Vous êtes sur la page 1sur 46

:

. _. .



AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 1

Mengenal Kitab Bulughul-Maram


Nama aslinya adalah Bulughul-Maram min Adillatil-Ahkam. Tulisan arabnya:
` ` `
Artinya: Sampai pada tujuan: Dari dalil-dalil hukum.
Sebagaimana tercermin dari namanya, kitab ini adalah kitab yang berisi dalil-
dalil hukum. Maksudnya hukum-hukum syara atau al-ahkamus-syariyyah (wajib,
sunat, haram, makruh dan mubah). Demikian Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani selaku
penyusun kitab ini menyatakannya dalam pengantar (muqaddimah) kitab ini. Dalam
bahasa masyarakat muslim hari ini, tema-tema hukum seperti ini populer dikenal
dengan istilah fiqih. Dengan kata lain, kitab Bulughul-Maram ini adalah kitab fiqih
yang bersisi dalil-dalil saja, tidak menyertakan pendapat atau fatwa dari para ulama
fiqih.
Al-Hafizh menyatakan bahwa kitab ini adalah kitab mukhtashar; kitab yang
menyajikan dalil-dalil secara ringkas, mencakup ushul al-adillah al-haditsiyyah;
dalil-dalil pokok dari hadits. Berarti tidak akan ditemukan dalil-dalil hukum dari al-
Qur`an. Dalil-dalil hadits yang disajikan juga hanya yang sifatnya ushul/pokok saja,
tidak mencakup dalil-dalil yang rinci dan detail seperti yang ditemukan dalam kitab-
kitab hadits, lengkap dengan sanad dan variasi matannya. Tujuannya, menurut al-
Hafizh, agar mudah dihafal dan diingat oleh para penghafal hadits, mudah digunakan
oleh pelajar pemula, dan bisa dijadikan dasar untuk kajian yang lebih mendalam lagi
oleh para pengkaji Islam. Inilah tiga tujuan pokok dari penyusunan kitab Bulughul-
Maram dalam bentuk mukhtashar, sebagaimana disebutkan langsung oleh al-Hafizh
dalam pengantar kitabnya.
Hadits-hadits yang disajikan dalam Bulughul-Maram, karena polanya
mukhtashar, tidak menyertakan sanad (rangkaian para periwayat hadits). Hanya
menyebutkan shahabat yang menjadi sumber riwayat dan imam-imam hadits yang
mengeluarkannyamaksudnya imam hadits yang menyeleksi riwayat-riwayat
hadits lalu menuliskannya dalam kitab hadits tulisannya seperti Imam Ahmad dalam
Musnad Ahmad, Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, dan Imam Abu Dawud
dalam Sunan Abi Dawud. Pekerjaan imam-imam hadits seperti ini dalam ilmu hadits
diistilahkan dengan mengeluarkan hadits.
Dalam menuliskan nama-nama imam hadits yang mengeluarkanya tersebut, al-
Hafizh menggunakan metode penyingkatan yang dibakukan olehnya, yaitu:
As-Sabah (Tujuh Imam): Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-
Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah.
As-Sittah (Enam Imam): al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa`i, at-
Tirmidzi, dan Ibn Majah. Imam Ahmad tidak termasuk.
Al-Khamsah (Lima Imam): Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan
Ibn Majah. Imam al-Bukhari dan Muslim tidak termasuk. Untuk kategori yang ini,
terkadang al-Hafizh juga menulisnya al-Arbaah (Empat Imam) dan Ahmad.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 2

Al-Arbaah (Empat Imam): Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn
Majah
Ats-Tsalatsah (Tiga Imam): Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi
Muttafaq Alaihi (Hadits Yang Disepakati): al-Bukhari dan Muslim. Meskipun
ada satu hadits yang muttafaq alaihi ini diriwayatkan juga oleh Imam hadits selain
al-Bukhari-Muslim, al-Hafizh sering tidak menyebutkannya dan mencukupkannya
pada penyebutan muttafaq alaihi saja.
Selain dari tujuh imam hadits di atas maka imam yang mengeluarkan
haditsnya akan disebutkan langsung namanya, seperti Malik, as-Syafii, Ibn
Khuzaimah, Ibn Hibban, Ibn Abi Syaibah, al-Hakim, ad-Daraquthni, al-Bazzar, Abu
Yala, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan yang lainnya. Akan tetapi secara umum, sebagian
besar hadits-hadits dalam Bulughul-Maram ini merujuk kepada tujuh imam di atas.
Ketika menyebutkan imam-imam hadits yang mengeluarkannya, al-Hafizh
terkadang menyebutkan juga kualitas hadits tersebut apakah shahih, hasan atau dlaif.
Untuk hadits yang dinilainya shahih, maka al-Hafizh tidak menyebutkan kualitasnya
karena sudah dikenal dan bisa dirujukkan langsung ke kitab-kitab hadits imam yang
bersangkutan. Jika suatu hadits diragukan kualitas keshahihannya, maka al-Hafizh
menyebutkannya sebagai berkualitas shahih atau hasan dan menyebutkan pula imam
hadits yang memberi penilaian tersebut.
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` . ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` `
Dari Anas ibn Malik ra, ia berkata: Para shahabat Rasulullah saw di zaman beliau,
menunggu shalat Isya sampai terkulai kepala mereka (dagu mengenai dada karena
tertidur). Mereka kemudian shalat tanpa berwudlu. Abu Dawud mengeluarkannya.
Ad-Daraquthni menshahihkannya. Asalnya ada pada riwayat Muslim.
Riwayat Muslim yang dimaksud al-Hafizh:
` ` ` ` ` ` ` ` `
`
Dari Qatadah ia berkata: Aku mendengar Anas berkata: Para shahabat Rasulullah
saw tidur, kemudian shalat tanpa berwudlu lagi. (Shahih Muslim kitab al-haidl bab
ad-dalil annan-naum al-jalis la yanqudlul-wudlu no. 861)

Jika suatu hadits ada sedikit kelemahan tetapi masih bisa digunakan hujjah
sebagai pelengkap dari riwayat yang shahih, maka al-Hafizh menyebutkan untuk
hadits itu pada sanadnya ada kelemahan (wa fihi dlafun; wa fi sanadihi/isnadihi
dlafun; bi isnadin dlaifin; wa sanaduhu dlaifun; dan semisalnya).
` ` ` ` ` `
. ` ` ` ` ` ` `
` `
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 3

Dari Ibn Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:Dihalalkan bagi kita dua
bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Sementara dua
darah yaitu hati dan jantung. Ahmad dan Ibn Majah mengeluarkannya, tetapi dalam
sanadnya ada kelemahan.
Al-Hafizh Ibn Hajar di atas menyebutkan bahwa dalam sanad hadits ini ada
kelemahan/dlaif. Dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir 1 : 34-35, ia menjelaskan
bahwa penyebabnya adalah seorang rawi yang bernama Abdurrahman ibn Zaid ibn
Aslam yang dinilainya matruk dan dinyatakan munkar haditsnya oleh Imam Ahmad.
Meski demikian, terdapat sanad lain yang shahih dari ad-Daraquthni yang melalui
Sulaiman ibn Bilal dari Zaid ibn Aslam tetapi mauquf (bersumber dari shahabat,
bukan Nabi saw). Namun ini tidak menjadi masalah, sebab Ibn Hajar menegaskan,
riwayat mauquf yang shahih dan merupakan pernyataan shahabat: Dihalalkan bagi
kami, atau Diharamkan bagi kami, berstatus sama dengan hadits marfu
(bersumber dari Nabi saw). Maksudnya, mustahil shahabat menyatakan demikian jika
tidak ada dasarnya dari Nabi saw. Maka dari itu hadits ini bisa dijadikan dalil meski
terdapat kelemahan.

Ada juga hadits yang kualitasnya benar-benar dlaif dan sengaja dimasukkan
ke dalam Bulughul-Maram untuk memberitahu bahwa hadits yang populer tersebut
sebenarnya berkualitas dlaif.
` ` `
. ` ` ` ' . ` `
` ` ` ` ` . ` ` ` ` .
Dari Muawiyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Mata itu pengikat dubur.
Apabila dua mata tertidur maka terlepaslah ikatan itu. Ahmad dan at-Thabrani
meriwayatkannya. Dalam riwayat at-Thabrani ada tambahan: Dan siapa yang tidur
maka hendaklah ia wudlu. Tambahan ini dalam hadits ini pada riwayat Abu Dawud
dari Ali tanpa ada pernyataan: Terlepaslah ikatan itu. Dalam kedua sanad ini ada
kelemahan.
` ` ` ` ` ` . `
` ` ` .
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Ibn Abbas secara marfu: Sesungguhnya
wudlu itu bagi orang yang tidur miring (berbaring pada lambungnya). Dalam
sanadnya ada kelemahan juga.

Al-Hafizh menempuh metode seperti ini sebagai pertanggungjawaban ilmiah
kepada umat dan sebagai bentuk ketulusannya untuk benar-benar menuntun umat (li
iradah nushhil-ummah). Sebab cukup banyak juga kitab-kitab tentang agama Islam
yang penyusunnya sama sekali tidak menjelaskan kualitas haditsnya, seperti
safinatun-naja, fadla`ilul-amal, dzurratun-nashihin, ihya ulumid-din, dan lainnya.



AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 4

Keistimewaan Bulughul-Maram
Menurut Abdullah ibn Abdirrahman al-Bassam, kitab Bulughul-Maram adalah kitab
yang paling istimewa di kelasnya. Sebuah kitab tentang dalil-dalil hukum yang
ringkas tetapi padat dan berbobot sebab mencakupi semua tema fiqih. Para ulama dari
generasi terdahulu sampai hari ini menggunakannya untuk bahan kajian dan
pengajaran. Tidak ada satu lembaga kajian dan pengajaran pun, menurutnya, di dunia
ini dari berbagai madzhab yang melewatkan kitab Bulughul-Maram sebagai kitab
yang paling awal untuk dikaji dalam tema fiqih, meski al-Hafizh sebenarnya
bermadzhab Syafii. Termasuk di Saudi Arabia, negara tempat bermukim al-Bassam
yang mayoritas bermadzhab Hanbali. Menurutnya, di setiap lembaga pendidikan
negara tersebut, baik formal ataupun informal, kitab Bulughul-Maram selalu menjadi
kitab yang paling awal dikaji dan dipelajari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh A.
Hassan di masa Republik ini belum berdiri. Hampir selalu ditemukan pesantren dan
madrasah yang menjadikan Bulughul-Maram sebagai bahan materi kajiannya.
Dalam pengamatan al-Bassam, keistimewaan kitab Bulughul-Maram ini jika
hendak diuraikan lebih rinci adalah:
Pertama, penyusun kitab menjelaskan martabat hadits dalam hal shahih,
hasan dan dlaif sehingga pembaca tidak direpotkan untuk meneliti sendiri kualitas
haditsnya. Contohnya sudah disajikan di atas.
Kedua, hadits yang disajikan adalah hadits dengan matan yang sesuai untuk
setiap babnya. Sehingga banyak hadits bermatan panjang yang dipotong dan dipilih
matan yang sesuainya saja dengan bab terkait. Contoh hadits tentang larangan makan
daging keledai jinak. Matan yang lengkapnya di kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan
latar kronologisnya pada waktu perang Khaibar dan perintah Nabi saw sesudahnya.
Akan tetapi di kitab Bulughul-Maram yang dicantumkan hanya pernyataan larangan
Nabi saw-nya saja untuk makan daging keledai jinak. Contohnya berikut ini. Paragraf
pertama dari Bulughul-Maram, paragraf kedua dari Shahih al-Bukhari yang lebih
lengkapnya:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Dan darinya (Anas ibn Malik), ia berkata: Pada hari (perang) Khaibar, Rasulullah saw
memerintah Abu Thalhah (untuk menyeru), lalu ia pun menyeru: Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai jinak, karena itu kotor.
Disepakati keshahihannya (oleh al-Bukhari Muslim).
[Lafazh wa anhu dalam hadits Bulughul-Maram di atas dirujukkan pada hadits
sebelumnya yang an Anas ibn Malik. Artinya maksud wa anhu pada hadits di
atas adalah dari Anas ibn Malik].
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Dan Anas ibn Malik, sesungguhnya Rasulullah saw didatangi oleh seseorang yang
berkata: Keledai sudah dimakan. Kemudian datang lagi yang lain dan berkata:
Keledai sudah dimakan. Kemudian datang lagi yang lain dan berkata: Keledai
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 5

sudah habis. Lalu beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru kepada orang-
orang: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai
jinak, karena itu kotor. Maka dibuanglah apa yang ada di panci-panci, padahal sudah
penuh dengan daging.

Ketiga, jika suatu hadits terdapat riwayat-riwayat lain yang berbeda lafazhnya,
maka al-Hafizh menyebutkan perbedaan lafazh tersebut, dan hanya lafazh yang
berbedanya saja yang ditulis tidak keseluruhan matannya secara lengkap. Contoh:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` .
` ` ` ` ` . ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` .
` ` ` ` . ` ` `
Dari Abu Hurairahsemoga Allah meridlainyaia berkata: Rasulullahsemoga
shalawat dan salam tercurah untuknyabersabda: Salah seorang di antara kalian
jangan mandi pada air yang tergenang ketika junub. Muslim mengeluarkannya.
Dalam riwayat al-Bukhari: Janganlah salah seorang di antara kalian kencing pada
air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian mandi padanya. Dalam riwayat
Muslim: Mandi darinya. Dalam riwayat Abu Dawud: (Jangan kencing) dan
jangan mandi junub padanya.
Dari hadits yang disajikan al-Hafizh Ibn Hajar di atas dalam kitabnya, Bulughul-
Maram, dapat diketahui adanya empat variasi matan, yaitu:
Pertama, larangan mandi junub pada air yang tergenang (riwayat Muslim).
Kedua, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi padanya (riwayat al-
Bukhari).
Ketiga, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi darinya, yakni
mengambil air untuk mandi dari air yang sudah dikencingi tersebut (riwayat Muslim).
Keempat, larangan kencing dan larangan mandi. Kedua-duanya dilarang, baik itu
pada waktu bersamaan atau pada waktu yang berlainan (riwayat Abu Dawud).

