Vous êtes sur la page 1sur 25

1

PEMILIHANANTIBIOTIKPADASEPSIS

Herdiman T Pohan , Sudirman Katu


DivisiPenyakitTropikdanInfeksi
DepartemenIlmuPenyakitDalam
FakultasKedokteranUniversitasIndonesia


PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respon sistemik dari host terhadap infeksi di mana patogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Dua
keadaan yang terjadi dalam patogenesis sepsis yaitu infeksi dan inflamasi. Infeksi adalah
istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh
manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan di sebut
penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbulah reaksi inflamasi.
Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama,
tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja
atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
1

Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan
kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh
produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang
mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama. Patogen dan
komponennya merupakan pencetus terjadinya proses inflamasi yang melibatkan berbagai
mediator inflamasi (makrofag, netrofil, limfosit, endotel, sitokin, kemokin, komplemen,
mediator lipid, faktor koagulasi, fibrinolisis dan antikoagulan).
2

Angka kejadian sepsis dalam 20 tahun terakhir di Amerika Serikat meningkat dan
diperkirakan sekitar 400.000-500.000 setiap tahunnya. Peningkatan kasus sepsis ini
nampaknya bertolak belakang dengan semakin jelasnya diketahui patofisiologi terjadinya
sepsis dan berbagai penelitian dalam tatalaksana sepsis. Faktor yang berkaitan dengan
meningkatnya kasus sepsis adalah kemampuan dokter dalam diagnosis sepsis lebih awal,
peningkatan kasus imunokompromais, pengingkatan penggunaan prosedur invasif,
peningkatan resistensi kuman dan semakin banyaknya usia lanjut yang rentan terhadap
infeksi dan sepsis.
1, 3

2
Dalam praktek sehari-hari, penetapan diagnosis sepsis seringkali didapat
kesulitan,oleh karena kultur darah baru di dapat setelah beberapa hari perawatan, hasil
kultur positif antara 30-50%, sedangkan terapi empirik antimikroba perlu segera diberikan.
Karena keberhasilan pengobatan sepsis sangat tergantung pada penetapan diagnosis
secara dini, diperlukan ketelitian dalam mengenali tampilan klinis, disfungsi organ dengan
pertimbangan terdapatnya faktor resiko komorbiditas. Terapi antibiotik empirik yang tepat
(appropriate) dan optimalisasi terapi suportif perlu segera diberikan untuk meningkatkan
keberhasilan dan mencegah mortalitas.
4, 5


DEFINISI DAN PATOFISIOLOGI
Berbagai terminologi terkait dengan sepsis adalah bakteremia, toksemia, sindroma
respons inflamasi sistemik (SRIS), sepsis dan gagal multiorgan (multiple organ
dysfunction/failure). Bakteremia dan toksemia menunjukkan terdapatnya bakteri atau toksin
di dalam sirkulasi darah. Sedangkan SRIS menunjukkan terdapatnya respons terhadap
inflamasi berupa peningkatan suhu > 38
o
C atau < 36
o
C, takikardia, takipnu dan peningkatan
leukosit atau leukopenia atau meningkatnya leukosit muda dalam darah (batang>10%).
6

Pada konsensus terbaru the Surviving Sepsis Campaign (SSC) tahun 2008 diutarakan
kriteria sepsis adalah proses infeksi dengan gejala SRIS yang memenuhi minimal dua dari
empat kriteria berikut : (i) Suhu > 38
0
C atau < 36
0
C, (ii) Denyut jantung > 90 denyut/ menit,
(iii) Respirasi >20/menit atau PaCO
2
< 32mmHg, (iv) Hitung leukosit >12.000/mm
3
, <
4.000/mm
3
atau > 10% sel matur (tabel 1).
7
Terdapat tambahan terhadap kriteria diagnosis
baru untuk sepsis seperti petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive
protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis.
8



















3

Tabel 1. Kriteria Sepsis
7

Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS)
Two or more of the following criteria:
Temperature < 36 or > 38 C
Heart rate > 90 beats/minute
Respiratory rate > 20 or PaCO2 < 32
WBC < 4000 or > 12,000; or band > 10%
SEPSIS
Two or more SIRS criteria plus suspected or confirmed infection
SEVERE SEPSIS
Sepsis + organ dysfunction (examples below)
Altered mental status
Hipotension responsive to 20 cc/kg fluid bolus
Arterial hypoxemia (PaO2/FiO2 < 300)
Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs)
Creatinine increase > 0.5 mg/dL from baseline
Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT> 60 sec)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count < 100,000/uL)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL)
SEPTIC SHOCK
Severe sepsis + hypotension unresponsive to 20 cc/kg fluid bolus
Key:
WBC = white blood cell count; INR = international normalized ratio; aPTT =
activated partial thromboplastin time; PaO2 = partial pressure of oxygen in
arterial blood; FiO2 = fraction of inspired oxygen.

Patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara produk bakteri yang
berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin sebagai super antigen, virus, parasit,
kerusakan jaringan (faktor eksternal) dengan faktor penjamu yang disebut respon imun
meliputi faktor pertahanan humoral dan seluler.
9


ETIOLOGI
Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi dan non infeksi, penyebab infeksi yang sering
ditemukan adalah infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Sedangkan non infeksi seperti
trauma, luka bakar, pankreatitis dll. Bakteri penyebab sepsis adalah bakteri gram positif
maupun bakteri gram negatif, namun yang terbanyak adalah bakteri gram negatif
dengan prosentase 60% sampai 70% kasus.
1

Pada bakteri gram negatif dinding sel terdiri dari 3 lapisan, membran luar,
periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida (LPS) terdapat pada membran luar
dinding sel,terdiri dari 3 bagian : antigen O, core dan lipid A. Antigen O adalah polimer
yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung dari rantainya terpapar pada
permukaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan core. Core berikatan dengan lipid A.
Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis glukosamin. Lipid A berikatan dengan
membran luar dinding sel pada gugus asil yang bersifat hidrofobik.Lipid A merupakan
4
bagian LPS yang bersifat toksik, dimana gugus fosfat pada posisi C1 dan C4
menentukan toksisitasnya.Struktur core pada LPS berbeda pada setiap spesies bakteri.
Core LPS pada E.coli berbeda dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan
Klebsiella pneumoniae.
10, 11

