Penyakit paru difus dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok :
A. Obstruktif Penyakit obstruktif (penyakit jalan napas), yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara akibat meningkatnya resistensi karena obstruksi parsial atau total di tingkat manapun. Gangguan obstruktif utama (selain tumor atau inhalasi benda asing) adalah asma, emfisema, bronchitis kronis, bronkiektasis, fibrosis kistik, dan bronkiolitis. Pada pasien dengan penyakit ini, kapasitas paru total dan kapasitas vital paksa (forced vital capacity, FVC) normal atau meningkat, tetapitanda utama adalah berkurangnya kecepatan aliran udara ekspirasi, yang biasanya diukur dengan volume ekspirasi paksa pada 1 detik (forced expiratory volume, FEV). Oleh karena itu, rasio FEV1 dan FVC biasanya menurun.
B. Restriktif Penyakit restriktif, yang ditandai dengan berkurangnya ekspansi parenkim paru disertai berkurangnya kapasital paru total. Pada penyakit ini FVC menurun dan kecepatan aliran udara ekspirasi normal atau berkurang secara proposional. Oleh karena itu rasio FEV1 dan FVC mendekati normal. Defek restriktif terjadi pada 2 keadaan umum : 1. Gangguan ekstra paru. 2.Penyakit interstisium paru akut atau kronis : ARDS, pneumoconiosis, sarkoidosis, fibrosis paru idiopatik.
Asma
Penyakit asma berasal dari kata Asthma yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti sukar bernapas. Asma (Asthma) adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan (inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
EPIDEMIOLOGI ASMA Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 81% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50% . Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa >18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi (Dahlan, 1998; Kartasasmita,2008). Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma andAllergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulanterakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.
ETIOLOGI Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma : 1. Pemicu Asma (Trigger) Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
2. Penyebab Asma (Inducer) Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006). Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik. Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah: Alergen : dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: - Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi. - Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin). - Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen berupa asma. Olahraga : Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang
biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan. Misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.
Infeksi bakteri pada saluran napas : Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem bronkial.
Stres : Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Gangguan pada sinus : Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan inflamasi membran mukus
KLASIFIKASI ASMA BRONKHIAL Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : 1 Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor -faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. 2 Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. 3 Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Sering
Asma Persisten 1. Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan sering 2. Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan 3. Intensitas serangan biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat 4. Di antara serangan tanpa gejala sering ada gejala gejala siang dan malam 5. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu sering terganggu sangat terganggu 6. Pemeriksaan fisik di lua serangan normal (tidak ditemukan kelainan) mungkin terganggu (ditemukan kelainan) tidak pernah normal 7. Obat pengendali (anti inflamasi) Tidak perlu perlu perlu 8. Uji faal paru (di luar serangan) PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1<60% variabilitas 20-30% 9. Variabilitas faal paru (bila ada serangan) variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%
Berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila mungkin analisis gas darah. Ringan Sedang Berat Aktivitas Dapat berjalan Dapat berbaring Jalan terbatas Lebih suka duduk Sukar berjalan Duduk membungkuk ke depan Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya terganggu Frekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30 kali/menit Retraksi otot-otot bantu napas Umumnya tidak ada Kadang kala ada Ada Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras Frekuensi nadi < 100 100-120 > 120 Pulsus paradoksus Tidak ada (< 10 mmHg) Mungkin ada (10-25 mmHg) Sering ada (> 25 mmHg) APE sesudah bronkodilator (% prediksi) > 80% 60-80% < 60% PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg < 45 mmHg SaO2 > 95% 91-95% < 90% Keterangan : Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi
Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma Karakteristik Terkontrol Terkontrol partial Tak terkontrol Gejala harian tidak ada (<2 kali/minggu) >2 kali/minggu 3 atau lebih dari dari karakteristik asma terkontrol partial terjadi dalam seminggu Keterbatasan aktivitas Tidak Beberapa Gejala asma malam hari Tidak Beberapa Kebutuhan akan obat- obatan pelega Tidak (<2 kali/minggu) >2 kali/ minggu
Fungsi paru (PEF atau PEV1) Normal <80% Eksaserbasi Tidak Satu atau lebih dalam setahun Satu kali dalam beberapa minggu
PATOGENESIS Pada banyak kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi mekanisme IgE-dependent. Asma ekstirnsik didorong oleh sensitisasi sel CD4+ tipe Th2. Sel Th2 mengeluarkan sitokin terutama IL-4.IL-5, dan IL-13, yang mengakibatkan sintesis Ig-E, pertumbuhan sel mast serta pertumbuhan dan pengaktifan eosinophil. Serangan asma atopic memperilhatkan 2 fase : 1. fase awal : dimulai 30-60 menit setelah inhalasi antigen dan kemudian mereda 2. fase lanjutan : 4 hingga 8 jam setelah inhalasi antigen Berikut pathogenesis asma alergik : Reaksi awal dipicu oleh pengikatan silang IgE pada sel mast di jalan nafas.Sel-sel ini mengeluarkan mediator mediator yang sudah jadi, yang membuka taut erat (tight junction) antara sel-sel epitel. Antigen kemudian dapat masuk untuk mengaktifkan eosinophil dan sel mast mukosa yang, pada gilirannya, mengeluarkan lebih banyak mediator. Secara kolektif, mediator-mediator, baik secara langsung maupun melalui reflex neuron, menginduksi bronkospasme, meningkatkan permeabilitas vascular dan meningkatkan produksi mucus serta juga merekrut peleas mediator lain dari darah. Berikut mediator fase awal : Leukotrien C4, D4, dan E4 menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan, peningkatan permeabilitas vascular dan peningkatan sekresi musin Prostagalandin D2, E2, dan F2alfa , memicu bronkokonstriksi dan vasodilatasi Histamin, menyebabkan bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vascular Platelet- activating factor, menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamine dari granula Triptase sel mast, menginaktifkan peptide yang menyebabkan bronkodilatasi normal (vasoactive intestinal peptide) Kedatangan sel-sel yang direkrut tersebut menandai awal stadium lanjut asma, dengan antigennya yang masih terikat ke IgE, mungkin memicu kembali pembebasan mediator. Reaksi awal diikuti oleh fase lanjut yang didominasi olehh leukosit rekrutmen : basophil, neutrophil, dan eosinophil. Medi ator sel mast yang berperan dalam rekrutmen sel radang ini adalah : Faktor kemotaktik eosinofilik dan neutrofilik serta leukotriene B4 : merekrut dan mengaktifkan eosinophil dan neutrophil IL-4 dan IL-5 : memperkuat respon Th2 sel T CD4+ dengan meningkatkan sintesis IgE serta kemotaksis dan proliferasi eosinophil Platelet-activating factor : kemotaktik kuat bagi eosinophil bila terdapat IL-6 Faktor nekrosis tumor : meningkatkan molekul perekat (adhesion molecules) di endotel vascular serta di sel radang
PATOFISIOLOGI Obstruksi saluran napas Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stim uli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.
Hiperesponsivitas saluran napas Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus
Konstraksi otot polos bronkus Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi.
Hipersekresi mukus Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.
Keterbatasan aliran udara ireversibel Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun radiologi.
Eksaserbasi Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus
Asma malam Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus.
Analisis gas darah Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
REMODELLING SALURAN NAPAS Remodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik melalui proses diferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur sel.
Proses yang penitng dalam remodeling : kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut , produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblas. Myofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan. Kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Hipertropi dan hyperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperilihatakan perubahan struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Selama ini asma diyakini sebagai obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversible. Pada sebagian besar pasien, reversibelitas yang menyeluruh dapat diamati pada penukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid.Namun beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini menceerminkan adanya remodeling saluran nafas.
