Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
2. Gliserin 5 %
3. PGA 5 %
Perhitungan untuk Corpus emulsi/metode Continental : (4 : 2 : 1)
PGA = 5 gram
Oleum Ricini = 4/2 x 5 gr = 10 gram
Air = x 5 gr = 2,5 ml
VI. Cara Kerja
1. Diambil dan ditimbang bahan sesuai kebutuhan
No Bahan penimbangan
1.
2.
3.
4
5.
6.
Gliserin
PGA
Oleum ricini
Aquadest add
Flavor jeruk
Pewarna kuning
5 ml
5 ml
20 ml
65 ml
20 tetes
secukupnya
2. Pembuatan emulsi praktikum kali ini dengan metode continental yaitu dengan
perbandingan minyak : emulgator : air (4 : 2 : 1)
3. Mula mula dibuat corpus emulsi dengan melarutkan PGA dengan 2,5 ml air,
lalu ditambahkan oleum ricini 10 ml sedikit demi sedikit gerus cepat sehingga
membentuk corpus emulsi.
4. Selanjutnya dimasukkan sisa oleum ricini (10 ml) sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen. Gliserin 5 ml dimasukkan sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen.
5. Ditambahkan sisa air sampai volume kira-kira mendekati 100 ml lalu tambahkan
pewarna dan flavor, lalu air ditambah lagi hingga 100 ml.
VII. Data dan Pembahasan
VII.1 Data Hasil Pengamatan
a. Formulasi A
Kelompok Waktu Pengamatan
1 Hari 1
Warna lembayung muda, bagian atas
membentuk busa putih (creaming) 23 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen kembali)
Hari 7
Warna lembayung muda terlihat bening
dibandingkan dengan hari 1, bagian atas tetap
membentuk busa putih (creaming) 22 cm.
Tidak terlihat terbentuknya sedimentasi.
Emulsi mudah dituang.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen kembali)
2 Hari 1
Warna kuning, bagian atas membentuk busa
putih (creaming) 25 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen kembali)
Hari 7
Warna kuning terlihat bening
dibandingkan dengan hari 1, bagian atas
tetap membentuk busa putih (creaming)
26 cm.
Tidak terlihat terbentuknya sedimentasi.
Emulsi mudah dituang.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen
kembali)
3 Hari 1
Warna kuning, minyak terdispersi dengan baik.
Tidak membentuk busa dibagian atasnya.
Hari 7
Warna kuning terlihat lebih pekat, warna
emulsi tidak homogen, bagian atas
membentuk lapisan sindur putih (creaming)
28 cm, bagian tengah membentuk lapisan
putih susu 2 cm.
Emulsi tidak dapat dituang (irreversible).
Rasio pemisahan :
4 Hari 1
Warna hijau muda, minyak terdispersi dengan
baik.
Tidak mengalami pembentukan creaming.
Hari 7
Warna kuning terlihat pucat, warna emulsi
tidak homogen, bagian bawah membentuk
lapisan hijau tidak keruh 3 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen kembali)
5 Hari 1
Warna lembayung muda, minyak terdispersi
dengan baik.
Tidak membentuk busa dibagian atasnya.
Hari 7
Warna kuning terlihat pucat, tidak terbentuk
lapisan yang lain.
6 Hari 1
Warna hijau, membentuk busa dibagian
atasnya (creaming) 19 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen kembali)
b. Formulasi B
Hari 7
Warna yang terbentuk lebih terang,
membentuk busa dibagian atasnya
(creaming) 8 cm.
Terdapat lapisan hijau muda 12 cm
dibagian tengahnya.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen
kembali)
Kelompok Waktu Pengamatan
1 Hari 1
Emulsi yang terbentuk homogeny berwarna
kuning muda.
Hari 7
()
Warna yang terbentuk lebih terang,
membentuk creaming dibagian atasnya
creaming 8 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogeny
kembali)
2 Hari 1
Emulsi yang terbentuk homogeny berwarna
hijau muda.
Hari 7
Emulsi yang terbentuk masih homogen.
3 Hari 1
Emulsi (kanan), pelarutandengan air
dingin, (kiri) pelarutan dengan air
panas.