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan induktor
sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG).LTA merupakan polimer
gliserol dan fosfat, berikatan dengan membran sel monosit pada gugus asil di reseptor
LTA (reseptor scavenger tipe I).Mekanisme transduksi sinyal intrasel LTA masih belum
jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer 1-4,glukosamin-N-asam asetilmuramat, dengan
ikatan silang peptida. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi
produksi sitokin pada monosit dengan ikatan pada CD14.
12
Mekanisme transduksi sinyal
intrasel PG juga belum diketahui. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri
Gram positif lainnya dapat menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai
40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes)
atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun
angka kejadiannya jarang.
10, 13


PERANAN MEDIATOR INFLAMASI
Inflamasi sebagai respon imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi
imunogen dari luar.Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk
menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi
dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator
inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat
mempengaruhi satu sama lain.
14

Aktivasi respon inflamasi sistemik pada sepsis dibutuhkan tubuh sebagai
pertahanan tubuh terhadap agen infeksi. Berbagai jalur inflamasi diaktifkan pada awal
sepsis dengan tujuan untuk menghambat invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk
pengeluaran sitokin, aktivasi neutrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endothel,
serta aktivasi system komplemen, koagulasi, fibrinolisis dan sistem kontak (gambar 1).
Pengeluaran tissue-damaging proteinase, radikal eicosanoids, oksigen dan nitrogen
juga merupakan bagian mekanisme pertahanan tubuh.
15, 16

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih
banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam
komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi
dan antiinflamasi.Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF-, IL-1, Interferon (IFN-)
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
5
menginfeksi.Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-
1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap
respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-
inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan
kerugian bagi tubuh.
13, 17,2

Gambar 1. Skema Peranan LPS /TLR pada proses inflamasi sepsis
18


Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi
toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+).Endotoksin dapat
secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah
penderita membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam
darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14
+
akan bereaksi dengan makrofag
dan mengekspresikan imuno modulator di atas hanya dapat terjadi pada bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya. Padahal sepsis dapat terjadi pada
rangasangan endotoksin , eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut di
atas masih kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti
keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam
keadaan sepsis dan kejadian syok septik.
2, 17

Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya
-hemolisin (S. Aurens), E. Coli haemolisin (E. Coli) dapat merusak integritas membran
sel imun secara langsung.Dari semua faktor di atas, faktor yang paling penting adalah
LPS endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak.LPS
dapat langsung mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, yang dapat
menimbulkan perkembangan gejala septikemia.LPS sendiri tidak mempunyai sifat
toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab
terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebutTumor necrosis
6
factor(TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan
sering meningkatpada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
2, 13, 16

Di Indonesia dan negara berkembang, sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram
negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotoksin.
19
Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen
setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen
Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell
(APC).Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas II akan
berikatan dengan CD4
+
(limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell
Receptor).
16

Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-,
IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN- merangsang makrofag mengeluarkan
IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin proinflamatori, sehingga
pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1 dan TNF serum penderita.
Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat IL-1 dan TNF-
berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata sitokin IL-2
dan TNF- selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan endotel
pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini belum jelas. IL-
1 sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial termasuk
di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG-E
2
) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
16, 18

Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu : 1). Bergulirnya
neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dalam
mengikat ligan respektif; 2). Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan
aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan
neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel; 3).
Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel.
17, 18

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan megeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil yang masuk ini
juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis,
7
sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah
tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (vascular leak) sehingga menyebabkan
kerusakan organ multipel oleh inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator dan karena
trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir
dengan kematian.
13, 20


DISFUNGSI ORGAN PADA SEPSIS
Pada sepsis dan SIRS diketahui terjadi gangguan mikrosirkulasi yang
menyebabkan hipoksia jaringan, dan mengakibatkan disfungsi organ dan gagal organ
multipel. Disfungsi mikrosirkulasi sudah terjadi sejak awal sepsis dan merupakan
stadium kritis awal kondisi hipoksia jaringan dan gagal organ. Akibat disfungsi
mikrosirkulasi terdapat daerah dengan unit mikrosirkulasi yang lemah atau weak
microcirculatory unit (WMU), sehingga aliran darah tidak dapat atau kurang melalui
daerah tersebut, dan aliran darah akan pindah (shunting) melewati daerah lain yang
tidak mengalami WMU. Bila hantaran oksigen tidak mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan, terjadi mekanisme kompensasi dengan meningkatkan ekstraksi oksigen.Bila
mekanisme kompensasi telah mengalami kelelahan maka terjadi hipoksia jaringan yang
menyebabkan metabolisme anaerobik dan sebagai akibatnya terjadi peningkatan
produksi laktat.
12, 21

Hiperlaktatemia masih tetap merupakan petanda prognosis sepsis yang cukup
bisa diandalkan. Konsentrasi laktat awal, konsentrasi laktat puncak, durasi laktatemia,
dan laktat klirens dalam 6 jam pertama mampu memprediksi survival pada
sepsis.Konsentrasi laktat arteri lebih 4 mmol/L yang diukur di ruang gawat darurat
mempunyai spesifitas yang tinggi untuk mengenali outcome yang jelek pasien-pasien di
rumah sakit dengan gejala dan tanda infeksi.
22, 23

8

Gambar 7.Karakterisik fisiologis antara MODS dan berbagai organ yang terkena.

Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Sidromes
/MODS), dikenal juga sebagai sindrome gagal organ multisistem.Sindrom gagal organ
multipel merupakan pola klinis dari disfungsi organ yang beruntun dan progresif yang
biasa terjadi pada pasien dengan penyakit kritis. The American College of Chest
Physicians/Society of Critical CareMedicine Consensus Conference (ACCP/SCCMC)
1992 mendefinisikan MODS sebagai adanya gangguan fungsi organ pada pasien
penyakit akut sedemikian hingga homeostatsis tidak dapat dipertahankan tanpa suatu
intervensi.
23, 24
MODS dibagi menjadi primer atau sekunder, padayang disfungsi organ
primer terjadi oleh karena jejas secara langsung pada organ itu sendiri. Sedangkan pada
yang disfungsi organ sekunder terjadi bukan akibat langsung dari jejas namun karena
respon penjamu terhadap jejas primer, seperti infeksi.
Beberapa sistem organ yang potensial mengalami disfungsi/gagal organ adalah
sebagai berikut ;
1. Disfungsi Kardiovaskuler
25, 26

Mikrosirkulasi merupakan target organ penting yang mengalami injury pada
sepsis. Penurunan jumlah kapiler fungsional menyebabkan ketidakmampuan
melakukan ekstraksi oksigen secara maksimal.Hal ini disebabkan oleh penekanan
kapiler baik secara intrinsik maupun ekstrinsik dan penyumbatan lumen pembuluh
darah oleh sel-sel darah.Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah menyebabkan
edema jaringan dengan cairan yang kaya protein.Pada sepsis berat, disfungsi
mikrosirkulasi dan depresi mitokondria menyebabkan distres jaringan regional, oleh
9
karena hipoksia jaringan yang menetap.Kondisi ini dinamakan sndroma distres
mitokondria dan mikrosirkulasi.
2. Disfungsi Paru.
1, 27

Jejas endotel vaskuler paru menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menyebabkan edema alveolar dan
intersisial.Neutrofil yang terperangkap dalam mikrosirkulasi pulmonal mengawali dan
memperkuat jejas pada membran kapiler alveolar.Acute Respiraory Distress Sndrome
(ARDS )merupakan manifestasi tersering dari disfungsi pulmonal.
3. Disfungsi Hati
28, 29

Berdasarkan peran hati sebagai pertahanan pejamu (Host), fungsi sintetik yang
tidak normal akibat disfungsi hati, dapat berperan dalam inisiasi maupun progresivitas
sepsis.Sistem retikuloendotelial hati bertindak sebagai lini pertama pertahanan dalam
membersihkan bakteri maupun produknya sehingga disfungsi hati menyebabkan
produk-produk tersebut keluar ke dalam sirkulasi sistemik.
4. Disfungsi Ginjal
27, 29

Gagal ginjal akut sering timbul menyertai sepsis berkaitan dengan akut tubuler
nekrosis.Mekanismenya melalui hipotensi sistemik, vasokonstriksi ginjal secara
langsung, pelepasan sitokin (misal, TNF) dan aktivasi neutrofil oleh endotoksin dan
peptida yang lain, yang turut berperan dalam injury ginjal. Faktor hemodinamik dan
inflamasi secara sinergis dapat menyebabkan jejas pada sel yang mengakibatkan
overload Ca+ intrasel, apoptosis atau kematian sel, menyebabkan disfungsi tubulus dan
glomerulus.
5. Disfungsi Sistem Saraf Pusat
27

Keterlibatan sistem saraf pusaf pada sepsis menyebabkan ensefalopati dan
neuropati perifer.Namur demikian mekanisme yang mendasarinya hingga saat ini belum
jelas.
31
6. Disfungsi Sistem Koagulasi
30

Trombositopenia sering terjadi pada sepsis dan sepsis merupakan faktor resiko
terjadinya trombositopenia.Akan tetapi bagaimana mekanisme sesungguhnya
bagaimana terjadinya trombositopenia pada sepsis hingga saat ini belum jelas.
Pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik dan usia lanjut
yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita sepsis. Pada penderita IC bila
mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat yaitu syok septik dan berakhir
dengan kematian.
Skor SOFA terdiri atas penilaian 6 sistem organ, masing-masing mempunyai
nilai antara 0 4 berdasarkan derajat disfungsinya (tabel 2).Dengan total 12 variabel,
skor SOFA mempunyai variabel lebih sedikit dibanding sistem penilaian tingkat
10
keparahan penyakit di ICU yang lainnya, seperti APACHE II dan SAPS II.Peningkatan
skor SOFA dalam 48 jam pertama di ICU dapat memprediksi mortalitas sebesar 50%.
24,
31

Tabel 2. Skor SOFA
24

SKOR SOFA
Variabel
0 1 2 3 4
Respirasi,
PaO2/Fi O2, mmHg
>400 400 300 200 100
Koagulasi,
Platelet, x10
3
/L
>150 150 100 50 20
Hati,
Bilirubin,mg/dL
1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 >12,0
Kardiovaskuler,
Hipotensi,mmHg
Tidak ada MAP < 70
Dop5 atau
Dobutamin
Dop>5, Epi
0,1, atau
norEpi0,1
Dop>15, Epi
0,1, atau
norEpi0,1
Sistem Saraf Pusat,
GCS
15 13-14 10-12 6-9 <6
Ginjal,
Kreatinin mg/dL atau
produksi urine ml/hari
<1,2 1,2-1,9 2,0-3,4
3,5-4,7atau
< 500
>5 atau
< 200
Keterangan : Norepi =norepineprin; dop =dopamine, FiO2 =fraction of inspiration oxygen

GAMBARAN KLINIS
Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan.Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat
dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang
paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf
pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadi berat dan tidaknya
gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia
lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulosiopenia.
32
Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok
sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi : 1) sindrom distress
pernafasan pada dewasa, 2) koagulasi intravaskular, 3) gagal ginjal akut, 4) perdarahan
usus, 5) gagal hati, 6) disfungsi sistem saraf pusat, 7) gagal jantung, 8) kematian.
1, 33



DIAGNOSIS LABORATORIUM
Diagnosis sepsis sangat sulit ditegakkan disebabkan gejala klinis yang tidak khas
sedangkan diagnosis pasti adalah biakan kuman( kultur bakteri) yang membutuhkan
waktu agak lama. Sangat penting melakukan diagnosis sedini mungkin dimana
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang cepat dan tepat.
22, 34