Keempat, al-Hafizh menukil hadits dari kitab-kitab hadits yang pokok, yaitu
Musnad Ahmad, Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dan Sunan Yang
Empat (Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i, Sunan Ibn Majah).
Kelima, al-Hafizh memulai babpada keumumannyadengan hadits riwayat
Shahihain atau salah satunya, kemudian Sunan Yang Empat dan hadits-hadits lainnya.
Tujuannya menunjukkan kepada pembaca bahwa hadits yang shahih adalah dasar
pijakan utamanya.
Keenam, al-Hafizh menelusuri illat-illat (cacat kecil dan tersembunyi dalam
periwayatan) yang terdapat dalam hadits dan menyebutkannya. Contoh:
` ` ` ` ` ` ` ` . ` `
' ` . ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` `
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 6

Dan darinya (Abdullah ibn Zaid) bahwasanya ia melihat Nabi saw mengambil air
untuk kedua telinganya yang berbeda dengan air yang diambilnya untuk kepalanya.
Al-Baihaqi mengeluarkannya. Tetapi dalam riwayat Muslim dari sanad dan tema
yang ini lafazhnya: Dan ia mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa
tangannya. Inilah yang mahfuzh.
Hadits pertama, riwayat al-Baihaqi, dituliskan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab as-
Sunan al-Kubra (lil-Baihaqi) kitab at-thaharah bab mashil-udzunain bi ma`in jadid
no. 308. Sementara hadits kedua, riwayat Muslim, dituliskan oleh Imam Muslim
dalam kitab Shahih Muslim kitab at-thaharah bab fi wudlu`in-Nabi saw no. 582.
Dua hadits di atas statusnya shahih. Tetapi matannya berbeda atau bertentangan.
Padahal kedua-duanya disampaikan melalui sanad/jalur periwayatan yang sama,
yakni Abdullah ibn Zaid, disampaikan kepada Wasi, lalu kepada putranya,
Hibban/Habban, lalu kepada Amr ibn al-Harits, lalu kepada Abdullah ibn Wahb.
Temanya sama pula, yakni apa yang dilihatnya dari wudlu Nabi saw. Al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Bulughul-Maram, sebagaimana terbaca dari pernyataannya di atas,
menilai bahwa riwayat Imam Muslim yang mahfuzh (arti asalnya terjaga/teruji),
maksudnya yang lebih shahih dan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Konsekuensinya, riwayat al-Baihaqi menjadi syadz (lemah karena bertentangan
dengan sanad yang lebih kuat). Sebab tidak ada pilihan lain kecuali memilih salah
satunya, dan itu yang lebih kuat. Tidak mungkin hadits yang satu sanad dan tema
tersebut jadinya ada dua pemahaman. Terlebih faktanya, tidak ada hadits lain yang
mendukung riwayat al-Baihaqi, dimana Nabi saw mengambil air lagi untuk mengusap
telinga.

Ketujuh, jika suatu hadits memiliki mutabiat atau syawahid (riwayat-riwayat
lain yang berbeda lafazh tapi ada kesamaan topik pembahasan), al-Hafizh
menyebutkannya dengan isyarat. Contoh:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ' ` `

Dari Abu Hurairah ra (radliyal-Llahu anhu; semoga Allah meridlainya) ia berkata:
Rasulullah saw (shallal-Llahu alaihi wa sallam; semoga kebaikan dan keselamatan
senantiasa tercurah kepadanya) bersabda tentang laut: Dia itu suci airnya halal
bangkainya. Empat Imam dan Ibn Abi Syaibah mengeluarkannya, dan lafazh hadits
ini riwayatnya (Ibn Abi Syaibah). Ibn Khuzaimah dan at-Tirmidzi menshahihkannya.
Meriwayatkannya juga Malik, as-Syafii, dan Ahmad.

Kedelapan, al-Hafizh menyusun bab pembahasan sebagaimana halnya kitab-
kitab fiqih, sehingga hadits-haditsnya mudah ditelusuri berdasarkan tema bab.
Kesembilan, al-Hafizh melengkapi kitabnya ini dengan sebuah bab pelengkap
(kitab al-jami) yang berisi hadits-hadits tentang adab dan akhlaq, agar seorang
pengkaji hukum tidak melupakan suluk (kode etik perilaku muslim).
Keistimewaan lainnya bisa dilihat dari jumlah kitab-kitab yang men-syarah
(mengulas dan mengkaji)-nya. Al-Bassam sendiri menemukan tidak kurang dari 11
kitab syarah hadits Bulughul-Maram. Satu yang paling fenomenal darinya adalah
Subulus-Salam yang ditulis oleh Imam Muhammad ibn Ismail as-Shanani. Itu belum
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 7

termasuk Taudlihul-Ahkam tulisan al-Bassam sendiri, at-Tibyan karya Khalid ibn
Dlaifil-Llah as-Syalahi, Syarah Bulughul-Maram Syaikh al-Utsaimin, Syarah
Bulughul-Maram Syaikh Abdul-Karim al-Khadlir, dan Syarah Bulughul-Maram
Syaikh Athiyyah ibn Muhammad Salim. Lima kitab yang disebutkan terakhir ini
adalah kitab syarah Bulughul-Maram yang ditulis di abad 15 H/20-21 M.

Profil al-Hafizh
Penyebutan al-Hafizh untuk Ibn Hajar al-Asqalani mengikuti tradisi yang berlaku
dalam keilmuan Islam, khususnya ilmu hadits. Maksudnya, ketika disebut nama al-
Hafizh maka yang dituju tiada lain adalah Ibn Hajar al-Asqalani yang bernama
lengkap Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalani (Lahir: Mesir, 12
Syaban 773 H/18 Februari 1372 M. Wafat: Mesir, 28 Dzulhijjah 852 H/22 Februari
1449 M). Penyebutan tersebut menggambarkan penghormatan yang tinggi dari para
ulama hadits akan kepakaran Ibn Hajar dalam bidang hadits yang juga pernah
menjabat hakim di Mesir selama hampir 20 tahun.
Terobosannya dalam pematangan metodologi ilmu hadits diikuti oleh
mayoritas ulama hadits sesudahnya. Dari kitab-kitabnya: an-Nukat ala Ibnis-Shalah,
Nukhbatul-Fikr fi Mushthalah Ahlil-Atsar beserta penjelasannya Nuzhatun-Nazhar,
dan Tahdzibut-Tahdzib, ilmu hadits riwayah dan dirayah memasuki periode
kematangan.
Karya paling fenomenalnya dari sekitar 150-an karya ilmiahnya, Fathul-Bari
bi Syarh Shahih al-Bukhari, juga menjadi rujukan utama para ulama syarah hadits
sesudahnya. Sebut misalnya Aunul-Mabud Syarah Sunan Abi Dawud karya al-
Azhim Abadi; Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi karya al-Mubarakfuri;
Nailul-Authar karya as-Syaukani, dan Subulus-Salam karya as-Shanani. Ini
menunjukkan kedalaman dan keluasan kajian Fathul-Bari yang tentunya
menggambarkan pula kedalaman dan keluasan ilmu penulisnya dalam hal
periwayatan hadits, bahasa Arab, fiqih dan kajian-kajian Islam lainnya dalam berbagai
tema (tafsir, aqidah, akhlaq, sejarah, dan sebagainya).

Metode Syarah Hadits
Dalam syarah hadits ini, kajian akan difokuskan pada fiqh dari Ibn Hajar sendiri atas
hadits yang ditulisnya dalam Bulughul-Maram dengan menggunakan rujukan
pembantu karya Ibn Hajar lainnya seperti Fathul-Bari dan Talkhishul-Habir (kitab
takhrij hadits). Di samping itu akan disajikan pula secara ringkas perbedaan pendapat
dari para ulama atas tema fiqih yang sedang dibahas. Tidak luput pula pandangan dari
para ulama Persatuan Islam, dari mulai A. Hassan sampai Dewan Hisbah.
Dalam melakukan kajian syarah Bulughul-Maram ini, selain Fathul-Bari,
kitab-kitab yang akan dijadikan rujukan utama adalah Syarah an-Nawawi ala Shahih
Muslim, Subulus-Salam, Taudlihul-Ahkam, dan Tarjamah Bulughul Maraam A.
Hassan juga karya ulama-ulama Persatuan Islam lainnya. Maka dari itu, setiap kali
disebut pendapat an-Nawawi maka itu dinukil dari Syarah an-Nawawi ala Shahih
Muslim; setiap disebut pendapat al-Hafizh maka yang dimaksud Ibn Hajar dalam
Fathul-Bari atau Talkhishul-Habir; setiap disebut pendapat as-Shanani maka yang
dimaksud dari kitab Subulus-Salam; setiap disebut al-Bassam maka yang dimaksud
dari kitab Taudlihul-Ahkam; dan setiap disebut A. Hassan maka yang dimaksud dari
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 8

Tarjamah Bulughul Maraam. Selebihnya setiap pendapat ulama akan disebutkan
langsung rujukannya. Metode seperti ini ditempuh mengikuti metode para ulama
hadits sebelumnya yang bertujuan li iradah nushhil-ummah (menuntun umat dengan
berbasis kajian ilmiah). Selain itu, bagi para pengkaji (ulama atau santri) yang
menemukan kejanggalan dalam syarah hadits yang ditulis bisa menelusurinya lebih
lanjut untuk kemudian mengkonfrontasikannya dengan yang ditulis ini. Sehingga
koreksi atas kekeliruanyang selalu tidak bisa dilepaskan dari setiap manusiabisa
segera dilakukan.
Sebagai sebuah kitab yang membahas fiqh, maka konsekuensinya akan
ditemukan beragam pendapat dan analisa atas suatu tema yang sedang dibahas. Sebab
fiqh adalah ilmu yang berdasar pada ijtihad. Ijtihad itu sendiri merupakan kegiatan
analisa dan penelaahan atas dalil-dalil yang sifatnya zhanni (samar atau tidak jelas).
Karena sifatnya zhanni, maka pasti akan memunculkan beragam hasil ijtihad dan
pendapat fiqh. Berbeda jika dalil-dalil yang dikaji sifatnya qathi seperti wajibnya
shalat lima waktu, zakat fitrah, shaum Ramadlan, keharaman riba, dan semacamnya,
tentu tidak akan melahirkan perbedaan pendapat. Akan tetapi dalam hal fiqh yang
akan banyak ditemukan dalil-dalil yang zhanni, jelas akan melahirkan beragam ijtihad
dan kesimpulan. Dalam hal ini umat Islam tidak perlu merasa tabu, sebab itu
merupakan khazanah pemikiran Islam yang sudah diwariskan oleh para ulama. Klaim
sunnah-bidah pun tidak bisa diberlakukan dalam kajian fiqh ini. Sebab selama
sebuah ijtihad ada dasar dalilnya, meski berbeda-beda kesimpulannya, maka itu
bagian dari sunnah. Bidah hanya berlaku bagi aqidah dan syariah yang tidak ada
dasar dalilnya sama sekali.
Termasuk dalam hal ini akan ditemukan pendapat-pendapat al-Hafizh Ibn
Hajar, sebagai penyusun kitab Bulughul-Maram, yang berbeda dengan fiqh umat
Islam Indonesia. Meski tentunya ada lebih banyak persamaannya dibanding
perbedaannya. Dalam menyikapinya, wajib diberlakukan sikap anti-taqlid juga anti-
takabbur. Tidak boleh taqlid, karena sebagai manusia, al-Hafizh ada kemungkinan
kelirunya, sehingga umat Islam hari ini diharuskan menelaah ulang kembali secara
ilmiah tanpa harus fanatik buta. Dan tidak boleh takabbur dengan merendahkan
keilmuan al-Hafizh yang sudah teruji di dunia Islam. Yang tepat adalah pilih salah
satu pendapat fiqh yang lebih tepat menurut hasil ijtihad, baik yang sesuai atau tidak
sesuai dengan fiqh al-Hafizh, seraya tetap menghargai hasil ijtihad yang berbeda.
Semoga Allah swt memberikan ilmu yang luas dan usia yang cukup sehingga
kita semua bisa mengkaji syarah hadits Bulughul-Maram sampai tuntas. Amin.
Wal-Llahu alam bis-shawab
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 9



Kitab Thaharah (Bersuci)

Bab Air


l-Qur`an menerangkan bahwa air yang ada di alam ini merupakan sebuah
kesatuan, mulai dari air hujan, air laut, air es/salju, air sungai, air danau, dan
air tanah. Asal muasal air itu sendiri yakni air hujan, statusnya suci. Maka
selama zat air itu tidak berubah dari yang aslinya, status kesuciannya pun tidak hilang.
Ayat-ayat yang dimaksud dalam al-Qur`an adalah sebagai berikut:
%!# & xl# #0 _,/ .Gm $l& _ $l# $
# `s`l ./ $#/ $G 1` $ $1lz $& _$& #,V _
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat
sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang
amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan
agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami,
binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak (QS. al-Furqan [25] : 48-49).
Ayat ini menyatakan bahwa air hujan suci. Air hujan itu ada yang masuk ke
dalam tanah dan ada yang dijadikan sumber air minum oleh makhluk hidup, seperti
sungai dan danau.
& $l# $ Ml$ & $1/
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya (QS. ar-Rad [13] : 17)
Ayat ini menegaskan bahwa air hujan merupakan asal dari air sungai dan air
yang ada di lembah-lembah seperti oase.
$l& xl# xl $l' _ $l# $ >1`' $ `F& l
_,2
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (partikel-partikel
pembuat hujan/tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami
beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya
(QS. al-Hijr [15] : 22).
A
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 10

Ayat ini menginformasikan bahwa air hujan itu terbuat dari unsur-unsur
tertentu yang dikawinkan oleh angin. Salah satu unsur yang utamanya adalah air laut.
Dari air laut, menjadi air hujan, lalu turun menjadi air yang bisa diminum, dan
sebagiannya tersimpan menjadi air tanah.
`l& ? & !# _e` $/$t O l` / O `&#g $%' I Xl#
l` _ .&#lz `` _ $l# _ $7_ $, _ / =` ./ _ '$
` _ _ '$ %> $ ./ = /$/
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian
mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-
tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga)
menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan
seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya.
Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan (QS. an-Nur : 43).
Ayat ini menginformasikan bahwa air hujan berasal dari angin yang membawa
partikel-partikel pembuat hujan; air laut, zat-zat air yang ada pada dedaunan, dan
sebagainya, lalu setelah turun menjadi hujan ada yang berupa es/salju.
!# %!# `` xl# ,WG $/$s 6 $l# '$ `&#g
$ I l# l` _ .llz #* >$& ./ _ '$ _ .$7 #) /`
;G`
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan
Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-
celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang
dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira (QS. ar-Rum [30] : 48).
$l# N# _l# # N# l#
Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-
tumbuhan (QS. at-Thariq [86] : 11-12)
Ayat-ayat di atas menginformasikan keterkaitan antara angin, langit, awan,
bumi, laut, dan tumbuh-tumbuhan, yang mengindikasikan adanya kesatuan air dalam
sebuah siklus kehidupan.
Akan tetapi tidak serta merta ketika zat air berubah dari wujud aslinya pun
kemudian air itu otomatis tidak suci. Dalam hal inilah maka hadits-hadits seputar air
menyoroti air-air yang sudah berbeda zatnya dari air hujan yang suci. Di dalam
Bulughul-Maram ini sendiri akan dibahas seputar kedudukan air laut, air sungai, air
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 11

danau, air oase atau rawa, air-air yang tergenang di genangan-genangan air, termasuk
membahas status perubahan air yang sampai menajiskan air, dan hal-hal yang bisa
membuat air menjadi najis, bangkai salah satunya. Maka dari itu tidak heran jika
kemudian dalam bab air ini, dibahas juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar hadits-hadits
seputar bangkai.

. .
`
Dari Abu Hurairah ra (radliyal-Llahu anhu; semoga Allah meridlainya) ia
berkata: Rasulullah saw (shallal-Llahu alaihi wa sallam; semoga kebaikan dan
keselamatan senantiasa tercurah kepadanya) bersabda tentang laut: Dia itu
suci airnya halal bangkainya. Empat Imam dan Ibn Abi Syaibah
mengeluarkannya, dan lafazh hadits ini riwayatnya (Ibn Abi Syaibah). Ibn
Khuzaimah dan at-Tirmidzi menshahihkannya.


Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas,
diriwayatkan oleh Empat Imam (yakni Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn
Majah), Ibn Abi Syaibah dan Ibn Khuzaimah. Adapun rincian datanya: Sunan Abi
Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu bi ma`il-bahr no. 83; Sunan at-Tirmidzi
abwab at-thaharah bab ma`ul-bahri annahu thahur no. 69; Sunan an-Nasa`i kitab at-
thaharah bab ma`il-bahr no. 59; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-wudlu bi
ma`il-bahr no. 386-388; Mushannaf Ibn Abi Syaibah bab man rakhkhasha fil-wudlu`
bi ma`il-bahr no. 158; Shahih Ibn Khuzaimah kitab al-wudlu bab ar-rukhshah fil-
ghusli wal-wudlu min ma`il-bahr no. 111-112
Al-Hafizh sendiri dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir (1 : 3), menjelaskan
bahwa selain imam-imam di atas, hadits ini diriwayatkan juga oleh Malik, as-Syafii,
Ibn Hibban, Ibnul-Jarud, al-Hakim, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Menurut at-
Tirmidzi, Imam al-Bukhari menilai hadits ini shahih. Ibn Abdil-Barr yang menilai
hadits ini tidak shahih, menurut al-Hafizh, disebabkan kurang cermat dalam meneliti
hadits.

Matan Hadits
Sabda Nabi saw: Dia itu suci airnya halal bangkainya, sebagaimana
dinyatakan al-Hafizh di atas ditujukan pada air laut. Ini akan lebih bisa dimengerti
dengan merujuk pada matan yang lebih lengkapnya yang diriwayatkan oleh para
imam hadits di atas:
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 12

` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` `
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw, ia
berkata: Wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berlayar di laut dan membawa
sedikit air. Jika kami berwudlu dengan air itu kami akan kehausan. Apakah boleh
kami berwudlu dengan air laut? Rasulullah saw menjawab: Dia itu suci airnya
halal bangkainya.
Dalam riwayat ad-Daraquthni disebutkan bahwa orang yang bertanya tentang
air laut ini namanya Abdullah al-Mudliji. Sementara dalam riwayat at-Thabrani
namanya Abd Abu Zumah al-Balawi. Meski tidak ada kesepakatan yang pasti
tentang nama sang penanya, yang jelas ada orang yang bertanya kepada Nabi saw
tentang air laut. Wal-Llahu alam (at-Talkhishul-Habir 1 : 7).

Syarah Mufradat
Thahur asal katanya thaharah yang berarti suci, bersih. Bentuk kata thahur
maknanya adalah alat untuk menyucikan. Secara zatnya berarti ia suci dan bisa
menyucikan.
Maitatuhu artinya bangkai laut. Maksudnya bangkai binatang laut yang
memang hidupnya di laut, bukan bangkai binatang darat yang mati di laut (Subulus-
Salam).

Syarah Ijmali
Berdasarkan hadits ini, air laut statusnya thahur; suci dan bisa dipakai untuk
thaharah seperti wudlu, mandi junub, dan membersihkan kotoran atau najis.
Pertanyaan yang dikemukakan sang penanya kepada Nabi saw tentang air laut ini
diduga kuat karena ia mengira status air laut yang asin berbeda dengan air tawar
biasa. Dengan jawaban Nabi saw di atas jelaslah bahwa air laut statusnya thahur.
Di samping itu, Nabi saw melebihkan jawaban dari yang ditanya. Menurut
para ulama, ini menjadi ajaran bahwa jika yang bertanya hanya menanyakan satu
persoalan, sebaiknya dikemukakan jawaban yang luas bukan hanya pada persoalan
tersebut saja, tetapi meliputi hal-hal lain yang terkait dengannya. Seperti dicontohkan
Nabi saw di atas, krisis air yang menjadi tema pertanyaan sang penanya tidak
mustahil akan terjadi juga krisis makanan sehingga harus memakan binatang laut
termasuk bangkainya. Maka Nabi saw pun menambah jawaban dengan: halal
bangkainya.
Hadits pertama dalam bab air ini dijadikan dasar oleh al-Hafizh untuk
menyajikan hadits-hadits berikutnya dalam dua tema, yakni air dan bangkai.



AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 13


. ` ` ` .
.
Dari Abu Said al-Khudri ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadikannya
najis. Tiga Imam mengeluarkannya dan Ahmad menshahihkannya.


Takhrij Hadits
Tiga Imam yang meriwayatkan hadits di atas adalah Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-
Nasa`i. Imam Ahmad juga turut meriwayatkannya dan menshahihkannya. Adapun
rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi bi`ri budlaah no.
66-67; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-ma` la yunajjisuhu syai`un no.
66; Sunan an-Nasa`i kitab al-miyah bab dzikri bi`r budlaah no. 325-327; Musnad
Ahmad no. 11134, 11275, 11833.
Menurut al-Hafizh, hadits ini diriwayatkan juga oleh as-Syafii, ad-
Daraquthni, al-Hakim, al-Baihaqi. Menurut al-Baihaqi hadits ini hasan, tapi menurut
Abu Usamah jayyid (bagus). Sementara Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Main dan
Abu Muhammad ibn Hazm menilainya shahih (at-Talkhishul-Habir 1 : 8).

Matan Hadits
Hadits di atas disampaikan Nabi saw ketika beliau ditanya kenapa beliau
mengambil air untuk minum dari sumur Budlaah:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` . `
` ` ` ` ` ` `
Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw ketika ia
ditanya kenapa mengambil air minum dari sumur Budlaah padahal masuk ke dalam
sumur itu daging (bangkai) anjing, kain-kain bekas haidl, dan sampah dari penduduk
Madinah, Rasulullah saw menjawab: Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu
apapun yang bisa menjadikannya najis. (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab
ma ja`a fi bi`ri budlaah no. 67. Dalam riwayat Abu Dawud no. 66 asbabul-wurud
[latar belakang kronologis]-nya adalah pertanyaan bolehkah berwudlu dari sumur
Budlaah. Dalam riwayat an-Nasa`i no. 327 asbabul-wurud-nya adalah pertanyaan
shahabat kepada Nabi saw kenapa beliau berwudlu dari sumur Budlaah)

Syarah Ijmali
Budlaah, dijelaskan dalam Shahih al-Bukhari, adalah sebuah kebun di
Madinah yang biasa ditanami silq [sejenis ubi] (kitab al-isti`dzan bab taslimir-rijal
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 14

alan-nisa` no. 6248). Kebun tersebut terletak di perkampungan Bani Saidah. Pada
kebun tersebut terdapat sumur yang airnya sering dikonsumsi untuk minum dan
bersuci. Menurut Ismaili, keterangan di atas bahwa sumur itu sering dijadikan tempat
pembuangan kain bekas haidl dan kotoran manusia, mengisyaratkan bahwa kotoran-
kotoran dimaksud dibuang di kebun tetapi terbawa curahan air hujan ke sumur. Sebab
sumur Budlaah itu mengalir (Fathul-Bari kitab al-isti`dzan bab taslimir-rijal alan-
nisa`). at-Thibi juga menyatakan bahwa sumur Budlaah terletak di saluran air kebun.
Jika hujan turun, maka semua kotoran akan terbawa ke saluran air dan kemudian
terbawa ke sumur (Tuhfatul-Ahwadzi abwab at-thaharah bab al-ma` la yunajjisuhu
syai`un).
Qutaibah ibn Said pernah bertanya kepada orang yang merawat sumur
Budlaah tentang kedalamannya. Jawabnya, kalau airnya sedang banyak sampai pada
pinggul, tapi kalau sedang sedikit sampai pada paha. Imam Abu Dawud pernah
mengukur langsung luas sumur tersebut dan menurutnya luasnya sekitar 6 hasta. Abu
Dawud bertanya kepada penjaga pintu sumur Budlaah apakah bentuk sumur tersebut
sudah diubah, jawabnya tidak. Saat itu, di masa Abu Dawud (202-275 H/817-888 M),
air di sumur Budlaah sudah berubah warnanya (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah
bab ma ja`a fi bi`ri budlaah no. 67).
Imam as-Syafii berani memastikan bahwa air di sumur Budlaah banyak,
sehingga kotoran dan najis yang dibuang padanya tidak mengubah zatnya. Al-Waqidi
juga menyatakan bahwa saking banyaknya air di sumur Budlaah, sumur tersebut
tidak pernah kering dan habis airnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 10).
Jelasnya, air sumur Budlaah yang digunakan Nabi saw untuk berwudlu dan
minum saat itu adalah air bersih yang tidak tercampuri najis, sebagaimana
dikemukakan oleh beliau dalam jawaban atas pertanyaan tentang kebersihan air sumur
Budlaah. Sama seperti halnya hadits sebelumnya, Nabi saw dalam hadits ini pun
memberi jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan. Meski Nabi saw hanya
ditanya tentang air di sumur Budlaah saja, Nabi saw menjawabnya dengan jawaban
yang umum, bahwa air itu sifat dasarnya suci dan tidak bisa berubah menjadi najis.
Oleh para ilmuwan muslim di masa berikutnya kemudian dilakukan penelitian
sehingga berhasil melakukan penyulingan air. Sehingga benar sekali sabda Nabi saw
di atas bahwa air secara zatnya pasti suci tidak bisa menjadi najis.

. ` `
. .
Dari Abu Umamah al-Bahili ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadikannya najis,
kecuali sesuatu yang mengubah bau, rasa dan warnanya. Ibn Majah
mengeluarkannya dan Abu Hatim mendlaifkannya.
. ` `
Dalam riwayat al-Baihaqi: Air itu suci, kecuali jika berubah bau, rasa, atau
warnanya dengan sebab najis yang kena padanya.

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 15

Takhrij Hadits
Ibn Majah menuliskan hadits di atas dalam Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab
al-hiyadl no. 521. Sementara al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra bab najasatil-
ma`il-katsir idza ghayyarathun-najasah.
Hadits di atas statusnya dlaif. Menurut al-Hafizh, dalam keterangan di atas,
hadits ini dinyatakan dlaif oleh Abu Hatim. Sementara dalam at-Talkhishul-Habir (1
: 12) al-Hafizh mengemukakan bahwa hadits riwayat Ibn Majah dari Abu Umamah di
atas diriwayatkan juga oleh at-Thabrani. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang
matruk (tertuduh dusta, banyak melakukan kesalahan fatal) bernama Risydin ibn
Saad. Sementara riwayat al-Baihaqi melalui seorang rawi mudallis bernama
Baqiyyah ibn al-Walid (Tahdzibut-Tahdzib 1 : 416), sehingga statusnya pun sama;
dlaif. Sementara Abu Hatim menilainya dlaif karena mursal (sanadnya tidak melalui
shahabat) pada Rasyid ibn Saad.

Syarah Mufradat
Dalam bahasa Arab, makna dan bisa berarti pilihan. Jadi makna berubah
bau, rasa dan warnanya, pada riwayat Ibn Majah tidak berarti harus berubah ketiga-
tiganya, tetapi bisa salah satunya. Dan ini dikuatkan oleh riwayat al-Baihaqi yang
menyatakan berubah bau, rasa, atau warnanya (Subulus-Salam).

Syarah Ijmali
Al-Hafizh sependapat dengan ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa hadits
tentang batasan air suci tidak ada yang tsabit. Imam as-Syafii dalam hal ini juga
menyatakan:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Apa yang saya nyatakan bahwa air jika berubah rasa, bau dan warnanya maka
menjadi najis, ada diriwayatkan dari Nabi saw tetapi dengan status yang tidak
dipandang kuat oleh para ahli hadits. Akan tetapi pendapat ini (air menjadi najis
karena berubah pen) adalah pendapat mayoritas ulama, saya tidak tahu ada di
antara mereka yang menolaknya. (at-Talkhishul-Habir 1 : 12)

Imam an-Nawawi menyatakan pendapat yang senada perihal kesepakatan ahli
hadits atas kedlaifan hadits-hadits ini. Ibnul-Mundzir menyatakan bahwa para ulama
telah ijma (sepakat) bahwa air, baik yang sedikit atau banyak, jika terkena najis lalu
berubah rasa, warna dan baunya, maka air itu jadi najis (at-Talkhishul-Habir 1 : 12).
Menurut A. Hassan, hadits no. 2 sebelumnya yang menyatakan bahwa air suci
secara muthlaq/tidak berbatas, tidak mungkin terjadi, mesti ada pembatasnya. Sebab
nanti dianggap tidak najis juga air di dalam satu wadah yang dicampur dengan
sebanyak-banyaknya kencing atau kotoran. Maka hadits no. 3 di atas menjadi
pembatasnya. Meskipun statusnya dlaif, jika hanya digunakan untuk membatasi
sesuatu arti yang sangat perlu pembatasan, maka hadits dlaif bisa digunakan. Lebih
lengkap pernyataan A. Hassan tersebut adalah sebagai berikut:
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 16

Hadits ke 2 muthlaq atau tidak berbatas, yani, air pembersih yang di dalam satu
bijana, umpamanya, tidak bisa jadi najis walaupun dicampur dengan sebanyak-
banyaknya kencing atau tahi, umpamanya. Yang demikian ini tidak bisa jadi,
bahkan perlu ada pembatasnya.
Hadits ke 3 dan 4 dapat dijadikan pembatasnya, walaupun lemah, karena Hadits
yang lemah bisa dipakai buat membatasi sesuatu arti yang sangat perlu kepada
pembatasan (A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro,
cet. XXVIII, 2011, hlm. 30).

Dalam konteks inilah, al-Hafizh mencantumkan hadits Abu Umamah al-Bahili
di atas. Meski statusnya dlaif, sudah menjadi ijma bahwa jika ada najis masuk ke
dalam air, lalu air itu berubah warna, atau bau, atau rasanya, maka air itu statusnya
najis, tidak boleh dipakai bersuci atau membersihkan najis. Kuncinya ada pada najis
yang masuk ke dalam air, lalu air itu berubah zatnya.
Jika air itu banyak dan zatnya tidak berubah ketika terkena najis seperti darah
haidl, maka air itu tetap suci sebagaimana dijelaskan Nabi saw dalam hadits sumur
Budlaah di atas.
Dikecualikan juga jika zat air berubah tetapi bukan oleh najis, maka air
tersebut tetap suci. Menurut al-Hafizh ada dua riwayat yang bisa dijadikan dalil untuk
menguatkan kesimpulan ini, yakni:
` ` ` ` ` ` ` `
` `
Dari Ummu Hanisemoga Allah meridlainya: Sesungguhnya Rasulullah
saw mandi bersama Maimunah dari satu wadah yang sama dalam satu wadah ceper
yang besar, yang padanya ada sisa-sisa adonan gandum. (Sunan an-Nasa`i kitab at-
thaharah bab dzikrul-ightisal fil-qashatil-llati yujanu fiha no. 240. Al-Albani:
Hadits shahih)
` ` ` ` ` ` ` ` ' ` `
` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` `
Dari Urwahtentang kisah perang Uhud dan luka yang mengenai Nabi saw
pada wajahnyaia berkata: Ali ibn Abi Thalib bergegas menuju lesung, lalu ia
mengambil air menggunakan perisai. Ketika Rasul saw hendak meminumnya, beliau
menicum bau tak sedap. Beliau bersabda: Ini air keruh. Maka beliau
menggunakannya untuk berkumur-kumur, dan Fathimah mencuci luka ayahnya
dengan air itu. (as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab tharatil-ma`i bi
natnin bi la haramin khalithuhu no. 1272)



AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 17


.
. .

