa plak granulomatosa, dan adakalanya
terdapat vesikel di pinggiran lesi. Membran mukosa terlibat pada sebagian besar
kasus. Distribusi lesi pada daerah intertriginosa, daerah perioral, leher, kepala dan
aksila. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolosis suprabasal dan
abses-abses intraepidermal yang berisi eosinofil. Pada pemeriksaan imunopatologi,
didapatkan hasil seperti Pemfigus vulgaris.
3,4


17


Epidermolisis Bulosa (EB)
Epidermolisis bulosa adalah sebuah penyakit bula subepidermal kronik yang
berkaitan dengan autoimunitas pada kolagen tipe II dalam fibrin pada zona membrane
basal. Lesi kulit berupa bula yang berdinding tegang dan erosi, gambaran
noninflamasi ataupun menyerupai pemfigus bulosa, Dermatitis herpetiformis, atau
Dermatosis IgA linear. Membran mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi
lesinya sama dengan Pemfigoid Bulosa. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan
bula subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG linear pada zona
membrane basal.
3,4

Dermatitis herpetiformis (DH)
Dermatitis Herpetiformis adalah erupsi pruritus yang kronis, rekuren, dan
intensif yang muncul secara simetris pada ekstremitas dan pada badan dan terdiri dari
vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak urtika yang tersusun berkelompok, serta
berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi
kulit berupa papul berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran mukosa
tidak terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan skapula.
Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses di papilla dermis, dan
vesikel subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk
granula pada ujung papilla.
3,4



18


Gambar 11: Dermatitis Herpetiformis dicirikan oleh kelompok vesikel intens pruritic, papula, dan
lesi urtikaria seperti biasanya didistribusikan secara simetris pada permukaan
ekstensor. Sariawan Celiac hadir dalam 75 sampai 90% dari pasien tetapi
asimtomatik dalam banyak kasus.
Dermatosis IgA linear
Dermatosis IgA linear adalah penyakit kulit dengan bula subepidermal yang
dimediasi sistem imun, dan merupakan kasus yang cukup jarang ditemukan. Penyakit
ini ditandai dengan adanya deposit IgA linear yang homogen pada zona membran
basal kutaneus. Gambaran lesi kulitnya berupa vesikel yang anular, berkelompok dan
dapat berupa bula. Membran mukosa terlibat dan biasanya terdapat erosi dan ulkus
pada mulut, serta erosi dan pada konjungtiva. Distribusi lesinya bisa dimana saja.
Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran bula subepidermal dan disertai
neutrofil. Pada pemeriksaaan imunopatologi, didapatkan IgA linear pada zona
membran basal.
3,4










19

2.9 PENATALAKSANAAN

Seperti pada penyakit bulosa autoimun lainnya, tujuan terapi adalah untuk
mengurangi pembentukan bula, untuk penyembuhan bula dan erosi, dan untuk
menentukan dosis minimal obat yang diperlukan untuk mengontrol proses penyakit.
Terapi harus individual untuk setiap pasien, mengingat sudah ada sebelumnya kondisi
dan faktor tertentu pada setiap pasien berbeda-beda.
5

Agen anti-inflamasi
Agen ini menghambat proses inflamasi dengan menghambat produksi sitokin spesifik
dan permeabilitas pembuluh darah. Jenis obat ini juga dapat menstabilkan membran
granulosit dan mencegah pelepasan enzim kunci.
5

GOLONGAN ADRENOKORTIKOSTEROID
Kortikosteroid bekerja dengan mepengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya
dijaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
7
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makain
besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Efek
7
anti inflamasi kortisol dan
analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya geala inflamasi akibat
radiasi, infeksi , zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini umumnya berupa
kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan ditempat radag. Secara mikroskopik
obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi
kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga
dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler
dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks.
7
Farmakokinetik kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral
diabsorbsi cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh
20

ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara iv. Untuk mendapatkan efek
yang dapat diberikan secara IM. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. Diekskresi selama 72 jam melalui
saluran kemih.
7
Penggunaan kortikosteroid pada penyakit autoimun adalah sebagai antiinflamasi dan
kemampuanya menekan reaksi imun. Tujuanya menekan reaksi imun adalah untuk
mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan. Bersamaan
pemberianya dapat diberikan obat lain yang berfungsi sebagai suportif terapi. Yang
dipakai biasanya adalah preparat kerja singkat dan sedang seperti prednison dan
prednisolon.
7

Prednison (Deltasone)
Merupakan obat golongan kortikosteroid kerja sedang. T setengahnya selama 12-36
jam. Dapat menurunkan peradangan dengan meningkatkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan menekan aktivitas sel PMN. Dapat dikonsumsi secara oral dengan dosis
tunggal atau bersama dengan agen imunosupresif lainnya untuk mengobati pemfigoid
bulosa. Dosis harian 560 mg/hari.
7
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi dengan
agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline. Obat-obat ini
biasanya dimulai secara bersamaan, dan dilakukan pemberian secara tappering off
dari prednison dan agen steroid setelah remisi klinis tercapai. Kasus ringan mungkin
hanya memerlukan kortikosteroid topikal. Pemberian Methrotrexate mungkin
digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak dapat bertoleransi terhadap
prednison.
5

Metilprednisolon
Dosis metilprednisolon 40-100 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis di
turunkan perlahan-lahan. Sebagian kasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid
saja.
7
Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti Pemfigus,
dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis awal
21

60-100 mg metilprednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke jumlah
minimum yang akan mengendalikan penyakit ini.
7
Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan pada penderita dengan gejala yang berat
dan progresif supaya penderita bisa ditangani dengan cepat. Efek pemakaian
glukokortikoid sistemik sangat cepat yaitu hanya beberapa hari.
5
Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk
mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada Pemfigoid Bulosa.
5

Antibiotik Tetrasiklin
Meskipun obat ini adalah jenis antibiotik, tetrasiklin telah terbukti efektif dalam
beberapa kasus pemfigoid bulosa baik sendiri atau bersama dengan niacinamide (2 g /
d). Khasiat mungkin karena sifat anti-inflamasi tersebut.
5

Imunosupresan
Pada penyakit autoimun berkembang bila sistem imun mengalamai sensitisasi oleh
protein endogen dan menganggapnya sebagai protein asing. Hal ini merangsang
pembentukan antibodi atau perkembangan sel T yang dapat bereaksi dengan antigen
endogen ini. Efektivitas terapi imunosupresan bervariasi tergantung dari jenis
penyakit.
8
Prinsip umum pengobatan dengan imunosupresan adalah :
8
1. dengan menekan respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan
dibandingan dengan respon imun sekunder
2. obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu
antigen berbeda dengan dosis antigen.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen.

KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah golongan obat yang juga termasuk dalam imunosupresan.
Mekanisme kerjanya adalah menurunkan jumlah limfosit secara cepatm terutama bila
diberikan dalam dosis besar. Efek ini yang berlangsung beberapa jam diduga terjadi
22

redistribusi limfosit. Setelah 24 jam, jumlah limfosit dalam sirkulasi biasanya
kembali ke sebelumnya. Efeknya menghambat proliferasi sel limfosit T, imunitas
seluler dan ekspresi gen yang menyandi berbagai sitokin.
8

SITOTOKSIK
Sebagian besar obat sitotoksik digunakan sebagai antikanker. Beberapa diantaranya
digunakan sebagai imunosupresan untuk mencegah penolakan transplantasi dan
pengobatan penyakit autoimun. Efek kerjanya adalah menghambat perkembangan sel
limfosit B dan T.
8