11
a. Hematologi : Leukositosis: > 12000/ mm3, Neutropenia :<10001mm3, Rasio sel
neutrofil immatur dan matur( rasio IT) > 0.2, Trombositopenia, LED meningkat, Tes
apusan darah tepi (ditemukan sel-sel leukosit immature pada darah tepi, granulasi
toksik, vakuolisasi sitoplasma dan dohle badies), Prothrombin time memanjang( >18.9
detik pada sepsis berat), Activated Partial thrombine time (APTT) memanjang( >15
detik), Protein C menurun (<43%).
b. Analisa Gas Darah : Tanda-tanda hipoksia, alkalosis respiratorius (pada awal
penyakit), asidosis metabolik(pada sepsis berat).Pemeriksaan Kimia klinik: Glukosa >
140 mg/dl, Plasma laktat meningkat >2.2mmol/L, Ureum dan kreatinin meningkat ringan,
AST dan ALT meningkat 5-20 kali dari kadar normal. Sitokin dan protein fase akut,
antara lain prokalsitonin (PCT), IFN-, CRP, lL-1ra, TNF-, IL-6, lL-18, LPS, dan lain-
lain. Tes Molekuler (PCR : Polymerase Chain Reaction) untuk identifikasi bakteri selain
kultur bakteri.
c. Kultur Bakteri (darah,feses, urin, cairan lain) merupakan pemeriksaan baku emas
untuk diagnosis sepsis, tetapi hanya positif pada 40-90% kasus.

TATALAKSANA SEPSIS
Secara umum konsep penatalaksanaan sepsis ; eliminasi sumber infeksi, terapi
antimikroba pada jam pertama Sepsis (gambar 2), terapi suportif, modfikasi respon imun
maladaptif.
35
Adapun tujuan terapi pada sepsis adalah mengobati infeksi, memperbaiki
perfusi organ, mepertahankan oksigenase jaringan, modifikasi proses inflamasi maladaptif
dan mencegah komplikasi.
36
Salah satu kendala dibeberapa rumah sakit dalam tatalaksana
sepsis berat karena belum tersedianya pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri, dan hasil
kultur positif berkisar 30-50%. Sehingga diperlukan beberapa pendekatan dalam memilih
terapi antibiotik empirik pada kasus sepsis berat.
34, 37
Sementara pemberian antibiotik harus
diberikan 1 jam setelah diagnosa sepsis ditegakkan.
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan, vasopressor
dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respon imun maladaptif host terhadap infeksi.
38, 39
Hal ini telah
diuraikan pada Surviving Sepsis Campaign International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock 2008 yang membagi tatalaksana sepsis itu dalam tiga
kelompok yaitu ; tatalaksana sepsis berat, terapi suportif sepsis berat, dan sepsis berat
pada pediatrik.
40, 41


12




















Gambar 2. Algoritme Early Goal Directed Therapy (EGDT)
42


TERAPI SUPORTIF
Dari gambar 2 ini terlihat resusitasi dan pemberian antibiotik merupakan kontrol awal
tatalaksana sepsis. Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah
pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).
Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk
memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan
konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk
jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah
memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau
koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau
norepinefrin).
37, 43

13
Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah.CVP (central venous
pressure) normal 10-15 cm dari 0.9% NaCl; PAW normal (wedge pressure arteri paru) 14-18
mm Hg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infus cairan.Pasien dengan
sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU.Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut
jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau.Frekuensinya tergantung pada berat
sepsis.Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.Pertimbangkan
dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien
hipotensif dengan obat vasoaktif, misalnya dengan dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.
41,
44

PEMILIHAN ANTIBIOTIK EMPIRIK
Pemilihan antibiotik idealnya harus sesuai hasil tes identifikasi dan sensitivitas kuman.
Namun dalam beberapa keadaan dapat diberikan antibiotik spektrum luas sebagai lini
pertama, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Antibiotik sebaiknya diberikan segera,
terutama jika telah terjadi syok septik (30-60 menit setelah masuk rumah sakit). Morgan
menyatakan bahwa keterlambatan terapi antibiotik akan menyebabkan mortalitas meningkat
7.6% per jam.
45, 46
Selain pemberian antibiotik, yang terpenting juga adalah mengatasi
sumber infeksi seperti mengangkat benda asing (kateter,inplan dll), alirkan eksudat purulen,
khususnya untuk infeksi anaerobic, angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong
jaringan yang gangren.
47

Terapi antimikroba dalam hal ini antibiotik merupakan modalitas yang sangat penting
dalam pengobatan sepsis . Perlu diperhatikan bahwa dalam terapi antibiotik secara empirik,
pemilihan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kemungkinan patogen penyebab, profil
farmakokinetik/farmakodinamik, dosis, cara pemberian, keamanan dan biaya perlu menjadi
pertimbangan. Dalam evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi agar dapat dieliminasi, menentukan apakah kuman
penyebab sebagai patogen berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di rumahsakit
setempat, sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik. Berbagai organ
yang yang seringkali menjadi sumber infeksi perlu mendapatkan perhatian khusus karena
harus diketahui kemungkinan kuman yang hidup sebagai flora normal di seluruh tubuh.
Penggunaan antibiotik pada kasus sepsis ada 3 aspek yang berkaitan erat yaitu : aspek
antibiotik itu sendiri, aspek kuman dan aspek host.
35, 46


a. Aspek Host
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik,
antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor genetik dan penyakit
komorbid, status imunitas, kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosial
14
ekonomi. Dari segi derajat infeksi pada penderita,perlu diperhatikan berat ringannya
infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas penderita.
Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh
untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang
berat dan atau telah berlangsung lama, terapi antibiotika dapat segera dimulai.
35, 48

Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik, misalnya
organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang atau organ yang memiliki sawar
khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut, pemberian antibiotika harus
meliputi antibiotik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga obat dapat bekerja
dengan baik. Selain itu adanya abese,jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda
asing dan sebagainya juga dapat mengurangi efektivitas kerja antibiotik sehingga
diperlukan tindakan seperti pembersihan luka, insisi dan sebagainya sebelum antibiotik
diberikan.
49