Hiperreaktifitas saluran nafas Hal yang menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas adalah : a. Inflamasi saluran nafas b. Kerusakan epitel c. Mekanisme neurologis d. Gangguan intrinsik e. Obstruksi saluran nafas
Mediator Primer Efek Histamine Kontraksi otot polos bronchial Induksi permeabilitas vascular Stimulsi reseptor iritan Serotonin Bronkokonstriksi Basofil kalikrein dari anafilaksis Memicu formasi kinin
MANIFESTASI KLINIK a. Serangan Akut Saat serangan pasien merasa dadanya seperti diikat dan upaya inspirasi dan ekspirasi sama sama sulit. Mungkin ada batuk yang awalnya kering namun kemudian menjadi produktif, khususnya jika ada infeksi.Pasien biasanya duduk tegak dengan dada yang mengembang berlebihan, terdengar mengi ekspirasi, dan gelang bahu tidak bergerak karena menggunakan otot-otot tambahan pernfasan.Jumlah nafas mungkin sedikit berubah namun denyut nadi hampir selalu cepat. b. Asma Rekuren Penderita asma ringan biasanya memiliki fungsi respirasi yang normal diantara serangan, namun penderitas asma berat jangka panjang cenderung mengalami emfisema dan sesak sampai derajat tertentu serta obstruksi saluran nafas yang menetap diantara serangan akut. Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (sine qua non).
Objektif Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing. Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan. Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan, Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus) Subjektif Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia. Psikososial Cemas, takut dan mudah tersinggung
DIAGNOSIS Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa dijumpai adanya keluhan batuk, sesak, mengi dan rasa tidak enak pada dada. Terdapat riwayat alergi dalam keluarga ataupun pada diri penderita sendiri seperti rinitis alergi, dermatitis alergi. Gejala asma sering timbul pada malam hari tetapi dapat muncul pada setiap waktu tergantung pada ada tidaknya faktor pencetus.
Anamnesa a. Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. b. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible. c. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.
Pemeriksaan fisik Perhatian pertama adalah pada keadaan umum pasien, pasien dengan kondisi yang sangat berat akan duduk tegak. Ekspirasi memanjang,mengi,hiperinflasi dada,pernafasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma.Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan: penggunaan otot-otot bantu pernafasan Frekuensi nafas > 30 kali per menit Takikardia > 120 x/menit Pulsus Parokdoksus >12 mmHg wheezing ekspiratori.
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup(Muttaqin, 2008): B1 (Breathing) o Inspeksi Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, sertapenggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk dankesimetrisan, adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-ototintercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas. o Palpasi Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal o Perkusi Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah. o Auskultasi Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood) Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain) Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder) Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel) Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.
B6 (Bone) Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitaskarena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanyabekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: - Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil. - Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. - Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. - Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
Pemeriksaan darah - Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis - Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. - Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi. - Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2) Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3) Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan dises uaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB ( Right bundle branch block). Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4) Scanning paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5) Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.Hasil pemeriksaan spirometri pada penderita asma: Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) menurun Kapasitas vital paksa (FVC)menurun Perbandingan antara FEV1 dan FEC menurun. Hal ini disebabkan karena penurunan FEV1 lebih besar dibandingkan penurunan FVC Volume residu (RV) meningkat Kapasital fungsional residual (FRC) meningkat
6) Uji kecepatan aliran puncak ekspiratoir (APE) Tes ini merupakan tes sederhana dengan menggunakan alat pengukur aliran puncak Wright. Bila hasil pengukuran menunjukkan: Kecepatan APE mula-mula kurang dari 60 liter/menit, atau Peningkatan APE terhadap standar (sesudah diberikan terapi selama 1 jam) kurang dari 50% maka pasien dianjurkan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.
DIAGNOSIS BANDING 1 Bronkitis kronis Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal. 2 Emfisema paru Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi. 3 Gagal jantung kiri Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru. 4 Emboli paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan - pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu. Obat obat Pereda (Reliever): I. Bronkodilator a. Short- acting 2 agonist : Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Epinefrin/adrenalin Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS. 2 agonis selektif Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral : 0,1- 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi. Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam. Serangan ringan : MDI 2 - 4 semprotan tiap 3 - 4 jam. Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam. Serangan berat : MDI 10 semprotan. Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi. Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 - 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu. Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan anticholinergick. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
c. Anticholinergics Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
d. Kortikosteroid Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: o Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama o Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler. o Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari. Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam. e. Ekspektoran Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan. Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas adalah Obat Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP), Glicseril guaiakolat (GG).
