Vous êtes sur la page 1sur 20

Penyakit Paru

Penyakit paru difus dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok :


A. Obstruktif
Penyakit obstruktif (penyakit jalan napas), yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara akibat
meningkatnya resistensi karena obstruksi parsial atau total di tingkat manapun. Gangguan obstruktif utama (selain
tumor atau inhalasi benda asing) adalah asma, emfisema, bronchitis kronis, bronkiektasis, fibrosis kistik, dan
bronkiolitis. Pada pasien dengan penyakit ini, kapasitas paru total dan kapasitas vital paksa (forced vital capacity,
FVC) normal atau meningkat, tetapitanda utama adalah berkurangnya kecepatan aliran udara ekspirasi, yang biasanya
diukur dengan volume ekspirasi paksa pada 1 detik (forced expiratory volume, FEV). Oleh karena itu, rasio FEV1 dan
FVC biasanya menurun.

B. Restriktif
Penyakit restriktif, yang ditandai dengan berkurangnya ekspansi parenkim paru disertai berkurangnya
kapasital paru total. Pada penyakit ini FVC menurun dan kecepatan aliran udara ekspirasi normal atau berkurang
secara proposional. Oleh karena itu rasio FEV1 dan FVC mendekati normal.
Defek restriktif terjadi pada 2 keadaan umum :
1. Gangguan ekstra paru.
2.Penyakit interstisium paru akut atau kronis : ARDS, pneumoconiosis, sarkoidosis, fibrosis paru idiopatik.

Asma





Penyakit asma berasal dari kata Asthma yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti sukar bernapas.
Asma (Asthma) adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru
dimana terdapat peradangan (inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran nafas
yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.

EPIDEMIOLOGI ASMA
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 81% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun
terakhir ini meningkat sebesar 50% . Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada
dewasa >18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak
daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan
NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi (Dahlan, 1998;
Kartasasmita,2008). Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma
andAllergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulanterakhir/recent asthma) 6,2 %
yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.

ETIOLOGI
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma :
1. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan (bronkokonstriksi).
Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum
berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik.
Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika,
berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan
akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya pemicu
yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi
saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.





































2. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus hiperresponsivitas (respon
yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau
asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih lama
(kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan
(alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau
mulut), dan alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006).
Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik. Menurut mereka,
secara umum pemicu asma adalah:
Alergen : dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
- Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur,
bakteri dan polusi.
- Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan dan anggur yang mengandung
sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
- Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan alergen utama yang
berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast
sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi
sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen berupa asma.
Olahraga : Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau
olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma
dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang









biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan. Misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga
dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma
seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.

Infeksi bakteri pada saluran napas : Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah
mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem bronkial.

Stres : Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

Gangguan pada sinus : Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya rhinitis alergik
dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan inflamasi membran mukus

KLASIFIKASI ASMA BRONKHIAL
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti
debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor -faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau
tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3 Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.




Parameter klinis, kebutuhan
obat, dan faal paru
Asma Episodik
Jarang

Asma Episodik Sering


Asma Persisten
1. Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan sering
2. Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak
ada periode bebas serangan
3. Intensitas serangan biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat
4. Di antara serangan tanpa gejala sering ada gejala gejala siang dan malam
5. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu sering terganggu sangat terganggu
6. Pemeriksaan fisik di lua
serangan
normal (tidak
ditemukan kelainan)
mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)
tidak pernah normal
7. Obat pengendali (anti
inflamasi)
Tidak perlu perlu perlu
8. Uji faal paru (di luar
serangan)
PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1<60%
variabilitas 20-30%
9. Variabilitas faal paru (bila
ada serangan)
variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%
























Keterangan:
PEF : peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak)
FEV1 : forced expiratory volume in 1 second (volum ekspirasi paksa dalam1 detik).

Berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila mungkin analisis gas darah.
Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan
Dapat berbaring
Jalan terbatas
Lebih suka duduk
Sukar berjalan
Duduk membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya terganggu
Frekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30 kali/menit
Retraksi otot-otot bantu
napas
Umumnya tidak ada Kadang kala ada Ada
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi nadi < 100 100-120 > 120
Pulsus paradoksus Tidak ada (< 10 mmHg) Mungkin ada (10-25
mmHg)
Sering ada (> 25
mmHg)
APE sesudah bronkodilator
(% prediksi)
> 80% 60-80% < 60%
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg < 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%
Keterangan : Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi

Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol partial Tak terkontrol
Gejala harian tidak ada (<2
kali/minggu)
>2 kali/minggu 3 atau lebih dari dari
karakteristik asma
terkontrol partial terjadi
dalam seminggu
Keterbatasan aktivitas Tidak Beberapa
Gejala asma malam hari Tidak Beberapa
Kebutuhan akan obat-
obatan pelega
Tidak (<2 kali/minggu) >2 kali/ minggu

Fungsi paru (PEF atau
PEV1)
Normal <80%
Eksaserbasi Tidak Satu atau lebih dalam
setahun
Satu kali dalam beberapa
minggu

PATOGENESIS
Pada banyak kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi mekanisme
IgE-dependent. Asma ekstirnsik didorong oleh sensitisasi sel CD4+ tipe Th2. Sel Th2 mengeluarkan sitokin terutama
IL-4.IL-5, dan IL-13, yang mengakibatkan sintesis Ig-E, pertumbuhan sel mast serta pertumbuhan dan pengaktifan
eosinophil. Serangan asma atopic memperilhatkan 2 fase :
1. fase awal : dimulai 30-60 menit setelah inhalasi antigen dan kemudian mereda
2. fase lanjutan : 4 hingga 8 jam setelah inhalasi antigen
Berikut pathogenesis asma alergik :
Reaksi awal dipicu oleh pengikatan silang IgE pada sel mast di jalan nafas.Sel-sel ini mengeluarkan mediator
mediator yang sudah jadi, yang membuka taut erat (tight junction) antara sel-sel epitel. Antigen kemudian dapat
masuk untuk mengaktifkan eosinophil dan sel mast mukosa yang, pada gilirannya, mengeluarkan lebih banyak
mediator. Secara kolektif, mediator-mediator, baik secara langsung maupun melalui reflex neuron, menginduksi
bronkospasme, meningkatkan permeabilitas vascular dan meningkatkan produksi mucus serta juga merekrut peleas
mediator lain dari darah.
Berikut mediator fase awal :
Leukotrien C4, D4, dan E4 menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan, peningkatan permeabilitas vascular
dan peningkatan sekresi musin
Prostagalandin D2, E2, dan F2alfa , memicu bronkokonstriksi dan vasodilatasi
Histamin, menyebabkan bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vascular
Platelet- activating factor, menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamine dari granula
Triptase sel mast, menginaktifkan peptide yang menyebabkan bronkodilatasi normal (vasoactive intestinal
peptide)
Kedatangan sel-sel yang direkrut tersebut menandai awal stadium lanjut asma, dengan antigennya yang
masih terikat ke IgE, mungkin memicu kembali pembebasan mediator. Reaksi awal diikuti oleh fase lanjut yang
didominasi olehh leukosit rekrutmen : basophil, neutrophil, dan eosinophil. Medi ator sel mast yang berperan dalam
rekrutmen sel radang ini adalah :
Faktor kemotaktik eosinofilik dan neutrofilik serta leukotriene B4 : merekrut dan mengaktifkan eosinophil dan
neutrophil
IL-4 dan IL-5 : memperkuat respon Th2 sel T CD4+ dengan meningkatkan sintesis IgE serta kemotaksis dan
proliferasi eosinophil
Platelet-activating factor : kemotaktik kuat bagi eosinophil bila terdapat IL-6
Faktor nekrosis tumor : meningkatkan molekul perekat (adhesion molecules) di endotel vascular serta di sel
radang

PATOFISIOLOGI
Obstruksi saluran napas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas
ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stim uli.
Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang
dilepaskan sel inflamasi.