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah usia, pada usia lanjut terjadi
penurunan fungsi berbagai organ seperti fungsi ginjal, fungsi hati yang akan
memudahkan terjadinya toksisitas antibiotik. Selain itu menurunnya kadar air tubuh dan
meningkatnya kadar lemak tubuh dapat mempengaruhi konsentrasi, kelarutan dan
efektivitas kerja obat dalam tubuh. Adanya penyakit penyerta seperti kelainan hati atau
ginjal harus diperhatikan karena dapat menurunkan efektivitas obat dan juga kelainan
genetik seperti defisiensi enzim G6PD juga dapat menimbulkan anemia hemolitik pada
pemberian antibiotik tertentu seperti kloramfenikol dan sulfonamid.
50, 51

Status imuntas baik seluler maupun humoral pada penderita harus menjadi
pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang imunokompeten,
antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif untuk mengendalikan infeksi
tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan status imun pada infeksi yang
sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal untuk mengatasinya.
48

Kehamilan dan laktasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pemilihan antibiotik, karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta
dan masuk ke dalam peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak
diinginkan, seperti efek teratogenik. Ibu menyusui juga perlu diperhatikan karena
beberapa jenis antibiotik dapat ditemukan dalam air susu ibu. Dalam pertimbangan
biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat,
sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut
merupakan salah satu aspek sosial ekonomi dari suatu penyakit.
48, 52




15
b. Aspek Kuman
Sedapat mungkin, jenis kuman patogen hendaknya diidentifiaksi sebelum
dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian terapi, namun karena hasilnya memakan waktu yang cukup lama,terapi
empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana, seperti
pewarnaan gram. Selain itu adanya data mengenai pola kuman pada bagian tubuh
(kolonisasi atau komensal) serta data epidemiologi kuman pada daerah tertentu berikut
dengan pola resistensinya akan sangat membantu dalam penentuan jenis antibiotik
yang akan diberikan kepada penderita (gambar 3).
53


Gambar 3. Distribusi kuman yang normal berada di seluruh tubuh
47


Strategi dalam memilih terapi antibiotik empirik selain farmakodinamik/
farmakokinetik antibiotik juga harus diketahui riwayat penyakit pasien, intoleransi obat,
penyakit penyerta (komorbid), sindrom klinis, kemungkinan patogennya dari komunitas
atau rumah sakit, dan kumannya apakah kolonisasi atau patogen. Selain itu memiliki
16
efek terapi maksimal dan resiko efek samping minimal. Pada sepsis pemilihan antibiotik
empirik berdasarkan spektrum yang luas (deeskalasi), gambar 6. Dalam memilih
antibiotik di rawat jalan dapat mengacu hal di atas namun dalam memilih antibitoik di
RS sebaiknya dibedakan apakah pasien stabil atau tidak stabil (sepsis berat). Kalau
kondisi stabil sebaiknya menunggu hasil kultur atau dengan terapi eskalasi sesuai
dengan pola kuman setempat (lokal RS), pola resistensi, status imun, komorbid dan
disfungi organ. Pada kondisi tidak stabil sebaiknya memakai antibiotik spektrum luas.
11

c. Aspek Antibiotik
Dalam memilih antibiotik harus diketahui beberapa prinsip dasar yaitu ; indikasi,
cara kerja, cara pemilihan, dosis, waktu dan lama pemberian, serta antisipasi terhadap
keberhasilan, kegagalan dan efek samping terapi sehingga penggunaan antibiotik
dapat lebih efektif dan efisien.(gambar 4)
5

Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan serta
apa yang terjadi pada obat di dalam tubuh. Diantaranya termasuk absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan pemberian
antibiotik secara oral, sedangkan pada pemberian antibiotik intravena, obat akan
langsung memasuki sirkulasi sitemik. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah,
konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa.
Pada fase selanutnya yaitu fase beta, konsentrasi antibiotik akan menurun secara
perlahan dan stabil. Fase beta inilah yang memerlukan waktu paruh (t1/2) dari suatu
antibiotik. Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin
dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui
empedu dan dieksresikan ke dalam rongga usus. Dari dalam usus sebagian obat akan
dibuang melalui feses dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal.
Sebagian kecil obat juga dieksresikan melalui keringat, liur, airmata dan air susu.
5, 54












17











Gambar 4. Strategi pemilihan antibiotik berdasarkan PK/PD
46


Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum aktivitas
antibiotik dibagi menjadi bakteriostatik (menghambat pertumbuhan kuman) dan
baktersidal (membunuh mikroba). Selain itu dikenal pula istilah kadar hambat minimal
(minimal inhibitory concentration) yaitu kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba. Hubungan antara cara kerja
antibiotik terhadap kadar hambat minimal (KHM) dapat dibagi menjadi bergantung
terhadap konsentrasi (concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent).
Pada antibiotik golongan concentration dependent, semakin tinggi kadar obat
dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan
efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kadar obat dalam darah
hingga jauh di atas kadar hambat minimal (contoh quinolon dan aminoglikosida). Untuk
quinolon dan aminoglikosida, efektivitas terbaik dicapai pada kadar 10-12 kali lipat di
atas KHM. Sedangkan pada antibiotik golongan time dependent, selama kadarnya
dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya, kecepatan dan
efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal (contoh betalaktam). Untuk
betalaktam, efektivitas terbaik dicapai bila kadar obat melebihi KHM dalam jangka waktu
setidaknya 40-60% dari interval dosis yang diberikan.
5

Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda-beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat
berdasarkan mekanisme kerja ; menghambat sintesis dinding sel bakteri, merusak
membran sel mikroorganisme, menghambat sintesis protein mikroorganisme, mengikat
subunit ribosom 30S, menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba dan menghambat
enzim asam folat, seperti pada gambar 5.
5

18
Beberapa contoh antibiotik yang bekerja pada sintesis protein kuman seperti
aminoglikosida, kloramfenikol,tetracyclin,makrolide, linkosamid, streptrogram,
oxazolidin, antibiotik jenis ini umumnya bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Antibiotik
yang bekerja pada membran sel kuman seperti polymyxin B, pada metabolisme asam
folic yaitu sulfonamides. Pada sintesa asam nukleat umumnya oeh antibiotik quinolon
dan rifampin, sedangkan antibiotik yang mempengaruhi dinding sel kuman diantaranya
penisilin, sefalosforin, vancomisin, basitrasin, meropenem, izoniasid, ethambutol,
antibitik golongan ini umumnya bersifat bakterisidal.
5