Dan dari Abdullah ibn Umarsemoga Allah meridlai keduanya [Abdullah
dan Umar]ia berkata: Rasulullahsemoga shalawat dan salam tercurah
untuknyabersabda: Apabila air banyaknya dua qullah, maka tidak
mengandung kotoran. Dalam lafazh riwayat lain: Tidak najis. Empat Imam
mengeluarkannya. Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban
menshahihkannya.


Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas,
diriwayatkan oleh Empat Imam (yakni Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn
Majah), dan dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban. Adapun
rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma yunajjisul-ma`a no. 63-
65; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-ma`u la yunajjisuhu syai`un no. 67;
Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab at-tauqit fil-ma`i no. 52; kitab al-miyah bab
at-tauqit fil-ma`i no. 328; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab miqdaril-ma`il-
lladzi la yanjusu no. 517-518; Shahih Ibn Khuzaimah kitab al-wudlu bab dzikril-
ma`il-ladzi la yanjusu wal-ladzi yanjusu no. 92; Shahih Ibn Hibban kitab at-thaharah
bab al-miyah no. 1249, 1253; Al-Mustadrak al-Hakim kitab at-thaharah bab idza
kanal-ma`u qullatain lam yunajjishu syai`un no. 421-426.
A. Hassan sependapat dengan Imam as-Shanani menilai hadits ini dlaif
karena mudltharib (banyak kerancuan), baik dalam sanad ataupun matan. Selain itu
hadits ini pun mauquf pada Abdullah ibn Umar (bersumber dari Abdullah ibn
Umar bukan sabda Nabi saw langsung). Menurut A. Hassan penilaian dlaif ini
berasal dari imam-imam terkemuka yang jumlahnya lebih banyak daripada imam-
imam yang menilainya shahih. Pernyataan A. Hassan tersebut lebih lengkapnya:
I. Air dua qullah itu menurut madzhab Syafii, ialah air yang memenuhi satu
tempat yang lebarnya, panjangnya dan dalamnya, masing-masing, satu
seperempat hasta.
II. Tidak ada satu puh Hadits yang menetapkan ukuran dua qullah dengan satu
seperempat hasta seperti yang tersebut itu atau lainnya.
III. Maqshud Hadits ini, bahwa air dua qullah itu tidak akan jadi kotor atau jadi
najis lantaran termasuk atau dimasukkan padanya barang yang najis.
IV. Hadits dua qullah ini, walaupun ada yang mengeshahkannya seperti
tersebut, tetapi lebih banyak imam-imam terkemuka melemahkannya,
lantaran sanadnya mudl-tharib, dan lantaran matannya pun mudl-tharib,
dan lantaran mauqufnya, yani dari Ibnu Umar sendiri, bukan dari Nabi
saw. (A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, cet.
XXVIII, 2011, hlm. 31)
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 18


Menurut as-Shanani idlthirab (kerancuan) tersebut terletak pada ragam
riwayat yang menyebut dua qullah dan ada juga yang menyebut tiga qullah,
sehingga tidak bisa dipastikan mana yang benar. Di samping itu pengertian qullah
juga tidak jelas berapa ukurannya. Dari segi makna, hadits di atas juga ihtimal
(meragukan/multipenafsiran) apakah maksudnya air dua qullah itu lam yahmilil-
khabats; tidak mengandung kotoran, berarti tidak mungkin
menghilangkan/melarutkan kotoran yang masuk sehingga statusnya tidak suci ataukah
tidak mungkin terkontaminasi kotoran sehingga statusnya suci (Subulus-Salam taliq
al-Albani 1 : 41).
Ulama lain yang menilai hadits ini dlaif adalah Ibn Abdil-Barr pensyarah
kitab al-Muwaththa` Imam Malik dalam dua kitabnya, at-Tamhid dan al-Istidzkar.
Menurutnya, pendapat madzhab Syafii tentang hadits dua qullah ini adalah madzhab
yang dlaif dari segi nalar dan tidak tsabit (tetap/kuat) dari segi periwayatan. Sebab
hadits yang dijadikan dasarnya dipermasalahkan oleh para ulama ahli riwayat, dan
makna qullah itu sendiri tidak ada penjelasan yang pasti baik dari atsar ataupun ijma
berapa ukurannya (at-Tamhid lima fil-Muwaththa` minal-Maani wal-Asanid 1 : 335).
Ismail al-Qadli juga terang-terangan mempermasalahkan dan menolak hadits ini
dalam kitabnya Ahkamul-Qur`an (al-Istidzkar 1 : 142).
Imam at-Thahawi juga menyatakan tidak menjadikan hadits ini sebagai dalil,
sebab ukuran dua qullah itu sendiri tidak jelas. Sementara Imam Ibn Daqiqil-Id,
meskipun ia mengakui adanya sebagian ulama yang menshahihkannya dan mereka
juga menilai idlthirab sanad dan matannya bisa diselamatkan, tetapi tetap saja ia tidak
menjadikan hadits ini sebagai dalil, sebab menurut metode penelitian yang
digunakannya hadits ini tidak pantas dijadikan sandaran hukum syara disebabkan
kerancuan-kerancuan yang dikandungnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 16).
Meski demikian, al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani selaku penyusun kitab
Bulughul-Maram, sebagaimana terbaca dalam hadits di atas, mengakui keshahihan
hadits dua qullah ini yang juga dinilai shahih oleh tujuh ulama hadits di atas (Abu
Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn
Hibban). Di samping itu, Imam as-Syafii, Ahmad, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi
turut menguatkannya (at-Talkhishul-Habir 1 : 15).
Dalam kitabnya yang lain, at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh menjelaskan bahwa
meskipun hadits ini mudltharib tetapi idlthirab-nya bukan idlthirab tercela yang
menyebabkannya jatuh pada status dlaif. Idlthirab hadits ini masih di antara sesama
rawi yang tsiqat (kuat dan terpercaya) sehingga statusnya mahfuzh (kuat [lawan dari
syadz/lemah]). Sumber idlthirab itu sendiri adalah rawi yang bernama al-Walid ibn
Katsir. Di satu sanad disebutkan dari al-Walid ibn Katsir dari Muhammad ibn Jafar
ibn az-Zubair. Di sanad lain disebutkan dari al-Walid ibn Katsir dari Muhammad ibn
Abbad ibn Jafar. Selain itu, untuk rawi di atasnya ada disebutkan dari Ubaidullah
ibn Abdullah ibn Umar, ada juga disebutkan dari Abdullah ibn Abdullah ibn
Umar. Rawi-rawi yang disebutkan berlainan ini statusnya tsiqat, sehingga meskipun
zhahirnya terlihat idlthirab, tetap saja idlthirab-nya tidak sampai dlaif. Akan tetapi
setelah diteliti lebih lanjut, sebenarnya tidak ada idlthirab dalam sanad hadits di atas.
Al-Walid ibn Katsir menerima dari Muhammad ibn Abbad ibn Jafar dari Abdullah
ibn Abdullah ibn Umar. Dalam sanad lain, Al-Walid ibn Katsir menerima dari
Muhammad ibn Jafar ibn az-Zubair dari Ubaidullah ibn Abdullah ibn Umar. Selain
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 19

dua sanad ini maka itu wahm (meragukan). Imam Ibn Main juga menegaskan bahwa
sanad hadits ini jayyid/bagus (at-Talkhishul-Habir 1 : 15-16)
Tentang ukuran dua qullah yang dinilai membingungkan, menurut al-Hafizh
Ibn Hajar, tidak membingungkan. Sebab dalam berbagai riwayat yang lain, para
tabiin dan tabi tabiin yang meriwayatkan hadits ini sudah menjelaskan bahwa
ukurannya didasarkan pada qullah Hajar (maksudnya qullah yang biasa digunakan
oleh penduduk Hajar, Madinah). Memang hadits yang menyebutkan secara langsung
maksud qullah adalah qullah Hajar statusnya dlaif (riwayat Ibn Addi dari Ibn
Umar. Pada sanadnya ada rawi bernama al-Mughirah ibn Siqlab yang tidak bisa
dipercaya). Meski demikian qullah Hajar ini adalah qullah yang sudah dikenal di
kalangan bangsa Arab saat itu, terlepas dari adanya hadits dlaif tersebut atau tidak.
Buktinya, banyak syair Arab yang menyebutkannya. Demikian juga dalam hadits
Nabi saw tentang miraj ada disebutkan oleh Nabi saw tentang qullah Hajar ini
(Nabi saw bersabda tentang pohon bidara di penghujung langit/sidratul-muntaha:
` ` ` ` `
Ternyata buah-buahannya sebesar qullah Hajar dan dedaunannya seperti
telinga gajah [Shahih al-Bukhari bab al-miraj no. 3887]).
Ini menunjukkan bahwa ukuran qullah itu sudah sama-sama diketahui oleh
bangsa Arab. Tepatnya seukuran qirbah (geriba/tempat air/susu dari kulit) atau jarrah
(guci besar tempat air minum) (at-Talkhishul-Habir 1 : 17-18). Menurut Ibn
Taimiyyah dalam kitabnya Syarah al-Umdah, dua qullah itu jika diukurkan pada sha
adalah 93,75 sha (Taudlihul-Ahkam 1 : 122). Jika satu sha 3 liter, maka dua
qullah berarti 304,7 liter, atau sekitar 30 ember ukuran 10 liter.
Syaikh al-Albani sependapat dengan al-Hafizh Ibn Hajar, menyatakan bahwa
hadits ini shahih. Penilaian sebagian ulama bahwa hadits ini mudltharib tertolak
karena faktanya tidak mudltharib. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ahmad, Abu
Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah, ad-Darami, at-Thahawi, ad-Daraquthni,
al-Hakim, al-Baihaqi, at-Thayalisi, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban. Imam adz-
Dzahabi dan an-Nawawi juga menilai shahih atas hadits ini (Irwa`ul-Ghalil 1 : 20 no.
23). Tentang maksud dari lam yamilil-khabats menurut al-Albani juga jelas, yakni
tidak mengandung najis, bukan tidak bisa melarutkan najis sehingga tidak suci (taliq
Subulus-Salam).
Dari uraian di atas, penulis menilai bahwa argumentasi para ulama hadits yang
menshahihkan hadits ini lebih kuat dibanding para ulama hadits yang
mendlaifkannya.

Bagan Sanad Hadits Air Dua Qullah
, / ,
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ' ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 20

. ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` . ` ` ` ` ` .

, / ,
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ' ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` `

, / ,
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` . ` ` `

, / ,
` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` .
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` .



AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 21


















Keterangan:
Dari bagan sanad hadits di atas bisa diketahui bahwa al-Walid ibn Katsir menerima
dari Muhammad ibn Abbad ibn Jafar juga dari Muhammad ibn Jafar ibn az-Zubair.
Muhammad ibn Jafar ibn az-Zubair sendiri menerima dari Abdullah dan
Ubaidullah, yang kedua-duanya putra shahabat Ibn Umar, cucu Umar ibn al-
Khaththab. Mereka semua rawi-rawi yang tsiqat (terpercaya). Jadi sanad hadits ini
shahih.

Matan Hadits
Hadits dua qullah di atas merupakan jawaban Nabi saw atas pertanyaan
shahabat tentang mata air yang ditemukan di padang pasir dimana hewan-hewan buas
atau jinak juga turut minum dari air itu.
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` `
Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang airdi
riwayat lain: yang ada di gurun pasiryang dipakai juga oleh hewan-hewan jinak dan
buas. Maka Rasul saw menjawab: Jika air dua qullah maka tidak mengandung
kotorandalam riwayat lain: maka sungguh air itu tidak najis. (Sunan Abi Dawud
kitab at-thaharah bab ma yunajjisul-ma`a no. 63-65).






AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 22

Syarah Ijmali
Bagi madzhab Syafii hadits di atas kedudukannya sama dengan hadits sumur
Budlaah pada kajian syarah hadits sebelumnya. Ketika Nabi saw ditanya tentang air
sumur Budlaah yang terkadang bercampur dengan sampah dan kotoran bekas haidl,
Nabi saw menjawab bahwa air tidak bisa dijadikan najis oleh apapun. Dari hadits ini
Imam as-Syafii berkesimpulan bahwa air yang banyak seperti di sumur tidak menjadi
najis ketika terkena barang-barang yang najis, sebab tidak akan merubah zat air
tersebut. Dan melalui hadits dua qullah di atas, maka madzhab Syafii berpendapat
bahwa ukuran air banyak yang tidak bisa terkontaminasi najis itu adalah yang
ukurannya dua qullah dan yang selebih dari itu (Subulus-Salam). Sampai di sini maka
berarti tidak terlalu sulit memahami hadits dua qullah ini, sebab sama pemahamannya
dengan hadits sumur Budlaah sebelumnya. Yakni bahwa penyebab Nabi saw
menyatakan tidak akan menjadi najis itu karena memang kotoran/najis yang sedikit
tidak akan mengubah zat air yang banyak.
Akan tetapi ketika ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah), maka
di sini terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat). Yakni apakah jika air kurang dari dua
qullah terkena najis, secara otomatis menjadikan air tersebut najis meski tidak
berubah zatnya (warna, bau dan rasa)?
Imam Abu Hanifah, as-Syafii, Ahmad dan murid-murid mereka berpendapat
bahwa jika air sedikit, yakni kurang dari dua qullah, lalu terkena najis, maka otomatis
air itu najis dan tidak boleh dipakai bersuci, sebab yang dijamin tidak bernajis itu
hanya yang seukuran dua qullah. Pendapat ijma (yang disepakati oleh semua
madzhab) tentang air menjadi tidak suci jika terkena najis dan berubah zatnya itu
berlaku untuk yang di atas dua qullah. Sementara yang kurang dari dua qullah,
berdasarkan hadits ini, meski tidak berubah zatnya statusnya menjadi najis jika
terkena najis. Dalil lain yang bisa dijadikan sandaran dari kesimpulan ini adalah
perintah Nabi saw untuk membuang air yang ada pada wadah yang dijilat oleh anjing,
dan Nabi saw tidak mempedulikan apakah zatnya berubah atau tidak. Demikian juga,
bagi madzhab Syafii, dalil untuk menopang kesimpulan ini adalah larangan untuk
memasukkan tangan ke dalam wadah berisi air yang ditakutkan tangannya bernajis.
Juga hadits larangan mandi pada air yang tergenang tidak mengalir yang sebelumnya
dikencingi. Bagi madzhab Syafii dalil-dalil yang dirinci terakhir ini menjadi isyarat
bahwa jika air yang kurang dari dua qullah terkena najis, menjadi najislah semua air
itu.
Sementara itu, Imam Malik, Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah, Ibnul-Qayyim al-
Jauziyyah, Muhammad ibn Abdil-Wahhab dan ulama-ulama dawah salafiyyah dari
Najd, menyatakan berbeda. Menurut mereka air yang banyak jika terkena najis, maka
selama tidak berubah zatnya, statusnya tetap suci. Sementara air yang sedikit atau
yang kurang dari dua qullah, jika terkena najis, maka harus dilihat dulu apakah zatnya
berubah ataukah tidak. Kalau zatnya berubah disebabkan najis tersebut, maka air yang
kurang dari dua qullah statusnya tidak suci. Sementara jika zatnya tidak berubah
sesudah terkena najis tersebut, maka status air tersebut tetap suci. Ini berarti sesuai
dengan ijma yang sudah disinggung sebelumnya bahwa patokan kesucian air itu dua
saja, yakni apakah terkena najis dan apakah kemudian berubah zatnya (warna, bau
dan rasa). Jika kedua-duanya ada maka air menjadi najis, jika tidak ada salah satunya
maka status air tetap suci (Disadur dari Subulus-Salam dan Taudlihul-Ahkam).
Kesimpulan dari uraian yang berbelit-belit di atas adalah: Pertama, status
hadits dua qullah shahih. Kedudukannya dengan demikian sama dengan hadits
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 23

sumur Budlaah sebelumnya. Maksud dari kedua hadits tersebut adalah air yang
banyak tidak mungkin menjadi najis/tidak suci ketika terkena najis karena memang
najis yang masuk tidak akan mengubah zat air yang bersih/thahur.
Kedua, jika air terkena najis lalu zatnya pun berubah, terlepas dari berapa
banyaknya, apakah sebanyak air sumur atau lebih sedikit, demikian juga apakah
sebanyak dua qullah atau lebih sedikit, maka air itu tidak suci.
Berdasarkan hadits ini juga hadits-hadits sebelumnya maka berarti air yang
sudah terkena najis pun jika bisa diubah kembali zat airnya menjadi bersih (thahur)
seperti semula, maka statusnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Contohnya air
minum (PDAM) yang diambil dari sungai-sungai yang kotor dan sudah
terkontaminasi najis.