Hiperesponsivitas saluran napas
Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga karena perubahan sifat otot polos
saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah
peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas
dapat diukur dengan uji provokasi bronkus




Konstraksi otot polos bronkus
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi
kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi.

Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas
oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia,
mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.

Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat pada saluran napas besar maupun
kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun radiologi.

Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan
penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab
inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus

Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di
alveolar dan jaringan peribronkus.

Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas
akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi.

REMODELLING SALURAN NAPAS
Remodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan
penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik melalui proses diferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi
struktur sel.












Proses yang penitng dalam remodeling : kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut ,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGF-b) dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblas. Myofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
pertumbuhan. Kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf.
Hipertropi dan hyperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa timbul pada
bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma
memperilihatakan perubahan struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratorik.
Selama ini asma diyakini sebagai obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversible. Pada sebagian
besar pasien, reversibelitas yang menyeluruh dapat diamati pada penukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan
inhalasi kortikosteroid.Namun beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat
terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini menceerminkan adanya remodeling saluran nafas.

Hiperreaktifitas saluran nafas
Hal yang menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas adalah :
a. Inflamasi saluran nafas
b. Kerusakan epitel
c. Mekanisme neurologis
d. Gangguan intrinsik
e. Obstruksi saluran nafas

Mediator Primer Efek
Histamine Kontraksi otot polos bronchial
Induksi permeabilitas vascular
Stimulsi reseptor iritan
Serotonin Bronkokonstriksi
Basofil kalikrein dari anafilaksis Memicu formasi kinin









Mediator Sekunder Efek
Leukotrin (LT) Bronkokonstriksi
Prostaglandin(PG) PGD2, PGF2 alfa, efek bronkokonstriksi
PGE2, PGE1, PGI1, bronkodilator
PGD2 meningkatkan produksi mukus
Tromboksan A2 Bronkokonstriksi
Platelet activating factors bronkokonstriksi



MANIFESTASI KLINIK
a. Serangan Akut
Saat serangan pasien merasa dadanya seperti diikat dan upaya inspirasi dan ekspirasi sama sama sulit.
Mungkin ada batuk yang awalnya kering namun kemudian menjadi produktif, khususnya jika ada infeksi.Pasien
biasanya duduk tegak dengan dada yang mengembang berlebihan, terdengar mengi ekspirasi, dan gelang bahu tidak
bergerak karena menggunakan otot-otot tambahan pernfasan.Jumlah nafas mungkin sedikit berubah namun denyut
nadi hampir selalu cepat.
b. Asma Rekuren
Penderita asma ringan biasanya memiliki fungsi respirasi yang normal diantara serangan, namun penderitas
asma berat jangka panjang cenderung mengalami emfisema dan sesak sampai derajat tertentu serta obstruksi saluran
nafas yang menetap diantara serangan akut. Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk dan mengi, gejala yang
disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (sine qua non).

Objektif
Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing. Dapat disertai batuk dengan sputum
kental, sulit dikeluarkan. Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan, Cyanosis, tachicardia,
gelisah, pulsus paradoksus.Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)
Subjektif
Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial
Cemas, takut dan mudah tersinggung








DIAGNOSIS
Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesa dijumpai adanya keluhan batuk, sesak, mengi dan rasa tidak enak pada dada. Terdapat riwayat alergi dalam
keluarga ataupun pada diri penderita sendiri seperti rinitis alergi, dermatitis alergi. Gejala asma sering timbul pada
malam hari tetapi dapat muncul pada setiap waktu tergantung pada ada tidaknya faktor pencetus.










































Anamnesa
a. Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau
batuk malam hari.
b. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
c. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan fisik
Perhatian pertama adalah pada keadaan umum pasien, pasien dengan kondisi yang sangat berat akan duduk
tegak. Ekspirasi memanjang,mengi,hiperinflasi dada,pernafasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien
asma.Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan:
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Frekuensi nafas > 30 kali per menit
Takikardia > 120 x/menit
Pulsus Parokdoksus >12 mmHg
wheezing ekspiratori.









Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup(Muttaqin, 2008):
B1 (Breathing)
o Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, sertapenggunaan otot bantu
pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk dankesimetrisan, adanya peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-ototintercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
o Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal
o Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
o Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi,
dengan bunyi tambahan napas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.

B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.

B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan asma.
Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien
sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.

B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitaskarena merangsang serangan
asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik,
pruritis, eksim dan adanyabekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak
danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
- Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
- Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
- Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan
kadang terdapat mucus plug.

Pemeriksaan darah
- Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
- Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
- Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu
infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada
waktu bebas dari serangan.









Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran
hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma
yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk
gambaran radiolusen pada paru-paru.

2) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif
pada asma.

3) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan dises uaikan
dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB ( Right bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative.

4) Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru.

5) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan
sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.Hasil pemeriksaan spirometri pada penderita asma:
Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) menurun
Kapasitas vital paksa (FVC)menurun
Perbandingan antara FEV1 dan FEC menurun. Hal ini disebabkan karena penurunan FEV1 lebih besar
dibandingkan penurunan FVC
Volume residu (RV) meningkat
Kapasital fungsional residual (FRC) meningkat

6) Uji kecepatan aliran puncak ekspiratoir (APE)
Tes ini merupakan tes sederhana dengan menggunakan alat pengukur aliran puncak Wright. Bila hasil
pengukuran menunjukkan:
Kecepatan APE mula-mula kurang dari 60 liter/menit, atau
Peningkatan APE terhadap standar (sesudah diberikan terapi selama 1 jam) kurang dari 50% maka pasien
dianjurkan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.









DIAGNOSIS BANDING
1 Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun.
Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium
lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2 Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita
biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak
pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas,
hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
3 Gagal jantung kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
4 Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala sesak
nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada
pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan
hipertensi.

TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok
kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan - pelan yaitu 25
% setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
Obat obat Pereda (Reliever):
I. Bronkodilator
a. Short- acting 2 agonist :
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor 2
agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah,
otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2 agonis selektif. Epinefrin
menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang
menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral : 0,1- 0,15
mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis
fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1
respul/nebulisasi. Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak










dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi
(inhaler/nebulisasi)
memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 - 4 semprotan tiap 3 - 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat inhalasi
sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi. Dosis
salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal
4 mcg/kgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 - 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu. Efek samping 2 agonist antara lain tremor
otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya
lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi
2 agonist dan anticholinergick. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam
lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat
timbul kejang, takikardi dan aritmia.

c. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist
menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini
dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia
kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

d. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
o Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama
o Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
o Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis,
efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone,
prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5
kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus
menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan
basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik,
efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang





dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam.
Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.
e. Ekspektoran
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi salah satu
pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan. Sebaiknya jangan
memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas adalah Obat
Batuk Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP), Glicseril guaiakolat (GG).

f. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi
saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.

Obat obat Pengontrol
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien
modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan
untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan
perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan
dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan
hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat
mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak).
Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan
mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik.
Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut:
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
c. Dapat diberikan per oral.
d. Montelukast. Hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja epithel growth
factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya
fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos
menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro
anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2
kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan
menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan
tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV
1
pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu




kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide
dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan
kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit
kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung.
Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif
Terapi oksigen : Diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox. Perlu
dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
Campuran Helium dan oksigen Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen). Selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan
metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
Terapi cairan. Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan,
peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena
pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya retensi
cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

PENCEGAHAN
Pencegahan primer :ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi denganrisiko asma (orangtua asma),
dengan cara :
- Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masaperkembangan bayi/anak
- Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidakmengganggu asupan janin
- Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bula
- Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder: ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yangtelah tersentisisasi dengan cara:
- Menghindari pajanan asap rokok
- Alergen dalamruangan terutama tungau debu rumah.
- Faktor genetic
- Faktor lingkungan
- Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
- Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)
- Hipereaktifitas bronkus obstruksi
Pencegahan tersier: ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anakyang telah menunjukkan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senteryangdikenal dengan nama ETA C Study (early treatment of
atopic children)mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengandermatitis atopi dan
IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau deburumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu
ditekankan bahwa pemberiansetirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

PROGNOSIS ASMA
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang
dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya
15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun.









Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung steroid dengan riwayat
inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95% menjadi orang dewasa asmatikus.

KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan
respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita
harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus
maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen secara sistemik akibat inadekuatnya
intake oksigen ke paru oleh serangan asma.
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung
udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Serangan Asma





Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejal-gejala batuk, sesak napas,
wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan
gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus.

PATOFISIOLOGI
Respon saluran napas yang berlebihan dan reaksi inflamasi.
Asma sebagai penyakit inflamasi
Inflamasi akut
1. Reaksi asma tipe cepat
IgE
+
sel mast degranulasi sel mast mediator (histamin, prostaglandin,leukotren) konstriksi
otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
2. Reaksi asma tipe lambat (6-9 jam)
Provokasi alergen, aktivasi eosinofil, selT CD
+
, netrofil dan makrofag.
Inflamasi kronik
LimfositT sitokin : IL-3,IL-4,IL-5,IL-13, GM-CSF
Epitel membran markers (adhesi, endotelin, NO sinthase, sitokin/kemokin)
Eosinofil ngeluarin sitokin : IL-3, IL-5, IL-6
Sel mast yang mengikat IgE untuk mengeluarkan granul.
Makrofag
Airway remodeling
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.
Penebalan membaran retikular basal.
Pembuluh darah >>
Perubahan struktur parenkim
Fibrosis >>
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat.

Hipereaktivitas saluran napas
Sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat
kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani).
Beberapa keadaan yang dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas :
Inflamasi saluran napas
Kerusakan epitel perubahan struktur dapat meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi.
Mekanisme neurologis pada asma, peingkatan respon saraf parasimpatis.
Gangguan instrinsik otot polos saluran napas dam hipertrofi otot polos.
Obstruksi saluran napas


PENATALAKSANAAN
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asmayang harus diketahui oleh pasien, penatalaksanaan
asma sebaiknya diketahui oleh pasien di rumah (bagan). Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat
serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik, dan
sebaiknya dengan pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obatan yang digunakan adalah :
Bronkodilator (2 agonnis kerja cepat dan ipratropium bromida)
Kortikosteroid sistemik











Serangan Ringan Hanya 2 agonis kerja cepat secara inhalasi

Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik.

pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.

Serangan Sedang 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral
Pada dewasa ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV
Anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV.
Pada anak bila diperlukan diberi oksigen dan cairan IV
Serangan Berat
Pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, 2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, aminofilin IV


Serangan yang
mengancam Jiwa
Langsung dirujuk ke ICU

pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. bila tidak ada menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer)

PENCEGAHAN
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran anatara lain dengan melakukan senam
asma. Pada dewasa dengan senam asma indonesia yang teratur, asma yang terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan
pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.

Status Asmatikus








Status asmatikus merupakan suatu eksasebasi akut dari asma yang tidak berespons terhadap pengobatan
awal dengan bronkodilator. Status asmatikus bervariasi dari yang ringan sampai ke yang berat, yaitu bronkospasme,
inflamasi salur pernafasan,dan sumbatan oleh mukus yang menyebabkan gangguan pernafasan; retensi karbon
dioksida; hipoksemia; dan gagal nafas. Tanda klinis yang biasa adalah wheezing persisten dengan retraksi. Tapi, tidak
semua anak-anak dengan asma berat ada wheezing, sebagian dari mereka mungkin hanya menderita batuk, dyspnea,
atau muntah. Atau dalam arti lain, tidak semua pasien dengan wheezing menderita asma; mereka mungkin menderita
salah satu dari macam-macam penyebab yang bisa menyebabkan obstruksi salur pernafasan.