Azathioprin (imuran)
Antagonizes metabolisme purin yang merupakan prekursor 6-merkaptopurin.
Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6 merkaptopurin (6-MP) yang merupakan
metabolit aktif dan bekerja menghambat sintesis de novo purin. Yang terbentuk
adalah Thio-IMP yang selanjutnya diubah menjadi Thio-GMP, kemudian Thio-GTP.
Interkalasi Thio-GTP dalam DNA akan menyebabkan kerusakan DNA.
8
Farmakokinetiknya mudah diabsorbsi melalui saluran cerna dan
dimetabolisme menjadi 6-MP. Metabolisme selanjutnya dilakukan oleh xantin-
oksidase menjadi 6-thiouric acid sebelum dieksresi melalui ginjal. Eksresi terutama
melalui urin, sebagian kecil dam abentuk utuh dan yang lainya dalam bentuk
metabolit.
8
Penggunaanya untuk profilaksis digunakan dosis 3-10mg/kgBB per hari, 1 atau 2 hari
sebelum transplantasi. Dosis pemeliharaan 1-3mg/kgBB per hari. Obat ini tersedia
dalam bentuk tablet 50mg dan sedaaan 100mg/vial.
8
Efeknya menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Dapat menurunkan
proliferasi limfosit. Dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan prednison.
Azatioprine juga berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison.
Suatu kajian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita
dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi dengan
azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus menanggung
efek samping obat tersebut.
5
23

Pada penderita lanjut usia dengan gejala yang tidak progresif, obat imunosupresif ini
bisa digunakan pada terapi awal tanpa dikombinasikan dengan prednison.
5


Rituximab (Rituxan)
Merupakan antibodi monoklonal(IgG1) yang mengikat CD20 sel normal dan
sel limfosit B ganas. Dijelaskan dalam laporan kasus sebagai pengobatan biologis
yang cukup menjanjikan untuk penyakit yang dimediasi limfosit B (misalnya,
pemfigus vulgaris).
5,7
Untuk pasien yang diobati dengan kortikosteroid sistemik selama lebih dari 1
bulan, suplemen gabungan kalsium dan vitamin D harus diberikan untuk mencegah
osteoporosis. Dosis dan frekuensi dinyatakan dalam rekomendasi yang ditetapkan
oleh American College of Rheumatology Task Force pada tahun 1996. Selain
kalsium dan vitamin D suplemen, pasien pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid sistemik harus mengambil bifosfonat, inhibitor spesifik untuk resorpsi
tulang osteoklas-dimediasi (misalnya, alendronate). Selain itu, pasien harus
diinstruksikan untuk menghindari trauma fisik langsung ke permukaan kulit mereka.
5
















24

2.10 KOMPLIKASI

Infeksi sekunder dapat terjadi karena adanya banyak bula dan penggunaan
obat imunosupresan dalam proses penyembuhan. Infeksi ini dapat berupa infeksi
sistemik atau lokal pada kulit. Infeksi kulit meningkatkan risiko pembentukan
jaringan parut dan penundaan penyembuhan luka.
5

Keganasan karena imunosupresan juga telah dilaporkan. Serangkaian kasus-
kontrol pada pasien dengan pemfigoid bulosa telah gagal untuk mendeteksi
peningkatan insiden keganasan pada pasien dengan pemfigoid bulosa yang
dibandingkan dengan kontrol usia dan jenis kelamin. Penekanan sumsum tulang juga
dapat terjadi pada pasien yang menerima imunosupresan.
5
Hambatan pertumbuhan dapat terjadi pada anak-anak yang menerima
kortikosteroid sistemik dan imunosupresan. Insufisiensi adrenal dapat terjadi setelah
penggunaan jangka panjang glukokortikoid. Osteoporosis dan patah tulang dapat juga
terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik.
5

