.
` ` .
Dari Abu Hurairahsemoga Allah meridlainyaia berkata: Rasulullah
semoga shalawat dan salam tercurah untuknyabersabda: Salah seorang di
antara kalian jangan mandi pada air yang tergenang ketika junub. Muslim
mengeluarkannya.
. ` .
Dalam riwayat al-Bukhari: Janganlah salah seorang di antara kalian kencing
pada air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian mandi padanya.
. .
Dalam riwayat Muslim: Mandi darinya. Dalam riwayat Abu Dawud: (Jangan
kencing) dan jangan mandi junub padanya.


Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas,
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Adapun rincian datanya:
Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab al-ma`id-da`im no. 239; Shahih Muslim kitab
at-thaharah bab an-nahy anil-ightisal fil-ma`ir-rakid no. 682-684; Sunan Abi Dawud
kitab at-thaharah bab al-baul fil-ma`ir-rakid no. 69-70.
Selain tiga imam tersebut, hadits di atas juga diriwayatkan oleh imam hadits
lainnya dalam kitab-kitabnya, yaitu: Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab
karahiyatil-baul fil-ma`ir-rakid no. 68; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab al-
ma`id-da`im no. 57-58; bab an-nahy an isghtisalil-junub fil-ma`id-da`im no. 220;
kitab al-miyah bab an-nahy an isghtisalil-junub fil-ma`id-da`im no. 331; kitab al-
ghusl wat-tayammum bab dzikri nahyil-junub anil-isghtisal fil-ma`id-da`im no. 396-
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 24

400; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab al-junub yanghamisu fil-
ma`id-da`im no. 605; as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab ad-dalil
annahu ya`khudzu li kulli udlwin ma`an jadidan no. 1137; Musnad Ahmad ibn
Hanbal bab hadits Abi Hurairah no. 7517, 7592, 8171, 8539, 8725, 9594, 9989,
10390, 10853.

Matan Hadits
Dari hadits yang disajikan al-Hafizh Ibn Hajar di atas dalam kitabnya,
Bulughul-Maram, dapat diketahui adanya tiga variasi matan, yaitu:
Pertama, larangan mandi junub pada air yang tergenang (riwayat Muslim no.
684).
Kedua, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi padanya (riwayat
al-Bukhari), atau darinya, yakni mengambil air untuk mandi dari air yang sudah
dikencingi tersebut (riwayat Muslim no. 682-683).
Ketiga, larangan kencing dan larangan mandi. Kedua-duanya dilarang, baik itu
pada waktu bersamaan atau pada waktu yang berlainan (riwayat Abu Dawud).
Dalam riwayat Ahmad dan al-Baihaqi ditemukan bahwa larangan terkait
hadits di atas masih ada dua lagi, yakni:
Keempat, larangan wudlu dari air yang tergenang.
` ` ` ` ` ` ` ` `
Janganlah seseorang di antara kalian kencing pada air yang diam kemudian
berwudlu darinya (Musnad Ahmad no. 7517, 7592, 10390, 10853).
Kelima, larangan minum dari air yang tergenang.
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Janganlah seseorang di antara kalian kencing pada air yang diam kemudian
berwudlu atau minum darinya (as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab
ad-dalil annahu ya`khudzu li kulli udlwin ma`an jadidan no. 1137).
Dalam riwayat Muslim no. 684, Abu Hurairah ditanya oleh Abus-Sa`ib
bagaimana seharusnya yang dilakukan jika memang mandi di dalam air yang
tergenang tidak diperbolehkan:
` ` ` ` `
Ia (Abus-Sa`ib) bertanya: Bagaimana yang harus dilakukan wahai Abu
Hurairah? Ia menjawab: Ia mengambil airnya.

Syarah Ijmali
Dalam kajian syarah hadits sebelumnya sudah dikemukakan bahwa para ulama
sudah ijma, air yang suci itu adalah air yang tidak terkena najis sehingga berubah
zatnya (rasa, bau dan warna). Jika air terkena najis, asalkan zatnya tidak berubah,
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 25

maka air tetap suci. Demikian juga air yang berubah zatnya, asalkan bukan karena
najis yang kena padanya, maka air itu suci (bisa dipakai bersuci) meski tidak bersih.
Dalam kajian syarah hadits sebelumnya juga sudah disinggung bahwa bagi
madzhab Syafii, ketentuan air suci di atas berlaku pada air yang banyak, yakni yang
banyaknya dua qullah lebih. Sementara untuk air yang kurang dari dua qullah, ketika
ia terkena najis, maka menjadi najis pula air tersebut meski tidak berubah zatnya
(rasa, bau dan warna). Di antara dalil yang digunakannya adalah hadits di atas, hadits
air sisa (mustamal), dan hadits membuang air yang dijilat anjing yang akan dibahas
berikutnya. Dalam hadits di atas, menurut madzhab Syafii, Nabi saw tidak
mempedulikan apakah air itu berubah zatnya atau tidak. Karena sudah terkena najis,
maka air itu tidak boleh dipakai. Madzhab Syafii memahami air tergenang dalam
hadits ini pasti yang kurang dari dua qullah. Sebab yang lebih dari dua qullah sudah
pasti tidak akan najis, sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits sebelumnya
(Subulus-Salam).
Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, sebab bertentangan dengan ijma bahwa
air yang terkena najis, asalkan zatnya (rasa, bau dan warna) tidak berubah, tidak
peduli berapa banyaknya, berarti ia masih suci dan bisa dipakai bersuci. Pendapat ini
lebih masuk akalmeski akal bukan standar utama kebenarandan lebih praktis
diamalkan. Jika merujuk pada pendapat madzhab Syafii di atas, akan banyak
kejanggalan. Air yang lebih dari dua qullah (+ 300 liter) meski sudah kotor, bau dan
bercampur dengan kotoran tetap diyakini sebagai air suci, sementara air yang kurang
dari dua qullah meski masih bersih hanya karena terkena sedikit najis, dinyatakan
najis dan tidak boleh dipakai bersuci. Sungguh janggal.
Meski demikian, bukan berarti hadits di atas gugur. Hadits di atas tetap
berlaku dan bisa diamalkan, tentunya dengan pemahaman yang berbeda dengan
madzhab Syafii di atas. Larangan dalam hadits di atas adalah larangan yang bersifat
taabbudi (ibadah murni) yang kita akan diganjar pahala jika patuh melaksanakannya.
Secara zhahirnya, terlepas dari apakah air yang tergenang itu masih suci atau tidak,
larangan dalam hadits di atas menunjukkan pada haram. Tetapi Imam Malik
menyatakan bahwa larangan seperti ini masuk kategori makruh lit-tanzih (makruh
demi kebersihan), sebab jika memang faktanya air itu suci masih bisa dipakai untuk
bersuci. Akan tetapi menurut Imam al-Qurthubi, larangan dalam hadits ini haram
sebagai tindakan preventif (pencegahan/saddu dzariah) agar tidak ada
penajisan/pengotoran air (Subulus-Salam dan Fathul-Bari bab al-ma`id-da`im).
Sebagaimana terlihat dalam matan hadits di atas, larangan ini mencakup lima
hal: larangan mandi saja, larangan kencing saja, larangan kencing lalu mandi,
larangan wudlu, dan larangan minum. Semuanya tertuju pada air yang tergenang
yang dijelaskan oleh Nabi saw: Air yang tidak mengalir. Dengan demikian hadits
ini tidak bertentangan dengan hadits sumur Budlaah di awal. Nabi saw membolehkan
menggunakan air sumur Budlaah karena memang berada pada aliran air, seperti
halnya air danau atau bendungan. Demikian juga tidak bertentangan dengan hadits air
dua qullah sebelumnya, dimana Nabi saw membolehkannya karena statusnya sebagai
mata air. Kalau yang dilarang dalam hadits ini adalah genangan-genangan air yang
sama sekali tidak mengalir dan bukan mata air. Genangan-genangan air seperti ini
memang berpontesi besar menjadi sarang penyakit seperti nyamuk demam berdarah.
Bagi yang berpendapat air mustamal (bekas dipakai orang) najis, hadits di
atas juga dijadikan salah satu dalil utamanya. Argumentasinya, Abu Hurairah sebagai
shahabat yang paling tahu makna hadits, ketika ditanya bagaimana yang harus
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 26

dilakukan jika memang mandi di dalam air yang tergenang tidak diperbolehkan, ia
menjawab: Ambil airnya. Maksudnya, jangan mandi di sana, tapi airnya diambil
saja untuk keperluan mandi. Sebab jika mandi pada air itu, airnya jadi mustamal dan
najis. Air mustamal najis, karena memang sudah terkontaminasi najis dari badan
yang dimandikan/dibersihkan. Dan ini sesuai dengan logika fiqh salah satu madzhab
di atas, air yang kurang dari dua qullah (seperti air yang tergenang ini) jika terkena
najis maka najislah airnya. Akan tetapi, fiqh air mustamal ini tidak tepat, mengingat
Nabi saw pernah menggunakan air mustamal dan menyatakan bahwa air tidak bisa
mentransfer najis, sebagaimana akan diuraikan berikutnya (Fathul-Bari bab al-ma`id-
da`im. Dalam Fathul-Bari disebutkannya sebagaimana sudah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya).


.
.
`
Dari seorang shahabat Nabi ia berkata: Rasulullahsemoga shalawat dan
salam tercurah untuknyamelarang seorang wanita mandi menggunakan air
bekas lelaki atau lelaki menggunakan air bekas wanita. Tetapi ceduklah
bersamaan. Abu Dawud dan an-Nasa`i mengeluarkannya, dan sanadnya
shahih.
.
` .
Dari Ibn Abbassemoga Allah meridlai keduanya (Abdullah dan ayahnya, al-
Abbas)ia berkata: Sungguh Nabisemoga shalawat dan salam tercurah
untuknyamandi menggunakan air bekas Maimunahsemoga Allah
meridlainya. Muslim mengeluarkannya.
. `
` `
Dalam riwayat para imam penyusun kitab Sunan: Sebagian istri Nabi mandi
pada satu tempat air. Lalu beliau datang untuk mandi dari tempat air itu.
Istrinya berkata kepada beliau: Saya sedang junub. Jawab Nabi: Sungguh air
tidak menjunubkan. At-Tirmidzi dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.




AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 27

Takhrij Hadits
Hadits no. 9 terdapat dalam kitab-kitab berikut: Sunan Abi Dawud kitab at-
thaharah bab an-nahy anil-wudlu bi fadlli wadlu`il-mar`ah no. 81; Sunan an-Nasa`i
kitab at-thaharah bab dzikrin-Nahy anil-ightisal bi fadllil-junub no. 238; Hadits no. 7
tentang air bekas Maimunah ditulis dalam Shahih Muslim kitab al-haidl bab al-
qadril-mustahab minal-ma`i fi ghuslil-janabah no. 760.
Sementara hadits no. 10-11 tentang dialog Nabi saw dengan istrinya terdapat
dalam kitab-kitab berikut: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-ma` la yujnibu
no. 68; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ar-rukhshah fi dzalika no. 65;
Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab ar-rukhshah bi fadlli wadlu`il-mar`ah no.
370.
Al-Hafizh Ibn Hajar, sebagaimana terbaca dalam hadits no. 9 di atas,
menyatakan bahwa hadits tersebut sanadnya shahih. Ini merupakan penegasan darinya
bahwa hadits tersebut shahih dan tidak dlaif sebagaimana penilaian sebagian ulama.
Di antara yang mendlaifkan hadits tersebut adalah al-Baihaqi dan Ibn Hazm.
Menurut al-Baihaqi hadits di atas mursal sebab tidak jelas siapa shahabat yang
menerima hadits tersebut. Sementara menurut Ibn Hazm, seorang rawinya yang
bernama Dawud, yang menerima dari Humaid ibn Abdirrahman, adalah Dawud ibn
Yazid al-Audi, ia seorang rawi yang dlaif. Al-Hafizh dalam hal ini membantahnya.
Menurutnya, perrnyataan al-Baihaqi bahwa hadits ini mursal tertolak, sebab jelas
dalam sanadnya disebutkan oleh Humaid ibn Abdirrahman bahwa ia menerimanya
dari seorang shahabat yang pernah hidup bersama Nabi saw selama empat tahun, dan
ia menemuinya langsung. Meski tidak disebutkan nama shahabat tersebut (mubham)
hal itu tidak menjadi masalah karena semua shahabat teruji kredibilitasnya (adil).
Selanjutnya pernyataan Ibn Hazm bahwa salah seorang rawinya yang bernama Dawud
dlaif juga tertolak. Sebab Ibn Hazm keliru menilai Dawud di sana Dawud ibn Yazid
al-Audi, yang benar adalah Dawud ibn Abdillah al-Audi seorang rawi yang
terpercaya/tsiqat (Fathul-Bari bab wudlu`ir-rajul maa imra`atihi).

Syarah Ijmali
Menurut A. Hassan, meskipun hadits no. 9 di atas shahih, tetap saja
bertentangan dengan hadits no. 10-11 berikutnya yang menegaskan bahwa Rasulullah
saw pernah mandi dengan air bekas istrinya mandi. Maka dari itu A. Hassan
menyatakan bahwa hadits no. 9 tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Hadits ke 9 itu sungguhpun dishahkan, tetapi tentang shahnya ada perselisihan
antara ulama Hadits. Dari itu tidak boleh dijadikan-dia alasan, terutama ia
berlawanan dengan Hadits-hadits ke 10 dan ke 11 yang menegaskan bahwa
Rasulullah saw ada pernah mandi dengan air bekas istrinya mandi (A. Hassan,
Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, cet. XXVIII, 2011, hlm.
33).

