Vous êtes sur la page 1sur 21

5

BAB II
RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI
(Interferometric Synthetic Aperture RadarINSAR)

II.1 Radar
Radar (Radio Detection and Ranging) adalah salah satu sistem penginderaan jauh
(inderaja) yang tidak dipengaruhi oleh cuaca dan waktu dalam proses
pekerjaannya karena merupakan metode perekaman aktif, dimana sensor pada
radar ini merekam energinya sendiri yang dipantulkan oleh obyek di permukaan
bumi, jadi tidak tergantung pada radiasi matahari.

Prinsip dasar radar adalah memancarkan gelombang radio dan dipantulkan
kembali oleh obyek di permukaan bumi tersebut. Gelombang pantulan inilah yang
direkam oleh sensor dan diolah menjadi citra. Citra dapat terbentuk karena
gelombang yang dipantulkan mempunyai intensitas yang berbeda, tergantung dari
sudut pantul obyek. Dalam perkembangan teknologi dan semakin beragamnya
aplikasi yang menggunakan radar, gelombang yang digunakan radar pun
meningkat menuju gelombang yang mempunyai frekuensi lebih tinggi dengan
panjang gelombang yang makin panjang yaitu gelombang mikro.

Sistem radar diklasifikasikan menjadi radar untuk pencitraan (imaging radar) dan
bukan untuk pencitraan (non imaging). Suatu pencitraan akan membentuk gambar
dari pengamatan obyek atau area. Pencitraan ini biasanya digunakan untuk
memetakan bumi, planet-planet lainnya, asteroid, obyek langit lainnya, dan untuk
keperluan militer. Sedangkan pada umumnya implementasi suatu sistem non
imaging radar adalah untuk mengukur kecepatan dan ketinggian, biasa juga
disebut scatterometers karena sistem ini mengukur sifat pemencaran dari obyek
atau area yang diamati.

6
Dalam studi ini, penulis hanya akan membahas mengenai pencitraan saja
khususnya dengan metode Radar Apertur Sintetik Interferometri (Interferometric
Synthetic Aperture RadarINSAR) dimana dua citra untuk area yang sama
dicitrakan dari posisi yang berbeda baik pada saat yang sama atau saat yang
berbeda, sehingga akan terjadi interferensi antar sinyal pantulnya.

II.1.1 Panjang Gelombang dan Frekuensi
Setiap panjang gelombang mempengaruhi penetrasi gelombang ke obyek, bentuk,
dan ukuran dari obyek yang akan dicitrakan. Bila rentang gelombang yang
digunakan terlalu panjang atau terlalu pendek, maka hal ini akan mempengaruhi
citra yang didapat.

Cakupan gelombang mikro dari spektrum elektromagnetik (Electromagnetic
Spectrum - EMS) cukup besar dan ada beberapa rentang panjang gelombang yang
biasa digunakan untuk pencitraan dengan radar.












Gambar II.1
Spektrum Elektromagnetik
(Sumber: http://hosting.soonet.ca/eliris/remotesensing/bl130lec13.html)

Beberapa jenis panjang gelombang dikelompokkan menjadi beberapa band yang
berada pada spektrum elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik (gambar II.1)
7
ini menggambarkan pembagian jenis gelombang harmonik yang menjalar di ruang
hampa udara. Radar sendiri menggunakan energi elektromagnetik dengan
frekuensi 0,3 40 GHz dan panjang gelombang 0,7 cm 100 cm. Hanya beberapa
band saja yang dapat digunakan untuk pencitraan karena adanya perbedaan
interaksi dengan atmosfir dan permukaan bumi pada setiap panjang gelombang.
Besar panjang gelombang yang digunakan oleh radar tergantung dari jenis
aplikasi apa yang akan dikerjakan (tabel II.1).