f. Antibiotik Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Obat obat Pengontrol Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral 2-agonist. 1. Inhalasi glukokortikosteroid Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut. 2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA) Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut: a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor; c. Dapat diberikan per oral. d. Montelukast. Hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia; e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator. Ada 2 preparat LTRA : Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina) Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati. 3. Long acting 2 Agonist (LABA) Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu
kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat. 4. Teofilin lepas lambat Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Suportif Terapi oksigen : Diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%). Campuran Helium dan oksigen Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen). Selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli. Terapi cairan. Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
PENCEGAHAN Pencegahan primer :ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi denganrisiko asma (orangtua asma), dengan cara : - Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masaperkembangan bayi/anak - Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidakmengganggu asupan janin - Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bula - Diet hipoalergenik ibu menyusui Pencegahan sekunder: ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yangtelah tersentisisasi dengan cara: - Menghindari pajanan asap rokok - Alergen dalamruangan terutama tungau debu rumah. - Faktor genetic - Faktor lingkungan - Sensitisasi inflamasi Gejala Asma - Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger) - Hipereaktifitas bronkus obstruksi Pencegahan tersier: ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anakyang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senteryangdikenal dengan nama ETA C Study (early treatment of atopic children)mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengandermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau deburumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberiansetirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
PROGNOSIS ASMA Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun.
Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung steroid dengan riwayat inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95% menjadi orang dewasa asmatikus.
KOMPLIKASI Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah: 1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif. 2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. 3. Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen secara sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan asma. 4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. 5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Serangan Asma
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejal-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus.
PATOFISIOLOGI Respon saluran napas yang berlebihan dan reaksi inflamasi. Asma sebagai penyakit inflamasi Inflamasi akut 1. Reaksi asma tipe cepat IgE + sel mast degranulasi sel mast mediator (histamin, prostaglandin,leukotren) konstriksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi. 2. Reaksi asma tipe lambat (6-9 jam) Provokasi alergen, aktivasi eosinofil, selT CD + , netrofil dan makrofag. Inflamasi kronik LimfositT sitokin : IL-3,IL-4,IL-5,IL-13, GM-CSF Epitel membran markers (adhesi, endotelin, NO sinthase, sitokin/kemokin) Eosinofil ngeluarin sitokin : IL-3, IL-5, IL-6 Sel mast yang mengikat IgE untuk mengeluarkan granul. Makrofag Airway remodeling Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Penebalan membaran retikular basal. Pembuluh darah >> Perubahan struktur parenkim Fibrosis >> Matriks ekstraselular fungsinya meningkat.
Hipereaktivitas saluran napas Sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Beberapa keadaan yang dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas : Inflamasi saluran napas Kerusakan epitel perubahan struktur dapat meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi. Mekanisme neurologis pada asma, peingkatan respon saraf parasimpatis. Gangguan instrinsik otot polos saluran napas dam hipertrofi otot polos. Obstruksi saluran napas
PENATALAKSANAAN Serangan akut adalah episodik perburukan pada asmayang harus diketahui oleh pasien, penatalaksanaan asma sebaiknya diketahui oleh pasien di rumah (bagan). Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik, dan sebaiknya dengan pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada serangan asma obat-obatan yang digunakan adalah : Bronkodilator (2 agonnis kerja cepat dan ipratropium bromida) Kortikosteroid sistemik
Serangan Ringan Hanya 2 agonis kerja cepat secara inhalasi
Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik.
pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Serangan Sedang 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral Pada dewasa ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV Anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV. Pada anak bila diperlukan diberi oksigen dan cairan IV Serangan Berat Pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, aminofilin IV
Serangan yang mengancam Jiwa Langsung dirujuk ke ICU
pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. bila tidak ada menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer)
PENCEGAHAN Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran anatara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa dengan senam asma indonesia yang teratur, asma yang terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.