Akan tetapi menurut Abdul Qadir Hassan, hadits no. 9 di atas tidak perlu
dianggap bertentangan, sebab larangan dalam hadits tersebut hanya larangan makruh
dalam hal kebersihan (Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 33).
Dikatakan bahwa tentang shahnya ada perselisihan. Sebenarnya riwayat itu
sudah shah dan dapat dianggap tidak bertentangan apabila larangan dalam
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 28

riwayat itu dipakai dengan mana makruh dalam hal kebersihan (Abdul Qadir
Hassan dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 33)

Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dengan mencantumkan dua hadits di atas dalam
Bulughul-Maram pada hakikatnya hendak menunjukkan bahwa kedua hadits tersebut
bisa diamalkan dengan pendekatan kompromi (thariqatul-jami), yakni bahwa
larangan Nabi saw menggunakan air bekas orang lain itu ditujukan pada air yang
berjatuhan dari badan, bukan air yang tersisa di wadah dan belum digunakan. Atau
bisa juga yang terlarang digunakan itu adalah air bekas secara umum dengan
pertimbangan kebersihan. Artinya jika masih bersih dan suci bisa digunakan, jika
sudah kotor sebaiknya jangan digunakan (Fathul-Bari bab wudlu`ir-rajul maa
imra`atihi).
Kesimpulan seperti ini diambil mengingat hadits-hadits yang membolehkan
menggunakan air bekastentunya selama berstatus sucikedudukannya shahih dan
bisa dijadikan sandaran dalil, di antaranya hadits no. 10-11 di atas. Pernyataan Nabi
saw dalam hadits tersebut: Sungguh air tidak menjunubkan maksudnya adalah
bahwa air bekas mandi junub tidak kemudian mengandung junub sehingga tidak suci.
Artinya air tidak mentransfer junub dari seseorang kepada orang lain yang turut
menggunakannya.
Selain hadits di atas, ada hadits lainnya yang membolehkan menggunakan air
bekas:
` ` ` ` ` ` ` ` ` `

Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata: Lelaki dan wanita di zaman
Rasulullah saw biasa berwudlu bersama. (Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab
wudlu`ir-rajul maa imra`atihi no. 193.
Hadits di atas, menurut al-Bassam, tentu jangan dipahami lelaki dan wanita
yang non-muhrim wudlu bersama-sama, sebab itu jelas haramnya. Sebagaimana
terbaca dalam tarjamah al-Bukhari di atas, yang dimaksud hadits di atas pastinya
suami-istri wudlu bersama (Taudlihul-Ahkam). Bisa bersama waktunya atau bersama
tempatnya meski waktunya berlainan.
Sebagian ulama menganggap najis air mustamal yang kurang dari dua qullah
sebab air tersebut pasti sudah terkena najis dari orang yang memakainya. Berdasarkan
teori fiqh yang mereka anut, jika air kurang dari dua qullah lalu terkena najis, maka
air tersebut najis, tidak peduli apakah zatnya berubah atau tidak. Sebagaimana sudah
disinggung di atas, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa air mustamal, meski
sudah terkontaminasi najis, jika statusnya masih suci, yakni belum berubah zatnya
(rasa, bau dan warna) disebabkan najis, maka statusnya masih suci dan bisa dipakai
bersuci.




AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 29


.
` . .
` `
Dari Abu Hurairahsemoga Allah meridlainyaia berkata: Rasulullah
semoga shalawat dan salam tercurah untuknyabersabda: Sucinya wadah
salah seorang di antaramu apabila airnya diminum oleh anjing adalah dengan
mencucinya sebanyak tujuh kali, yang pertamanya dengan tanah. Muslim
mengeluarkannya. Dalam lafazh lainnya masih riwayatnya (Muslim):
Buanglah airnya. Dalam riwayat at-Tirmidzi: Yang pertama atau terakhirnya
dengan tanah.


Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas,
diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi. Adapun rincian datanya: Shahih Muslim
kitab at-thaharah bab hukmi wulughil-kalbi no. 674-679; Sunan at-Tirmidzi abwab
at-thaharah bab su`ril-kalb no. 91.
Selain dua imam tersebut, hadits di atas juga diriwayatkan oleh imam hadits
lainnya dalam kitab-kitabnya, yaitu: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-
wudlu bi su`ril-kalb no. 71-74; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab su`ril-kalb no.
64, bab al-amr bi iraqah ma fil-ina` idza walagha fihil-kalb no. 66, bab tafiril-ina`il-
ladzi walagha fihil-kalb no. 67; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab
ghaslil-ina`i min wulughil-kalb no. 363-366.

Matan Hadits
Riwayat Muslim yang disebutkan al-Hafizh di atas memerintahkan membuang
airnya, bunyi lengkapnya sebagai berikut:
` ` ` ` ` ` ` `
Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah salah seorang di
antaramu maka buanglah air itu, kemudian cucilah tujuh kali (Shahih Muslim no.
674)
Sementara keterangan tentang menyertakan tanah dalam pencucian yang bisa
di awal atau di akhir dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan dalam riwayat lain sebagai
berikut:
` ` ` ` ` ` '
Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah maka cucilah tujuh kali
dan campurkanlah pada yang kedelapannya dengan tanah (Shahih Muslim no. 679.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 30

Lafazh yang semakna terdapat juga dalam riwayat Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibn
Majah).
Imam an-Nawawi menjelaskan, dari semua riwayat yang ada sudah jelas
disebutkan mencuci itu hanya tujuh kali, di antaranya riwayat di atas. Penyebutan
Nabi saw pada yang kedelapan bukan berarti mencuci delapan kali, tetapi
maksudnya pada bilangan yang ketujuh dicampur dengan tanah, sehingga tanah itu
seolah-olah menjadi yang kedelapan (Syarah an-Nawawi ala Shahih Muslim bab
hukmi wulughil-kalbi).

Syarah Mufradat
Walagha
Imam as-Shanani dengan mengutip dari kitab al-Qamus menjelaskan makna walagha
sebagai berikut:
` ` ` ` ` `
` ` `
Walagha (pasti dilakukan oleh) anjing dalam wadah air atau minuman,
maknanya minum air dengan ujung-ujung lidahnya atau memasukkan lidahnya pada
air lalu menggerak-gerakkannya (Subulus-Salam).
Dalam tulisan ini walagha akan diterjemahkan dengan minum air sebab itu
makna pokoknya. Makna ini dengan sendirinya membatasi makna hadits di atas pada
anjing yang minum air pada wadah, maka wadahnya harus dicuci tujuh kali. Jika
anjing tidak minum air, hanya menjilat atau menggigit benda-benda kering selain
air/cairan, maka tidak perlu dicuci sebanyak tujuh kali seperti diajarkan hadits di atas,
cukup dicuci biasa saja.

Syarah Ijmali
Hadits ini merupakan pengecualian dari ijma tentang air suci. Dalam kajian
syarah hadits sebelumnya sudah dikemukakan bahwa para ulama sudah ijma, air
yang suci itu adalah air yang tidak terkena najis sehingga berubah zatnya (rasa, bau
dan warna). Jika air terkena najis, tetapi zatnya tidak berubah, maka air tetap suci.
Demikian juga air yang berubah zatnya, tetapi bukan karena najis yang kena padanya,
maka air itu suci (bisa dipakai bersuci) meski tidak bersih. Tetapi untuk kasus air
yang diminum oleh anjing, meski zat airnya tidak berubah/masih terlihat bersih, maka
hukumnya dikecualikan dari ijma di atas, yakni menjadi tidak suci. Airnya harus
dibuang, dan wadahnya harus dicuci sebanyak tujuh kali. Yang pertama atau yang
terakhirnya dengan menyertakan tanah.
Najis semacam ini disebut oleh para ulama fiqh dengan sebutan najis
mughallazhah; najis yang berlipat-lipat besarnya. Sudah airnya tidak bisa dipakai
bersuci, harus dibuang lagi, dan wadahnya juga harus dicuci tujuh kali dengan
menyertakan tanah pada pencucian yang pertama atau terakhir. Umumnya, air yang
tidak bisa dipakai bersuci (wudlu/mandi junub) masih bisa dipakai untuk keperluan
lainnya seperti mencuci barang atau kendaraan, tetapi dalam hadits ini Nabi saw
memerintahkan untuk membuangnya, jangan digunakan untuk apapun. Demikian
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 31

juga, umumnya meski air tidak suci, wadahnya tidak harus dicuci sampai tujuh kali,
tetapi untuk kasus air yang diminum oleh anjing, maka harus dicuci tujuh kali dengan
menyertakan tanah pada pencucian yang pertama atau terakhir.
Para ulama sepakat bahwa urusan mencuci wadah yang diminum air ini bagian
dari taabbudi; ibadah. Tanah yang harus disertakan dalam pencucian tidak boleh
diganti dengan deterjen, sabun, atau semacamnya. Dan mencucinya tidak boleh satu
kali dengan alasan sudah cukup bersih, melainkan tetap harus tujuh kali. Imam as-
Shanani dalam Subulus-Salam dan al-Bassam dalam Taudlihul-Ahkam sama
berpendapat bahwa mencuci dengan tanah itu yang paling kuat adalah pada pencucian
yang pertama. Selain riwayatnya lebih kuat, menurut dua ulama tersebut, juga karena
lebih menjamin kebersihan. Sebab jika sudah dicuci enam kali dengan air, lalu yang
ketujuhnya dengan tanah, pasti akan tetap kotor. Akan tetapi memperhatikan
kesederajatan status riwayat-riwayat di atas (baik tanah itu digunakan pada yang
pertama atau terakhir sama-sama diriwayatkan dalam semua kitab Shahih dan Sunan
di atas) dan isyarat dari Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram tentang kebolehan yang
pertama dan terakhir, maka kedua-duanya boleh. Asalkan tanah yang disertakan pada
bilangan ketujuh tetap disertai dengan air, sebagaimana dinyatakan dalam hadits pada
sub Matan Hadits di atas. Jika hanya tanah saja, tentu bukan malah bersih, melainkan
menjadi kotor kembali.
Dalam kaitan hadits ini para ulama sepakat bahwa anjing statusnya najis.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) kemudian terletak dalam hal bagian mana dari tubuh
anjing itu yang najisnya. Imam Malik, Dawud dan az-Zuhri menyatakan hanya mulut
anjing saja yang najis, sebab perintah membuang air itu disebabkan diminum saja.
Sementara jumhur (mayoritas) ulama lainnya menyatakan, yang najis adalah
keseluruhan tubuh anjing itu sendiri. Mereka berpendapat, ketika disebutkan lidahnya
yang meminum air menyebabkannya najis maka itu adalah isyarat dari najisnya
keseluruhan tubuh anjing. Dengan berdasar pada sikap ihtiyath (kehati-hatian), maka
pendapat mayoritas lebih selamat untuk dipegang. Terlebih penemuan ilmiah hari ini
menyatakan bahwa dalam tubuh anjing, bukan hanya mulutnya saja, berkembang biak
mikroba-mikroba yang berbahaya bagi manusia. Hanya tentu dalam hal mencuci tujuh
kalinya, itu dikhususkan pada wadah yang berisi air lalu diminum anjing, sebab hadits
membatasi pada anjing yang walagha pada wadah berisi air, dan ini bagian dari
taabbudi yang tidak bisa diperluas atau dipersempit menurut selera kita. Adapun
benda-benda selainnya yang kering, maka cukup dicuci biasa saja (Subulus-Salam
dan Taudlihul-Ahkam).


.
. `
Dari Abu Qatadahsemoga Allah meridlainyabahwasanya Rasulullah
semoga shalawat dan salam tercurah untuknyabersabda tentang kucing:
Sungguh kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk di antara pembantu-
pembantu kalian. Empat Imam mengeluarkannya, dan at-Tirmidzi dan Ibn
Khuzaimah menilainya shahih.

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 32

Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas,
diriwayatkan oleh Empat Imam dan Ibn Khuzaimah. Adapun rincian datanya: Sunan
Abi Dawud kitab at-thaharah bab su`ril-hirrati no. 75-76; Sunan at-Tirmidzi abwab
at-thaharah bab su`ril-hirrati no. 92; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab su`ril-
hirrati no. 68; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab al-wudlu bi
su`ril-hirrati no. 376; Shahih Ibn Khuzaiman kitab al-wudlu bab ar-rukhshah fil-
wudlu bi su`ril-hirrah no. 104.

Matan Hadits
Selain bersumber dari Abu Qatadah, hadits di atas juga disampaikan oleh
Aisyah, istri Nabi saw. Latar belakang kejadian (asbabul-wurud) dari kedua sumber
riwayat tersebut pun berbeda, yaitu:
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` . `

Dari Kabsyah binti Kaab ibn Malik, bahwasanya Abu Qatadah masuk, lalu ia
menyiapkan air wudlu untuknya. Tiba-tiba datang kucing dan minum dari air itu. Abu
Qatadah lalu memiringkan wadah air untuk kucing itu sehingga ia bisa minum dengan
mudah. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihatku memperhatikannya. Ia berkata:
Apakah kamu heran wahai anak saudaraku? Aku (Kabsyah) menjawab: Ya. Ia
berkata: Sungguh Rasulullah saw pernah bersabda:Sungguh kucing itu tidak najis.
Kucing itu termasuk di antara pembantu-pembantu kalian. (Sunan Abi Dawud no.
75)
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` . `
` ` ` ` ` .
Dari Ummu Dawud, bahwasanya maulah (hamba sahaya yang dimerdekakan
oleh Ummu Dawud)-nya memintanya untuk mengirimkan harisah (makanan yang
dibuat dari gandum dan daging) kepada Aisyah. Sesampainya di sana aku
menemukannya sedang shalat. Ia (Aisyah) berisyarat kepadaku untuk
meletakkannya. Tiba-tiba datang kucing dan makan makanan itu. Ketika Aisyah
selesai shalat, ia makan makanan yang sebagiannya sudah dimakan kucing itu, sambil
berkata bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: Sungguh kucing itu tidak najis.
Kucing itu termasuk di antara pembantu-pembantu kalian. Dan sungguh aku
(Aisyah) pernah melihat Rasulullah saw berwudlu dengan air yang sudah digunakan
kucing (Sunan Abi Dawud no. 75).
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 33

Syarah Mufradat
Thawwafin/Thawwafat
Asal katanya thawaf yang maknanya berkeliling/berputar/beredar. Kata thawwaf itu
sendiri adalah satu bentuk kata yang menunjukkan berlebih (shighah mubalaghah)
dari kata tha`if yang arti asalnya orang yang berkeliling/berputar/beredar. Akan tetapi
kata ini kemudian mempunyai makna tersendiri, yaitu:
` ` ` ` ` ` ` ` ` . ` ` ` `
` ` . ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Thawwaf: Orang yang sering berputar dan beredar, yakni pembantu. Ibnul-
Atsir (penulis kitab an-Nihayah) menjelaskan: Tha`if itu adalah orang yang
membantumu dengan lembut dan penuh perhatian. Maknanya sama dengan khadim
(pembantu) karena sama selalu ada di seputar yang dibantunya dan beredar di
sekelilingnya (Subulus-Salam 1 : 53 dan Taudlihul-Ahkam 1 : 139)
Dalam al-Qur`an, ayat yang mencantumkan kata di atas dalam makna
pembantu adalah:
l [ l > / l _` $ y / _ l > / / l
/
...Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka (budak-budak lelaki
dan wanita) selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu
(ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain)... (QS. an-Nur [24] : 58).
Sesuai dengan penjelasan pakar bahasa Arab di atas, maka dalam tulisan ini
thawwafin/thawwafat akan diterjemahkan dengan pembantu. Bedanya secara
makna, thawwafin pembantu lelaki, sedangkan thawwafat pembantu wanita.