Emulsi dengan pelarutan dengan air
dingin lebih cepat membentuk
flokulan dibandingkan dengan
pelarutan air panas.
Emulsi dengan pelarutan air panas
membentuk emulsi yang homogen.
Hari 7
()
Emulsi dengan pelarutan dengan air dingin membentuk
creaming pada bagian atas 10 cm, pada bagian tengah
membentuk flokul-flokul yang berukuran besar 40
cm.
Pengocokkan : reversible (homogenkembali)
Emulsidenganpelarutan air panasmengalamiflokulasi.
4 Hari 1
Emulsi yang terbentuk homogeny berwarna kuning.
Hari 7
Emulsi yang terbentuk masih homogen.
5 Hari 1
Emulsi yang terbentuk homogen berwarna hijau.
Hari 7
()
Terjadi pembentukan creaming dibagian
tengah 83 cm.Lapisan atas berwarna
bening 10 cm.
Rasio pemisahan :
Pengocokkan : reversible (homogen
kembali)
6 Hari 1
Emulsi yang terbentuk masih homogen.
VII.2 Pembahasan
Pada praktikum non steril kali ini kami melakukan pembuatan emulsi
dengan zat aktif minyak ricini. Untuk pembuatan emulsi kali ini dilakukan dengan
6 jenis formulasi dengan varian pembandingnya adalah jumlah PGA, Propilen
glikol dan gliserin yang digunakan yaitu 5%, 7,5%, untuk kelompok kami
formulasi lengkapnya adalah sebagai berikut oleum ricini 20 %, PGA 5 %,
gliserin 5 %, flavor, pewarna secukupnya dan aquadest sampai 100 ml. Setelah
semua bahan diambil dan dibuat corpus emulsi dengan PGA dan air hasilnya
diperoleh corpus antara PGA dan air, dan baru ditambahkan oleum ricini (sebagai
fase minyak serta zat aktif utama).
Pembuatan emulsi praktikum kali ini dengan metode continental yaitu
dengan perbandingan minyak : emulgator : air (4 : 2 : 1). Metode continental
biasa di sebut metode gom kering dengan metode 4 : 2 : 1, emulsi di buat dengan
jumlah komposisi minyak dengan jumlah volume air dan dari jumlah
emulgator. Sehingga di peroleh 4 bagian minyak, 2 bagian emulgator, dan 1
bagian air. Mula mula dibuat corpus emulsi dengan melarutkan PGA dengan 2,5
Hari 7
Emulsi yang terbentuk homogeny berwarna hijau dan putih
gading.
ml air, lalu ditambahkan oleum ricini 10 ml sedikit demi sedikit gerus cepat
sehingga membentuk corpus emulsi. Penggerusan harus dilakukan cepat dan
konstan dengan tekanan yang cukup tetapi tidak terlalu tinggi karena dengan
semua hal tersebut kan mempengaruhi proses terbentuknya copus emulsi tersebut.
PGA disini berperan sebagai emulgator atau penstabil emulsi, ada 3 cara kerja
dari emulgator ini yaitu penurunan tegangan antar muka, terbentuknya film antar
muka yang kaku ( perlindungan mekanik terhadap koalesen dan terbentuknya
lapisan ganda listrik, merupakan pelindung listrik dari partikel. Dengan
penurunan tegangan antar muka akan menyebabkan menurunkan laju
pengendapan antar kedua fase yang tidak saling bercampur sehingga fase yang
satu akan tetap terdispersi kedalam fase yang lain, bila konsentrasi emulgator
cukup tinggi, akan terbentuk film yang kaku (rigid) antara fase tak tercampur
yang bekerja sebagai pelindung mekanis terhadap adhesi dan koalesen dari butir
tetesan emulsi. Seperti diketahui film antra muka dapat mecegah terjadinya
koalesen butir tetesan melalui aksi pelindung, amaka begitu pula film tersebut
dapat menyebabkan kekuatan tolak menolak listrik yang timbul dari kelompok
bermuatan listrik yang menempel dari pada permukaan butir teremulsi.