PATOFISIOLOGI
Terpaparnya seseorang yang beresiko terhadap alergen atau rangsanganmenyebabkan suatu reaksi inflamasi
dari salur pernafasan, yaitu terjadinya degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi, infiltrasi dari eosinofil dan
limfosit T yang teraktivasi. Sebagai mediator inflamasi bisa terlibat termasuklah interleukin (IL) -3, IL-4, IL-5, IL-6,
IL-8, IL-10, dan IL-13; leukotriene; dan granulocyte-macrofage colony-stimulating factors (GM-CSFs). Ini semua
akhirnya akan merangsang lagi sel mast, netrofil dan eosinofil.





































Gambar: Presentasi antigen oleh sel dendritik, dengan respons limfosit dan sitokinyang akhirnya menyebabkan
inflamasi salur pernafasan dan simptoms asma.

Secara fisiologis, asma akut terdiri dari 2 komponen, yaitu respons bronkospastik awal (early bronchospastic
response); dan respons inflamasi akhir (later inflammatory response).

Early bronchospastic response
Dalam beberapa menit setelah terpapar alergen, terjadi degranulasi sel mast sambil terjadinya pelepasan
mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2,leukotriene C4. Semua bahan ini akan menyebabkan
kontraksi dari otot salur pernafasan, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi mukus, dan aktivasi refleks neuronal.
Fase ini ditandai dengan terjadinya bronkokonstriksi yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator, seperti agen
beta-2-agonis.

Later inflammatory response
Terjadinya pelepasan mediator inflamasi akibat menempelnya adhesion molecules di epitelium salur
pernafasan dan endotel kapiler. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil, dan basofil akan berhubungan dengan
epitelium dan endothelium dan akhirnya akan bermigrasi ke jaringan salur pernafasan. Eosinofil akan melepaskan
eosinophilic cationic protein (ECP) dan major basic protein (MBP). Kedua ECP danMBP akan menginduksi deskuamasi
dari epitelium saluran pernafasan dan akan menyebabkan terpaparnya ujung-ujung saraf. Proses ini akan menginduksi
lebih banyak terjadinya hiper respons pada asma.
Bronkospasme, sumbatan mukus, dan edema pada salur pernafasan perifer menyebabkan peningkatan
resistensi salur pernafasan dan obstruksi. Udara yang terperangkap akan mengakibatkan hiperinflasi paru,
ventilation/perfusion mismatch (V/Q mismatch), dan meningkatnya dead space ventilation. Paru akan mengembang
pada saat hampir akhir inspirasi pada akhir kurva compliance pulmonal, dengan compliance yang menurun dan kerja
untuk bernafas yang meningkat. Meningkatnya tekanan pleural dan intra-alveolar akibat dari obstruksi dan hiperinflasi,
bersama dengan tekanan mekanis dari alveolus yang terdistensi, akan mengakibatkan penurunan perfusi alveolus.
Kombinasi dari atelektasis dan penurunan perfusi alveolus menyebabkan V/Q mismatch dalam unit paru. V/Q mismatch
dan hipoksemia yang terjadi mengakibatkan peningkatan dalam minute ventilation.
Dalam fase awal asma akut, hiperventilasi bisa mengakibatkan alkalosis repiratorik. Ini karena unit paru yang
terobstruksi secara relative jumlahnya lebih sedikit berbanding unit paru yang tidak terobstruksi. Hiperventilasi
mengakibatkan terjadinya pembuangan karbon dioksida melalui unit paru tidak terobstruksi. Tapi,semakin lama jumlah
unit paru yang terobstruksi menjadi lebih banyak, dan ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan pembuangan
karbon dioksida di paru, yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya hiperkarbia.

Vous aimerez peut-être aussi