Gambar 5. Target kerja antibiotik
5


Pemilihan antibiotik empirik untuk terapi sepsis dapat pula disesuaikan dengan
kemungkinan kuman patogen, sumber infeksi dan organ yang terkena, atau
berdasarkan sumber infeksi (tabel 2). Terapi empirik dilakukan sebelum ada hasil kultur,
pada umumnya disesuaikan dengan sumber infeksinya. Pada infeksi yang dicurigai
febril neutropneia dan tidak ada riwayat alergi penicilin dapat diberikan Pip/Tazobactam
4,5 gr dan Vancomycin 1 gr, jika terdapat riwayat alergi penicillin sebaiknya memilih
aztreonam 2 gr dan vancomycin 1 gr. Pada tabel 2 ini dapat dilihat pemilihan antibiotik
perdasarkan sumber infeksi dan ada tidaknya riwayat alergi penicilin. Yang perlu diingat
bahwa pemberian antibiotik empirik lebih awal (<12 jam) dengan metode deeskalasi
akan didapatkan mortalitas < 20%, namun pemberian antibiotik setelah 15 jam
terjadinya sepsis akan meningkatkan mortalitas hingga 85%. Pemberian antibiotik lebih
awal ini akan mengurangi inflamasi yang terjadi, menurunkan kadar asam laktat dan
mengurangi terjadinya hipotensi.
55


19
Tabel 2. Pemilihan antibiotik empirik berdasarkan lokasi sumber infeksi
40


















Jika hasil kultur telah diketahui dan test kepekaan kumannya juga telah
jelas,maka terapi definitif dapat dilakukan (tabel 3). Pada infeksi kuman gram positif
umumnya natibiotik yang digunakan monoterapi. Namun infeksi kuman gram negatif
umumnya menggunakan terapi kombinasi antibiotik terutama kuman SPACE (serratia,
pseudomonas, acinetobacter, citrobacter, enterobacter). Penilaian masa terapi juga
diperlukan, umumnya pemberian antibiotik dilakukan secara individual dengan
mempertimbangkan respon klinik pasien, lama pemberian antibiotik berkisar 5-7 hari
dan dihentikan setelah 3-5 hari respon klinis membaik.
56, 57

Penentuan dosis harus didasarkan pada diagnosis penyakit, beratnya infeksi, efek
dan kerja antibiotik, serta efek samping obat itu sendiri. Efek samping yang mungkin
timbul juga harus mendapatkan perhatian, terutama terkait dengan keadaan pasien
seperti adanya kelainan ginjal, usia, berat badan, fungsi hati dan sebagainya (tabel 4).
Pada beberapa jenis antibiotik yang sering dilakukan penyesuaian dosis jika ditemukan
kelainan hati atau kelainan ginjal.
48, 58




20
Tabel 3. Pemilihan antibiotik berdasarkan jenis bakteri
46



Sebagian besar infeksi dapat diatasi dengan satu macam antibiotik, namun dalam
beberapa keadaan sering dibutuhkan kombinasi antibiotik (gambar 6). Indikasi
penggunaan antibiotik kombinasi : pada terapi empirik yang belum diketahui fokus
infeksinya, pada infeksi polimikrobial seperti abses yang disebabkan kuman aerob dan
anaerob, untuk mengurangi kejadian resistensi, untuk mengurangi toksisitas yang
terkait dengan dosis dan untuk meningkatkan daya hambat atau daya bunuh.
45

Strategi dalam memilih antibiotik untuk kasus sepsis berat dengan faktor risiko
yang tinggi sebaiknya pemberian antibiotik dengan deeskalasi artinya untuk kasus
sepssi berat ini diberikan antbiotik spektrum luas. Untuk kondisi pasien yang stabil
pemilihan antibiotik dengan cara eskalasi dengan pemilihan antibiotik spektrum sempit
atau berdasarkan hasil kultur kuman.
Penggunaan antibiotik empirik yang luas dan tidak sesuai dengan guideline
dikaitkan dengan meningkatnya angka kematian pada pasien sepsis.
35, 56
Pemilihan
antibiotik emprik seharusnya mempertimbangkan faktor host, mikrobiologi dan
farmakologi dan idealnya menggunakan data pola kuman setempat (lokal).
Penyesuaian terapi antibiotik berdasarkan kultur dan sensitivitas akan mengurangi
biaya, menurunkan terjadinya superinfeksi dan meminimalisasi terjadinya resistensi.
57


21










Gambar 6. Strategi pemilihan antibiotik empirik
48


Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih terapi empirik
antibiotik adalah ; faktor pasien : menentukan sumber infeksi (dengan pemeriksaan
darah,sputum,urine dll), tentukan ada tidaknya komorbid (pembedahan, trauma,
penyakit kronik), dan riwayat pemberian antibiotik sebelumnya; faktor mikrobiologi :
identifikasi patogen penyebab yang paling sering sesuai pola kuman ; faktor farmakologi
: potensi toksisitas obat, bioavaibilitas dan distribusi ke sumber infeksi.
57

Pada pasien sepsis, pemberian antibiotik empirik sebaiknya dinilai kembali dan
disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitas untuk mengurangi biaya
perawatan/obat, menurunkan insidens superinfeksi dan meminimalisasi resistensi
antimikroba.
56
Dalam pemberian antibiotik empirik sebagai inisiasi awal perlu
diperhatikan pentingnya pemilihan antibiotik yang tepat dan sesuai karena
keterlambatan pemberian dan tidak sesuainya pemilihan antibiotik akan berdampak
pada meningkatnya angka kesakitan dan kematian.
57

Kombinasi terapi antibiotik empirik dapat digunakan pada kecurigaan kuman
multi-drug resistant (MDR), oleh karena itu dipilih antibiotik dengan mekanisme kerja
yang berbeda (berbeda kelompok terapi). Untuk pasien sepsis berat direkomendasikan
memberikan antibiotik intravena dalam satu jam setelah setelah sepsis berat didiagnosa
dan setelah pengambilan sampel darah untuk kultur. Karena waktu pemberian antibiotik
ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan terapi pada sepsis.
4, 48, 59