Tabel II.1
Deskripsi Band pada Radar

Rentang Panjang Panjang Gelombang Frekuensi
Keterangan
Gelombang (Band) (cm) (GHz)
Ka 0,75 1,1 27 40
Gelombang pendek yang saat
ini sudah jarang digunakan.
K 1,1 1,67 18 27
Banyak digunakan untuk
satelit komunikasi
Ku 1,67 2,4 12 18
Gelombang yang biasa
digunakan untuk satelit
komunikasi.
X 2,4 3,75 8 12
Lebih sensitif dan dapat
mendeteksi partikel yang
lebih kecil. Dapat menembus
sampai permukaan kanopi
vegetasi atau pohon.
C 3,75 7,5 4 8
Biasa digunakan pada sistem
airborne dan spaceborne.
S 7,5 15 2 4
Digunakan pada Satelit
ALMAZ milik Rusia.
L 15 30 1-2
Tidak menyentuh struktur
tanah dan dapat membedakan
antara area hutan lebat
dengan hutan yang sudah
terbabat.
P 30 100 1- 0,3
Penetrasi sampai permukaan
bumi.

Band yang biasa digunakan untuk pencitraan oleh radar hanya band X, C, L, dan
P. Selain band tersebut, biasanya lebih banyak digunakan untuk kepentingan
satelit komunikasi baik televisi ataupun penyiaran radio.


8
II.1.2 Geometri Pencitraan Radar
Pada sistem radar, pencitraan dilakukan ke arah samping relatif terhadap arah
terbang. Faktor-faktor geometri pada pencitraan radar, yaitu:
a. Incidence angle () sudut antara arah pancaran gelombang radar dengan
arah vertikal
b. Depression angle () sudut yang dibentuk dari arah horisontal (sejajar arah
range) ke garis pancaran gelombang radar.
c. Look direction arah antena pada saat pencitraan.

Bentuk geometri pencitraan radar dapat dilihat pada gambar II.2 berikut ini:

Gambar II.2
Geometri Pencitraan Radar

Keterangan:
= incidence angle NR = near range
= depression angle FR = far range
= grazing angle h = tinggi terbang
r = slant range

II.1.3 Metode Pencitraan Radar
Konsep dasar pencitraan dengan sistem radar adalah dengan pemancaran
gelombang radio ke arah miring hingga gelombang tersebut mengenai obyek di
permukaan bumi yang akan dicitrakan dan memantulkannya kembali ke sensor.
9
Pengukuran jarak oleh sistem radar adalah dengan mengukur selang waktu yang
diperlukan gelombang selama perjalanan dari mulai dpancarkan, dipantulkan, dan
akhirnya diterima kembali oleh sistem radar. Jarak antara sensor dengan obyek
yang dicitrakan dapat ditentukan melalui hubungan sebagai berikut:

2
.t c
s = (2.1)
Keterangan:
s = jarak sensor ke obyek
c = kecepatan cahaya (3.10
8
m.s
-1
)
t = waktu tempuh gelombang

Setelah sampai di permukaan bumi, pulsa gelombang akan dipancarkan ke segala
arah dan sebagian pantulannya tersebut akan diterima kembali oleh sensor.
Intensitas dari gelombang pantul ini sangat lemah bila dibandingkan pada saat
gelombang dipancarkan. Kekasaran permukaan obyek dan relief topografi
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap intensitas gelombang pantul
tersebut. Lihat gambar II.3.










Gambar II.3
Pencitraan dengan Radar pada Permukaan yang Berbeda

II.1.4 Distorsi Topografi Citra Radar
Distorsi topografi citra radar pada dasarnya terjadi akibat dari arah pencitraan
radar yang ke samping. Ada beberapa jenis distorsi topografi citra radar, yaitu:
a. Pemendekan (Foreshortening)
10
Pemendekan merupakan pemendekan pada proyeksi target pada citra bila
dibandingkan dengan panjang sebenarnya.