Selanjutnya dimasukkan sisa oleum ricini (10 ml) sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen. Gliserin 5 ml dimasukkan sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen. Selanjutnya dimasukkan gliserin sebagai pengatur
viskositas atau kekentalan larutan, selanjutnya ditambahkan pewarna, flavor dan
aqua dest sampai volume 100 ml. terbentuk emulsi yang stabil, tetapi memisah
dengan cepat setelah didiamkan. Pemisahan berupa partikel kabut seperti busa.
Pemisahan tersebut disebut Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi dua
lapisan, dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase dispers)
lebih banyak dari pada yang lain dibandingkan emulsi mula-mula. Dalam farmasi
terjadinya creaming akan menghasilkan kekurangan dalam distribusi obat yang
homogen. Kecuali jika sediaannya digojlog terlebih dahulu sebelum digunakan.
Dari hasil pengamatan stabilitas emulsi selama 7 hari terlihat peubahan
flokulasi/pengendapan yang berbeda setiap harinya, serta terlihat adanya endapan
pengotor pada sediaan. Pada fomula I yaitu dengan varian PGA 5% diperoleh
emulsi yang cukup stabil dimana pada awal setelah peracikan sudah terbentuk
flokulasi yang dapat terdispersi kembali setelah dilakukan penggonjokan,
mengendap pada fase atas. Hokum stokles memegang peranan penting dalam
proses terjadinya creaming. Analisa persamaan hokum stokles menunjukan bahwa
jika kerapatan fase dispers semakin besar maka kecepatan sedimentasi adalah
negative, maka terjadinya creaming adalah keatas ( up ward ). Makin besar
perbedaan kerapatan antara dua fase dan makin besar diameter butir-butir tetesan
dan makin rendah viskositas fase ekstern akan makin besar kecepatan creaming.
Pengurangan volume pengendapan dapat diakibatkan viskositas meningkat.
Viskositas yang sudah stabil dan bila dilakukan penggojlokan emulsi dapat
terbentuk kembali.
Pada formula II, III, IV, VI diperoleh emulsi yang kurang stabil. Pada hari
ke-7 volume pengendapan menjadi 26 ml. Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai factor seperti suhu ruangan, gravitasi karena dengan perubahan kedua
variable tersebut dapat mempengaruhi viskositas lanju pengendapan dari sediaan
dengan meningkatnya gravitasi laju pengendapan juga akan meningkat,
sedangkan dengan meningkatnya suhu viskositas larutan juga akan meningkat,
dengan meningkatnya viskositas dapat mempengaruhi volume
sedimentasi/pengendapan.
Dari hasil praktikum diperoleh hasil bahwa sediaan emulsi yang stabil
diperoleh pada formulasi V dengan jumlah penambahan PGA 5% dan gliserin
7,5%. Sedangkan laju pengendapan yang paling stabil diperoleh pada fomulasi
emulsi dengan penambahan PGA sebesar 5%, dan gliserin 7,5%
Pada praktikum ini diperoleh endapan pengotor pada sediaan, ini mungkin
diakibatkan karena adanya pengotor pada bahan baku atau alat yang digunakan
saat melakukan peracikan kurang terjamin kebersihannya. Endapan terlihat
semakin banyak mulai dari hari keempat sampai hari terakhir pengamatan
VIII. Kesimpulan
Jadi dari praktikum kali ini emulsi yang terbentuk mengalami creaming untuk
semua fomulasi yaitu pada kelompok 1, 2, 3, 4, dan 6. Creaming terajadi karena
berbagai factor yaitu salah satunya berbedaan selisih kerapatan jenis dari kedua fase
carian serta gravitasi sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya
sedimentasi/creaming. Emulsi yang paling stabil laju pengendapannya diperoleh pada
emulsi dengan penambahan PGA 5% dan gliserin 7,5%.
IX. Pustaka
Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi ke empat.
Jakarta : UI-Press.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi IIIa. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Abdullah, pramono. 2012. Diktat Kuliah Formulasi dan Teknologi Sediaan Non
Steril : Solution/Syrup. Bogor.
Volgt,R.,1995.Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, terjemahan Soendani Noerono
Soewandhi.Edisi V, Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.