Status Asmatikus
Status asmatikus merupakan suatu eksasebasi akut dari asma yang tidak berespons terhadap pengobatan awal dengan bronkodilator. Status asmatikus bervariasi dari yang ringan sampai ke yang berat, yaitu bronkospasme, inflamasi salur pernafasan,dan sumbatan oleh mukus yang menyebabkan gangguan pernafasan; retensi karbon dioksida; hipoksemia; dan gagal nafas. Tanda klinis yang biasa adalah wheezing persisten dengan retraksi. Tapi, tidak semua anak-anak dengan asma berat ada wheezing, sebagian dari mereka mungkin hanya menderita batuk, dyspnea, atau muntah. Atau dalam arti lain, tidak semua pasien dengan wheezing menderita asma; mereka mungkin menderita salah satu dari macam-macam penyebab yang bisa menyebabkan obstruksi salur pernafasan.
PATOFISIOLOGI Terpaparnya seseorang yang beresiko terhadap alergen atau rangsanganmenyebabkan suatu reaksi inflamasi dari salur pernafasan, yaitu terjadinya degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi, infiltrasi dari eosinofil dan limfosit T yang teraktivasi. Sebagai mediator inflamasi bisa terlibat termasuklah interleukin (IL) -3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-13; leukotriene; dan granulocyte-macrofage colony-stimulating factors (GM-CSFs). Ini semua akhirnya akan merangsang lagi sel mast, netrofil dan eosinofil.
Gambar: Presentasi antigen oleh sel dendritik, dengan respons limfosit dan sitokinyang akhirnya menyebabkan inflamasi salur pernafasan dan simptoms asma.
Secara fisiologis, asma akut terdiri dari 2 komponen, yaitu respons bronkospastik awal (early bronchospastic response); dan respons inflamasi akhir (later inflammatory response).
Early bronchospastic response Dalam beberapa menit setelah terpapar alergen, terjadi degranulasi sel mast sambil terjadinya pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2,leukotriene C4. Semua bahan ini akan menyebabkan kontraksi dari otot salur pernafasan, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi mukus, dan aktivasi refleks neuronal. Fase ini ditandai dengan terjadinya bronkokonstriksi yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator, seperti agen beta-2-agonis.
Later inflammatory response Terjadinya pelepasan mediator inflamasi akibat menempelnya adhesion molecules di epitelium salur pernafasan dan endotel kapiler. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil, dan basofil akan berhubungan dengan epitelium dan endothelium dan akhirnya akan bermigrasi ke jaringan salur pernafasan. Eosinofil akan melepaskan eosinophilic cationic protein (ECP) dan major basic protein (MBP). Kedua ECP danMBP akan menginduksi deskuamasi dari epitelium saluran pernafasan dan akan menyebabkan terpaparnya ujung-ujung saraf. Proses ini akan menginduksi lebih banyak terjadinya hiper respons pada asma. Bronkospasme, sumbatan mukus, dan edema pada salur pernafasan perifer menyebabkan peningkatan resistensi salur pernafasan dan obstruksi. Udara yang terperangkap akan mengakibatkan hiperinflasi paru, ventilation/perfusion mismatch (V/Q mismatch), dan meningkatnya dead space ventilation. Paru akan mengembang pada saat hampir akhir inspirasi pada akhir kurva compliance pulmonal, dengan compliance yang menurun dan kerja untuk bernafas yang meningkat. Meningkatnya tekanan pleural dan intra-alveolar akibat dari obstruksi dan hiperinflasi, bersama dengan tekanan mekanis dari alveolus yang terdistensi, akan mengakibatkan penurunan perfusi alveolus. Kombinasi dari atelektasis dan penurunan perfusi alveolus menyebabkan V/Q mismatch dalam unit paru. V/Q mismatch dan hipoksemia yang terjadi mengakibatkan peningkatan dalam minute ventilation. Dalam fase awal asma akut, hiperventilasi bisa mengakibatkan alkalosis repiratorik. Ini karena unit paru yang terobstruksi secara relative jumlahnya lebih sedikit berbanding unit paru yang tidak terobstruksi. Hiperventilasi mengakibatkan terjadinya pembuangan karbon dioksida melalui unit paru tidak terobstruksi. Tapi,semakin lama jumlah unit paru yang terobstruksi menjadi lebih banyak, dan ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan pembuangan karbon dioksida di paru, yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya hiperkarbia.