Gambar II.4
Pemendekan

b. Pembalikan (Layover)
Pembalikan adalah distorsi topografi citra radar dimana titik atau target yang
seharusnya lebih jauh menjadi lebih dekat dengan sensor. Hal ini dapat terjadi
karena bagian target yang lebih tinggi akan memantulkan energi lebih awal
bila dibandingkan dengan pantulan energi dari dasar target. Distorsi ini
kemungkinan besar terjadi pada arah range terdekat (near range).

Gambar II.5
Pembalikan

c. Bayangan (Shadow)
Bayangan terjadi bila ada permukaan yang tidak terkena pancaran energi dari
sensor karena terhalang oleh obyek lain, sehingga akan tampak sebagai daerah
yang hitam karena tidak ada energi pantul yang diterima oleh sensor.
11

Gambar II.6
Bayangan

II.1.5 Resolusi Spasial Citra Radar
Setiap sistem radar mempunyai resolusi spasial dalam sistem pencitraannya.
Resolusi adalah kemampuan suatu sistem untuk membedakan dua obyek dalam
satu citra (Sabins, 1978). Resolusi dalam arah melintang lintasan (range
resolution) dan searah lintasan (azimuth resolution) ditentukan oleh kemampuan
dan karakterstik dari sistem radar tersebut.

a). Resolusi Melintang Lintasan (R
r
)
Resolusi spasial pada arah melintang adalah resolusi yang tegak lurus arah
terbang. Resolusi ini ditentukan oleh durasi atau panjang pulsa yang
dipancarkan. Pada sistem SLAR (Side Looking Airborne Radar), untuk dapat
merekam dua obyek secara terpisah namun berdekatan pada arah melintang
lintasan, gelombang yang dipantulkan dari dua obyek tersebut harus diterima
antena secara terpisah. Resolusi melintang lintasan dapat ditentukan melalui
persamaan:

sin . 2
. c
R
r
= (2.2)
dimana:
c = kecepatan cahaya = 3.10
8
m.s
-1

= panjang pulsa (s)
= incidence angle

12
b). Resolusi Searah Lintasan (R
a
)
Resolusi searah lintasan merupakan resolusi pada arah yang sejajar dengan
arah terbang. Dua titik dapat dibedakan sepanjang arah lintsan hanya jika
mereka tidak diindera secara simultan. Untuk membedakan dua obyek secara
terpisah, harus dipisahkan pada arah azimuth oleh jarak yang lebih besar
dibandingkan dengan lebar pancaran di permukaan bumi. Resolusi searah
lintasan ini memenuhi persamaan (Ismullah, 2002):
d
r
d
h
R
a

. .
cos
= = (2.3)
dimana:
r = jarak miring (slant range)
h = tinggi
= panjang gelombang
d = panjang antena

Dari persamaan (2.3), dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan resolusi
tinggi, maka harus digunakan antena yang lebih panjang dan memperkecil
tinggi terbang.

II.2 Real Aperture Radar RAR
RAR merupakan suatu sistem pencitraan dengan radar yang menggunakan antena
sebenarnya, dengan kata lain resolusi spasial citra radar akan sebanding dengan
panjang antena yang digunakan. Pada persamaan (2.3), dapat dilihat bahwa
resolusi searah lintasan merupakan fungsi dari panjang antena, panjang
gelombang, dan jarak miring. Jadi untuk meningkatkan resolusi searah lintasan
adalah dengan cara memperpendek jarak miring, memperpanjang antena, dan
menggunakan panjang gelombang yang lebih pendek.

Dari pernyataan di atas, RAR mempunyai masalah untuk pencapaian resolusi
searah lintasan yang baik, khususnya bila melalui wahana satelit, karena sangat
bergantung pada jarak dari sensor ke target. Jika digunakan wahana pesawat
13
terbang, untuk mendapatkan resolusi spasial sebesar 25 meter, = 0,5 m, = 50,
dan h = 5000 m, maka diperlukan antena sepanjang 156 m. Panjang antena
tersebut akan sangat sulit untuk dipasang pada pesawat terbang.