25

2.11 PROGNOSIS

Kematian jarang ditemukan pada kasus pemfigoid bulosa bila dibandingkan
dengan pemfigus vulgaris. Namun bisa saja berakibat fatal pada keadaan remisi
spontan.
2
Kebanyakan pasien yang terkena dengan pemfigoid bulosa memerlukan terapi
selama 6-60 bulan, setelah itu banyak pasien mengalami remisi jangka panjang
penyakit. Kebanyakan insiden kematian yang terjadi dihubungan oleh karna efek
samping obat yang dikonsumsi dalam terapi pemfigoid bulosa.
5
Populasi beresiko untuk pemfigoid bulosa berada pada peningkatan risiko
untuk kondisi komorbiditas, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit
jantung, yang dapat memperburuk pengobatan.
5
Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah terbukti secara signifikan
mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan bahwa prognosis pasien dengan
Pemfigoid Bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan pemfigus, terutama Pemfigus
Vulgaris dengan Pemfigoid Bulosa dimana tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk
pasien yang tidak diobati dan sekitar 95% untuk pasien dengan penyakit Pemvigus
Vulgaris saja tanpa pengobatan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit
penyerta dan pola praktek (penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau obat
imunosupresif) juga mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas penyakit
ini.
5









26

BAB III
PENUTUP

Pemfigoid bulosa merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang
lapisan kulit antara epidermal dan dermal. Gambaran klinisnya berupa vesikel dan
bula yang dapat terlihat diberbagai letak tubuh. Melalui reaksi autoimun terhadap
antibodi PbAg1 dan PbAg2 tubuh menghasilkan komplemen - komplemen antibodi
yang berakumulasi dan terdeposit di lapisan kulit yang kemudian menimbulkan
perubahan abnormal morfologi kulit berupa eritema , vesikel dan bula.
Penyakit ini terutama dialami oleh orang orang berumur 60 tahun lebih
dimana imunitas dalam tubuh yang sudah berkurang. Dan juga pada orang orang
dengan imunodefisiensi. Namun pada anak anak kasus ini tidak begitu berarti dan
dianggap berbahaya dikarenakan sifatnya yang terjadi pada anak anak dapat
mengalami proses penyembuhan sendiri tanpa terapi khusus.
Untuk melakukan diagnosa pasti pemfigoid bulosa dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa analisis histopatologi dari bagian kulit yang timbul
patologis. Kemudian tes imunofluoresensi langsung dan langsung.
Penatalaksanaan pada pemfigoid bulosa adalah bertujuan untuk mengurangi
pembentukan bula, untuk penyembuhan bula dan erosi dan untuk menentukan dosis
minimal obat yang diperlukan untuk mengontrol proses penyakit. Penggunaan
kortikosteroid sebagai antiinflamasi dan antibiotik tetrasiklin terbukti efektif untuk
beberapa kasus pemfigoid bulosa. Golongan obat sitotoksik imunosupresan seperti
azathioprin juga mempunyai hasil cukup baik sebagai terapi awal dosis tunggal atau
dikombinasikan dengan kortikosteroid.






27

DAFTAR PUSTAKA
1. Stanley J R. Bullous Pemphigoid. In: K Wolff, Goldsmith L A, et all. Fitzpatricks
Dermatology In General Medicine vol. 1 7
th
Edition. New York : McGraw-Hill.
2008 P;475-480
2. Wiryadi B E. Pemfigoid Bulosa. Dalam: Djuanda A,dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FK-UI. 2010;210-211.
3. Wolff K, Johnson R A. Bullous Pemphigoid. In: Fitzpatricks Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 6
th
ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007;112-123
4. James W D, Berger T G, Elston D M. Bullous Pemphigoid in: Andrews Disease of
the skin clinical dematology. 11
th
ed Saunders Elsevier. 2011;448-467
5. Lawrence S C, Elston D M, etc. Bullous Pemphigoid updated in juni 2014. diunduh
melalui www.emedicine.medscape.com pada tanggal 28 agustus 2014.
6. Rassner, Steinert U. Bullous Pemphigoid. Buku ajar dan atlas Dermatologi. 4
th
ed.
Jakarta: EGC. 1995:119-122.
7. Suherman S K, Purwantyastuti A. Adrenokortikotropin, adrenokortikosteroid,
analog sintetik dan antagonisnya. Farmakologi dan Terapi. 5
th
ed. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI. 2009;495-516
8. Nafrialdi. Imunosupresan. Farmakologi dan Terapi. 5
th
ed. Jakarta: Balai penerbit
FK-UI. 2009;757-763

Vous aimerez peut-être aussi