Evaluasi pemberian antibiotik umumnya dilakukan setelah tiga hari pemberian
antibiotik. Penilaian respon terapi terutama dilakukan berdasarkan gambaran/respon
klinis. Beberapa pemeriksaan laboratorium seperti leukosit, CRP, procalcitonin dan hasil
kultur dan resistensi dapat dijadikan parameter untuk mengevaluasi keberhasilan terapi
antibiotik.
11, 52

22
Tabel 4. Dosis antibiotik berdasarkan fungsi ginjal
60















23
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B. Ware MDE, Kevin R. Flaherty. Clinical year in review ii. Sepsis, mechanical
ventilation, occupational and environmental lung disease, and sleep. Proc Am Thorac Soc
2009;6:494-499
2. John G. Younger, David O. Bracho, Hangyul M. Chung-Esaki, Moonseok Lee, Gurpreet K.
Rana, Ananda Sen, Jones AE. Complement activation in emergency department patients with
severe sepsis. Academic Emerg Med. 2010;17:353-359
3. H. M. Ziglam, D. Morales, K. Webb, Nathwani D. Knowledge about sepsis among training-
grade doctors. J of Antimicrob Chemoth. 2006;57:963-965
4. Marc Francis, Tom Rich, Tyler Williamson, Peterson D. Effect of an emergency department
sepsis protocol on time to antibiotics in severe sepsis. Clin J Emerg Med. 2010;12:303-310
5. Stephen H. Gillespie, Bamford KB. Antibacterial therapy. Medical microbiology and infection
at a glance. British: A John Wiley & Sons, Ltd.; 2012:16-45.
6. Balk RA. Severe sepsis and septic shock, definition, epidemiology and clinical manifestation.
Crit Care Clin. 2000;16:179-192
7. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, et.al. Surviving sepsis campaign:
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care
Med. 2008;36:296-327
8. Vandack Nobre SH, Jean-Daniel Graf, Peter Rohner, Jerome Pugin. Use of procalcitonin to
shorten antibiotic treatment duration in septic patients. Am J Respir Crit Care Med.
2008;177:498-505
9. Richard S. Hotchkiss, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med.
2003;348:138-150
10. Julliette M. Buckley, Jiang Huai Wang, Redmond HP. Cellular reprogramming by gram-
positive bacterial components: A review. J Leukoc Biol. 2006;80:731-741
11. Mical Paul ADN, Elad Goldberg, Steen Andreassen, Evelina Tacconelli,Nadja Almanasreh,
Uwe Frank, Roberto Cauda,Leonard Leibovici. Prediction of specific pathogens in patients
with sepsis: Evaluation of treat, a computerized decision support system. J of Antimicrob
Chemoth. 2007;59:1204-1207
12. Rebecca M. Baron, Miriam J. Baron, Perrella MA. Pathobiology of sepsis. Are we still asking
the same questions?. Am J Respir Cell Mol Biol. 2006;34:129-134
13. Edwin S. Van Amersfoort, Theo J. C. Van Berkel, Kuiper J. Receptors, mediators, and
mechanisms involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin. Microb Review. 2003;16:379-
414
14. Chris Snowden, Kirkman E. The pathophysiology of sepsis. British J of Anaesth. 2002;2:10-
15
15. Pierre Yves Bochud, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: New concepts and implications for
future treatment. British Med J. 2003;326:262-266
16. Amal Nadiri, Melissa K. Wolinski, Saleh M. The inflammatory caspases: Key players in the
host response to pathogenic invasion and sepsis. J of Immunol. 2006;177:4239-4245
17. Martha Sue Carraway, Karen E. Welty-Wolf, Debra L. Miller, Thomas L. Ortel, Steven Idell,
et.al. Blockade of tissue factor treatment for organ injury in established sepsis. Am J Respir
Crit Care Med. 2003;167:1200-1209
18. Kirsten Peters, Ronald E. Unger, Joachim Brunner, Kirkpatrick CJ. Molecular basis of
endothelial dysfunction in sepsis. J Cardio Research. 2003;60:49-57
19. Widodo D. The clinical, laboratory, and microbiological profile of patients with sepsis at the
internal medicine inpatient unit of dr. Ciptomangukusumo national general hospital, jakarta.
Med J Indonesia. 2004;13:90-95
20. Doreen E. Wesche, Joanne L. Lomas-Neira, Mario Perl, Chun-Shiang Chung, Ayala A.
Leukocyte apoptosis and its significance in sepsis and shock. J. Leukoc. Biol. 2005;78:325-
337
21. Macdonald J, H. F. Galley, Webster NR. Oxidative stress and gene expression in sepsis.
British J of Anaesth. 2003;90:221-232
22. Larosa SP. Sepsis: Menu of new approaches replaces one therapy for all. Cleveland Clin J of
Med. 2002;69:65-75
23. Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple organ dysfunction
syndrome. Blood. 2003;101:3765-3777
24
24. K. Lee SBH, C. M. Lim, Y. Koh. Sequential organ failure assessment score and comorbidity:
Valuable prognostic indicators in chronically critically ill patients. Anaesth Intensive Care.
2008;36:528-534
25. J. D. Hunter, Doddi M. Sepsis and the heart. British J of Anaesth. 2010;104:3-11
26. M.W. Merx, Weber C. Sepsis and the heart. Circulation. 2007;116:793-802
27. T. K. Nfor, T. S. Walsh, Prescott RJ. The impact of organ failures and their relationship with
outcome in intensive care: Analysis of a prospective multicentre database of adult
admissions. J of Anaesth. 2006;61:731-738
28. O'brien JM Jr , NA Ali , Abraham E. Year in review in critical care, 2004: Sepsis and multi-
organ failure. Crit Care Med. 2005;9:409-413
29. Bertrand Guidet, Philippe Aegerter, Remy Gauzit, Patrick Meshaka, Dreyfuss D. Incidence
and impact of organ dysfunctions associated with sepsis. Chest. 2005;127:942-951
30. Aird WC. The hematologic system as a marker of organ dysfunction in sepsis. Mayo Clin