Syarah Ijmali
Hadits ini dicantumkan oleh al-Hafizh dalam Bulughul-Maram sebagai
pelengkap dari hadits sebelumnya tentang anjing. Maksudnya, jika anjing najis
mughallazhah, maka kucing sama sekali tidak najis. Maksudnya tentu secara zat
kucing itu sendiri. Sementara jika kucing membawa najis, seperti kotoran atau air
kencing, maka kucing itu tetap harus dinilai najis, yakni najis bawaan dari kotoran
atau air kencing tersebut.
Melihat kesamaan asbabul-wurud dari dua hadits di atas, yakni sama-sama
tentang anjing dan kuncing yang minum pada air yang suci, terlihat bahwa para
shahabat menyampaikan sabda Nabi saw secara umum tentang zat kucing itu sendiri.
Maksudnya, meskipun kasusnya kucing yang minum pada air, tetapi yang dinyatakan
tidak najisnya bukan hanya mulutnya saja, melainkan keseluruhan tubuh kucing itu
sendiri. Hal yang sama bisa diberlakukan pada hadits tentang anjing sebelumnya.
Ketika Nabi saw menyatakan bahwa anjing yang minum pada air itu maka air dan
wadah airnya menjadi najis, tentu itu bukan berarti hanya terbatas pada mulutnya saja,
tetapi keseluruhan tubuh anjing itu sendiri.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 34

Illat (sebab) dari kucing tidak najis disebutkan oleh Nabi saw dalam hadits di
atas minat-thawwafin/thawwafat; termasuk yang selalu diperbantukan oleh manusia.
Maka dalam hal ini semua binatang yang masuk kategori thawwafin tersebut bisa di-
qiyas (disamakan)-kan pada kucing dalam hal sama-sama tidak najisnya, tentunya
selama tidak ada dalil lain yang menyatakan najisnya. Contohnya kuda dan keledai,
termasuk thawwafin dan tidak najis. Sementara anjing, meskipun termasuk juga
thawwafin, tetapi karena ada dalil tegas yang menyatakan kenajisannya, tetap
berstatus najis.


.
. `

Dari Anas ibn Maliksemoga Allah meridlainyaia berkata: Ada seorang
Arab dari pegunungan kencing di penjuru masjid. Orang-orang pun memarahinya,
tetapi Nabi saw melarang mereka bersikap seperti itu. Setelah orang Arab itu
selesai kencingnya, Nabi saw menyuruh dibawakan air satu ember lalu disiramkan
atasnya. Disepakati keshahihannya


Takhrij Hadits
Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, disepakati
keshahihannya (muttafaq alaihi). Maksudnya, sebagaimana sudah dijelaskan dalam
kajian pengantar Bulughul-Maram, adalah Imam al-Bukhari dan Muslim menyepakati
keshahihannya. Kedua imam tersebut meriwayatkan hadits di atas dalam kitabnya:
Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu` bab shubbil-ma`i alal-baul fil-masjid no. 220-221;
Shahih Muslim kitab at-thaharah bab wujubi ghaslil-baul wa ghairihi minan-najasat
idza hashalat fil-masjid no. 686.

Matan Hadits
Dalam riwayat al-Bukhari no. 220 dan riwayat Muslim, Nabi saw melarang
para shahabat marah dengan bersabda: dauhu; Biarkanlah dahulu ia sampai selesai.
Selanjutnya, dalam riwayat al-Bukhari no. 220, Nabi saw mengingatkan para
shahabat:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Hanyasanya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat
kesulitan.


AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 35

Syarah Mufradat
1. Arabi
Kata ini merupakan nisbah (dihubungkan) kepada arab. Dalam al-Qur`an Allah swt
membedakan arab dari orang-orang yang tinggal di Madinah. Artinya, arab ini
adalah mereka yang tinggal di pedusunan atau pegunungan dan tidak menetap di
Madinah. Dan itu menunjukkan bahwa secara kebudayaan dan adab mereka tidak
beradab sebagaimana halnya orang-orang kota yang tinggal di Madinah.
_ />lm >## 1` _ & l#
Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah... (QS. at-Taubah [9] : 101. Ayat
semakna terdapat juga dalam ayat 120).
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fathul-Bari, nama orang
Arab pegunungan tersebut adalah Dzul-Khuwaishirah, seseorang yang dikenal jafiyan
(keras, ceroboh, dan kurang beradab). Berdasarkan riwayat yang ditulis dalam kitab-
kitab sunan, sebelumnya orang ini berdoa dengan doa yang sangat aneh sampai
ditegur oleh Nabi saw:
` ` ` ' ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` . ' ` ` ` ` .
` ` ` ` ` ` ` ` ` ' ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ' ` ` ` `
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ada orang Arab pegunungan masuk masjid,
ketika Rasulullah saw duduk. Ia lalu shalat dua rakaat, kemudian setelahnya berdoa:
Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati yang
lain seorang pun bersama kami. Maka Nabi saw menegurnya: Sungguh kamu telah
membatasi sesuatu yang luas! (maksudnya jangan seperti itu). Kemudian tidak lama
dari itu ia kencing di penjuru masjid. Orang-orang pun segera memarahinya, tetapi
Nabi saw melarang mereka bersikap seperti itu. Sabda Nabi saw: Hanyasanya kalian
diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesulitan. Siramkanlah atas
kencingnya itu seember air. (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-ardlu
yushibuhal-baul no. 380; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ma ja`a fil-baul
yushibul-ardl no. 147; Sunan an-Nasa`i kitab shifatis-shalat bab al-kalam fis-shalat
no. 1216-1217; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-ardlu yushibuhal-baul
kaifa tughsalu no. 530)

2. Dzanub
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Dzanub: al-Khalil berkata: Ember yang penuh dengan air. Ibn Faris berkata:
Ember besar (Aunul-Mabud Syarah Sunan Abi Dawud).
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 36

Artinya, yang diperintahkan Nabi saw adalah membawa air yang banyak, satu
ember besar dan penuh airnya, bukan satu atau dua gayung.

Syarah Ijmali
Keterkaitannya dengan bab air, hadits ini menunjukkan bahwa air dapat
membersihkan najis dengan cara menyiramkannya. Dalam kaitan dengan tema
sebelumnya, hadits ini menunjukkan dalam hal air yang disiramkan pada najis, tidak
berlaku lagi kategorisasi berubah zatnya (warna, rasa, bau). Maksudnya tidak perlu
diselidiki lagi apakah air yang disiramkan tersebut kemudian berubah zatnya,
mengingat air yang berubah zatnya karena bercampur najis, maka airnya yang najis.
Sebab kategorisasi berubah zatnya (warna, rasa, bau), itu berlaku jika air yang
terkena najis. Sementara dalam hadits ini, air disiramkan untuk membersihkan najis.
Berdasarkan hadits ini, air yang disiramkan untuk membersihkan najis tidak najis,
malah justru membersihkan najis. Meski demikian, titah Nabi saw untuk membawa
air satu dzanub; ember besar dan penuh air, juga layak diperhatikan. Artinya,
menyiram najis tersebut tidak boleh dengan satu atau dua gayung, tetapi dengan air
yang banyak satu ember besar. Hal ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa najis
benar-benar sudah bersih dengan air.
Sebagian ulama Hanafiyyah ada yang membedakan status tanah yang terkena
najis tersebut. Yakni, jika tanahnya mampu menyerap air, maka dengan menyiramkan
air saja sudah cukup. Tetapi jika tanahnya tidak mampu menyerap air, maka tanah
tersebut harus digali dan dibuang. Menurut mereka, kesimpulan seperti ini didasarkan
pada hadits-hadits yang memerintahkan demikian. Akan tetapi menurut al-Hafizh
dalam Fathul-Bari, hadits-hadits yang dimaksud setelah diteliti lebih lanjut ternyata
kedudukannya dlaif. Keseluruhan sanadnya ada tiga, yang pertama maushul
(tersambung pada Nabi saw) riwayat at-Thahawi dari Ibn Masud, tetapi sanadnya
dlaif. Sedang dua sanad sisanya mursal (terputus). Yang pertama riwayat Abu
Dawud dari Abdullah ibn Maqil dan yang kedua riwayat Said ibn Manshur dari
Thawus. Sehingga yang benar, tidak perlu dibedakan antara tanah yang mampu
menyerap air dan yang tidak, pokoknya cukup dibersihkan dengan air (Fathul-Bari
kitab al-wudlu` bab shubbil-ma`i alal-baul fil-masjid).
Dari hadits ini, bisa diambil juga kesimpulan bahwa najis harus dibersihkan
dengan air dan dengan segera. Jangan menunggu kering tertiup angin atau tersinari
matahari. Itu artinya pendapat yang menyatakan najis hilang dengan sendirinya ketika
kering tertiup angin atau tersinari matahari, tidak bisa dibenarkan. Sebab jika memang
begitu, tentu Nabi saw tidak perlu menyuruh menyiramnya dengan air, biarkan saja
sampai kering. Itu juga berarti kalau kemudian ketahuan ada najisnya sesudah kering,
maka tetap harus dibersihkan dengan air. Sebab hanya air yang thahur (bisa
membersihkan/menyucikan), di samping tanah untuk membersihkan wadah yang
dijilat anjing atau alas kaki yang terkena kotoran (tetapi tanah yang digunakan
membersihkan kotoran itu statusnya menjadi najis karena terkena kotoran, hanya alas
kakinya menjadi suci).
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa air kencing statusnya najis dan wajib
dibersihkan dengan air. Dan ini berarti tidak hanya berlaku pada masjid saja, tetapi
pada semua yang terkena air kencing dan akan digunakan shalat seperti anggota tubuh
dan pakaian; atau juga yang kena pada diri kita sebelum shalat dan akan terbawa pada
shalat, seperti alas kaki, wadah air, keset, dan sebagainya yang terkena air kencing.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 37

Berdasarkan hadits ini, maka masjid harus senantiasa dijaga kebersihannya
dari najis. Terlebih dalam riwayat Ibn Majah, Nabi saw tegas menyatakan kepada
orang Arab tersebut:
` ` ` ` `
Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dikencingi. Karena masjid dibangun
hanya untuk dzikir kepada Allah dan shalat (Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab
al-ardlu yushibuhal-baul kaifa tughsalu no. 529).
Di samping itu, hadits ini juga memberikan beberapa pelajaran terkait adab,
yaitu:
Pertama, amar maruf nahyi munkar harus menjadi akhlaq setiap muslim.
Ketika ada orang yang mengotori masjid, para shahabat tidak bersikap acuh begitu
saja, melainkan memarahi orang tersebut. Nabi saw memang melarang para shahabat
memarahi orang yang tidak tahu, akan tetapi Nabi saw tidak melarang para shahabat
beramar maruf nahyi munkar. Sebab yang kemudian Nabi saw ajarkan adalah
bagaimana caranya beramar maruf nahyi munkar yang baik kepada orang yang
memang belum tahu.
Kedua, memberi pengajaran kepada orang yang tidak tahu, orang yang kurang
beradab karena tidak sering hadir ke majelis ilmu, adalah dengan cara
memberitahunya dengan baik dan memberinya contoh langsung. Seperti yang Nabi
saw lakukan, yakni memberitahunya jangan kencing di masjid dan menunjukkannya
bagaimana cara membersihkan bekas kencing dengan air. Bukan dengan menghina,
mencela dan menghujatnya. Sebagaimana dikemukakan oleh orang Arab yang
kencing tersebut, akhlaq Nabi saw dalam hal ini sungguh mulia:
' ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
(Kata Abu Hurairah) Orang Arab itu berkata sesudah ia paham: Beliau
berdiri menghampiriku. Dengan ibu dan bapakku (bermakna penekanan), beliau
tidak menghina dan tidak mencaci. (Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-ardlu
yushibuhal-baul kaifa tughsalu no. 529)
Ini harus menjadi bahan muhasabah untuk kita semua, sebab tidak mustahil
kepada istri dan anak sendiri, yang notabene belum tahu dan paham kesalahannya,
kita selalu mendahulukan menghina, mencela dan menghujat mereka. Kepada para
pelaku syirik, bidah, dan kemaksiatan lainnya, yang sebenarnya mereka belum
paham kemestian meninggalkan syirik, bidah dan kemaksiatan, kita mendahulukan
menghina dan mencela mereka, bukannya memberitahu dengan baik dan
menunjukkan bagaimana jalan keluar yang harus ditempuh agar bisa terlepas dari
kemaksiatan.
Ketiga, jauh dari majelis talim akan menjadikan seseorang kurang beradab,
khususnya dalam hal thaharah (kebersihan). Contohnya, orang Arab pegunungan
tersebut yang memang tidak sering hadir ke majelis talim Rasulullah saw di Madinah
sebagaimana halnya para shahabat. Maka dari itu untuk mengatasi rendahnya adab
masyarakat, dalam hal thaharah khususnya, harus digalakkan majelis-majelis ilmu
sampai ke daerah-daerah terpencil. Dalam majelis ilmu tersebut diberikan pengajaran
yang baik juga penyuluhan bagaimana seharusnya adab digunakan, khususnya dalam
hal thaharah.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 38

Keempat, memilih madlarat (bahaya) yang lebih kecil dibanding harus
menimbulkan madlarat yang lebih besar, tepatnya ketika ada dua madlarat bentrok.
Dalam kasus orang Arab di atas, kencing di masjid jelas merupakan madlarat
sehingga harus dilarang dan dienyahkan, tetapi dengan melarang saat itu juga, itu
termasuk madlarat juga dan malah lebih besar madlaratnya sebab orang yang kencing
itu tidak mungkin menghentikan dulu kencingnya, dan kalaupun dihentikan lalu
pindah, pasti air kencingnya akan tercecer di banyak tempat. Nabi saw ternyata
memilih madlarat yang lebih kecil dengan membiarkannya terlebih dahulu, lalu
kemudian menyuruh membersihkannya. Dalam kasus lain yang berbenturan dua
madlarat, maka harus dipilih madlarat yang lebih kecil.


.
.
`
Dari Ibn Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:Dihalalkan bagi kita
dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu belalang dan ikan.
Sementara dua darah yaitu hati dan jantung. Ahmad dan Ibn Majah
mengeluarkannya, tetapi dalam sanadnya ada kelemahan.