Selain itu juga terdapat parameter panjang pulsa untuk menentukan resolusi
melintang lintasan. Panjang pulsa merupakan waktu yang diperlukan pulsa dari
satu pulsa ke pulsa berikutnya. Bila digunakan = 50 dan = 0.1 s, maka
resolusi melintang lintasannya akan sebesar 19,58 m, artinya dua obyek yang
berjarak kurang dari 19,58 m tidak bisa dibedakan. Masalah ini dapat diatasi
dengan cara memendekkan pulsa, yang nantinya akan mencapai resolusi
melintang lintasan yang lebih baik, namun hal ini akan mengakibatkan lemahnya
intensitas energi gelombang radar yang berpengaruh pada penetrasinya.

Banyaknya keterbatasan pada sistem RAR menyebabkan ketidakefektifan dalam
penggunaan sistem RAR ini, oleh karena itu lahirlah sistem SAR.

II.3 Radar Apertur Sintetik (Synthetic Aperture Radar - SAR)
Sistem SAR ini lahir untuk mengatasi keterbatasan dari sistem RAR, yaitu
penggunaan antena pada RAR yang semakin panjang untuk mendapatkan resolusi
spasial citra yang semakin tinggi. SAR menggunakan Prinsip Doppler pada
perambatan gelombang radio dengan frekuensi tertentu. Prinsip Doppler ini
mengacu pada perubahan frekuensi atau panjang gelombang yang dihasilkan dari
pergerakan relatif antara sensor dan target. Pada gambar II.7 panjang antena
buatan (sintetik) pada SAR adalah D. Pada sistem SAR dimungkinkan untuk
mendapatkan resolusi spasial lebih tinggi, khususnya untuk resolusi searah
lintasan. Dari geometri pada gambar II.7, panjang D dinyatakan sebagai berikut:
D = L. (2.4)

14

Gambar II.7
Pencitraan dengan SAR (Ismullah, 2002)

Pada sistem SAR, gelombang tidak akan terdeteksi secara bersamaan. Antena
kecil pada wahana akan bergerak di sepanjang lintasan, sinyal yang diterima di
setiap posisi akan direkam, lalu dikombinasikan dengan sistem pengolahan data.
Dengan menggunakan Prinsip Doppler, hasil citra untuk setiap obyek akan
berbeda tanpa memiliki antena yang panjang karena pada saat wahana bergerak
melewati obyek, obyek akan terekam dengan frekuensi yang berbeda-beda dengan
selang waktu tertentu dan hasil yang penting adalah resolusi searah lintasan pada
sistem SAR tidak tergantung pada jarak antena ke permukaan dan dengan antena
yang lebih kecil akan memberikan resolusi yang lebih baik. Bila lebar sorot pada
gambar II.7 dinyatakan sebagai berikut (Ismullah, 2002):

d

= (rad) (2.5)
dimana: = panjang gelombang
d = panjang antena riil
dengan demikian panjang antena sintetik dapat dituliskan sebagai berikut:

d
L D

= (m) (2.6)
Dengan menggunakan persamaan (2.5), akan didapat lebar sorot untuk antena
sintetik (
s
), tetapi harus diperhatikan bahwa antena sintetik akan terbentuk

D
D D
lintasan pesawat
L
panjang antena riil (d)
15
setelah menempuh jarak 2 x D di permukaan tanah dengan penjalaran pergi-
pulang, sehingga lebar sorot yang terjadi untuk antena sintetik menjadi (Kingsley
& Quegan, 1992):

L
d
D
s
2 2
= =

(rad) (2.7)
Jadi, resolusi azimuth untuk antena sintetik:

2
.
d
L R
s a
= = (m) (2.8)
dimana: d = panjang antena sebenarnya
D = panjang antena sintetik
L = jarak dari sensor ke obyek

Pengolahan sinyal pantul yang diterima akan menghasilkan citra. Semakin kasar
suatu permukaan, maka citra tersebut akan menghasilkan area yang lebih terang
atau berwarna putih karena sebagian besar gelombang yang dipancarkan
memantul kembali ke antena. Selama SAR menggunakan gelombang
elektromagnetik, maka selain menghasilkan citra intensitas, SAR juga
menghasilkan citra fasa.