Proc. 2003;78:869-881
31. E Cholongitas MS, D. Patch, S. Shaw, C. Hui, A. K. Burroughs. Review article: Scoring
systems for assessing prognosis in critically ill adult cirrhotics. Aliment Pharm Therapy.
2006;24:453-464
32. Wesley Ely, Ruth M. Kleinpell, Goyette RE. Advances in the understanding of clinical
manifestations and therapy of severe sepsis: An update for critical care nurses. Am J Crit
Care. 2003;12:120-133
33. Maria Regina Bentlin, Suppo LM. Late-onset sepsis: Epidemiology, evaluation, and outcome.
Neo Reviews. 2010;11:426-435
34. Yann-Erick Claessens, Dhainaut J-F. Diagnosis and treatment of severe sepsis. Crit Care.
2007;11:1-8
35. Jose Garnacho-Montero CO-L, Inmaculada Herrera-Melero,Teresa Aldabo-Palla s, Aurelio
Cayuela-Dominguez, Juan A. Marquez-Vacaro,Jesus Carbajal-Guerrero, Jose L. Garcia-
Garmendia. Mortality and morbidity attributable to inadequate empirical antimicrobial therapy
in patients admitted to the icu with sepsis: A matched cohort study. J of Antimicrob Chemoth.
2008;61:436-441
36. Engineer R, Blicker J, Patel A. Sepsis management. Emerg Med Rep. 2005;11:133-139
37. Emanuel P. Rivers LM, David C. Morro, Kandis K. Rivers. Early and innovative interventions
for severe sepsis and septic shock: Taking advantage of a window of opportunity. CMAJ.
2005;173:1054-1065
38. James AR. Management of sepsis. N Engl J Med 2006;355:1699-1713
39. J. B. Poulsen, K. Moller, H. Kehler, Perner A. Long-term physical outcome in patients with
septic shock. Acta Anaesth Scand. 2009;53:724-730
40. Munish Goyal, David F. Gaieski, Rivers E. Sepsis management 2010. Emerg Med Rep.
2010;31:301-316
41. Angus DC. Management of sepsis. JAMA. 2011;305:1469-1477
42. Ronny M. Otero, H. Bryant Nguyen, David T. Huang, David F. Gaieski, Munish Goyal, et.al.
Early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock revisited* concepts,
controversies, and contemporary findings. Chest. 2006;130:1579-1595
43. Marik PE. Surviving sepsis: Going beyond the guidelines. Annals of Intensive Care.
2011;1:17-25
44. D. Eissa, E. G. Carton, Buggy DJ. Anaesthetic management of patients with severe sepsis.
British J of Anaesth. 2010;105:734-743
45. Rodger D. Mac Arthur, Mark Miller, Timothy Albertson, Edward Panacek, David Johnso, Leah
Teoh, Barchu W. Adequacy of early empiric antibiotic treatment and survival in severe sepsis:
Experience from the monarcs trial. Clin Infect Diseases. 2004;38:284-288
46. Evans M. Antibiotic guidelines for the empirical treatment of sepsis in immunocompetent
adults. Nottingham Antibiotic Guidelines Committee. 2008:1-14
47. Barbara Bannister SG, Jane Jones. Infection,pathogens and antimicrobial agents. In: Sugden
M, ed. Infection : Microbiology and management. Oxford; 2006:3-24.
48. Scott T. Micek, Emily C. Welch, Junaid Khan, Mubashir Pervez, Joshua A. Doherty, Richard
M. Reichley, Kollef MH. Empiric combination antibiotic therapy is associated with improved
outcome against sepsis due to gram-negative bacteria: A retrospective analysis. Antimicrob
Agent and Chemoth. 2010;54:1742-1748
49. Poulton B. Advances in the management of sepsis: The randomised controlled trials behind
the surviving sepsis campaign recommendations. J of Antimicrob Agents. 2006;27:97-101
25
50. Steen C. Developments in the management of patients with sepsis. Nursing Standard.
2009;23:48-55
51. Cheryl L. Holmes, James A. Russell, Walley KR. Genetic polymorphisms in sepsis and septic
shock* role in prognosis and potential for therapy. Chest. 2003;124:1103-1115
52. Ricard Ferrer AA, David Suarez, Eduardo Palencia, Mitchell M. Levy, Angel Arenzana,Xose
Luis Perez, Josep-Maria Sirvent. Effectiveness of treatments for severe sepsis a prospective,
multicenter, observational study. Am J Respir Crit Care Med. 2009;180:861-866
53. David L. Horn, David C. Morrison, Steven M. Opal, Richard Silverstein, Kumar Visvanathan,
Zabriskie JB. What are the microbial components implicated in the pathogenesis of sepsis?
Report on a symposium. Clin Infect Diseases. 2000;31:851-858
54. Jessina C. McGregor SER, Anthony D. Harris, Eli N. Perencevich,Regina Osih,Thomas P.
Lodise, Ram R. Miller,Jon P. Buruno. A systematic review of the methods used to assess the
association between appropriate antibiotic therapy and mortality in bacteremic patients. Clin
Infect Diseases. 2007;45:329-337
55. Henry Ostman, Vinay K. Sharma , Karim Djekidel, Haber A. Time to antibiotic administration
and outcome in severe sepsis and septic shock. Chest. 2007;132:495
56. A. Shorr SM, E. Welch, J. Doherty, R. Reichley, M. Kollef. Inappropriate antibiotic therapy in
gram-negative sepsis increases hospital length of stay. Am J Respir Crit Care Med.
2010;181:1138
57. J. Goncalves-Pereira, P. R. Povoa, C. Lobo, Carneiro AH. Time of antibiotic therapy and
sepsis resolution. Results from the portuguese community-acquired epsis study (saciuci
study). Am J Respir Crit Care Med. 2011;183:A38-53
58. Leonard Leibovici MP, Ovadia Ezra. Ethical dilemmas in antibiotic treatment. J Antimicrob
Chemother. 2012;67:12-16
59. Daniels R. Surviving the first hours in sepsis: Getting the basics right (an intensivists
perspective). J Antimicrob Chemother. 2011;66:ii11-ii23
60. The department of surgical education . Empiric antibiotic use in critically ill patients. Guideline
Orlando Regional Medical Center. 2007:1-9

Vous aimerez peut-être aussi