Takhrij Hadits
Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam kitab Musnad-nya bab hadits
Abdullah ibn Umar no. 5723. Sementara Ibn Majah meriwayatkan hadits ini dalam
kitab Sunan-nya kitab al-athimah bab al-kabid wat-thihal no. 3314.
Al-Hafizh Ibn Hajar di atas menyebutkan bahwa dalam sanad hadits ini ada
kelemahan/dlaif. Dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir 1 : 34-35, ia menjelaskan
bahwa penyebabnya adalah seorang rawi yang bernama Abdurrahman ibn Zaid ibn
Aslam yang dinilainya matruk dan dinyatakan munkar haditsnya oleh Imam Ahmad.
Meski demikian, terdapat sanad lain yang shahih dari ad-Daraquthni dan al-Baihaqi
yang melalui Sulaiman ibn Bilal dari Zaid ibn Aslam tetapi mauquf (bersumber dari
shahabat Ibn Umar, bukan dari Nabi saw). Namun ini tidak menjadi masalah, sebab
Ibn Hajar menegaskan, riwayat mauquf yang shahih dan merupakan pernyataan
shahabat: Dihalalkan bagi kami, atau Diharamkan bagi kami, berstatus sama
dengan hadits marfu (bersumber dari Nabi saw). Maksudnya, mustahil shahabat
menyatakan demikian jika tidak ada dasarnya dari Nabi saw. Maka dari itu hadits ini
bisa dijadikan dalil meski terdapat kelemahan.




AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 39

Bagan Sanad Hadits
, / ,

` ` ` `
` ` ` ` ` `


, / ,
`
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
. ` ` `

, / ,
,,


.








AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 40























Keterangan:
Sanad hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah dlaif karena ke-dlaif-an
Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam.
Sanad hadits riwayat al-Baihaqi shahih, dimana Zaid ibn Aslam
menyampaikannya kepada Sulaiman ibn Bilal. Akan tetapi mauquf pada Ibn
Umar, tidak merupakan sabda Nabi saw (marfu).
Hadits mauquf yang shahih bisa dijadikan hujjah, sebab shahabat bisa dijadikan
rujukan dalam hal agama.
Maka hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah status ke-dlaif-annya terselamatkan
oleh riwayat al-Baihaqi yang mauquf shahih. Di sinilah maksud al-Hafizh Ibn
Hajar menyatakan: wa fihi dlafun; dalam sanadnya ada kelemahan. Maksudnya,
meski bisa dijadikan hujjah tetapi ada sedikit masalah yang tidak sampai
menjatuhkan kehujjahannya.
Penulis sampai saat ini belum menemukan sanad hadits riwayat ad-Daraquthni
yang menyebutkan Sulaiman ibn Bilal menerima dari Zaid ibn Aslam,
sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibn Hajar di atas. Yang penulis temukan baru
riwayat al-Baihaqi berdasarkan petunjuk dari al-Hafizh Ibnul-Mulqan dalam
kitabnya al-Badrul-Munir 1 : 448. Kitab al-Badrul-Munir ini merupakan kitab












AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 41



rujukan utama at-Talkhishul-Habir. Kitab at-Talkhishul-Habir itu sendiri
merupakan ringkasan dari berbagai kitab takhrij hadits, di antaranya dari kitab al-
Badrul-Munir.

Syarah Ijmali
Hadits ini merupakan pengecualian dari hukum haram bagi bangkai dan darah
yang sudah ditegaskan Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 173, al-Ma`idah [5] : 3,
al-Anam [6] : 145, dan an-Nahl [16] : 115. Maksudnya, bangkai dan darah hukumnya
haram, tetapi dikecualikan bangkai belalang dan ikan, juga hati dan jantung. Empat
yang dikecualikan ini hukumnya halal. Jadi meskipun belalang atau ikan mati dengan
sendirinya, atau menjadi bangkai, secara zatnya tetap halal untuk dimakan. Demikian
halnya dengan hati dan jantung yang bercampur dengan darah, dihalalkan
memakannya.
Dikecualikan dalam hal ini tentunya bangkai ikan atau belalang, juga hati dan
jantung yang tercemar limbah atau racun, maka tentu hukumnya haram. Bukan karena
zat bangkainya atau hati dan jantungnya, melainkan karena limbah dan racunnya yang
pasti berbahaya untuk tubuh.
Dalam kaitannya dengan bab airyang mana hadits di atas dimasukkan oleh
Ibn Hajar dalam bab airmaka ini berarti air yang terdapat padanya bangkai ikan
statusnya tetap suci. Meski zat air berubah disebabkan bangkainya, airnya tetap suci
karena zat air berubah bukan sebab najis, sebab bangkai ikan tidak najis, sebab
bangkai ikan halal dimakan. Sama statusnya dengan air laut yang dijelaskan dalam
hadits pertama, dimana Nabi saw menyatakan air laut suci meski ada banyak bangkai
ikan di laut, sebab bangkainya halal dimakan.
Status bangkai yang najis (kecuali bangkai hewan laut, ikan, belalang, lalat
dan hewan sejenisnya yang tidak berdarah) dapat diketahui dengan jelas dari hadits
tentang air laut di awal:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` `
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw, ia
berkata: Wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berlayar di laut dan membawa
sedikit air. Jika kami berwudlu dengan air itu kami akan kehausan. Apakah boleh
kami berwudlu dengan air laut? Rasulullah saw menjawab: Dia itu suci airnya
halal bangkainya.
Juga hadits berikut:
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` . ` ` ' ` .
Dari Ibn Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kulit
disamak (dibersihkan dan diolah sampai bisa digunakan), maka statusnya suci.
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 42

Muslim mengeluarkannya. Riwayat Empat Imam: Kulit apa saja yang disamak.
(Bulughul-Maram no. 20-21)
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` `
Dari Salamah ibn al-Muhabbiq ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
Menyamak kulit bangkai berarti menyucikannya. Ibn Hibban menilainya shahih
(Bulughul-Maram no. 22).
Sabda Nabi saw bahwa bangkai hewan laut halal dan airnya suci, mafhumnya
bangkai hewan darat haram dan menajiskan air. Sementara pernyataan Nabi saw
bahwa penyamakan kulit dapat mensucikan bangkai, menunjukkan bahwa bangkai
statusnya najis.


.
.

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila lalat jatuh
pada minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah, lalu angkatlah.
Sebab sungguh dalam salah satu sayapnya ada penyakit dan pada satunya lagi ada
obat. Al-Bukhari dan Abu Dawud mengeluarkannya, dan (dalam riwayat Abu
Dawud) ada tambahan: Sungguh ia melindungi dirinya dengan sayap yang ada
padanya penyakit.


Takhrij Hadits
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits di atas dalam Shahih al-Bukhari kitab
bad`il-khalq bab idza waqaadz-dzubab fi syarabi ahadikum no. 3320 dan kitab at-
thib bab idza waqaadz-dzubab fil-ina`i no. 5782. Sementara Imam Abu Dawud
meriwayatkan hadits di atas dalam Sunan Abi Dawud kitab al-athimah bab fidz-
dzubab yaqau fit-thaam no. 3846.
Seorang pemikir muslim, Muhammad Abu Rayyah, dalam kitabnya Adlwa`
alas-Sunnah al-Muhammadiyyah mengkritik hadits di atas disebabkan tidak sesuai
dengan fakta bahwa pada lalat ternyata tidak ada sayap yang mengandung obat. Para
ulama hadits balik membantah penilaian Abu Rayyah di atas. Penemuan ilmiah
manusia walau bagaimanapun status kebenarannya relatif, masih bisa dibantah, diralat
atau dikembangkan. Sementara hadits ini berstatus shahih, diriwayatkan al-Bukhari
dan bersumber dari shahabat ahli hadits pula, Abu Hurairah. Hadits shahih berarti
benar sebagai wahyu dari Allah swt yang tentunya kebenarannya bersifat absolut.
Maka dari itu meski ada penemuan ilmiah yang membantah hadits di atas, tetap tidak
bisa menggugurkan hadits shahih. Terlebih faktanya ada juga penemuan ilmiah
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 43

lainnya yang justru menguatkan kebenaran hadits ini. Sebagaimana ditegaskan A.
Hassan, ada atau tidak ada penemuan ilmiah, hadits di atas tetap sebagai wahyu Allah
swt yang harus diyakini kebenarannya tanpa prasyarat.

Syarah Ijmali
Hadits ini menunjukkan bahwa lalat tidak najis, dan air yang termasuki lalat
statusnya pun tidak najis, tetap masih bisa diminum atau digunakan. Para ulama
meng-qiyas-kan (mempersamakan) hewan-hewan lainnya yang kecil dan tidak
berdarah seperti lebah dan nyamuk pada lalat dalam hal kesuciannya, dan jika masuk
ke dalam air maka airnya tidak najis. Meskipun hewan-hewan ini bangkai, status
bangkainya tidak najis.
Mencelupkan lalat ke dalam air atau minuman, sebagaimana diperintahkan
Nabi saw di atas, masuk kategori taabbudi/ibadah dalam hal mengikuti perintah
Nabinya saw. Maka dari itu sudah selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin yang
mencintai dan menghormati Nabinya saw, dengan cara mencelupkan lalat ke dalam
air, lalu membuangnya, dan airnya kemudian diminum atau digunakan dan tidak
dibuang.

. `
` ` . `
Dari Abu Waqid al-Laitsi ra ia berkata: Nabi saw bersabda: Suatu organ yang
dipotong dari hewan ketika hewan itu hidup, maka organ tersebut bangkai. Abu
Dawud dan at-Tirmidzi mengeluarkannya, at-Tirmidzi menilainya hasan, dan
lafazh hadits ini adalah riwayat at-Tirmidzi.


Takhrij Hadits
Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dalam Sunan Abi Dawud kitab as-
shaid bab fi shaidin quthia minhu qithatun no. 2860. Sementara Imam at-Tirmidzi
meriwayatkannya dalam Sunan at-Tirmidzi abwab al-athimah bab ma quthia minal-
hayyi fa huwa mayyit no. 1480 dan
Dalam riwayat at-Tirmidzi dijelaskan oleh shahabat Abu Waqid latar belakang
kronologis (asbabul-wurud) keluarnya sabda Nabi saw di atas:
` ` ` ' ` ` ` ' ` ` `
` `
Dari Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah. Saat itu
penduduk Madinah suka memotong punuk unta juga pantat kambing, maka Nabi saw
bersabda: Suatu organ yang dipotong dari hewan ketika hewan itu hidup, maka organ
tersebut bangkai.

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 44

Syarah Ijmali
Hadits ini menunjukkan bahwa yang termasuk bangkai bukan hewan yang
mati dengan sendirinya saja tanpa disembelih atau diburu, tetapi juga termasuk hewan
hidup yang salah satu organnya diambil ketika hewan itu hidup. Maka yang berstatus
bangkai adalah organ yang diambilnya tersebut, sementara hewannya itu sendiri,
selama masih hidup, belum berstatus bangkai. Sementara jika kemudian hewannya
mati setelah dipotong salah satu organnya, maka hewan tersebut pun menjadi bangkai
dan haram dimakan.
Dalam kaitannya dengan bab air, ini berarti bahwa air yang termasuki bangkai
jenis ini statusnya najis.
Untuk lebih memperjelas, yang masuk kategori bangkai itu sendiri adalah
hewan yang mati tanpa disembelih atau diburu dengan cara perburuan yang
dibenarkan Islam. Ketika Allah swt menjelaskan keharaman hewan-hewan yang mati
karena tercekik, dipukul, yang jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, Allah swt
menyebutkan pengecualian, yaitu yang sempat kamu sembelih. Artinya,
penyembelihan itulah yang menyebabkan hewan mati tidak sebagai bangkai:
M`m `>l Gl# `$!# `t' '# $ & ,l !# ./ 1l#
l# Il# sl# $ & 7l# ) $ .
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya (QS. al-Ma`idah [5] : 3)
Dalam ayat selanjutnya, Allah swt juga menghalalkan hewan yang mati
dengan cara diburu. Itu berarti bahwa hewan yang mati diburu tidak termasuk
kategori bangkai dan halal dimakan:
,l` #$ m& m& `>l M6l# $ Fl _ y#g'#
_,7l>` _? $. `>l !# #l> $. _>& >l #`# # !# l
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah
dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu (waktu melepasnya). (QS. al-Ma`idah [5] : 4)
Syaratnya hewan yang digunakan untuk berburu tersebut benar-benar terlatih.
Kriterianya, ia memburu bukan untuk dimakan olehnya, tetapi sebatas menerkamnya.
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 45

Dari Adi ibn Hatim, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi saw. Beliau
menjawab: Apabila kamu melepaskan anjingmu yang terlatih, lalu anjing itu
membunuh buruan, maka makanlah. Tapi jika anjing itu memakan buruannya,
janganlah kamu memakannya karena anjing itu menerkamnya untuk dirinya sendiri.
Aku bertanya: Aku melepaskan anjingku, lalu aku dapatkan pada buruannya anjing
lain. Nabi saw menjawab: Jangan kamu makan, sebab kamu membaca basmalah
pada anjingmu, dan kamu tidak membaca basmalah untuk anjing lain. (Shahih al-
Bukhari kitab al-wudlu bab al-ma`il-lladzi yughsalu bihi syarul-insan no. 175)
Terkait mulut anjing yang najis, madzhab Syafii dan Hanbali mayoritas
menilai bahwa hewan yang diterkam oleh anjing tersebut harus dicuci terlebih dahulu.
Sementara madzhab Hanbali minoritas dan Maliki menilai tidak perlu dicuci lagi,
sebab ini merupakan pengecualian/takhshish (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 3 : 697).
Dalam hadits, Nabi saw juga membenarkan perburuan dengan panah atau
tombak:
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
Apabila kamu berburu dengan anak panah, lalu buruan itu hilang, lalu kamu
menemukannya, maka makanlah selama belum busuk (Shahih Muslim kitab as-shaid
wadz-dzaba`ih bab idza ghaba anhus-shaid no. 5094)
` ` ` ` ` `
Apabila kamu berburu dengan tombak, lalu menusuk hewan buruan, maka
makanlah. Dan jika kena dengan bagian tumpulnya jangan kamu memakannya
(karena mati terpukul dan menjadi bangkai) (Shahih Muslim kitab as-shaid wadz-
dzaba`ih bab as-shaid bil-kilabil-muallamah no. 5081)
Dari hadits ini diketahui bahwa alat apa saja yang tajam dan bisa menusuk
hewan buruan sampai mati, maka itu halal, dan tidak termasuk bangkai. Misalnya
pistol atau senapan. Syaratnya, seperti disinggung QS. al-Ma`idah [3] : 4 di atas tentu
dengan mengucapkan bismil-Llah ketika menembaknya atau melepaskannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, hewan yang disembelih atau diburu tersebut
harus benar-benar terjamin mati dengan cara yang syari; disembelih dan diburu
dengan basmalah, sebab jika ada kemungkinan mati dengan cara lain yang tidak
syari maka Nabi saw melarang kita untuk memakannya:
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
Jika kamu menembakkan anak panahmu sebutlah nama Allah. Jika kamu
menemukan buruan mati, makanlah. Kecuali jika kamu menemukannya mati dalam
air, sebab kamu tidak tahu apakah air yang membunuhnya ataukah anak panahmu
(Shahih Muslim kitab as-shaid wadz-dzba`ih bab as-shaid bil-kilabil-muallamah no.
5091)

Vous aimerez peut-être aussi