II.4 Radar Apertur Sintetik Interferometri (Interferometric Synthetic
Aperture RadarINSAR)
Citra intensitas SAR sama dengan citra foto yang merupakan proyeksi dari
permukaan bumi tiga dimensi pada bidang datar atau permukaan dua dimensi. Hal
ini menyebabkan hilangnya informasi tinggi. Dua titik yang berbeda (gambar II.8)
pada posisi melintang dan searah lintasan yang sama akan terlihat dalam piksel
yang sama pada citra dan karena itu tinggi kedua titik tersebut tidak akan dapat
dibedakan. Informasi tinggi pada citra tiga dimensi didapatkan dengan
memperhitungkan informasi fasa pada teknik Radar Apertur Sintetik
Interferometri. Pengolahan interferometri ini merubah semua data fasa menjadi
tinggi, sehingga didapatkan informasi tiga dimensi untuk permukaan yang
dicitrakan.
16

Gambar II.8
Pencitraan Dua Titik yang Berbeda (Usai, 2001)

II.4.1 Fasa
Kunci dari teknik interferometri adalah pengukuran fasa dari sinyal radar. Fasa
merupakan kodisi oksilasi suatu sinyal gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang tertentu yang berulang setiap 2 (Ismullah, 2004). Pada
gambar II.9 di bawah, digambarkan sebuah gelombang yang menjalar dari titik i
ke j.






Gambar II.9
Fasa Suatu Gelombang (Kranadjaja, 1998)

Gelombang tersebut memenuhi persamaan berikut:
x = A.sin (t + ) (2.9)
dimana:
A : amplitudo (harga x maksimum)
: kecepatan sudut gelombang
: fasa awal, pada gambar terlihat bahwa fasa awal = 0
t : waktu
Fasa itu sendiri adalah harga (t + ).

17
Dari titik i ke titik D dinamakan satu gelombang penuh. Dengan memproyeksikan
gelombang tersebut pada lingkaran sebelah kiri, maka didapatkan bahwa titik A
fasa yang terukur adalah 90 atau rad, pada titik B terukur 180 atau , pada
titik C terukur 270 atau 1 , pada titik D terukur 360 atau 2, dan pada titik E
akan terukur fasa sebesar 360+90 atau sebesar 2 rad.

Fasa sinyal pantul yang diterima lagi oleh dua sensor dapat dinyatakan dengan:
r =

4
(2.10)
Keterangan:
: beda fasa
r = r
1
-r
2


Gambar II.10
Jarak Miring dari Dua Sensor yang Berbeda

Jika fasa sudah diketahui, maka jarak miring dapat dihitung dengan persamaan
(Ismullah, 2004):
r = .( + k) (2.11)
dimana k adalah ambiguitas fasa yang sebelumnya harus dicari melalui proses
phase unwrapping agar mendapatkan fasa yang absolut, melalui:
2 .

k
abs
+ = (2.12)
dimana

adalah fasa relatif.



Citra beda fasa yang dihasilkan pada INSAR ini dimanakan interferogram
(gambar II.11). Interferogram mempunyai suatu pola fringes yang
18
merepresentasikan perbedaan jarak yang dicocokkan melalui siklus fasa (Usai,
2001). Selama panjang gelombang yang digunakan sekitar 10
-2
m, perbedaan fasa
tersebut memungkinkan proses estimasi jarak dari antena ke obyek dengan akurasi
sekitar 10
-2
sampai 10
-3
m.







Gambar II.11
Interferogram dan Citra Radar Daerah New Mexico, USA

II.4.2 Interferensi Gelombang
Interferensi gelombang merupakan perpaduan dua gelombang yang koheren
(gelombang yang mempunyai beda fasa yang tetap). Perpaduan tersebut dapat
mengakibatkan adanya pelemahan atau penguatan pada kedua gelombang. Hal ini
dapat dilihat pada gambar II.12


Gambar II.12
Perpaduan Dua Gelombang (G1 dan G2) Menuju P

II.4.3 Pengolahan Interferometri
Pengolahan interferometri berawal dari dua citra kompleks yang mempunyai
resolusi tinggi, yang dinamakan SLC (Single Look Complex). Citra ini didapatkan
dari penggabungan dari sinyal pantul dari citra yang beresolusi sama. SLC
Interferogram Citra Radar
19
merupakan hasil pengolahan dari data mentah yang didapatkan dari pencitraan
dengan SAR, dimana setiap pikselnya mempunyai nilai dalam bilangan kompleks
(Ismullah, 2008).

Pada dasarnya, pengolahan interferometri terdiri dari:
1. Mencocokkan citra SLC.
2. Penghitungan beda fasa sehingga menghasilkan interferogram.
3. Menghilangkan ambiguitas fasa (phase unwrapping).
4. Konversi fasa menjadi tinggi.

II.4.3.1 Mencocokkan Citra (Koregistrasi)
Pada pencocokkan dua citra atau koregistrasi, citra kedua (slave image) diproses
hingga cocok dengan citra utama (master image). Proses ini biasanya melalui dua
tahap pengolahan, yaitu koregistrasi kasar dan koregistrasi halus. Proses
koregistrasi kasar merupakan tahap penentuan posisi setiap piksel di ellipsoid,
sedangkan koregistrasi halus adalah proses untuk memperhalus kecocokkan antara
dua citra menuju piksel yang lebih halus. Akurasi dari 1/8 piksel merupakan batas
yang sudah dipertimbangkan untuk koregistrasi yang baik. Koregistrasi halus
dapat diselesaikan dengan metode yang berbeda, baik pada domain frekuensi
ataupun domain ruang. Pada dasarnya metode-metode ini membandingkan area
yang kira-kira cocok pada kedua citra dan memecahkan beberapa set parameter
transformasi. Saat proses koregistrasi citra kompleks, posisi dari setiap piksel di
citra kedua dicocokkan terhadap citra utama. Setelah itu menghitung amplitudo
dan fasa dari setiap fasor (vektor pada SAR).

Pada koregistrasi citra, parameter registrasi yang paling penting adalah translasi
(shifted), skala (scale), rotasi (rotated), kemiringan (skew), dan non linear.
Parameter-parameter registrasi ini umumnya linear terhadap koordinat.

II.4.3.2 Koherensi
Selain fasa, koherensi (korelasi) antara kedua citra juga harus diperhitungkan.
20
Nilai koherensi antara citra S
1
dan S
2
menunjukkan seberapa jauh kecocokkan
kedua citra tersebut. Nilai koherensi dapat dinyatakan pada persamaan:

2
2
2
1
2 1
.
* .

S S
S S

= (Usai, 2001) (2.13)


dimana: = nilai koherensi interferometri
* = kompleks konjugasi

Jika adalah 1, maka dapat disimpulkan bahwa citra S
1
dan S
2
sudah benar-benar
identik, akan tetapi pada umumnya berada antara 0 sampai dengan 1. Nilai
minimum koherensi untuk pembentukan DEM (Digital Elevation Model) yang
diberikan oleh ESA (European Space Agency) adalah 0,6 untuk wahana satelit.
Untuk wahana pesawat terbang, umumnya dapat mencapai lebih dari 0,9, namun
tetap tidak mungkin bernilai 1 (Ismullah, 2004).

Terdapat tiga hal yang menyebabkan dekorelasi:
Dekorelasi karena gangguan panas (Thermal Noise)
Gangguan panas ini terjadi antara lain ketika proses penguatan dari sinyal
radar yang diterima oleh antena. Gangguan ini merupakan hal yang terjadi di
luar sistem radar.
Dekorelasi baseline
Jika baseline terlalu panjang, penjumlahan koherensi radiasi dari gelombang
pantul akan sangat berbeda. Dekorelasi tergantung pada panjang baseline.
Pada citra, dekorelasi ini akan menimbulkan speckle (bintik hitam).
Dekorelasi temporal
Dekorelasi temporal dapat disebabkan oleh perubahan kecil posisi obyek
selama dua pass pengamatan. Dekorelasi temporal sangat bergantung dari sifat
pantul obyek.

II.4.3.3 Phase Unwrapping
Pengolahan interferometri dilakukan terhadap fasa gelombang pantul yang
21
diterima oleh radar. Hasil penghitungan beda fasa akan membentuk citra beda fasa
yang disebut interferogram dimana informasi beda fasa ini berhubungan langsung
dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 dan 2, sehingga
menimbulkan masalah ambiguitas dalam menghitung siklus fasa. Fasa ini disebut
fasa relatif. Phase unwrapping merupakan proses untuk menghilangkan
ambiguitas fasa tersebut (gambar II.13). Persamaan untuk mendapatkan fasa
absolut dari fasa relatif dapat dilihat pada persamaan (2.12).








Gambar II.13
Pembentukan Fasa Absolut dari Fasa Relatif (Ismullah, 2004)

Phase unwrapping dapat ditentukan dengan berbagai macam metode, seperti
dengan pendekatan branch cut, pendekatan Least Square, dan metode minimal
cost flow (Hanssen, 2001). Dari metode-metode tersebut, pendekatan branch cut
merupakan metode yang sering dipakai pada phase unwrapping. Pada metode ini,
residu adalah hal pertama yang harus diidentifikasi. Metode branch cut didasarkan
pada adanya dua sumber kesalahan yang terdapat pada citra, yaitu kesalahan lokal
dan kesalahan global. Pada kesalahan lokal, hanya sebagian piksel saja yang
fasanya mengandung bising (noise), sedangkan pada kesalahan global, fasa yang
mengandung bising terdapat di seluruh piksel.

II.4.4 Teknik Pengambilan Data dengan Teknik Interferometri
Terdapat tiga cara untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan jumlah lintasan
wahana, diantaranya adalah:
Interferometri dengan Single Pass
Metode single pass ini dilakukan dengan cara melintasi area yang akan dicitrakan
22
sebanyak satu kali saja dan biasa digunakan di pesawat udara (airborne). Metode
ini terdiri dari:
a. Interferometri dengan along track
Pencitraan dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan dua buah
antena yang letaknya sejajar dengan arah terbang. Kedua antena ini
mempunyai fungsi yang bergantian sebagai pemancar dan penerima
gelombang radar. Untuk saat ini, metode ini belum dapat digunakan pada
wahana ruang angkasa, karena metode ini memerlukan dua buah antena
yang ditempatkan pada wahana.

Pada sistem ini, radiasi gelombang hambur balik dari obyek bergerak
dengan kecepatan u akan mendekati atau menjauhi radar. Karena pengaruh
dari letak kedua antena maka akan terjadi perbedaan waktu sebesar t
dalam perekaman terhadap dua citra oleh antena 1 dan antena 2. Selama
interval waktu tersebut obyek akan bergerak sedikit menuju atau menjauhi
radar. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan fasa sebesar antara kedua
piksel yang bersesuaian dengan obyek. Hal ini dapat dituliskan menjadi:

t u
=
. . 4

v
B
t
x
= (2.14)

v
B u
x
.
. . 4

= (2.15)
dimana: u = cepat rambat gelombang
t = perbedaan waktu perekaman obyek oleh antena 1 dan 2
B
x
= panjang baseline yang sejajar dengan jalur terbang
v = kecepatan pesawat

Pada geometri along track ini, masalah yang perlu diperhatikan adalah
pergerakan pesawat yang disebut sebagai yaw (perputaran di sumbu z) dan
pitch (anggukan pesawat) yang akan menimbulkan pengaruh pada beda fasa
yang dihasilkan pada arah y dan z, seperti pada gambar II.14.

23

Gambar II.14
Yaw dan Pitch

b. Interferometri dengan across track
Sama halnya dengan along track, metode ini juga hanya dapat digunakan
pada wahana udara. Metode ini menggunakan dua antena yang ditempatkan
pada pesawat sehingga membentuk garis yang tegak lurus terhadap arah
terbang. Pada sistem ini hanya satu antena yang berfungsi sebagai
pemancar, tetapi keduanya berfungsi sebagai penerima.

Kesulitan yang dihadapi dalam metode ini adalah tidak dapat dipisahkannya
kesalahan akibat pergerakan pesawat dan kesalahan akibat pengaruh variasi
bentuk permukaan bumi.

Interferometri dengan Multi Pass
Metode ini biasa dipakai pada wahana luar angkasa karena satelit memiliki
orbit yang relatif lebih stabil dan akurat bila dibandingkan dengan pesawat
udara dengan terbang dua kali pada daerah yang sama (multi pass). Selain
itu, sistem ini hanya menggunakan satu antena yang ditempatkan pada
wahana radar. Untuk membedakan ketinggian dari dua obyek yang berbeda,
diperlukan adanya sensor lain yang melakukan pencitraan dengan posisi
yang berbeda dengan sensor pertama. Untuk obyek yang sama pada kedua
citra, akan didapatkan nilai fasa yang berbeda. Beda fasa inilah yang
merupakan fungsi tinggi.
24











Gambar II.15
Geometri Multi Pass (Gens, 1995)

Pada gambar II.15 ada dua posisi antena saat pencitraan yaitu O1 dan O2.
Dengan metode ini, O1 dan O2 bukan posisi dua antena, melainkan posisi
satu antena saat t dan t+1. Komponen baseline pada geometri multi pass ini
terdiri dari
v
dan
h
. Beda slant range
r
ditentukan dengan:

( )
r
B
r
h H g
r r
v h
r
2
.
1 2
2


= =

(2.16)
dimana:
( )
2
2 1
2
1
2 2
r r
r
B
v h
+
=
+ =

beda fasanya adalah:

r

2
= (2.17)

II.5 Pengaruh Band pada INSAR untuk Pencitraan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa setiap band mempunyai
karakteristik masing-masing dalam kemampuan penetrasinya. Hal ini terjadi
karena setiap band mempunyai frekuensi dan panjang gelombang yang berbeda-
beda. Kemampuan penetrasi tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan
aplikasi dari setiap band pada proses pencitraan. Ilustrasi dari daya penetrasi
setiap band pencitraan tersebut dapat dilihat pada (gambar II.16).
25

Gambar II.16
Daya Penetrasi Setiap Band Pencitraan

Daya penetrasi dari setiap band akan terus meningkat sebanding dengan panjang
gelombang yang digunakan, tetapi berbanding terbalik dengan frekuensi yang
digunakan. Dari gambar di atas, terlihat bahwa bahwa band-X hanya dapat
menembus kanopi pohon saja, berbeda dengan band-P yang dapat menembus
sampai permukaan tanah. Sebagai contoh nyata dalam sektor kehutanan adalah
penetrasi dari band X, L, dan P pada pohon Pinus Austria yang dapat dilihat pada
gambar II.17.







Gambar II.17
Penetrasi Band pada Pinus Austria (Toan, 2007)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa intensitas materi yang dapat ditembus
setiap band itu sangat tergantung pada band atau panjang gelombang yang
digunakan. Semakin panjang gelombang, maka penetrasinya pun akan semakin
jauh. Penggunaan dari berbagai macam band tersebut sangat tergantung pada
aplikasi apa yang akan kita kerjakan.

Vous aimerez peut-être aussi